Desentralisasi Musik di Era Digital dan Kebutuhan Wadah Musik Eksperimental Bali bersama Ravepasar
Kami berbincang dengan Ican Harem, salah satu founder dari Ravepasar, untuk membahas tentang ketersediaan wadah musik eksperimental di Bali serta konsep apa yang akan mereka bawa di Joyland Festival.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with Joyland Festival
Foto: Putu Eka
Bermula dari keresahan yang dirasakan oleh banyak kolektif eksperimental di skena musik dan seniman di Bali, Ravepasar pun hadir untuk menjawab itu semua. Berbentuk festival yang lebih dari sekadar acara musik, Ravepasar berinisiatif untuk menghadirkan wadah dan skala produksi bagi para musisi dan seniman dengan skala produksi yang mumpuni. Setelah berjalan selama 2 tahun, lengkap dengan 2 showcase sebelumnya, kini Ravepasar ditunjuk sebagai kurator yang bertanggung jawab untuk menyajikan pengalaman sama di gelaran Joyland Festival. Kami berbincang dengan Ican Harem, salah satu founder dari Ravepasar, untuk membahas tentang desentralisasai musik di era digital, ketersediaan wadah musik eksperimental di Bali serta ambisi mereka yang akan datang.
Boleh ceritakan bagaimana kolektif Ravepasar bermula?
Presentasi pertama Ravepasar itu di 2020, terjadi gara-gara banyak kolektif eksperimental di skena musik atau seniman di Bali itu sebenarnya ingin punya production yang mumpuni di waktu itu. Terus, trigger-nya itu gara-gara ekosistem di Bali, untuk musik elektronik sebenarnya berkembang banget, tapi space untuk yang lebih ke arah eksperimental dan kontemporer waktu itu memang belum ada. Jadi, para inisiatior-inisiatornya kan selama ini bikin gigs itu pasti dengan skala production yang seadanya. Jadi, keinginan Ravepasar waktu itu adalah untuk menyajikan skala produksi yang lebih bagus dan kurasi artists-nya yang lebih dinamis. Dalam artian, kami selalu melibatkan seniman grassroots sampai seniman paling populernya di kalangan seni musik kontemprorer. Jadi, awal mulanya sangat organik banget. Lalu, kolektifnya itu sama sekali gak terikat.
Memangnya sosok-sosok awal yang membanggun Ravepasar itu siapa saja?
Ramai pastinya. Kalau sekarang mungkin cuma 4 orang, tapi dulunya bahkan lebih. Dulu itu sampai 12 orang, tapi akhirnya seleksi alam yang membuat itu jadi 4 orang.
Jadi, gagasan awal dibentuknya Ravepasar itu akibat keresahan akan ketiadaan space atau wadah untuk musisi eksperimental di Bali?
Dengan scale production yang mumpuni. Sebenarnya sudah ada, ekosistemnya sudah ada. Cuma, untuk skala produksi dan presentasi pada waktu itu belum pernah terjadi sebelumnya. Ya mungkin sudah pernah terjadi sebelumnya, cuma bukan di era kita. Dan kalau Ravepasar itu kan konteks musik eksperimennya lebih ke arah yang subculture seperti DJ dan electronic music. Gue gak mau ada klaim kalau, “Gue yang pertama”. Itu yang bahaya.
Setiap acara Ravepasar selalu lebih dari sekadar acara musik, tapi juga mencakup sesi workshop hingga lokakarya. Apa pertimbangannya?
Karena kami pikir, lagi-lagi, kami itu ingin ada konteks kalau ini lebih sekedar acara musik. Inginnya, presentasi dari festival ini lebih ke multi-disiplin dengan ekosistem yang sudah ada. Jadi, makanya, ketika ada beberapa presentasi di luar konteks musik, kami lihat audiensnya mengerti dengan apa yang kita tawarkan. Dan kami memang inginnya untuk tidak berhenti di konteks musik atau presentasi musik, makanya ada kelas, talkshow, podcast dan workshop.
Walau terinspirasi dari budaya klub kontemporer dan seni futuristik, unsur budaya lokal yang kuat menjadi identitas utama Ravepasar, bagaimana Anda menemukan keseimbangan antara keduanya?
Itu karena ekosistemnya di Bali, mungkin. Jadi, mau gak mau, anak-anak dugem ini sebenernya juga anak-anak Banjar. Mau gak mau, yang kelayapan ini, sebenarnya realita sosialnya juga terikat dengan adat istiadatnya. Dan, kita-kita yang merantau ini, juga mau gak mau beririsan dengan anak-anak ini. Jadi, dinamikanya adalah itu. Yang sebenarnya ingin di-highlight adalah kekayaan ekosistemnya, di mana irisan-irisan antara tradisi dan klub kontemporer ini bisa dipresentasikan di Ravepasar, dan membangun kerjasama yang kesinambungan. Intinya, bagaimana kerjasama ini bisa dipresentasikan di masa depan. Kemungkinan-kemungkinan itu ada. Makanya seleksi kurasi kami kadang-kadang jomplang, karena kemungkinan kerjasama itu akan terjadi.
Apakah perjalanan Ican ke berbagai tempat party di penjuru dunia menjadi inspirasi?
Pastinya. Ini juga dari kita punya pengalaman dari Gabber Modus Operandi yang dulu malang melintang dengan tur-turnya, terus ketika balik ke rumah ciut, gitu, “Ga ada yang ngajakin [main] nih”. “Kok di Indonesia – padahal sebenernya secara disiplin dan ekosistem dan SDM-nya itu ada, tapi – kok nggak ada ini?” Sebenernya ada di Jakarta, beberapa acara-acara yang sudah ada, tapi kan lagi-lagi di Jakarta, sementara kami di kandang sendiri. Itu pasti banyak banget presentasi-presentasi yang kami lakukan di Ravepasar itu terinspirasi dari pengalaman kita juga. Studi kasus, lah. Kami itu kayak R&D, riset di mana, lalu balik kampung buat develop. Studi banding.
Lalu, memangnya bagaimana Ican melihat lanskap party di Bali saat ini?
Kalau sampai sekarang yang masih dipresentasikan adalah, “It’s good music, it’s for fun, we don’t want to stress” dan “Club music slash hedonism”. Konteksnya masih di situ sampai sekarang. Makanya, ada keresahan itu yang akhirnya membuat kami memberikan alternatif lainnya, “Club music slash politics.” Keresahan Ravepasar itu di situ. Statement Ravepasar di situ.
Kami juga gak mau membandingkan dengan beach club, kami cuma mau membandingkan bahwa club music is about politics, too.
Beberapa tahun lalu, telah hadir tren musik Indonesia dengan sound lokal yang ‘dikerenkan’ dan kini menjadi semakin diserap oleh masyarakat karena kehadiran TikTok. Bagaimana Ican melihat hal ini?
Kita lagi-lagi melihat itu sebagai jawaban atas desentralisasi. Selama ini kan kita berpikir kalau distribusi musik populer itu dari Jakarta. Dengan kehadiran teknologi dan vakum-vakum sosial media ini, kita bisa melihat buktinya kalau juara-juara lokal itu ada. Menariknya di situ.
Kami berusaha membuka mata dengan itu, merespon, dan memberikan space untuk mereka. Ya, mungkin, apa yang dilakukan sekarang itu usaha kami, dengan mempresentasikan juara lokalnya Sumatra, juara lokalnya Wamena, dan juara lokalnya Balikpapan. Platform-platform ini seharusnya sudah mulai dibuka karena memang kuantitas pendengarnya juga banyak. Jawaban atas desentralisasi adalah masa depan itu terjawab dengan distribusi dari sosial media ini.
Kadang-kadang kita menutup mata juga kalau misalnya ada Om Sera dari Banyuwangi, kualitas penonton atau fans-nya lebih besar dari Raisa itu sendiri. Tapi ya, itulah dinamika kebutuhan urban atau kebutuhan lokalnya.
Akibat pandemi, skena underground party terpaksa harus terhenti sejenak. Namun Ravepasar kemudian hadir sebagai salah satu yang berani menghidupkan kembali skena party di Bali. Bagaimana kalian melihat perubahannya?
Kalau kita bilang scene musik elektronik atau party di Bali itu menurun, sebenarnya gak. Kita dinamikanya beda banget sama di Jakarta. Mau dengan ada atau gak-nya platform, ternyata orang-orang juga bikin party scene-nya sendiri. Beda banget kalau di-compare dengan kota-kota lain. Karena memang bungkusnya pariwisata jadi berpesta itu udah seakan-akan menjadi ritual setiap tempat, karena memang itu unsur wisata, hiburan. Dengan hadirnya Ravepasar ini sebenarnya gak ngasih kontribusi apapun ke skena, karena memang setelah tiga kali diadakan, akhirnya kami melihat siapa saja yang datang. 70% memang anak lokal Bali yang malah ketika lihat irisan ekosistem atau irisan subculture-nya dia itu bukan dari club music, bahkan. Itu yang menarik. Ada anak Banjar, ada anak punk, ada anak metal – mereka merasa terwakilkan, ekspresi-ekpresi mereka, di musik dugem yang kami presentasikan.
Kalau untuk memberikan kontribusi, aku sendiri inginnya minimal ada keresahan baru dari yang lebih muda. Karena kami di Ravepasar membuktikan ‘tradisi menabrak budaya dugem’ itu bisa dijadikan suatu identitas, atau suatu kerja kreatif yang baru. Aku berharapnya ada seniman yang lebih ekstrim, lebih eksperimental, dan mereka minimal tahu, kalau aku bikin seperti ini, presentasinya di Ravepasar.
Acara Ravepasar pada awalnya bergerak atas semangat dan sumber daya komunitas. Bagaimana Ican melihat potensi perkembangannya dan tantangan seperti apa yang akan dihadapi?
Kami selalu compromise. Realitanya adalah Ravepasar itu selalu production yang besar. Karena studi kasusnya adalah Ravepasar pertama itu biaya produksinya ditanggung oleh seluruh performer. Ravepasar kedua, akhirnya seleksi alam, founder-founder-nya mengeluarkan kocek pribadi, karena selalu memposisikan dirinya itu independen, tanpa ada yang memimpin kami secara estetik. Akhirnya, ketika memakai duit sendiri itu realitanya tidak sesuai, karena pasti lebih besar pasak daripada tiangnya. Dengan yang ketiga ini, kami tap in di Joyland Festival, maka kami terbantu dengan beberapa sponsor-sponsor yang membantu kami dalam segi produksi. Compromise-compromise itu yang kami harus terbiasa.
Ke depannya, lagi-lagi, kami selalu memikirkan bagaimana platform itu selalu sustain dan selalu mendapatkan subsidi silang dari orang-orang kaya yang khilaf. Akhirnya kami menulis beberapa proposal-proposal, kami membuka mata, membuka diri, terhadap funding-funding yang cocok. Karena yang kami highlight selain dinamika seniman adalah skala produksi yang bagus.
Realita funding sebenarnya sudah diakalin dari gelaran pertama dan kedua, dan jalan-jalan saja, keren-keren juga. Cuma, mungkin kerja dan effort-nya, dan seleksi alamnya, yang mau berkorban untuk mengeluarkan uang di awal dan memberikan materi untuk produksi itu gak semua orang.
Setelah biasanya bergerak sendiri, tahun ini Ravepasar terpilih sebagai kurator untuk salah satu panggung Joyland Festival 2022. Boleh ceritakan soal konsep yang akan hadir nanti?
Pastinya setiap Ravepasar ingin mempresentasikan pengalaman yang berbeda. Bersama Joyland Festival, kami mempresentasikan dua konteks, pertama tentang NFT Utility, di mana kami bekerjasama dengan seniman dari Jogja yang akan merespon apa yang sudah terjadi di Ravepasar. Membuat token dan mendistribusikannya, dan token-token ini dapat digunakan di Ravepasar. Kesinambungan token itu adalah penawaran baru dalam pengalaman menggunakan NFT. Experience-nya pun akan bikin ngakak, privilege-privilege-nya juga. Emang berawal dari grassroots.
Yang kedua, stage experience di mana temanya itu ‘Ambruk’. Kami membangun instalasi – itu kontinuitas dari Ravepasar kedua. Di Ravepasar kedua, karena skala produksinya lumayan low budget, memang stage-nya mau ambruk. Pas ketiga, ya sudah kami buat roboh. Makanya namanya Ambruk Stage, jadi musisinya akan main di panggung roboh. Juga karena lafaz dari para bule, “Ambruk,” kan, “I’m broke.” Narasinya lucu gitu. Ambruk and I’m broke is the same.
Honoring our early supporters✨
Thanks for supporting our movement by collecting RAVEPASAR TOKEN!https://t.co/c9wwAXagah @objktcomravepasar.tez treasury 25.174396 $Tez
First 10 collectors who support the local artist & performers from Indonesia. ✨⚡️https://t.co/27hVuV2u1N pic.twitter.com/ijL54m71Nz— Ravepasar Token – #RAVEPASAR (@ravepasar) March 21, 2022
Lalu, bagaimana dengan lineup yang akan tampil? Apa pertimbangan dari pemilihan musisinya?
Karena kami mendapatkan funding yang mumpuni, akhirnya kami bisa mempresentasikan seniman-seniman yang kami bilang tadi: di luar lingkup kami sendiri. Akhirnya kami bisa mempresentasikan seniman dari Papua, Pontianak, Sulawesi, Sumatra – ada seniman yang sangat grassroots sekali kayak Herman Barus yang mainnya di pesta-pesta di Sumatra. Kami berusaha untuk mempresentasikan itu di instalasi yang super kontemporer. Mungkin sifat dinamisnya ini yang kami tunggu banget. Ini berhasil atau gak, kami gak tahu.
Setiap performer mendapatkan slot satu jam, dan kami itu ada dua stage. Karena acaranya itu di basement, dan untuk meng-capture visualisasinya itu nanti temanya besarnya literally ‘tropikal brutalis’, dalam artian: bagian atas itu joglo yang sangat tropikal, tapi joglonya itu punya basement, bayangin di bawah joglo Jawa, di mana orang-orang lagi dengan tenangnya mengisap keretek, di bawahnya ada dentuman brutal. Jadi dengan konsep yang lebih, secara arsitektur, lebih brutalis. Makanya ‘tropikal brutalis’.
Proyek apa yang sedang dikerjakan? Dan apakah ada event atau hal baru yang akan rilis dalam waktu dekat?
Kami akan bekerjasama dengan institut dari Korea Selatan. Mereka juga ada kolektif seni kontemporer juga. Saat ini kami lagi apply untuk funding, jadi jawabannya akan terjadi atau tidak di 8 April. Apabila terjadi, kami akan bikin acara di akhir Desember, di Korea dan Indonesia. Mudah-mudahan terjadi, kami bisa mengekspor seniman-seniman ke Korea Selatan.