Clara Ng dan Upayanya Mengembangkan Pola Pikir Anak Lewat Buku
Berbicara dengan penulis buku anak, Clara Ng tentang proses kreatif penulisan buku, hingga perkembangan literatur anak.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Billy Dewanda
Foto: Ardi Widja
Berangkat dari sebuah isu-isu dan kepedulian terhadap anak, terciptalah sebuah representasi yang tertuang dalam sebuah kalimat untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak. Clara Ng sebagai seorang kreator tidak ingin menyingkirkan cerita dari kehidupan anak. Tidak melulu dengan cerita yang membawa kegembiraan, ia berani memberikan unsur kesedihan untuk mempersiapkan anak menghadapi masalah-masalah yang akan hadir dalam hidupnya. Whiteboard Journal berkesempatan untuk berbincang langsung bersama Clara untuk mengulik proses kreatif dalam penciptaan karyanya, serta isu-isu anak yang menarik untuk diluapkan dalam bukunya.
Menulis cerita itu sebuah perbuatan yang sedikit aneh, karena tidak banyak teman-teman saya yang melakukannya.
Apakah kegiatan menulis sudah menjadi ketertarikan sejak kecil?
Dari kecil sebenarnya sudah menulis. Cuma di zaman saya kecil, menulis cerita seperti itu tidak terlalu didorong sama sekolah, berbeda dengan zaman sekarang di mana kesadaran literasi itu sudah lebih tinggi dibandingkan dengan zaman saya masih kecil. Jadi saya anggap, yang saya kerjakan menulis cerita itu sebuah perbuatan yang sedikit aneh, karena tidak banyak teman-teman saya yang melakukannya. Ya memang ada ketertarikan dalam menulis. Kemudian dilanjutkan saat SMP menulis untuk majalah dinding, saat SMA menulis untuk majalah sekolah, kemudian koran waktu kuliah, berlanjut sehingga menulis sudah menjadi bagian dari kebiasaan.
Anda menempuh pendidikan kuliah di Ohio State University, Amerika. Apakah pengalaman tinggal di sana berpengaruh dalam gaya menulis Anda?
Dari internal motivation sendiri, dari dalam. Berawal dari rasa ingin tahu sebenarnya karena ketertarikan saya adalah membaca buku. Saya sangat kutu buku, saya membaca buku banyak sekali dari kecil, dengan keterbatasan yang saya punya dan juga kondisi perbukuan di zaman itu. Tapi, saya cukup beruntung di zaman itu. Buku anak-anak dan buku remaja malah melimpah banyak sekali dibandingkan sekarang. Di mana sekarang susah untuk menemukan buku anak dan buku remaja, di zaman saya itu banyak mulai dari “Lima Sekawan”, “Lupus” banyak sekali bacaan-bacaan yang melimpah dari luar negeri (terjemahan) dan dari dalam negeri.
Sebagai penulis, bagaimana Anda melihat tragedi personal, apakah kejadian seperti itu kemudian menambah perspektif saat menulis, atau sebenarnya menulis tentang tragedi personal menjadi terapi diri?
Kalau yang saya lihat dalam perjalanan menulis, seperti saya yang suka membaca, jadi saya pikir menulis dan membaca adalah sesuatu yang alamiah dan wajar, sebuah hal yang tak terelakan kalau kita senang membaca dan menulis. Bagi saya, sebuah pekerjaan yang dilakukan pekerja profesional dalam berbagai bidang harus memiliki kewajiban untuk membagi pikirannya kepada orang lain. Jadi saya menulis merupakan sesuatu hal yang alamiah, tapi ketika masuk ke industri dan menjadi seorang penulis profesional itu adalah sesuatu hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, saya memulainya dengan kebetulan.
Bagi saya, sebuah pekerjaan yang dilakukan pekerja profesional dalam berbagai bidang harus memiliki kewajiban untuk membagi pikirannya kepada orang lain.
Kebetulan di mana saat itu saya mengalami musibah, dan untuk mengatasi musibah itu saya menulis. Kemudian tulisan itu saya publikasikan sendiri, karena pada saat itu saya menganggap tulisan saya itu ingin saya jadikan semacam kenangan yang bisa selalu saya ingat. Saya tidak bermaksud untuk masuk sebagai penulis profesional. Tapi kemudian novel pertama yang saya anggap sebagai momento, ternyata dibaca oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dan kebetulan saya bertemu dengan direkturnya di sebuah pameran buku IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Saya ditanya, “Apakah ada naskah yang bisa dikirimkan ke Gramedia Pustaka Utama?” Jadi saya tidak pernah bermaksud terjun dalam industri ini dengan menjadi penulis dan novelis profesional, hanya bertemu dengan orang yang tepat dan kebetulan saat itu kondisi saya seorang ibu muda dan punya bayi yang seringkali bayi itu merampas waktu personal saya. Sehingga ketika saya punya waktu lebih, waktu itu saya gunakan untuk menulis. Kebetulan dari tumpukan-tumpukan tulisan itu ada satu naskah yang sebenarnya saya juga tidak tahu diperuntukkan buat apa. Jadi saya seringkali menulis tanpa tujuan.
Sebelum dikenal sebagai penulis buku untuk anak, Anda turut menghasilkan buku-buku non-anak seperti Trilogi “Indiana Chronicle”. Hal apa yang membuat Anda kemudian ingin mengeksplorasi literatur untuk anak?
Sebenarnya sederhana, karena saya punya anak pada saat itu dan saya sering membaca buku-buku cerita bergambar untuk anak saya dan sebelumnya saya juga banyak mengoleksi buku bergambar anak-anak. Kalau kita ngomong tentang buku cetak anak itu banyak sekali, ada yang dari bayi sampai usia remaja, itu termasuk buku cerita anak. Mulai dari buku cerita yang sederhana, di mana hanya satu kata dan satu gambar pada tiap halamannya, sampai kompleks novel, contohnya “Harry Potter” yang sangat tebal. Kalau bicara tentang literatur anak itu luas, tapi kalau saya lebih spesifik dan tertarik ke buku cerita bergambar untuk anak-anak usia di bawah 10 tahun.
Melihat sekarang Anda dominan menulis buku anak, apakah niat awal Anda memang menulis untuk buku anak?
Sebenarnya beberapa tahun terakhir ini saja saya memutuskan untuk berfokus di dunia picture book. Karena saya melihat industri kita masih kurang dalam cerita picture book ini. Terlebih saya memang senang menulis untuk anak-anak. Dalam buku cerita anak itu ada elemen tersendiri yaitu seni yang indah, dari ilustrasi dan mood warna. Saya juga berkolaborasi dengan beberapa seniman dan ilustrator untuk melukis buku cerita anak saya, salah satunya Emte (Muhammad Taufiq). Ini ilustratornya namanya Sekar Ayu (membuka buku terbitan terakhirnya berjudul “Melilit Seperti Sulur”) tentang pohon yang kehilangan sepatunya. Ini semua dilukis pakai cat air (sambil membuka halaman demi halaman). Ini dia kehilangan sepasang sepatunya dan mencari terus sepatunya di mana, dan setiap informasi yang dia dapatkan kemudian berkembang menjadi informasi yang lain.
Biasanya Anda yang mencari sendiri illustratornya atau dari pihak penerbit?
Tergantung. Waktu yang ini (buku “Melilit Seperti Sulur”) saya sebarkan di Twitter, siapa yang tertarik dengan persyaratan sebagai berikut kirim portofolionya, kemudian saya lihat lalu ada beberapa orang terpilih dengan style mereka kemudian dites saya kasih cerita pendek, kemudian mereka gambar dari satu halaman cerita. Kemudian dikontak satu-satu yang gambarnya pas untuk proses ini.
Tokoh yang Anda gambarkan dalam karya, umumnya adalah perempuan. Apa yang Anda coba sampaikan lewat detail ini?
Tidak juga. Salah satu tokoh yang terkenal pada saat buku awal saya sampai sekarang sering dijadikan referensi dan sering dibicarakan juga oleh anak-anak dan orang tuanya itu cowok. Tentang singa yang rambutnya panjang, namanya Paskal. Ia ribet dengan rambutnya mau diapain karena dia jadi pemimpin festival pawai.
Jadi detil penokohan ini mengikuti alur cerita yang akan dibawakan, apakah ada maksud tersendiri?
Tokoh untuk masalah gender tidak selalu perempuan, karena ada isu-isu tentang lelaki dan perempuan yang juga saya bawa.
Menulis buku untuk anak membutuhkan pendekatan tersendiri dan pilihan kata yang mudah dimengerti. Adakah kendala yang Anda temui dalam proses pembuatannya?
Karena kita harus memahami psikologis anak dan daya tumbuh anak sampai mana levelnya.
Untuk buku anak sebenarnya tergantung usia audience kita umur berapa. Tingkat kesulitannya beda-beda. Balita dengan anak umur 10 tahun perbedaannya sudah sangat luas. Di mana anak usia empat tahun kognitif dan intelektualnya tidak sama dengan anak usia 10 tahun walaupun beda usia mereka lima atau enam tahun, terasa pendek. Tapi dalam hal perkembangan anak, itu jauh sekali bedanya. Jadi diarahkan dulu bukunya disediakan untuk anak usia berapa sampai berapa, karena kita harus memahami psikologis anak dan daya tumbuh anak sampai mana levelnya.
Melihat minimnya hiburan untuk anak dan semakin dekatnya anak dengan internet, sebagai penulis, bagaimana Anda membuat literatur untuk anak tetap memiliki peminat?
Saya menulis pada dasarnya karena saya gelisah terhadap suatu isu-isu yang menurut saya harus diceritakan dan harus dibahas oleh saya.
Fisik banyak yang activity (hiburan anak). Saya menulis bukan untuk mengisi kebutuhan anak-anak. Saya menulis pada dasarnya karena saya gelisah terhadap suatu isu-isu yang menurut saya harus diceritakan dan harus dibahas oleh saya. Jadi kalau misalkan itu kemudian diterbitkan, ada tugas dari penerbitnya sendiri untuk memperkenalkan kepada anak-anak dan khususnya kepada orang tua bagaima
na buku ini bisa berguna buat mereka. Sementara saya sebagai kreator, seniman, penulis, tidak pernah berpikir ketika memulai sebuah karya untuk memikirkan benefit-nya apa, nanti kalau saya tulis ini anak-anak akan menghasilkan apa itu dari pihak pembacanya sendiri yang bertanggung jawab, yang menemukan benefit dari buku saya. Juga dari pihak industrinya yaitu penerbit, untuk memperkenalkan buku saya di tengah masyarakat.
Saya sendiri hanya sebagai kreator. Bukan untuk menyediakan kebutuhan, biarkan itu jadi tanggung jawab industri itu sendiri. Pekerjaan saya hanya meng-create, mencipta, membangun dan setelah dicipta tugasnya penerbit untuk meletakkan ciptaan saya itu di tempat-tempat yang tepat dan memperkenalkan ciptaan saya itu kepada orang yang belum memahami produk ini. Kemudian maknanya apa dari buku saya, yang memberikan makna adalah si pembaca atau orang tua atau guru atau sekolah dalam hal memberikan makna kepada anak-anak menjadi sesuatu yang berguna.
Kalau berpikir bahwa buku anak isinya tentang kegembiraan semua, justru saya membahas tentang dukacita.
Sudut pandang atau topik seperti apa yang Anda rasa selalu menarik untuk ditulis jadi cerita untuk anak?
Ada banyak sekali isu-isu dalam anak yang belum dibahas dan bagi saya menarik selama itu jarang dibahas. Karena mayoritas buku cerita anak dikuasai sama buku-buku agama misalkan, yang mengajarkan nilai-nilai berdasarkan agama. Sementara, yang saya banyak tulis, saya mengajarkan nilai-nilai universal, nilai-nilai kemanusiaan. Banyak sekali yang belum di-cover, dan isu-isu ini menarik misalkan seri buku saya yang sebelumnya, saya membahas tentang dukacita. Kalau berpikir bahwa buku anak isinya tentang kegembiraan semua, justru saya membahas tentang dukacita. Karena anak-anak juga mengalami emosi negatif, seperti saat terjadi perceraian di tengah keluarga, bagaimana anak-anak mengatasi itu. Kemudian saat terjadi kematian, anggota keluarga ada yang sakit. Bukan sekadar sakit pilek atau batuk, tapi sakit yang menahun, sakit parah. Nah, anak-anak pasti kena imbasnya. Mungkin orang dewasa bisa menganggap kalau anak-anak kita tutup-tutupi dari masalah ini, tapi walaupun ditutup anak-anak akan mengetahui juga dan anak-anak itu juga mengalami proses dukacita. Isu itu jarang dibahas oleh buku anak kita.
Kita menganggap “Oh iya mereka akan bisa jalani sendiri”, bagaimana mereka bisa menjalaninya sendiri tanpa pendampingan dari orang tua dan buku. Salah satunya saya bercerita tentang keluarga-keluarga yang bermasalah, anak-anak yang bermasalah, sehingga mungkin saat saya menerima laporan dari guru, anak, dan sekolah yang mereka membawa cerita saya itu untuk dijadikan banyak hal. Mereka memberikan hal positif dengan memberikan dukungan kepada anak-anak yang sedang mengalaminya atau juga memberikan anak yang sedang mengalami tapi bisa memberikan empati kepada mereka yang sedang mengalaminya. Jadi menciptakan perubahan yang positif.
Apakah ada pengkategorian dalam buku-buku Anda? Seperti cerita tentang kesedihan atau kedukaan, apakah anak sudah siap menerima analogi cerita tersebut? Bagaimana pengkategoriannya?
Buku itu memang ada guidance reading-nya untuk usia delapan tahun di bagian sini (menunjuk ke arah ujung kanan atas buku). Anak delapan tahun tentu saja lebih kompleks daya pikirnya, sudah lebih kompleks dibandingkan umur di bawah delapan tahun. Bisa memahami kosakata yang lebih banyak, sehingga mereka lebih bisa mengidentifikasikan perasaan mereka dengan lebih jernih. Jadi untuk usia delapan tahun ke bawah, isu-isu yang lebih berat tidak lebih dulu diperkenalkan. Mungkin dengan isu-isu yang lebih gampang. Tapi usia 7, 8, 9, 10 itu isu-isu yang lebih kompleks harusnya sudah bisa diperkenalkan kepada mereka. Yang sering terjadi di Indonesia ini menganggap isu-isu yang kompleks itu tidak perlu diperkenalkan kepada anak-anak karena dilindungi, tidak dibicarakan karena itu tabu, dan lain sebagainya.
Buku itu hanya sekadar alat untuk menciptakan hubungan yang kuat antara ibu kepada anak
Bagaimana kita berharap anak itu siap, tidak diperkenalkan pada isu-isu tabu yang memang terjadi. Kalau mereka dilindungi terus menerus, sampai masuk usia remaja ada pembicaraan yang intens tentang topik-topik yang tabu itu akan menjadi masalah. Buku itu hanya sekadar alat untuk menciptakan hubungan yang kuat antara ibu kepada anak dan juga guru kepada anak. Hubungan yang atas dasar rasa percaya.
Adakah guidance bagi penulis dalam merangkai kata yang sekiranya dapat diterima oleh anak?
Sebenarnya, anak secara individual berbeda-beda. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, serta perkembangannya juga berbeda-beda. Tapi secara umum, ada kategori-kategori perkembangan umum yang bisa diamati dari setiap anak. Untuk membangun sebuah cerita, untuk kategori tertentu, tentu saja saya mengambil kategori atau pengetahuan umum tentang anak. Secara individual tidak mungkin saya lakukan bahwa saya memikirkan si ini belum siap, si itu belum siap, itu tidak mungkin. Jadi secara umum, menuliskannya berdasarkan kategori umum dan perkembangan psikologis tentang anak.
Dari hal itu tentu mengalami proses penulisan, pilihan kata, bukan hanya saya yang bekerja, tapi setelah jadi juga editor juga bekerja untuk itu. Setelah buku itu terbit, kembali lagi saya bilang bahwa buku itu sebagai alat. Kemudian balik lagi, tergantung dari orang tua, guru, sekolah, dan anak yang menggunakan alat ini sesuai dengan kebutuhan anak. Maka dari itu saya juga sering bertemu dengan penyidik, orang tua anak dan kemudian kita berdiskusi dan bercerita tentang saya, bagaimana impact dari buku saya kepada setiap anak yang mereka jumpai.
Saya hanya menulis dari isu-isu sosial yang ingin saya bawa.
Dalam proses kreatifnya, pernah ada yang meminta Anda untuk menuliskan kisah tentang orang tersebut? Seperti keluh kesah dari anak, orang tua, dan guru.
Ada beberapa kali. Tapi saya tidak pernah menuliskannya. Saya hanya menulis dari isu-isu sosial yang ingin saya bawa.
Sekarang ini, Anda melihat kondisi buku anak di toko buku lebih banyak diisi oleh penulis luar atau dalam negeri?
Sekarang banyak terjemahan untuk fiksi, komik banyak.
Dengan keadaan seperti ini, apakah penulis lokal bisa mengimbangi terhadap keberadaan penulis lokal?
Kalau pertanyaan seperti ini, sebaiknya kamu cari informasi ke editor. Karena saya kurang tahu. Saya di sini sebagai kreator, kurang paham bagaimana industri buku cerita anak, bagaimana posisi mereka di toko buku.
Jangan menyingkirkan cerita dalam kehidupan sehari-hari anak.
Anda mewakili Indonesia di London Book Fair 2019 bersama sederet penulis lain, antara lain Dewi Lestari sampai Seno Gumira Ajidarma. Melihat literatur Indonesia di ajang internasional seperti itu, hal apa yang Anda harapkan dapat meningkatkan literatur Indonesia?
Yang paling mudah dulu, anak-anak mau baca cerita. Jangan menyingkirkan cerita dalam kehidupan sehari-hari anak. Ceritanya pun harus bisa terpilih, dalam arti tidak semua cerita diberikan kepada anak. Jadi asal anak membaca. Harapan saya, anak membaca cerita-cerita yang lebih baik.
Sejak rilisnya buku “Melilit Seperti Sulur” pada bulan September tahun 2018 silam, adakah karya tulisan yang sedang dikerjakan saat ini?
Saya sedang menunggu buku-buku saya terbit. Sudah ada draft-nya di penerbit, ada sekitar dua. Maka dari itu sekarang saya lagi istirahat karena saya lagi nunggu penerbitan buku-buku saya. Satu novel anak-anak, ilustrasinya sudah hampir selesai. Ada satu buku juga yang ilustrasinya sudah selesai, sudah beres tapi tinggal di edit, pengeditannya belum selesai. Saya mau istirahat dulu.