Tentang Terapi Mental di Media Sosial bersama Marchella FP
Marchella FP bercerita tentang berkarya sebagai penenang, penyeimbang dan penjaga kesehatan mental.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Instagram / Marchella FP
Mengobrol langsung dengan Marchella FP tak ubahnya menjumpainya dalam media sosial. Ceritanya sama-sama kaya, kalimatnya sama-sama mengena, dan selayaknya “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” yang meledak di pasaran, terasa pengalamannya yang berwarna-warni. Mulai dari buku pertama yang berawal sebagai tugas akhir kuliah hingga buku terbaru prekuel NKCTHI, “Kamu Terlalu Banyak Bercanda”, Marchella berulang kali menekankan pentingnya mengikuti kata hati saat berkarya, juga untuk sebuah karya agar tidak egois apabila ingin bermanfaat bagi banyak orang. Ia menolak label muluk-muluk untuk dikaitkan dengan unsur kesehatan mental dalam karyanya, namun mengaku bersyukur apabila karyanya dinilai bisa menenangkan hati orang lain setelah sebelumnya menenangkan hatinya sendiri. Fenomena “terapi gratis” di media sosial, proses kreatif di balik mengolah konten dalam berbagai medium, dan masih banyak lagi juga dikupas oleh Marchella dalam obrolan kali ini.
Mulai dari “Generasi 90-an”, “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” hingga “Kamu Terlalu Banyak Bercanda”, boleh dibilang benang merah karya Anda adalah relatable. Apakah ini memang tujuan Anda sejak awal, atau muncul dengan sendirinya?
Aku memang selalu membuat karya yang aku sendiri mau beli, mau konsumsi.
Relatable, relevan dengan zamannya ya karena isu yang sedang aku alami dan dekat memang itu, dan aku terbiasa untuk mengerjakan sesuatu yang aku punya dulu. Jadi berangkat dari itu dan ternyata relatable dengan banyak orang, jadi menurutku karya itu jalan saja, memang sudah begitu. Niat awalnya berkarya saja, dari apa yang aku punya itu yang aku maksimalkan. Tapi memang proses diantara karya itu jadi, aku selalu riset kan. Jadi dalam proses riset itu, mungkin semakin dekat dan semakin kenal pasarnya ya, tapi secara tidak langsung sebenarnya semua karyaku ini bertumbuh kembang bersama diriku sendiri. Aku mulai berkarya sudah dari 2008, dan membuat buku yang ternyata meledak itu baru di 2012 – 2013. Itu isu besarnya memang aku sedang merasa kok sepertinya kebahagiaan menjadi muluk-muluk, dari kegelisahan itu aku jadikan karya. Bertambah dewasa dan mulai masuk quarter life crisis, isu itu aku jadikan karya lagi. Jadi memang hal-hal yang aku rasakan saja.
Isu yang sedang aku alami tersebut, itulah yang aku buat.
Ternyata secara tidak sadar, isu-isu tersebut juga relevan dengan orang lain.
Kalau dibilang apakah sengaja, tidak juga. Isu yang sedang aku alami tersebut, itulah yang aku buat. Ternyata secara tidak sadar, isu-isu tersebut juga relevan dengan orang lain. Kalau dibilang dari awal strateginya sudah begitu, tidak juga. Profesi utamaku sebenarnya adalah creative director, membuat buku itu adalah bagianku untuk diriku sendiri saja. Tidak ada proses strategi target market-nya siapa, [awal membuat] belum sampai disitu. Setelah berjalan, karya itu dimatangkan dan ternyata sampai kesana. Di awal memang tidak ada strategi seperti buku ini akan laku sekian, bahas tren tertentu, targetnya mereka. Aku memang selalu membuat karya yang aku sendiri mau beli, mau konsumsi. Ketika aku membuat karya yang effort-nya sudah habis-habisan tapi aku sendiri sebenarnya tidak suka atau concern dengan tema itu, akan kesulitan mengerjakannya.
Judul-judul karya Anda selalu terdengar menggelitik, mulai dari penggunaan tanda waktu hingga kebiasaan seseorang. Bagaimana proses Anda menamai sebuah karya?
Yang bisa aku lakukan adalah mencatat, aku mencatat apa yang aku rasakan, apa yang jadi kegelisahanku.
Tentang NKCTHI, ketika naskah selesai itu belum ada judulnya. Jadi aku menyimpan tulisan di semacam jurnal di HP sejak 2016. Aku tulis disaat misalkan bertemu teman kantor, kenalan di suatu acara, pasti selalu ada pelajaran kan. Setiap bertemu orang-orang aku kadang terpikir, suatu hari aku tidak mau menjadi seperti mereka. Pasti ada kebiasaan mereka yang tidak kita suka, misalnya membicarakan orang lain, menjelek-jelekkan orang lain di depan aku. Pasti muncul di pikiran kalau “aku tidak mau punya sifat ini,” dan aku ingin bilang ke anakku nanti bahwa suatu hari mereka akan bertemu dengan orang-orang seperti ini, mereka akan menghadapi hal-hal ini. Tapi aku pikir, 10 – 20 tahun lagi belum tentu pemikiranku besok sama dengan hari ini. Jadi yang bisa aku lakukan adalah mencatat, aku mencatat apa yang aku rasakan, apa yang jadi kegelisahanku. Dengan tujuan – makanya aku tulis di bagian atasnya ada satu kalimat “Ibu takut lupa rasanya muda, Ibu tulis pesan ini untuk kita.” Sebenarnya pesan besarnya adalah itu. Sambil berjalan, mulai berpikir bagaimana caranya menyampaikan satu pesan besar ini dalam satu kalimat yang belum ada di pasaran. Kita hidup sudah di periode yang kesekian, susah sekali untuk mencari kata yang belum menjadi milik orang banyak, menjadi familiar. Misalkan gampangnya pakai kata “Pulang”, “Gagal”, atau “Berangkat Pagi”, orang akan sangat familiar dengan kata-kata itu. Disitu aku berproses untuk mencari kalimat yang belum pernah didengar supaya orang bisa mengidentifikasi karya dengan lebih mudah, tapi maknanya bisa mencakup keseluruhan buku aku. Mencari-cari, tiba-tiba saja waktu itu mau tidur, muncul kalimat “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini”. Itu sebenarnya kalau dibaca pertama kali mungkin terlihat rumit, tapi maknanya yang terbayang waktu itu adalah seseorang berusia 26 – 27 tahun bicara dengan anaknya di masa depan yang belum ada. Dia bilang, “nanti kita cerita tentang hari ini.” Dia bilang suatu hari akan membahas semua ini, tapi belum tahu kapan. Dan menurutku satu kalimat itu memang sudah menggambarkan seluruh isi cerita buku itu.
Buku ini aku dedikasikan kepada orang-orang yang hidupnya sering dibilang orang lain “terlalu banyak bercanda”, padahal sebenarnya mereka sama saja, dia gagal juga, dia takut juga, tapi dia simpan semua.
Ternyata tidak apa-apa untuk marah, untuk benci, untuk sedih.
Begitu juga dengan “Kamu Terlalu Banyak Bercanda”, awalnya judul bukan itu. Seingatku aku mau membuat buku setelah NKCTHI judulnya “Patah”. Terus sempat mengobrol dengan penerbit untuk NKCTHI, mereka bilang buku pertama sudah tentang berdamai, menenangkan orang, tiba-tiba dilanjutkan dengan yang patah, kenapa? Sepertinya jadi negatif saja. Dari yang awalnya menaikkan orang-orang, semua sudah pada tenang, lanjutannya malah ke sini. Memang ketika menyusun, waktu itu memang di kondisi – mungkin bukan burn out tapi lebih seperti kering, drained. Karena ketika riset NKCTHI aku sangat tenggelam di cerita banyak orang. Selama satu tahun aku mendengarkan, mendapat kisah-kisah dan perspektif yang sangat beragam. Aku bisa terima ribuan cerita tiap malam, dan itu ternyata membuatku kering. Disisi lain aku bersyukur banyak orang yang menghargai karya aku, tapi juga pasti ada yang bersuara “memang hidup segampang yang NKCTHI bilang?” Mereka belum tahu proses yang terjadi sebelum NKCTHI dibuat itu seperti apa. Dari situ aku menggambarkan di KTBB tentang orang yang suka menunjuk ke orang lain, mungkin teman lain yang terlihat lebih bahagia, lebih ringan hidupnya, dan lain-lain. Itu terjadi di sekitarku, karena banyak teman-teman yang kerjanya adalah penghibur, musisi, atau MC, memang mereka harus terlihat seperti itu di depan publik. Harus lucu terus, harus bahagia terus. Karena kami berteman kami tahu di belakangnya seperti apa. Akhirnya buku ini aku dedikasikan kepada orang-orang yang hidupnya sering dibilang orang lain “terlalu banyak bercanda”, padahal sebenarnya mereka sama saja, dia gagal juga, dia takut juga, tapi dia simpan semua. Buku ini adalah cerita tentang hal-hal yang tidak berani dia tampilkan. Bisa dibilang ini prekuel dari NKCTHI. Cerita ini ditulis selama sepuluh tahun, kalau difiksikan ini adalah kumpulan surat-surat yang disimpan selama sepuluh tahun di belakang rumahnya, tidak pernah berani dikirim dan diungkapkan karena bagi dia kepahitan tidak perlu dibagi, tapi akhirnya malah jadi penyakit untuknya. Ketika dia menua di tahun 2047, hidupnya biasa-biasa saja, tidak ada hal besar yang terjadi, tapi tiba-tiba merasa tidak tenang. Makanya di tahun 2047 itu dia kembali ke tahun 2018 untuk menyelesaikan hal-hal yang belum diselesaikan. Itu adalah kemarahan-kemarahan dia, diantara kurun waktu tersebut dia menjalani hidup sampai baru menyadari selama ini kemarahannya dia tumpuk, bukan dia selesaikan. Kembalinya dia bukan untuk mengubah nasibnya, tapi untuk menyelesaikan tumpukan itu satu-persatu, dengan cara dia menyampaikan kemarahan dia, memaafkan dirinya sendiri, kalau misalkan ada yang sudah meninggal dia datang ke makamnya. Dia belajar bahwa ternyata tidak apa-apa untuk marah, untuk benci, untuk sedih. Akhirnya cerita ini jadi lengkap, disaat NKCTHI jadi obatnya, KTBB adalah penyakitnya. Aku tuliskan KTBB adalah hitam untuk putihnya NKCTHI. Mereka akhirnya saling melengkapi. Banyak yang mengira ini buku tentang humor, padahal bukan.
Untuk saya, yang ditangkap pertama kali dari KTBB adalah buku ini ditujukan untuk orang-orang yang menyinggung orang lain, yang saat ditegur mereka malah berdalih “ah, kan cuma bercanda.”
[Tertawa] ya begitu, serunya berkarya adalah itu. Ada satu cerita dibalik yang disampaikan, namun ketika dilempar ke publik cerita itu jadi ribuan, perspektifnya jadi beragam. Itu menurutku seru, ketika persepsimu bisa seperti itu. Ada juga yang bilang “oh buku ini tentang orang yang bercanda terus ya,” jadi menarik ketika semua orang punya ceritanya masing-masing.
Boleh dibilang “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” muncul dari kebutuhan curhat banyak orang. Mengapa memilih pendekatan tersebut lewat karya Anda?
Sebenarnya kalau dibilang muncul dari mana, munculnya dari kegelisahan aku, tapi diperkaya dengan sudut pandang banyak orang. Karena ada tanggung jawabku, aku bukan sepenuhnya seniman yang bisa membuat karya sesuka hati dan mau dijual setinggi-tingginya, itu bukan aku. Aku pekerja kreatif, disaat aku membuat suatu karya aku harus bertanggung jawab atas hal itu. Tadinya ini kan hanya antara aku dan karyaku, ketika aku memutuskan karya ini turun ke industri, aku sudah tahu resikonya. Ini akan menjadi antara aku dan banyak orang. Diantara perubahan itulah aku meriset, ketika aku sudah memutuskan karya ini akan rilis, disitu aku harus bertanggung jawab dengan cara meriset. Aku berpikir bahwa ketika membuat satu karya, itu tidak bisa egois. Tidak semua tentang aku, ini bukan hanya tentang aku. Kalau aku mau terjun ke industri, aku harus belajar bagaimana caranya karya ini bisa kaya dengan beragam perspektif orang di dalamnya, dan caranya sebagai penulis aku harus membuka kepalaku, tidak hanya melihat apa yang aku lihat tapi juga belajar melihat yang orang lain lihat.
Curhat diasosiasikan sebagai sesuatu yang privat dan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Bagaimana perubahannya menjadi konsumsi publik bisa terjadi?
Aku pekerja kreatif, disaat aku membuat suatu karya aku harus bertanggung jawab atas hal itu.
Sebagai penulis aku harus membuka kepalaku, tidak hanya melihat apa yang aku lihat tapi juga belajar melihat yang orang lain lihat.
Aku mencoba membuka forum bercerita di Instagram Story, ketika rajin-rajinnya aku bisa terima 4.000 – 7.000 cerita per tema, tidak semua bisa terbaca tapi ada beberapa ratus, beberapa ribu yang paling tidak sekilas aku baca. Dari situ aku belajar merasakan, belajar menuliskan perasaan orang. Misalkan aku membaca cerita tentang seorang menantu yang disiksa ibunya, saat dia bercerita aku membayangkan menjadi dia, berpikir kira-kira apa yang akan aku rasakan, apa yang menjadi pandangan aku. Nah rasa itulah yang aku jadikan tulisan. Tulisan itu adalah kesimpulan dari perasaan banyak orang. Jadi yang aku keluarkan adalah pengembangan dari cerita yang sebelumnya sudah aku punya, ibaratnya sudah ada 60 – 70 persen cerita yang tertulis saat aku mulai meriset, dan menjadi 100 persen karena perspektif banyak orang. Aku selalu mengetes beberapa tema, aku lihat isu apa sebenarnya yang paling tinggi responnya. Isu-isu tersebut yang akhirnya aku masukkan, ada beberapa hal yang mungkin buatku penting tapi ternyata untuk orang lain tidak sebegitunya, yang seperti itu akhirnya aku simpan untuk diri sendiri. Beberapa isu, misalkan digantungin itu ternyata tinggi sekali responnya di millennial, cerita-cerita seperti itu ternyata bisa lebih banyak dimasukkan. Saat-saat seperti itu adalah saat ketika idealisme dan industri berkompromi, bagaimana caranya agar tetap ada idealismeku tapi tetap menjawab kebutuhan industri. Mencoba untuk membagi, mungkin 60 – 70 persen adalah idealismeku dan 30 – 40 persen adalah minat industri.
Tulisan itu adalah kesimpulan dari perasaan banyak orang.
Curhat diasosiasikan sebagai sesuatu yang privat dan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Bagaimana perubahannya menjadi konsumsi publik bisa terjadi?
Saat-saat seperti itu adalah saat ketika idealisme dan industri berkompromi, bagaimana caranya agar tetap ada idealismeku tapi tetap menjawab kebutuhan industri.
Aku mencoba membuka forum bercerita di Instagram Story, ketika rajin-rajinnya aku bisa terima 4.000 – 7.000 cerita per tema, tidak semua bisa terbaca tapi ada beberapa ratus, beberapa ribu yang paling tidak sekilas aku baca. Dari situ aku belajar merasakan, belajar menuliskan perasaan orang. Misalkan aku membaca cerita tentang seorang menantu yang disiksa ibunya, saat dia bercerita aku membayangkan menjadi dia, berpikir kira-kira apa yang akan aku rasakan, apa yang menjadi pandangan aku. Nah rasa itulah yang aku jadikan tulisan. Tulisan itu adalah kesimpulan dari perasaan banyak orang. Jadi yang aku keluarkan adalah pengembangan dari cerita yang sebelumnya sudah aku punya, ibaratnya sudah ada 60 – 70 persen cerita yang tertulis saat aku mulai meriset, dan menjadi 100 persen karena perspektif banyak orang. Aku selalu mengetes beberapa tema, aku lihat isu apa sebenarnya yang paling tinggi responnya. Isu-isu tersebut yang akhirnya aku masukkan, ada beberapa hal yang mungkin buatku penting tapi ternyata untuk orang lain tidak sebegitunya, yang seperti itu akhirnya aku simpan untuk diri sendiri. Beberapa isu, misalkan digantungin itu ternyata tinggi sekali responnya di millennial, cerita-cerita seperti itu ternyata bisa lebih banyak dimasukkan. Saat-saat seperti itu adalah saat ketika idealisme dan industri berkompromi, bagaimana caranya agar tetap ada idealismeku tapi tetap menjawab kebutuhan industri. Mencoba untuk membagi, mungkin 60 – 70 persen adalah idealismeku dan 30 – 40 persen adalah minat industri.
Bicara soal idealisme, bagaimana perjalanan Anda mengembangkan konten sejauh ini, terutama dalam menyeimbangkan autentikasi penceritaan dan sisi komersial?
Sebenarnya yang paling terasa prosesnya adalah ketika waktu itu membuat “Generasi 90an”. Di NKCTHI bisa dibilang aku sudah banyak memetik dari perjuangan ketika membuat “Generasi 90an” dulu. Aku memulai dari 2008, menjadi desainer grafis di 2010 dan mulai benar-benar terjun di industri. Proses dari awal membuat sampai akhirnya karya laku lama sekali, awalnya aku banyak mengerjakan proyek dan brand orang lain tanpa mereka perlu tahu siapa yang bekerja di baliknya. Sampai akhirnya pada 2012 memutuskan untuk membuat “Generasi 90an” sebagai tugas akhir kuliah, disitu aku pada akhirnya membuat brand sendiri setelah sekian lama membuatkan untuk orang lain. Dari situ kalau bicara tentang bagaimana mengembangkan kontennya, sebenarnya di awal tidak ada bayangan sampai kesana. Dulu tren 2012 – 2013 adalah “selebtwit” ya, cuitannya dikumpulkan dan dibuat buku. Kebetulan aku membuat akun Twitter untuk tujuan riset, bukan menjadi “selebtwit”. Bagaimana caranya meriset generasi 90-an, aku melihat cara berkomunikasi yang paling mudah adalah dari media sosial. Orang kemudian mengira ini dari media sosial yang berhasil menjadi buku, padahal sebenarnya ini adalah untuk buku yang memang mau diriset dan dirilis. Sembari buku berjalan, waktu itu aku masih sangat idealis, keras ketika harus bernegosiasi dengan industri. Aku berkeras bahwa “Generasi 90an” tidak akan dikomersilkan, dia akan tetap menjadi komunitasku dan tidak boleh diapa-apakan. Sambil proses buku berjalan, penerbit langsung bertanya rencana buku berikutnya. Aku bilang hanya ingin membuat satu lalu kembali ke profesi sebelumnya yang adalah fotografi dan desain. Karena mengikuti proses ini dan mendekatkan diri dengan audiensnya, aku merasakan sisi protektif, seakan-akan punya bayi. Ada banyak orang di sekitarnya yang sayang dengan dia, aku tidak mau mengecewakan mereka yang sudah membantu sejak sebelum buku ini meledak. Realita ternyata tidak bisa seperti itu, sembari berjalan ternyata kepentingan orang-orang itu semakin berkembang kan.
Pesan besarnya [Generasi 90an] adalah kebahagiaan itu sederhana, bagaimana bisa aku menyampaikan pesan seperti itu lewat karya padahal pembuatnya tidak bahagia.
Ternyata buku ini bisa berkembang menjadi acara, kemudian ternyata acara pertama berhasil, lalu ada lagi yang datang dan ingin beriklan karena followers selalu menanjak. Tapi aku tidak mau tiba-tiba ada iklan yang tidak berkaitan dengan konten muncul begitu saja, ini masih bayiku dan ingin aku jaga. Kemudian waktu itu National Geographic datang dan ingin beriklan tentang dokumenter 90an. Oke, karena temanya sama aku bersedia mengkostumisasi kontennya untuk kemudian bisa dipasang di media sosialku. Ternyata bisa tidak perlu hard selling, audiens tetap bahagia dan konten menghasilkan uang. Lanjut berjalan lagi, ternyata produk ini bisa dijadikan merchandise. Dari royalti, akhirnya aku kembangkan untuk jadi modal merchandise, berjualan di akun baru namanya “Proud to Post It”. Akun “Generasi 90an” masih tetap tidak boleh berjualan, makanya aku buat divisi baru. Sampai di titik yang barang selalu habis terjual, selama tiga tahun tersebut aku akhirnya merasa burn out karena aku mengerjakan semua sendirian, tim aku adalah orang-orang temporer saja. Karena semuanya temporer, terasa tidak punya rumah. Capek juga ternyata kalau sampai di titik yang harus mengerjakan semua bersamaan dan sendirian, mulai dari konten sampai event. Sampai pada 2015 ada momen aku ditipu oleh vendor merchandise, uang dan barang dibawa kabur. Pada momen itu aku jatuh, cukup jatuh karena barangnya yang ingin aku jual tidak ada, sementara aku harus memutarkan ini terus. Bagaimana caranya untuk menghidupi ini semua, sementara untuk bertahan hidup sendiri saja sudah sulit pada momen itu. Aku waktu itu pergi kemana-mana – misalkan mengisi seminar – kan pesan besarnya [Generasi 90an] adalah kebahagiaan itu sederhana, bagaimana bisa aku menyampaikan pesan seperti itu lewat karya padahal pembuatnya tidak bahagia. Pada momen itu aku terpikir untuk menyudahi saja, banyak terpikir aku berarti berbohong ya selama ini, berpesan kebahagiaan itu bahagia lewat karya sementara aku sendiri setiap pulang selalu menangis. Aku sempat membuat kuesioner yang diisi oleh 5.000 orang dalam sehari, mereka semua mengira bagus, berhasil, dan banyak berharap dari karya ini. Sedangkan aku yang di belakangnya capek sekali, menangis terus.
Jadi berpikir yang mana dulu ya, idealisme atau kebutuhan ini.
Akhirnya aku menyimpulkan ada dua pilihan, antara aku mundur dan menutup ini semua dan kembali ke karir yang lain atau tetap melanjutkan dengan seadanya. Aku memutuskan untuk memaksakan membeli ruko dan menggaji beberapa orang selama tiga bulan. Memang minim sekali, tapi paling tidak aku bisa membuat tim yang lebih bertanggung jawab karena ada gajinya. Setelah itu aku berpikir, oke kalau setelah tiga bulan memang tidak bisa berarti memang harus aku tutup. Kembali aku berpikir, “Generasi 90an” bisa diapakan saja? Waktu itu sempat ada juga yang menawari membuat film, waktu itu tren film sedang hantu-hantuan dengan perempuan seksi, nah sutradara film-film seperti itu yang seperti itu yang menawari. Aku berpikir, ya memang butuh sebagai modal, tapi akhirnya aku menahan keinginan dan memutuskan bertahan dengan seadanya. Di era startup sudah mulai maju, banyak teman-teman menggunakan investor, aku masih merasa bisa bertahan dengan secukupnya, masih bisa menggunakan modal sendiri. Di 2015 aku berpikir lagi bagaimana cara mencari dananya, apa bentuk monetisasi yang halus tapi masih bisa jadi produk yang menjual. Acara sudah ada dan ternyata bisa dilisensikan, konten bisa mengajak brands, kita bisa berjualan konsep dan tidak hanya iklan, produk juga bisa dikolaborasikan. Kemudian mulai aktif lagi, membuat aplikasi, stiker LINE, workshop, dan banyak bentuk-bentuk turunan lainnya yang terpaksa aku pikirkan karena memang mendesak. Kalau perusahaan tidak menghasilkan, karya awal ini tidak bisa berjalan. Menjadi seperti ayam dan telur, konten ini banyak peminatnya, tapi orangnya hanya aku saja. Untuk bisa dijalankan dengan maksimal, harus ada tim, tapi untuk bisa ada tim, aku membutuhkan dana, sedangkan aku idealis. Jadi berpikir yang mana dulu ya, idealisme atau kebutuhan ini. Pada akhirnya ini kepentingan orang banyak. Kemudian akhirnya aku berpikir okelah, tidak apa-apa memakai uang pribadiku. Setiap kali ada pemasukan aku masukkan sebagian ke perusahaan, tumpang tindih dengan sumber lainnya.
Waktu awal membuat NKCTHI aku sama sekali tidak ada ekspektasi, hanya karena aku kangen berkarya dan ingin membuat sesuatu, ingin memberikan sesuatu.
Setelah itu bisa berjalan, pengalaman berkembang dan kemudian muncul NKCTHI. Mulai menulis dari 2016 – 17, penulisan itu setelah fase burn out dari “Generasi 90an”. Secara keuangan posisi waktu itu sudah oke, tetapi secara kreatif aku sudah mentok. Di momen itu aku merasakan kangen berkarya karena pekerjaanku sehari-hari sudah kembali untuk brand, “Generasi 90an” sudah bukan bayiku lagi. Ketika karya tersebut sudah berkembang besar, aku merasa kok aku pribadi masih disini-sini saja. Aku sebagai kreator kemudian kangen dan ingin berkarya. Kemudian setelah tahun baru 2017, aku bilang ke kantor bahwa ingin cuti untuk beberapa waktu. Cuti itu perlu karena aku sedang tidak mau memikirkan operasional kantor, terserah bagaimana mereka menjalankannya, yang penting aku mau membenahi diri sendiri dulu. Aku kemudian mencari partner, dan dia yang melanjutkan sisi operasionalnya, sementara aku mundur dan mengerjakan NKCTHI. “Generasi 90an” waktu itu pada dasarnya sedang baik-baik saja, tapi memang secara arah sudah agak bingung, mulai terasa akan burn out lagi. Kemudian aku merasa ingin membuat satu karya yang tidak melanjutkan dari ketenaran karya sebelumnya, dan akhirnya membuat akun Instagram NKCTHI. Tidak pernah aku beritakan di “Generasi 90an”, karena aku memang ingin mengetes pasar apakah karya yang ini akan relatable, bisa diterima oleh orang-orang. Selama itu berproses, aku lanjut berkarya saja dan ternyata responnya cepat sekali dalam waktu singkat, dalam satu tahun sudah sampai 1 juta followers. Apalagi zaman sekarang lebih sulit untuk menambah followers, zaman dulu media sosial masih baru dan orang masih semangat untuk klik follow siapa saja. Sekarang orang lebih memilih, apa yang masuk di feed itu sangat dipilih.
Kamu bisa terkenal dan viral satu hari dan besoknya semua sudah lupa.
Saat itu aku juga sudah belajar untuk membagi, ada sisi komersilnya yang harus tetap berjalan, dan ada sisi dimana aku harus membenahi diri secara emosional, bagaimana caranya kembali manusiawi lagi.
Waktu awal membuat NKCTHI aku sama sekali tidak ada ekspektasi, hanya karena aku kangen berkarya dan ingin membuat sesuatu, ingin memberikan sesuatu. Setelah digarap ternyata bisa cepat dan kurang dari setahun dan bahkan sebelum buku rilis sudah ditawari film, tapi aku memberi pengertian kalau belum tentu buku ini akan betul-betul laku. Bisa jadi ini hanya euforia, karena ketenaran digital bisa sebegitu ekstrimnya. Kamu bisa terkenal dan viral satu hari dan besoknya semua sudah lupa. Tidak bisa memprediksi minat audiens digital untuk jadi penonton film waktu itu, terlalu prematur. Aku meminta waktu, biarkan aku melahirkan ini dulu dan setelah lahir, baru bisa melihat reaksi orang bagaimana. Penting lagi waktu itu adalah sebenarnya belum bisa ditentukan, dia akan jadi karya yang bagus dan layak dikembangkan jangka panjang atau tidak. Biarkan aku inkubasi dulu, itu juga yang aku bilang ke perusahaanku. Akhirnya rilis dan bersyukur responnya baik, ada sembilan PH yang menawarkan untuk membuat film, dan kembali ke perjalanan yang aku ceritakan tadi, mulai dari drained dan akhirnya berlanjut ke KTBB. Dan saat itu aku juga sudah belajar untuk membagi, ada sisi komersilnya yang harus tetap berjalan, dan ada sisi dimana aku harus membenahi diri secara emosional, bagaimana caranya kembali manusiawi lagi. Dan ya sudah, karyaku sekarang sudah berjalan dengan sendirinya dan sudah menemukan pola dimana aku berkarya dan tim aku yang menjaga. Aku berkarya, mereka yang membesarkan. Jadi aku sekarang sudah menemukan pola yang seperti itu.
Aku sengaja dalam cerita ini tidak buat plot tertentu, karena aku ingin kalau suatu hari karya ini akan diadopsi dalam bentuk lain, karya ini akan jadi cerita mereka juga.
Aku ingin karya itu menjadi karya kita, bukan hanya karyaku lagi sekarang.
Bicara soal film, aku memang harus memilih dari beberapa tawaran. Semuanya bagus, tapi aku mencari yang benar-benar satu visi dan misi NKCTHI ini. Dalam berkarya, buatku ada tiga jenis/kriteria, satu itu karya untuk mencari uang, kedua itu karya untuk diri sendiri, ya NKCTHI ini adalah karya yang seperti itu. Yang terakhir adalah karya untuk dampak sosial biasanya, karya yang tidak komersil tapi berdampak besar itu akan tetap dikerjakan. Niat awal dari NKCTHI adalah aku ingin membuat karya, terserah mau laku atau tidak, tapi dalam perjalanannya, ternyata NKCTHI malah sesuai dengan tiga jenis/kriteria itu tadi. Komersilnya dapat, dampaknya ada, hati aku juga terpenuhi. “Generasi 90an” juga sebenarnya iya, tapi kalau dia dampaknya lebih bersifat budaya populer, yang ini benar-benar mengena emosionalnya. Selama mengobrol dengan beberapa pihak, aku berusaha melihat bagaimana mereka menilai dan memposisikan aku. Apakah mereka melihat aku sebagai bagian dari esensi karya, atau bagaimana. Kemudian akhirnya memutuskan paling cocok dengan Visinema, dengan Mas Angga [Angga Dwimas Sasongko] dan Mbak Anggia [Anggia Kharisma]. Dari awal ketika aku membuat buku itu sudah ada bayangan memang, buku itu sebuah ruangan buatku, karyaku itu ruangan buatku. Di ruangan itu kira-kira nanti catnya warna apa, lagunya apa yang diputar, orang-orang di dalamnya seperti apa, menurutku itu semestanya. Nah ketika sedang mengobrol dengan Mas Angga, ternyata dia punya referensi-referensi yang sama denganku. Ketika menyebutkan nama pemeran misalnya untuk karakter Awan, di kepalaku itu sudah ada Rachel Amanda. Pada akhirnya aku merasa sekali kalau karya ini dibuat dengan sepenuh hati.
Dan ketika Mas Angga juga menyebutkan “Rachel Amanda, gimana?” aku langsung berpikir oke, berarti tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Selama mengobrol, aku bilang bahwa aku sengaja dalam cerita ini tidak aku buat plot tertentu, karena aku ingin kalau suatu hari karya ini akan diadopsi dalam bentuk lain, karya ini akan jadi cerita mereka juga. Kembali ke poin tadi, bahwa karya itu tidak boleh egois. Bisa saja kalau aku mau buat ceritanya, buat dialognya, tapi aku rasa tidak akan kemana-mana karyanya. Karyanya tidak akan sekaya itu. Kapasitas manusia ya segitu saja, bisa saja aku mau mengambil porsi sutradara, porsi produser dengan niat mau belajar, bisa, tapi aku merasa di titik aku sekarang ini aku harus memilih. Aku perlu fokus, apakah mau direktur kreatif atau penulisan buku. Naskah kan hal yang berbeda lagi, ada orang yang memang ahlinya menulis naskah. Disitulah aku belajar mengikhlaskan beberapa hal ke orang lain. Karena ego kan besar sekali, pasti ada terasa “itu kan karyaku, aku yang paling tahu ini benarnya seperti apa, ini besarnya nanti bagaimana,” dan akhirnya aku memutuskan bersama dengan orang yang aku pilih harusnya karena aku percaya kan. Percuma juga aku bekerja dengan mereka kalau misalkan sutradaranya nanti hanya jadi tukang untukku. Dia bukan pembuat karya kalau begitu. Inilah yang mau aku terapkan juga kepada karya-karya lainnya. Jadi dalam proses menyusun cerita aku hanya memastikan esensinya, bagiku yang penting bagian ini dan ini, sisanya aku ingin kamu kembangkan, aku ingin karya itu menjadi karya kita, bukan hanya karyaku lagi sekarang. Akhirnya aku dan tim Visinema bersama-sama mencari lewat workshop, jalan ke Bali, meditasi dan macam-macam, mencari apa cerita yang ingin disampaikan, apa kebutuhan manusia yang dekat, apa yang kita rasakan sebenarnya, dan bagaimana kita menyampaikan solusinya lewat film. Kalau NKCTHI sebelumnya mengobati lewat buku, kali ini lewat film. Pada akhirnya aku merasa sekali kalau karya ini dibuat dengan sepenuh hati. Memang tidak berbohong, kalau membuat karya yang hanya untuk uangnya itu berbeda sekali dengan yang ini. Yang ini mau laku atau tidak, yang penting sudah tersampaikan karyanya. Mas Angga juga bilang, film ini juga menjadi pesan dia untuk anaknya, kembali ke pesan besar di awal karena ternyata semua orang punya kegelisahan itu, apa yang ingin dia sampaikan di masa depan.
Dari semua cerita yang aku terima, semua orang itu korban di ceritanya masing-masing.
Bahasan tentang kesehatan mental memang sedang marak di dunia maya, dan nampaknya NKCTHI adalah salah satunya. Adakah tanggapan Anda tentang viralnya isu kesehatan mental di media sosial saat ini?
Kalau aku melihat sekitar setahun terakhir, banyak cerita yang aku terima dan benang merah yang aku temukan ada beberapa. Pertama, tekanan media sosial. Banyak cerita yang aku terima tentang itu, sebenarnya bahwa hidup orang itu sedih. Dari semua cerita yang aku terima, semua orang itu korban di ceritanya masing-masing. Mereka bercerita dengan cara mereka, dari sudut pandang mereka. Bahkan sampai yang terjahat dalam arti dia abusif, dia itu korban dari situasi dia sebelumnya. “Dulu aku diginiin, jadi sekarang aku begini.” Dan kita semua, para korban ini jadi saling membandingkan di level permukaan, karena di media sosial kan cenderung yang ditampilkan hanya sampai di permukaan saja. Itulah yang membuat kita tertekan secara emosional, karena kita hanya membandingkan dari apa yang kita lihat dan bukan apa yang kita rasakan. Itu adalah dua hal yang berbeda ya, membandingkannya tidak bisa apple to apple. Kamu mau membandingkan hidupmu dengan apa yang kamu lihat, jelas langsung jadi tertekan, itulah yang menurutku terjadi di zaman sekarang. Efeknya jadi menyalahkan diri sendiri, merasa gagal, merasa paling sedih dan kesepian. Solusi yang ditawarkan oleh NKCTHI, kami menjadi platform yang mengangkat kesedihan orang. Bukan menjual kesedihannya, tapi mengangkatnya, karena pada akhirnya kesedihan itu milik semua orang, bahwa sedih itu hal yang lumrah.
Bukan menjual kesedihannya, tapi mengangkatnya karena pada akhirnya kesedihan itu milik semua orang, bahwa sedih itu hal yang lumrah. Yang mau disampaikan adalah supaya kita sama-sama sadar, ternyata tidak apa-apa merasa sedih, tidak apa-apa marah, tidak apa-apa gagal. Dalam kenyataannya, tidak semua orang beruntung punya teman cerita, tidak semua beruntung bisa didengarkan, tidak semua beruntung bisa mendapatkan kisah-kisah lain. Ada orang yang memang egois saja, berkeras dengan perasaan dirinya sendiri, padahal kita perlu tahu bahwa hidup itu banyak bubble-nya, kita berada di lingkaran kita masing-masing. Ibaratnya ketika kamu mengikuti satu influencer, aku, aku merasa semua orang suka aku, ya jelas karena itu followers-ku semua. Coba kalau aku berada di lingkaran yang berbeda, pasti tidak semua orang suka aku pada kenyataannya. Bukuku terkenal hanya bagi yang kenal saja. Efeknya jadi yang tinggi membesar kepalanya, yang rendah mengecilkan dirinya. Jaraknya jadi membesar, dan menurutku yang dibutuhkan adalah balance saja, kita hanya butuh keseimbangan untuk menyadari ada apa saja, aku adanya ini dan itu apa-apa, yang belum ada bisa aku usahakan. NKCTHI menawarkan berbagai sudut pandang dari cerita-cerita yang dikumpulkan, dan disini ada kesimpulannya. Sebenarnya kadang kesedihan tidak sepahit itu, tapi kita sendiri yang memperumit hal-hal.
Self diagnosis menjadi tren.
Selain itu, saat isu kesehatan mental diangkat lebih jauh, seperti ada film Joker dan lain sebagainya, self diagnosis menjadi tren. Kalau untukku sendiri sebenarnya aku tidak mau menyentuh ranah itu, karena menurutku menjadi serba salah. Bisa dibilang kalau dalam akunku pribadi dan akun NKCTHI kalau aku memilih cari aman. Ada beberapa orang yang merasa untuk bisa terkenal mereka harus bermain di antara garis, aku sering sekali melihat teman-teman di industri seperti ini, karena memang persaingannya ketat ya. Aku memilih bermain aman, dalam arti sebenarnya kalau aku mau membahas misalkan depresi itu tinggi sekali traffic-nya, tapi memang tidak aku bahas karena aku tidak tahu siapa pasarku. Misalkan aku mau membahas tentang bunuh diri, untuk orang yang benar-benar sakit, bisa jadi malah menginspirasi dia. Untuk orang yang hanya cari perhatian, bisa jadi memvalidasi dia. Untuk orang yang tidak ada apa-apa, dia bisa menjadi sinis. Jadi banyak sekali resikonya, aku harus sangat berhati-hati dan kalau bukan ahlinya tidak bisa. Kalau ada acara bertemakan kesehatan mental dan mengajak aku sebagai pembicara, aku selalu menolak. Karena jawabanku hanya akan menjadi “menurut aku,” begitu. Hanya dari sudut pandangku, dan menurutku tidak bisa begitu. Ini adalah penyakit, tidak bisa dijawab dengan “menurut aku,” seperti itu. Harus sekolah dulu, baru bisa berkomentar. Meskipun misalkan ada yang pernah aku alami, tetap saja tidak bisa kujawab karena berbeda kasusnya, tidak bisa disamakan begitu saja. Itulah yang sangat aku jaga, aku selalu bilang jangan percaya denganku karena aku bukan ahlinya. Mungkin aku lahir di dunia untuk menjadi healer, tapi mungkin aku hanya bisa memberi dalam bentuk kata, tidak bisa dalam hal yang lebih konkrit. Aku takut kalau sampai disitu dan tidak tahu aku sedang bicara dengan siapa, sementara isi media sosial kan sebegitu mudahnya diserap. Jadi aku punya tanggung jawab seperti itu, tidak bisa secara gamblang membahas isu-isu kesehatan mental. Aku hanya bisa mensosialisasikan kalau misalkan ada apa-apa bisa menghubungi ke nomor-nomor ini, sampai disitu saja. Beberapa cerita yang pernah sampai ke aku, ada yang dia ingin bunuh diri dan aku jawab “aku tidak bisa bantu kamu karena aku bukan ahlinya, tapi aku mungkin bisa mendengarkan kamu,”. Kebetulan orang ini tinggal di luar negeri, waktu itu dia sampai sudah beli senjata dan benar-benar minta tolong aku karena dia kebingungan mau bagaimana. Ya sudah, aku minta dia bercerita dulu, aku minta dia menghubungi call center disana. Dia merasa mereka tidak membantu, dan akhirnya aku ajak dia bercerita lagi. “Apa yang paling kamu takutkan?” “Aku sedang sekolah S3, aku pulang nanti keluargaku berharap aku menjadi sesuatu, sedangkan aku bukan siapa-siapa.” Aku ajak dia bercerita terus, sampai akhirnya dia selesai mengeluarkan semuanya. Aku minta dia keluar rumah, cari makan, simpan senjata di tempat aman atau bahkan buang. Kalau aku harus berkomentar tentang kesehatan mental, aku mau bilang, coba dengarkan orang-orang disekitarmu.
Hal-hal seperti itu saja yang bisa aku tawarkan, jadi misalkan kalau aku harus berkomentar tentang kesehatan mental, aku mau bilang coba dengarkan orang-orang disekitarmu. Tidak harus berharap menyelamatkan seisi dunia, tapi mungkin ayah ibu kamu, kakak adik kamu, sahabat, atau seseorang yang kamu kenal tapi sepertinya tidak punya teman. Tidak perlu seisi dunia, tapi pasti ada di sekitar yang bisa kamu dengarkan dan bahkan selamatkan. Memang kesehatan mental serumit itu, dan kalau mendalaminya terlalu jauh bagiku yang tidak punya fondasinya, bisa jadi berbalik secara negatif ke diriku sendiri.
Bisa dilihat dari respon publik, kebanyakan merasa terbantu secara emosional oleh konten-konten Anda. Sebagai sosok yang tidak menggeluti bidang kesehatan mental baik secara akademis/profesional, adakah tanggapan Anda tentang umpan balik ini?
Responnya baik sekali, itu membuat aku yang tadinya senang dan senang terus sampai ke fase takut, seakan terasa kok jadi berlebihan sekali ya. Setiap hari ada saja orang yang cerita “aku selamat karena kamu,” “akhirnya Ibu peluk aku lagi karena ceritamu,” “akhirnya aku merantau.” Banyak hal besar yang dilakukan orang-orang setelah baca NKCTHI, dan bagiku malah seperti wah, aku tidak sehebat itu untuk bisa mengubah hidup orang. Dan mungkin karena pada dasarnya aku tidak ambisius, mungkin kalau memang aku berambisi besar itu akan menjadi lebih besar, itu akan jadi bahan bakar. Aku tidak tahu apakah aku introvert atau ekstrovert, tapi aku merasa sebenarnya tidak segitunya lho, malah jadi agak mundur setelah menerima itu. Aku bilang jangan, tidak boleh segitunya dengan [NKCTHI]. Disitulah kemudian aku berpikir mungkin perlu membuat karya penyeimbang. Jarak antara dua karya itu dekat sekali, setelah NKCTHI keluar mungkin hanya sebulan setelahnya aku mengumumkan KTBB. Bagi orang disekitarku mungkin terlihat gila, aku yang sudah capek malah mau membuat lagi. Tapi tidak apa-apa, karena aku ingin menetralisir, dalam arti aku sendiri sebagai pembuat tidak ingin membuat ekspektasi orang untuk hanya melihat yang tenang saja, yang damai saja. Tidak segitunya kok, sama saja kita semua.
Adakah tekanan/tuntutan tersendiri yang dirasakan dalam proses membuat konten yang mengena, dan bagaimana Anda menanggapinya?
Pasti ada. Kita semua berproses, sampai jadi yang kata orang sukses pun berproses, ketika orang sudah berkomentar “kamu enak ya, bukumu laku,” itu pun harus berproses. Mulai dari aku datang ke suatu acara yang tidak ditonton siapa-siapa sampai aku datang ramai sekali, aku selalu beradaptasi. Mungkin kalau aku punya mental untuk angkuh itu mudah sekali, tidak pernah aku membayangkan sampai di titik ini. Apa yang aku lakukan, aku akhirnya berproses, aku senang ada yang suka, itu sebenarnya titik yang terasa saat buku aku sudah rilis di toko buku. Malam sebelumnya aku deg-degan sekali, itu adalah momen dari sesuatu yang awalnya punyaku jadi punya banyak orang. Aku bukan ketakutan tidak laku, lebih ke nanti apa ya kata orang? Ternyata banyak yang antri, dalam beberapa jam buku sudah habis. Senang sekali sudah laku, tapi terus takut karena kok ternyata banyak yang responnya marah karena kehabisan. “Ah ini tipu-tipu ya, bukunya tidak ada!” “aku tidak mau sekolah lagi, tidak dapat bukunya.” Dari yang tadinya positif, tiba-tiba isi media sosialku negatif semua, mulai dari akun pribadi sampai ke nomor manajerku kena, isinya kemarahan semua. “NKCTHI yang tadinya bangkitkan aku, malah jadi begini.” Berarti sebegitunya mereka sayangnya dengan ini, kalau tidak sayang kan tidak akan marah, tidak akan peduli. Aku pernah melihat karya teman-temanku laku, tapi belum pernah ada di posisi ini sendiri. Disitu aku memproses dan sempat ada denial, aku tidak mau terkenal karena karyaku, aku benar-benar mau membuat karya saja. Sebelum karya ini rilis, memang sudah ada feeling kalau ini akan menjadi sesuatu yang besar karena memang ada respon di media sosial. Saat itu aku bilang ke manajerku, bagaimanapun nanti karya ini, ingatkan aku untuk tetap menjejak ke bumi ya. Karena yang susah untuk pembuat karya itu adalah untuk tetap menjejak, tetap menjejak agar bisa membuat karya yang menjejak juga. Mungkin aku bisa marah dan capek, tapi jangan bosan-bosan mengingatkan itu. Memang gampang sekali menjadi sombong, dan akhirnya aku memutuskan untuk umroh. Memutari ka’bah, dan disitu aku merasa kecil sekali ya jadi manusia, tidak bisa sebesar itu. Di tempat itu tidak ada yang tahu aku, tidak ada yang tahu bukuku, sama saja bajuku dengan yang lain, terasa kecil sekali aku diantara hal ini. Kemudian aku merasa lebih netral, dan pelan-pelan merangkul yang tadinya disangkal. Yang tadinya terus-terusan tidak mau, itu melelahkan buatku. Akhirnya aku embrace, bersyukur orang banyak suka, apa yang bisa aku lakukan lagi? Akhirnya dilakukan di KTBB, buku yang aku terbitkan sendiri dan distribusinya di toko buku-toko buku kecil. Itu buatku adalah salah satu cara untukku merangkul lebih banyak. Salah satu tujuanku dulu adalah untuk membuat toko buku ramai lagi, itu sudah tercapai. Terus menyimpulkan, berarti orang mau ya ke toko buku, mau ya beli buku dimanapun itu. Kalau begitu apa yang bisa aku lakukan? Oh mau membuat toko buku yang kecil-kecil ramai juga, supaya mereka bisa hidup. Dari aku menerima yang aku punya, aku bisa geser kemana supaya bisa jadi berkah bagi banyak daripada jadi keangkuhan saja. Aku akhirnya belajar menerima kondisi dari yang bukan siapa-siapa sampai bukuku dikenal, itu aku beradaptasi dan berproses, apa yang bisa aku manfaatkan dari kondisi ini.
Banyaknya konten yang membahas kesehatan mental memunculkan tren “terapi gratis” di sosial media. Apakah menurut Anda konten-konten Anda memiliki andil/posisi dalam fenomena ini?
Mungkin untuk orang yang sedang tidak mengalami apa-apa, baca NKCTHI baginya ya sudah, kumpulan tulisan saja.
Katanya begitu, tapi aku sendiri tidak berani melabelkan tapi memang kata orang begitu. Dan akhirnya aku lebih menyarankan, misalkan saat tur itu paling sentimental buatku, karena orang-orang cerita langsung denganku, mereka berterima kasih langsung. Ternyata ini jadi healing ya untuk mereka, cara untuk menenangkan. Mungkin bukan menyembuhkan, tapi menenangkan. Oh ternyata ini jadi sarana terapi ya bagi mereka. Akhirnya aku sampai di posisi yang lebih memilih menyarankan kepada orang, misalkan ada teman yang bilang “Chel, temanku kondisinya seperti ini nih,” oke, mungkin bisa dicoba baca NKCTHI. Coba saja. Karena mungkin untuk orang yang sedang tidak mengalami apa-apa, baca NKCTHI baginya ya sudah, kumpulan tulisan saja. Ada cerita, seseorang waktu beli buku itu dia merasa kecewa, sudah berebut ternyata hasilnya begini saja. Semenjak itu bukunya dia taruh saja diatas meja. Lewat beberapa bulan, dia sedang ada di kondisi mencari kerja berbulan-bulan tidak diterima, berada di titik terendahnya. Dia merasa tidak punya apa-apa, lalu melihat buku itu. Dia baca lagi, kemudian bilang “gila, kenapa lebih terasa sekarang ya?” Aku tidak tahu hal-hal magis apa yang terjadi, cuma yang aku bisa tahu sepertinya itu memang hal yang dititipkan Pencipta ke aku. Kalimat-kalimat itu menjadi medium untuk menyampaikan pesan yang aku rasa ke lebih banyak orang. Kalau aku melabeli itu sebagai terapi aku tidak berani, tapi kalau memang ada manfaatnya untuk orang dan kebetulan dia memakainya sebagai itu, ya aku bisa menyarankan orang sejauh itu. Tidak mau melabeli yang bagaimana-bagaimana, ya sudah aku membuat buku saja, orang mau menjadikan itu apa ya itu hak mereka setelah membeli karyaku.
Gelasku harus penuh untuk bisa menuangkan ke orang lain.
Apakah mungkin malah jadi ada ketertarikan untuk benar-benar masuk ke dunia kesehatan mental, misal lewat kolaborasi dengan psikolog atau bagaimana?
Kalau sekarang, sampai tahun ini aku masih hanya menyarankan saja. Banyak yang menawarkan, mengingatkan harus ada psikolog dan lain sebagainya, aku tidak mau ke ranah tersebut sebenarnya. Belum mau seserius itu, karena sekali lagi itu resikonya besar sekali untuk di-blast di media sosial. Kalau sekadar mengingatkan dan menyarankan tidak apa-apa, tapi begitu ada tenaga ahli kan berarti sudah bergeser menjadi benar-benar mencari solusi, mencari sesuatu yang lebih mendalam dan konkrit. Aku lebih memilih untuk mengarahkan ke yayasan, atau orang-orang yang sudah membuat organisasi spesifik untuk menyembuhkan. Aku memilih untuk menyarankan mereka kesana, tapi aku sampai sekarang aku sendiri masih mau fokus untuk jadi medium bercerita saja. Jangan berekspektasi untuk masalah kamu diselesaikan disini, karena tanggung jawabnya akan besar sekali. Kedepannya mungkin saja, mungkin ada hal lain yang dengan nama baru yang khusus untuk membantu teman-teman yang sedang menghadapi hal-hal tertentu. Tapi kalau sekarang masih ingin membuat yang senyaman mungkin untuk aku sendiri setidaknya, karena efeknya tidak hanya untuk kebaikan orang lain tapi aku percaya harus untuk aku juga. Gelasku harus penuh untuk bisa menuangkan ke orang lain. Kalau ada bentuk yang nyaman yang bisa diterapkan ke NKCTHI, mungkin bisa saja.
Kepada mereka yang ingin mengikuti jejak Anda sebagai penulis/pembuat konten sejenis, adakah yang ingin disampaikan?
Apa yang kita punya, itu pasti ada speciality-nya tersendiri, karena kepekaan orang berbeda-beda.
Jangan jadi seperti aku, karena aku cuma satu [tertawa]. Beri semaksimal mungkin apa yang kamu bisa, terutama dalam berkarya. Apa yang kita punya, itu pasti ada speciality-nya tersendiri, karena kepekaan orang berbeda-beda. Dia pekanya dimana, aku pekanya disini. Secara tidak sadar bisa sedikit banyak merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan bercerita, itu kelebihan yang dikasih ke aku, dan sementara setiap orang punya kelebihannya masing-masing, caranya tidak perlu sama dengan NKCTHI. Apapun yang mereka punya dan mereka dapat berkahnya, itu yang harus dimaksimalkan untuk jadi bermanfaat untuk orang lain.
Buat diri sendiri merasa cukup, baru bisa jadi manfaat untuk orang lain.
Menurut seorang Marchella F.P., apa definisi dari konten yang bermakna/bermanfaat?
Kalau tentang membuat konten, tidak usah dulu memikirkan untuk jadi dampak, setidaknya berpikir untuk diri sendiri dulu. Buat diri sendiri merasa cukup, baru bisa jadi manfaat untuk orang lain. Itu bisa dimulai dari concern pribadi kita apa, seperti yang aku lakukan di NKCTHI dan “Generasi 90an”. Aku tidak mencari-cari di luar sedang butuh apa, aku mencari di dalam aku butuhnya apa. Dari situ aku berangkat, karena benang merahnya dari masalah pribadi aku memang. Apa yang aku alami, apa yang aku lihat. Kalau mencari di industri sedang maunya apa, trennya apa, lalu ikut-ikutan tapi ketika akhirnya dijalani ternyata itu bukan kita. Ya jangan, untuk apa? Kalau memang ada kebutuhan ke situ, ya silakan, cuma lelah pasti. Menjadi sesuatu yang bukan diri kita itu lelah pasti. Dan untuk tahu kita bagaimana karakternya, ya memang harus trial and error, berproses tergantung fase-fase hidup. SD, SMP, SMA, begitu 30-an keatas sudah harus mulai memilih, mengerucut dalam apa yang ingin dia coba, sudah tidak bisa lagi ingin mengambil semuanya. Untuk yang masih remaja, memang harus mencoba dulu, kalau memang mengerjakan ini lama, capek, lembur, tidak apa-apa karena memang penasaran mengerjakan ini kan. Harus dimulai dan dicoba.