Melihat Indonesia Secara Utuh dalam Pameran DIVISI 62
Kolektif/label musik DIVISI62 menggelar pameran perdananya, dengan judul“PARIPURNA.”
Teks dan foto: Ibrahim Soetomo
Apa itu Indonesia? Pertanyaan yang sederhana, namun sulit untuk menjawabnya. Bukannya tak ada jawaban, hanya saja semakin kita menelusurinya, semakin banyak definisi, konsep dan gagasan yang akan kita temui. Namun ada satu rumusan, bahwa ‘Indonesia’ adalah hasil perkawinan antara pemikiran Barat dengan tradisi Timur. Dari bermacam segi, dari sejarah hingga kebudayaan, Indonesia sebagai negara Timur dengan berbagai tradisinya telah bercampur dengan pemikiran dan metode Barat. Sehingga, dalam membaca Indonesia, ada dua perspektif yang dapat kita gunakan: lokal dan global, atau modern dan tradisional.
Rumusan ini diterapkan oleh kolektif/label musik DIVISI 62 dalam pameran perdananya, “PARIPURNA,” untuk menggali pertanyaan “Apa itu Indonesia?” dan “Bagaimana kita mendefinisikan Indonesia?” Dalam pameran ini, DIVISI 62 melihat sosok ‘Indonesia’ secara menyeluruh (paripurna) dengan mengambil jalan tengah antara pemikiran Barat dan tradisi Timur – antara metode modern dan praktik tradisional – yang diibaratkan sebagai pendulum yang terus bergerak, dan jalan tengah tersebut merupakan tegangan yang dihasilkan oleh gerak pendulumnya. Di jalan tengah inilah mereka dapat membaca Indonesia secara utuh tanpa terjebak di satu sisi.
Jika mengambil sudut pandang Barat dan Timur, maka, sah kalau kita sebut bahwa tidak ada yang benar-benar asli Indonesia, karena penduduknya pun merupakan keturunan dari berbagai etnis. Hal ini diutarakan melalui karya “Riwayat” yang menampilkan sebuah photoset orang-orang Indonesia dengan darah Belanda, Arab hingga Cina. Wajah dari orang-orang ini tidak kita kenal, namun dapat menggambarkan keragaman identitas yang turun menurun hadir di Indonesia. Photoset ini lalu dihubungkan dengan sepasang gendang yang diibaratkan sebagai riwayat keturunan orang-orang Indonesia yang jejaknya menggaung hingga saat ini.
Adapun karya “Manusia Indonesia” yang menampilkan foto orang-orang dari Flores, Papua dan daerah-daerah lain di luar pulau Jawa. Berdampingan dengan mereka, terdapat tiga buah cermin yang tertempel kutipan-kutipan tulisan dari pengarang Mochtar Lubis yang mempertanyakan “Apakah benar ada orang Indonesia?” Menariknya, dalam tulisan itu Lubis membayangkan definisi ‘orang Indonesia’ dalam perspektif Jawa; Yang lelaki dibayangkan seperti sosok Arjuna, dan yang perempuan digambarkan layaknya Srikandi. “Manusia Indonesia” memberikan gambaran ironis tentang Indonesia sebagai negara multikultur, namun pada kenyataannya masih saja terpusat di tanah Jawa.
Selain “Riwayat” dan “Manusia Indonesia,” terdapat karya-karya lain yang memiliki gagasan serupa, seperti “Bebas Terbatas,” yaitu sebuah instalasi yang menggambarkan keadaan timpang antara keadaan Indonesia hari ini dengan gagasan kemerdekaan yang diutarakan oleh Presiden Soekarno pada Konferensi Asia-Afrika pada 1955, atau “Carot,” sebuah karya interaktif yang berupaya melihat alat musik tradisional dalam konteks modern dengan menampilkan sebuah kecapi yang tidak lagi dipetik, melainkan dimainkan dengan aplikasi MIDI.
Pemilihan medium merupakan hal yang perlu dicatat dari pameran ini. Selain semangat eksplorasi, medium yang digunakan sangat penuh perhitungan, sehingga setiap karya memiliki pesan yang kuat dan sejalan dengan konsepnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana DIVISI 62 dapat menerjemahkan ‘perkawinan Barat dan Timur’ ke dalam medium-mediumnya. Tak heran kalau kita melihat alat-alat tradisional layaknya gendang dan kecapi, namun di lain sisi kita juga melihat medium modern seperti fotografi, video hingga sound art. Hal ini terlihat jelas di karya “Bebas Terbatas” dan “Wirasa” yang memadukan video, sound, dengan musik-musik tradisional.
“PARIPURNA” adalah sebuah upaya menelusuri jejak pemikiran-pemikiran tentang Indonesia. Riset yang ekstensif, serta pemilihan medium yang tepat, dapat memberikan sudut pandang baru dalam memahami Indonesia. Lantas, apa itu “Indonesia?” DIVISI 62 pun tidak menjawabnya, tapi justru menyodorkan pertanyaan ini agar dapat kita renungkan bersama, dan mereka telah memberi jalan ke pencarian itu.
PARIPURNA
12 Mei – 10 Juni 2018
11:00 – 19:00
Jl. Suryo No. 49
Jakarta