Memahami Puisi Hari Ini dan Perkembangannya di Indonesia Bersama Adimas Immanuel
Berbincang dengan Adimas Immanuel tentang proses dalam menulis puisi, puisi kontemporer dan perkembangannya di Indonesia hari ini
Words by Whiteboard Journal
Teks: Kevina Graciela
Foto: Ardi Widja
Puisi merupakan salah satu hal yang digemari di kalangan anak zaman sekarang. Namun hari ini semakin banyaknya ruang, tempat, dan bentuk dalam berpuisi, konsep puisi pun berubah – tak lagi seperti puisi ala Chairil Anwar. Salah satu penyair muda yang perlu disimak adalah Adimas Immanuel yang hadir meramaikan dunia sastra Indonesia lewat puisi-puisi tentang hal-hal yang ada di dekatnya. Pada kesempatan kali ini Whiteboard Journal mengajak Adimas membicarakan tentang puisi dan perkembangannya di Indonesia pada saat ini.
Mengawali pendidikan kuliah di bidang ekonomi, apa yang akhirnya membuat Anda tertarik di dunia literasi terutama puisi?
Saya lahir dari keluarga yang kebetulan dekat dengan literasi. Bapak saya dramawan, dramawan maksudnya bukan tukang drama ya, tetapi orang teater. Nah, ketika dia berusaha men-direct sebuah teater, itu kan dia punya naskahnya, nah naskah itu yang selama saya kecil ada tersebar di rumah. Saya sering membaca itu semua. Tapi saya kan nggak ngerti. Nah, perlahan lambat laun saya ngerti, ternyata menarik juga ya ada dialog dan tokoh. Terkadang di rumah ada salah satu cerpen, beberapa penulis Indonesia yang hebat lah, cerpen-cerpennya Danarto dan Budidarma, dari banyak membaca cerpen saya merasa kok ada dunia yang menarik ya?
Dari sana sebenarnya awal perkenalan dengan sastra. Setelah SMP, ada mata pelajaran bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh penulis yang ada puisinya paling hanya Sapardi dan Sutardji Calzoum Bachri. Jadi saya hanya bisa lihat, “Kok ada ya, orang bisa berpuisi?” Menulis kata-kata yang indah tapi kata-katanya tidak dipakai di kehidupan sehari-hari. Dari situ akhirnya masuk, sesekali buat puisi kalau patah hati. Ya, standar ABG lah. Jadi seiring berjalannya waktu, menemukan kecintaan di menulis, tapi saya tidak berkomunitas jadi saya kirim ke koran saja. Hubungan dengan ekonomi tidak ada, ya namanya orang kuliah itu seperti punya dua dunia. Satu ekonomi yang nantinya akan berimplikasi kepada pekerjaan, satunya tulis menulis. Jadi day job-nya apa dan night job-nya apa.
Dalam proses kreatif, apa yang biasa Anda lakukan sebelum menulis puisi?
Saya percaya semua orang punya keresahan, punya sesuatu yang ingin dibahas.
Ada banyak cara. Antara research atau pengalaman empiris. Kalau konteksnya puisi ya misalnya. Entah kenapa saya percaya semua orang punya keresahan, punya sesuatu yang dia ingin bahas. Yang jadi concern kalau anak sekarang, yang dekat sama dia dan dia ingin menyuarakan itu. Awalnya saya mencari itu dulu. Saya tidak pernah menulis sesuatu yang jauh, pasti selalu yang dekat. Seperti kalau kalian baca ‘Pelesir Mimpi’ (2013) misalnya. Itu tuh selalu tentang hubungan saya dengan ayah dan ibu. Terus membahas budaya misalnya karena latar belakang saya dari Solo, ya semua selalu tentang adat istiadat. Lalu contohnya benda-benda di sekitar. Benda- benda mati saja di sekitar seperti ada kulkas, sepatu, lemari, ada nasi. Lalu ‘Di Hadapan Rahasia’ (2016), referensi saya dari masa kecil. Mulai dari game, karena saya main game. Lalu musik, kebetulan saya sempat les klasik beberapa bulan dan suka. Kalau ada dua orang di dunia, generalist dan specialist, saya itu generalist. Saya jenis orang yang seperti itu, entah kenapa sedikit banyak membantu tapi juga menyusahkan. Menyusahkannya dalam arti banyak kebingungan. Lihat ini itu suka, tapi ya semua hal-hal yang impulsif itu akhirnya tidak saya sesali tapi saya tarik dari sini, saya bisa dapat apa? Hubungannya dengan proses kreatif adalah saya mencari apa yang saya senangi, terus saya menulisnya.
Penulis itu giving a voice to the voiceless.
Yang terakhir sebagai contoh ‘Karena Cinta Kuat Seperti Maut’ (2018) itu pergumulan pribadi saja. Tentang keyakinan, tentang religiusitas, sesuatu yang dekat dengan banyak orang tapi kadang berjarak, kadang bingung, kadang mempertanyakan. Jadi sebisa mungkin berusaha tidak jauh-jauh dari diri saya sendiri, biar orang juga mengerti atau merasakan itu di sisi puisi. Kalau di cerpen kisah sehari-hari saya percaya penulis itu giving a voice to the voiceless. Yang tidak punya suara untuk menyampaikan ceritanya, saya berusaha untuk menulis cerita orang-orang itu.
Saya percaya kitab suci apapun agamanya adalah bagian dari karya sastra.
Banyak puisi Anda yang menggunakan tafsiran dari kitab suci dan tokoh-tokoh rohani seperti “Henokh” dalam Alkitab. Apa yang Anda lihat dalam dunia literasi kitab, yang akhirnya menjadi inspirasi menulis?
Saya percaya kitab suci apapun agamanya adalah bagian dari karya sastra. Bentuk narasi juga, ada storytelling di sana. Saya merasa bahwa kita besar dengan banyak cerita tapi kadang kita tidak berusaha untuk melihat lebih dalam, apakah hanya dari satu perspektif atau dari perspektif lain. ‘Henokh’ ditulis oleh siapa, misalnya. Sosok si Henokh itu hidup dalam perspektif si penulis. Tapi Henokh tidak pernah menyampaikan apa yang dia mau tulis, karena dia bukan penulisnya. Nah, saya bukan ingin menjadi Henokh. Itu tidak akan pernah bisa. Tapi setidaknya saya juga punya penilaian karena ketika penulis ini menulis ,ya itu terlepas dari kuasa ilahi ya, bahwa penulis ini sudah ditunjuk Tuhan itu urusan lain.
Tapi saya merasa bahwa setiap orang berhak menafsirkan sesuatu, berangkat dari situ. Saya boleh tidak menafsirkan ini? Dengan cara begini,bisa tidak saya mengambil suara Henokh ini? Atau menceritakan kisah hidupnya dan membuatnya jadi begini. Nah itu yang saya lakukan di ‘Karena Cinta Kuat Seperti Maut’ (2018). Sebenarnya yang ada di dalam buku itu merupakan tokoh Alkitab tetapi profesinya saya ubah. Misalnya, pelaut atau petualang. Karena saya ingin orang itu membaca dari berbagai angle. Jadi kalau tidak punya background rohani, bisa mengerti. Tanpa perlu berpusing-pusing ini apa. Essence nya ada “ohh tentang cinta sang petualang begini!”. Tapi kalau punya pendekatan rohani, kamu malah bisa baca dari diksinya misalnya di salah satu petualang dikisahkan “Saya akan memberimu siang dan malam” atau “Madu dan belalang”. Itu kan kalau ditelusuri lebih jauh, orang yang makan madu dan belalang di Alkitab salah satunya Yohanes Pembaptis. Pengkhianat ya tidak usah dibicarakan siapa yang pengkhianat, tentang Nuh, Adam manusia pertama, kisah tentang anak-anak sulung. Jadi intinya semua itu metaforik.
Anda merupakan seorang yang juga aktif di Twitter, bagaimana tanggapan Anda dengan budaya menulis terkhusus di sosial media. Apakah ini mengubah perspektif anda untuk menulis buku?
Seiring era teknologi berkembang, orang jadi malas melakukan hal yang produktif.
Twitter itu malah menjadi jembatan saya untuk menulis.
Lebih tepatnya membantu dalam hal yang baik. Kenapa? Karena seiring era teknologi berkembang, orang jadi malas melakukan hal yang produktif. Sehari saja kita main gadget, main media sosial, mulai dari baca berita sampai ngomel, nge-bully orang, atau ngomel-ngomel karena pemerintahan tidak jelas. Itu saja sudah berapa jam. Nah itu yang memangkas waktu kita untuk menulis, waktu kita untuk menggambar, atau fotografi misalnya. Nah, Twitter itu menolong saya untuk berlatih menulis pendek dan kalau konteksnya puisi memilih kata-kata yang efektif seperti apa. Kadang, ada waktu ketika saya menulis sesuatu yang poetic, saya sebenarnya saya baru sadar “Oh itu kalimat yang menarik, saya coba ah jadikan puisi”. Jadi sebenarnya Twitter itu malah menjadi jembatan saya untuk menulis. Sangat membantu sih, jadi istilahnya kalau tidak punya inspirasi terus liat-liat tweet yang lama, “Oh! Ini menarik untuk jadi suatu cerita entah itu cerpen atau puisi” Tapi kalau pengaruh buruknya, jadi malas nulis saja, waktunya terpangkas. Soal perbedaan? Ya jelas beda. Twitter itu tempat ‘nyampah’ untuk saya, tempat bermain-main, mau ngomel, bercanda, atau nulis-nulis tidak jelas. Kalau di tulisan saya kebetulan masih ada serius kan, jadi saya agak kesusahan membuat tulisan saya agak bercanda. Tapi sekarang, saya mencoba menantang diri saya sendiri. Bisa tidak persona saya yang tidak seserius itu ketika menulis saya masukkan sisi humornya? Saya terbuka sih sama banyak bentuk.
Dengan perkembangan zaman maka muncul banyak kata-kata baru, sebagai penulis apakah anda selalu memperkaya diri dengan kata-kata baru sebagai referensi menulis?
Iya, harus. Tapi sebenarnya kalau saya pribadi,saya pernah melewati fase buka-buka kamus untuk mencari kata-kata yang menarik. Terus karena sekarang eranya digital kamus kata, arti kata website-website sinonim atau antonim itu banyak sekali. Itu menarik untuk kita main akrobat kata. Tapi pertanyaan saya berikutnya yang membuat saya berpikir juga, seberapa penting kita berakrobat kalau messagenya tidak sampai? Jadi jatuhnya berbagai macam pilihan diksi itu hanya untuk variasi saja, memperkaya diri tapi ketika kita menulis kita harus memfilter lagi. Itu umpamanya seperti kita pakai baju ketika yang lain memilih pakai kaos saja, kita memilih seperti diva. Mau pakai baju yang keren, dress contohnya. Tapi problem-nya adalah, itu momen yang tepat tidak kita pakai dress? Kalau momennya ternyata hanya beli nasi ke warteg ngapain pake dress bagus? Bagaimana memproporsionalkan kata, maknanya sampai atau tidak.
Anda juga terkenal dengan puisi-puisi cinta yang puitis di kalangan millennials. Melihat fenomena di era sekarang banyak anak zaman sekarang yang mendefinisikan dirinya sebagai “puitis” lewat pepatah-pepatah yang dibuat. Bagaimana Anda sebagai penulis melihat fenomena ini?
Itu selalu jadi perdebatan di kancah sastra juga. Sastra populer namanya, sama sastra serius. Kalau di dunia barat, yang namanya sastra itu semuanya literatur. Tidak ada tuh namanya serious literature sama popular literature. Tapi kalau di Indonesia, selalu ada sosok yang merasa dirinya penting dan serius. Di sisi lain selalu ada sosok-sosok yang dianggap “Ah kamu nulis gitu doang, itu bukan sastra”. Kalau saya pribadi, mengingatkan diri sendiri bahwa apapun itu bentuk tulisannya, mereka juga bagian dari tradisi sastra Indonesia. Dari dulu sastra juga bentuknya berubah. Mulai dari bentuknya pantun atau gurindam. Chairil Anwar dengan kata-katanya yang lebih lugas, sementara W.S. Rendra yang kuat sajak penuh sindiran sosial dalam bentuk puisi pamflet, dan Widji Thukul yang puisinya dekat dengan perjuangan kaum marjinal yang berpengaruh kuat di era reformasi… dst. Sampai di era cyber sastra, sebagai contoh instapoet, puisi-puisi pendek, puisi-puisi yang nyerangnya mood, vibe serta didesain dengan visual yang sangat eye catching dengan warna-warna yang soft .
Tapi maksud saya, itu semua bagian dari proses. Saya tidak ingin berusaha untuk menganggap “Oh ini populer, ini serius”. Saya hanya merasa bahwa itu bagian dari tradisi sastra Indonesia dan kalau kalian lihat festival sastra, itu sudah mulai mempertemukan penulis serius dengan penulis populer. Kenapa begitu, supaya intellectual snobbery nya hilang, jadi bisa belajar sama-sama. Saya tanggapannya terbuka, dan belajar dari orang-orang ini.
Apakah Anda punya pendekatan khusus agar puisi Anda dapat dimengerti semua orang?
Saya hanya ingat omongan pak Sapardi, bahwa tulisan itu harus diperlakukan seperti sebuah ruangan. Boleh gelap, tapi kalau bisa kamu sediakan jendela kecil sedikit untuk mengintip.
Tidak ada strategi khusus sebenarnya. Saya hanya menulis apa yang ada. Saya mencoba membayangkan ketika saya selesai menulis, saya tarik beberapa menit atau jam untuk membaca. Ini kira-kira orang kalau baca ini mengerti atau tidak. Lalu kalau misalnya saya tidak yakin, “Oh ini kayaknya orang gak ngerti nih” saya cari first reader. Misalnya bisa teman atau sahabat. Saya tanya, “Senggang tidak? baca dong.” Ya, awal-awal malu waktu tapi sekarang sudah bodo amat. Saya tidak punya strategi, saya hanya ingat omongan pak Sapardi, bahwa tulisan itu harus diperlakukan seperti sebuah ruangan. Boleh gelap, tapi kalau bisa kamu sediakan jendela kecil sedikit untuk mengintip. Itu sih, jadi mau sesulit apapun kata-katanya, mau sesulit apapun bentuk puisinya, sebisa mungkin sisipkan satu atau dua referensi interteks atau alusi yang bisa buat orang “Oh ini maksudnya”.
Sekarang puisi dirayakan bukan hanya sebagai karya sastra tetapi sebagai pertunjukan
Bagaimana tanggapan Anda mengenai perkembangan puisi kontemporer di satu tahun terakhir?
Saya rasa puisi itu satu hal yang malah tidak saya sangka akan seperti sekarang. Karena sebelum era internet ini penikmatnya sangat sedikit dibanding prosa atau novel dan cerpen. Nah sekarang, puisi dirayakan bukan hanya sebagai karya sastra tetapi sebagai pertunjukan seperti baca puisi, musikalisasi puisi, atau sebagai sarana untuk healing, meditasi, dan berkomunitas – orang-orang berkumpul dengan kesenangannya. Saya melihat puisi seperti menemukan rumahnya, jalannya untuk punya arti di hati setiap orang. Puisi punya banyak tempat, semakin kesini orang semakin sadar pentingnya puisi dan tidak perlu semua orang jadi penulis. Ada yang hanya jadi pembaca, ada yang hanya mengekspresikan itu dalam lagu. Ini kan era kolaborasi, era dunia tidak punya limit dan border. Semua orang bisa berkolaborasi membuat puisi yang tadinya hanya sekedar teks menjadi apapun.
Bagaimana peran festival literasi seperti Asian Literary Festival, Ubud Writers & Readers Festival dengan perkembangan literasi di Indonesia?
Tentu. Contoh sederhana Makassar Writers itu mereka punya program penulis Indonesia Timur, artinya menggali suara-suara dari Indonesia Timur. Keren sekali, ketika penulis itu tidak hanya datang dari satu tempat misalnya Jawa atau Sumatera tapi juga dari Indonesia Timur, yang selama ini kan sebenarnya narasi selalu soal Jakarta, selalu soal Jawa, selalu soal Sumatera. Tapi tidak pernah kita mendengar soal kebudayaan Nusa Tenggara Timur, keyakinan macam atau adat istiadat macam apa. Atau mungkin orang Maluku, Banggai, Luwuk dan Bugis misalnya. Ketika penulis dari sana bermunculan, wah luar biasa sekali. Kekayaan narasi, kekayaan ceritanya tuh luar biasa. Serta guna festival-festival itu ya semacam scouting, untuk menangkap potensi-potensi yang belum tergali. Puisi dan tulisan itu dirayakan. Bagi penulis itu penting untuk berkomunitas, untuk tahu updates satu sama lain. Untuk menjadi kompetisi yang sehat dalam menulis. Bagi perkembangan sastra tentu mendapatkan banyak hal. Mulai yang dari sifatnya sastra itu bisa bertemu penulis. Untuk pariwisata juga pasti ada pengaruhnya.
Setelah merilis 5 buku, Empat Cangkir Kenangan (2012), Pelesir Mimpi (2013), Di Hadapan Rahasia (2016), dan Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali (2016), Karena Cinta Kuat Seperti Maut (2018), Selfie(SH) (2019). Apa rencana Anda untuk ke depan?
Ingin menulis novel tapi ketika saya selalu ditanya begini dan selalu menjawab begini, selalu terbeban lagi. Karena novelnya, tidak tahu selesainya kapan. Konsep dan kerangka semua sudah ada tapi cari waktu untuk nulisnya, untuk duduk dan benar-benar fokus susah sekali. Apalagi saya bekerja dan tinggal di Jakarta. Waduh, doakan saja, semoga segera. Itu karena saya punya deadline dengan diri saya sendiri sebelum kepala 3, sebelum tua kalau bisa sudah punya novel. Biar tidak makin berat, karena saya baru menulis puisi dan cerpen. Penyakit laten penyair itu rata-rata makin tua semakin malas buat novel, makin takut nerbitin novel. Karena terbayangi dengan kualitasnya ketika menulis puisi, padahal kan itu berbeda dan tidak harus bagus juga. Tapi penyakit laten penyair kalau buat novel, buruk sekali. Itu merupakan penyakit saya sendiri, dan akan saya hadapi, biar kalau jelek bisa mengampuni diri sendiri.