Bicara Feminisme Sampai Nasib Industri Penerbitan Bersama Isyana Artharini
Kami berbincang dengan salah satu author Comma Books, Isyana Artharini mengenai kepentingan feminisme dalam budaya Indonesia, kesendirian perempuan, sampai masa depan industri penerbitan.
Words by Emma Primastiwi
Foto: Ardi Widja
Sebagai seorang perempuan yang besar di Indonesia, sayangnya masih banyak stigma yang mengitari keputusan perempuan untuk merangkul kesendirian setelah melewati usia tertentu. Melihat kejanggalan dari pemikiran tersebut, Isyana Artharini ingin melawan konotasi negatif yang mengitari kesendirian perempuan. Lama bekerja sebagai seorang jurnalis yang berprestasi dan menjabat sebagai Multimedia News Producer di BBC Worldwide, Isyana akhirnya mengembangkan pemikiran tersebut menjadi sebuah buku. Dalam “I Am My Own Home”, Isyana berbagi pengalaman dan perasaan-perasaannya mengenai tema tersebut melalui serangkaian catatan-catatan personal. Dengan kesempatan untuk berbincang dengan Whiteboard Journal, kami berbincang mengenai kesendirian perempuan dan kepentingan feminisme dalam budaya Indonesia sampai masa depan dari industri penerbitan.
Anda telah lama merintis karir sebagai seorang jurnalis, boleh ceritakan bagaimana Isyana mulai menulis buku?
Kalau menulis buku itu sudah jadi keinginan dari lama, pilihan untuk jadi wartawan itu lebih karena aku ingin berlatih menulis lewat karir ini. Di satu sisi memang jadi lebih mengetahui proses penulisan, editing, penyuntingan, permainan kata. Namun mungkin karena sudah menulis di pekerjaan, menulis untuk proyek pribadi jadi agak terbengkalai. Penulisanku sebelum berkarir menjadi wartawan besarnya dari blog. Dari situ sudah mulai belajar bagaimana menulis untuk audience, bagaimana kita bisa entertain mereka. Kita jadi lebih pintar memilah sudut-sudut cerita yang kita tulis. Kurang lebih permainan atau strategi-strategi seperti itu pelatihannya.
Kalau tulisan yang kemudian menjadi dasar buku, itu mulai dari Murmur Journal. Dulu sebelum terbentuknya website, aku sering submit tulisan ke situ. Begitu Murmur website terbentuk, muncullah kolom. Seperti Anya (Gratiagusti Chananya Rompas) dan Abby (Theodora Sarah Abigail) masing-masing berawal dari kolom di Murmur ini, dari situ terlatih bagaimana menulis hal-hal yang terkait dengan personal essay.
Selain menulis, apa kegiatan Isyana?
Standar sih, nonton film, membaca, memasak. I like plants as well, I guess those typical standard things. Aku tidak bisa bilang konsumsi internet adalah bagian dari hobi tapi itu tidak terlepas. Ketika mencari referensi untuk kerjaan, hiburan, semua sudah ada disitu, it’s craft related in a way. Kalau bicara tentang craft related hobbies, mungkin yang paling terkait itu film. Melampaui menulis secara jurnalistik ataupun personal essay, aku sedang mencari cara agar aku bisa menulis untuk film, bisa dibilang aku ingin jadi Susan Sontag (tertawa), model-model Susan Sontag atau Joan Didion, mereka bisa mencampur aduk semua itu. Seperti Joan Didion membuat skenario film, tapi dia juga menulis reportase, terkenal karena personal essay, dan Susan Sontag dengan menulis kritik-kritik seni. Jadi apa saja yang lebih bisa meluaskan jangkauan dan juga skill menulis. Dulu sebenarnya salah satu hobiku juga membaca, dulu aku membaca untuk kenikmatan. Sekarang membaca itu malah menjadi sesuatu yang fungsional.
Film gives you ideas and images, and you want your writing to not just be text, but be substantial enough to be translated into images.
Bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut mempengaruhi pendekatan kreatif Anda?
Film mungkin lebih gampang ya, because film gives you ideas and images, and you want your writing to not just be text, but be substantial enough to be translated into images. Atau mungkin salah satu kegiatan yang aku baru bisa lakukan sekarang itu adalah berenang! Jadi dari situ pada saat aku doing laps aku sambil berpikir, sambil memikirkan koleksi selanjutnya. Memikirkan tema-tema dan bagaimana cara breakdown-nya, atau nama judulnya. Berenang menjadi wadah untuk aku untuk berpikir sehingga ide-ide muncul di situ. Di situ aku juga mencari bagaimana hal-hal yang aku pelajari dari kegiatan-kegiatan itu bisa menjadi bagian jadi metafora atau cerita-cerita yang berusaha aku dekati.
Boleh ceritakan sedikit mengenai proses menulis Anda?
Makanya sangat penting untuk mencatat segala pikiran-pikiran kecil karena pasti akan berguna untuk dijadikan layer dari cerita.
Prosesnya menurutku tidak terlalu berbeda dari ketika menulis karya jurnalistik, karena ada angle, ada jadwal. Di buku aku sendiri kan ada 10 bab, 4 atau 5 sudah ada dari kolom di Murmur. Dari situ, sudah jadi pondasi tulisanku, kemudian sudah melihat tema recurring sehingga bisa di-breakdown angle-nya seperti apa. Aku juga melihat dari pondasi ini, kira-kira akan menulis 4 atau 5 bab lagi yang harus aku tulis from scratch. Untuk menggali ide-ide tulisan tersebut, juga banyak referensinya. For example, I use Twitter to note my innermost thoughts, aku menggali semua catatan-catatan kecil yang pernah aku catat, dan aku gabung, dari situ baru aku menyusun semua itu jadi cerita. Selanjutnya tinggal bagaimana merapikan draft itu dan catatan-catatan yang terpisah atau tidak terkait. Makanya sangat penting untuk mencatat segala pikiran-pikiran kecil karena pasti akan berguna untuk dijadikan layer dari cerita.
Topik yang Anda angkat dalam penulisan anda itu cukup personal, apakah bagian paling sulit dari proses menulis tulisan-tulisan tersebut?
In a way, aku dibayangi dengan tekanan sosial. Seberapa terbuka aku bisa menuliskan sebuah pengalaman. Ada kekhawatiran itu, tapi semua itu harus dilupakan karena aku ingin fokus menghasilkan tulisan yang sejujur dan selengkap mungkin. Of course, I have thoughts about “How would my family read this” or “How would my mom read this”. Ya pastinya I’ll get in trouble tapi itu resiko lah. Tujuanku untuk connect dengan orang-orang yang mengerti dan pernah mengalami hal-hal dalam ceritaku. I’m pretty sure my family won’t because they’re not my target market. Aku hanya ingin menghasilkan karya tulis yang aku banggakan, jujur dan bisa mencapai orang-orang yang membutuhkannya dan mengapresiasi tulisan itu seperti aku mengapresiasinya.
Bagaimana menurut Anda industri publishing bisa bertahan dalam era digital ini?
Pastinya harus beradaptasi dengan platform-platform digital yang ada, bisa pasti bertahan. Aku tidak melihat dari sisi majalah atau koran karena mereka mempunyai masalah sendiri menurutku. Tapi kalau soal buku, menurutku pasti bisa. Mau tidak mau untuk diakui, memang ada orang-orang seperti “seleb-gram” yang membuat buku, memasarkan ke audience mereka dan mereka semua membeli buku itu, hal tersebut bisa menjadi salah satu cara bertahan. Tapi kalau untuk Comma Books, mereka sadar bahwa ada pasar di media sosial, that’s the market they need to appeal to. Untuk appeal ke market itu, mereka merilis buku dengan tampilan-tampilan yang menarik, aku juga tahu ada desainer buku yang sadar bahwa buku jaman sekarang harus tampil seperti apa. Karena orang-orang sekarang kan suka selfie dengan buku, ada cara-cara seperti itu lah.
Aku suka sekali dengan Sukutangan, mereka benar-benar menjelaskan proses yang terjadi ketika mendesain buku, perhitungannya apa saja. Mereka membuat tampilan-tampilan buku itu menjadi sesuatu yang menarik dan ingin dipegang dan di tampilkan. Aku masih tidak percaya bahwa industri penerbitan bisa kalah dengan industri digital when it comes to books. Orang memang membaca e-books atau PDF dan sebagainya, tapi in the end it doesn’t feel the same.
Kita sekarang hidup di era dimana faktor ramah lingkungan merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh masyarakat dunia, menurut Isyana, bagaimana industri penerbitan, khususnya buku fisik dapat menyumbangkan kontribusi dalam gerakan ini?
Kita mengira jika kita berpindah ke gadget elektronik, kita akan menghemat kertas, tapi apakah hemat listrik? Apakah gadget itu dibuat secara ramah lingkungan?
Mungkin bisa menggunakan kertas daur ulang. Satu hal yang harus kita perhatikan jika membaca e-book dari Kindle atau IPhone atau IPad, kita merasa seolah-olah menghilangkan kertas. Tapi sebenarnya produk elektronik juga meninggalkan jejak karbon yang besar, dari pembuatan gadget elektronik dan penggunaan listriknya. Belum ada perhitungan yang setara sebenarnya. Kita mengira jika kita berpindah ke gadget elektronik, kita akan menghemat kertas, tapi apakah hemat listrik? Apakah gadget itu dibuat secara ramah lingkungan? Mungkin pertanyaan yang lebih besar itu tentang bagaimana kita mengkonsumsi atau memproduksi buku, juga diskusi tentang apa saja cara-cara produksi yang lebih ramah lingkungan.
Selain ramah lingkungan, tentunya salah satu gerakan yang keberadaannya paling gencar saat ini adalah gerakan feminisme, bagaimana anda melihat perkembangan pergerakan tersebut di Indonesia saat ini?
I also know a lot of women, especially young women yang menganggap bahwa feminisme itu bagian dari keseharian, nilai perjuangan yang mereka yakini
Kalau di Indonesia hal ini adalah sesuatu yang sangat membanggakan. Ada masa dimana feminisme dilihat sebagai beban. Tapi aku juga melihat bahwa perempuan-perempuan sekarang itu melihat feminisme sebagai keniscayaan saja buat mereka, it’s second nature to them. Memang sih tidak semua teman perempuanku menerima ide-ide feminisme ini. Masih ada yang mempunyai mentalitas ‘pick me’ yang lebih menganggap bahwa laki-laki itu lebih daripada perempuan, “Ah cewe-cewe itu ribet!” seperti itu. But I also know a lot of women, especially young women yang menganggap bahwa feminisme itu bagian dari keseharian, nilai perjuangan yang mereka yakini, menyadari bahwa ada ketidakadilan di sekitar mereka. Itu sesuatu yang wajar bagi mereka, sangat membanggakan jika aku membandingkan mentalitas tersebut dengan kondisi saat aku masih SMA. Untuk anak-anak SMA sekarang mungkin feminisme is in their nature, it’s a part of themselves. Banyak sosok role model jaman sekarang yang bicara tentang itu.
Salah satu contoh, misalnya kita melihat perdebatan di media sosial, ada seseorang yang mengatakan hal-hal yang berbau patriarki atau bernada misoginis, pasti ada backlash-nya dari anak-anak muda ini – yang mengingatkan bahwa what they’re doing or saying is not right. Bagi aku yang berasal dari generasi sedikit lebih tua dari anak-anak ini, melihat mereka menganggap hal ini sebagai keniscayaan itu sesuatu yang membanggakan.
Jadi sebenarnya pertanyaannya adalah, bisa sebebas apakah perempuan? Seberani apa? Sampai kita bisa menembus batas-batas sosial tersebut.
Feminisme lama dipandang sebagai gerakan yang identik dengan budaya barat, tetapi menurut Anda, seberapa pentingnya feminisme bagi perkembangan budaya Indonesia?
Ini bukan hanya soal kesetaraan, atau kesamaan atau nilai-nilai besar seperti itu, karena hal tersebut masih sangat intrinsik dalam keseharian kita tanpa diketahui.
Aku bukan orang yang percaya dengan batasan bahwa sesuatu itu nilai barat atau nilai timur. Aku percaya pada nilai-nilai yang universal, menurutku nilai feminisme ini sudah menjadi nilai yang seharusnya universal, bagaimana kita bisa adapt sesuatu yang universal? Nilai ini penting sekali untuk Indonesia, we live in such a patriarchal country. Ini bukan hanya soal kesetaraan, atau kesamaan atau nilai-nilai besar seperti itu, karena hal tersebut masih sangat intrinsik dalam keseharian kita tanpa diketahui.
Sampai sekarang saja aku masih harus unlearning nilai-nilai yang ditanamkan dari keluarga dan budaya yang aku tidak sadar, bahwa itu bagian dari upaya untuk melanggengkan patriarki. Kita memang mempunyai masyarakat yang berkembang, tapi masih ada batasannya. Contohnya, perempuan boleh mempunyai pendidikan tinggi, bebas berkarir dan sebagainya, tapi tetap harus ingat bahwa mereka punya tugas di keluarga untuk menjaga anak-anak. Itu kan kebebasan yang conditional. Sampai sekarang pun itu masih diterapkan, masih menjadi pemikiran yang dimiliki oleh generasi orang tua kita, ditanamkan ke perempuan-perempuan seumuranku.
Ada juga pemikiran bahwa “Women can have it all”, tapi bahkan Michelle Obama pun mengatakan we can’t have it all, marriage is nice but it’s not all that equal. Kita menganggap feminisme sebagai ideologi yang kebarat-baratan tapi bahkan Michelle Obama yang berasal dari Amerika saja mempunyai pemikiran itu, yang juga dimiliki orang-orang Indonesia. Jadi sebenarnya pertanyaannya adalah, bisa sebebas apa kah perempuan? seberani apa? sampai kita bisa menembus batas-batas sosial tersebut. Ini masih membahas sekedar “normal social setting” ya, belum lagi membicarakan tentang kekerasan seksual, victim blaming. Dalam setting normal saja kita masih menemukan batasan, ketika dihadapi dengan kasus kekerasan dan kasus-kasus “ekstrim” lain, batasannya lebih parah dan lebih banyak lagi. Penting sekali bagi feminisme untuk diterapkan lebih dalam lagi di budaya Indonesia.
Dalam “I Am My Own Home” melalui pengalaman Isyana sendiri, Anda secara tidak langsung membahas seksisme terhadap wanita di Indonesia dalam segi sosial, apa yang mendorong anda untuk membahas topik tersebut?
Aku ingin membahas arti kesendirian untuk perempuan sekarang seusiaku di era ini itu apa? Di tengah tantangan-tantangan sosial yang kita jalani.
Karena aku belum menemukan teks seperti itu yang dihasilkan oleh perempuan Indonesia dan dibahas dengan cara yang aku suka. Kata Toni Morrison “If you can’t find a book that you want to read but it hasn’t been written yet, then you must write it”. Nah, aku merasa bagian itu penting karena kita banyak melihat novel chick-lit, singlehood, Bridget Jones aku juga suka. Bagaimana menempatkan ide tersebut dalam konteks Indonesia, dengan pemikiran dan elemen yang menurutku penting untuk disajikan, aku belum menemukan buku seperti itu. Aku ingin membahas arti kesendirian untuk perempuan sekarang seusiaku di era ini itu apa? Di tengah tantangan-tantangan sosial yang kita jalani. Tentu aku bukan satu-satunya ya, pada saat menulisnya aku punya inkling, there must be other women who have thought about this dan yang menuliskannya juga. Aku tahu Feby Indirani pernah menulis “69 Things To Be Grateful About Being Single” yang digabungkan dengan ilustrasi oleh Emte, kalau yang lain mungkin Lala Bohang walau tidak purely tentang kesendirian.
Sebagai bagian dari riset aku pernah membaca juga kumpulan esai “Parasit Lajang” oleh Ayu Uami, cuman menurutku terlalu pendek, belum sempat mendalami tapi sudah selesai. Dulu itu kumpulan kolom jadi memang formatnya singkat. I was hoping she would go deep kalau dilihat dari judulnya, tapi ternyata tidak. Dari situ, I realised what was missing, aku ingin menumpahkan pikiran soal topik itu, dan memperlakukannya dengan teks yang aku ingin tampilkan.
Sejak bergabung dengan Comma Books, bagaimana teman-teman penulis disitu telah menginspirasi anda?
Sudut pandang Anda, angle Anda, cara kita masing-masing melihat sesuatu itu unik.
Rekan-rekan Comma Books yang baru-baru saja dekat denganku itu yang bersama di seri ‘Self Portraits’ ini. Kalau Famega Syavira yang menulis ‘Kelana’, kami sudah berteman lama, dulu aku yang rekomendasi dia ke Comma sampai sekarang satu kantor, sudah jadi bagian dari perjalananku lah. Kalau dengan Anya dan Abby, karya kami istilahnya berkelindan, saling terkait dan menyampaikan tema-tema yang serupa. Seperti domestisitas, identitas sebagai perempuan, bagaimana kita berkomunikasi dengan laki-laki di kehidupan kita, itu tema-tema yang kurang lebih sama, tapi kita mempunyai pendekatan juga pengalaman yang berbeda-beda. Itu menurutku yang sangat menarik dari proses kami.
Orang banyak yang bilang “There’s nothing new under the sun”, dan memang benar, tema yang kita garap itu kurang lebih sama tapi it just shows how different our approaches are, how different those experiences can be depending on our positions and situations in life. Itu sih yang paling inspiratif, walau there’s nothing new under the sun, you can always put your own spin on things. Sudut pandang Anda, angle Anda, cara kita masing-masing melihat sesuatu itu unik. Percaya lah dengan visi Anda, walau tema sama you can still make new things that is unique to you.
Apakah ada topik sosial lain yang ingin anda angkat dalam proyek-proyek di masa depan?
Well, I do my social topics through my work, jadi ketika menulis untuk pribadi I use it to escape dan menyampaikan apa yang tidak bisa aku sampaikan melalui pekerjaanku. So, I use that part of my brain on social topics for work. Tapi kalau di luar topik sosial sebenarnya aku ingin bisa menulis kritik film, be a really good film critic. Aku juga ingin bisa menulis esai film atau esai kritik seni, skenario film. I want to write a script too. Kalau misalnya bicara mimpi, let’s forget if it’s impossible or not, I want to be a good film critic yang bagus dan konsisten, dan menulis skenario yang bisa diadaptasi menjadi film atau web-series.
Setelah “I Am My Own Home”, apakah langkah Isyana selanjutnya?
Aku sedang dalam proses untuk membuat kumpulan esai selanjutnya, tapi kalau sebelumnya lebih mudah karena aku sudah mempunyai pondasi melalui 4 esai dari kolom-kolom itu. Sekarang kan benar-benar harus mulai dari awal. Apakah bentuknya akan personal essay, or how personal I want it to be this time? itu masih harus dipikirkan. Sesudahnya aku malah bertanya-tanya, it wise to tell my life story in this way? and do I want to do it again? apa aku harus mencari format lain?. Kalau ditanya would I do it again? I’m still leaning towards yes, tapi kalau mengenai topik atau tema, itu masih dicari arahnya seperti apa.