Cerita Di Balik Eksperimen Karya DIVISI 62
Mencari inspirasi berkarya DIVISI62 bersama Wahono.
Teks: Carla Thurmanita
Foto: DIVISI 62
Di antara banyaknya kolektif yang meramaikan keragaman gerak kreatif pada skena lokal, kehadiran DIVISI 62 sebagai sebuah kolektif/label musik dan visual art menjadi salah satu yang paling mencolok – berbeda dari yang lainnya. Premis tersebut dapat dibuktikan dengan karya-karya yang telah mereka sajikan selama ini yang mengedepankan unsur eksplorasi segala bentuk musik Indonesia yang digabungkan dengan bunyi masa kini. Pada kesempatan kali ini, kami bertanya pada DIVISI 62 melalui salah satu pendirinya, Wahono, perihal inspirasi dan proses kreatif di balik keunikan mereka dalam berkarya, hingga peran label mereka di dalam skena musik elektronik lokal.
Dekonstruksi ketimuran menjadi salah satu dasar karya-karya yang dihasilkan oleh DIVISI 62. Mengapa akhirnya memutuskan untuk mengkontruksi ulang, alih-alih membawakan sesuatu yang sudah pasti – yang sudah jadi?
Pemikiran di balik DIVISI 62 adalah pembentukan identitas Indonesia secara terus-menerus melalui seni suara dan visual. Kami berusaha untuk mencari relasi dan menyatukan berbagai macam ide yang tadinya bersifat acak menjadi sesuatu yang ambigu, abstrak dan sulit untuk didefinisikan. Kami ingin stretch apa yang bisa dianggap sebagai ‘Indonesia’. Buat kami, proses pencarian dan dekonstruksi itulah yang justru menarik, juga mengevaluasi dinamika antara berbagai macam kebudayaan yang mempengaruhi Indonesia melalui tools yang perannya dominan di zaman ini.
Seperti apa proses kreatif di balik tiap trek yang dihasilkan DIVISI 62?
Semua selalu berawal dengan riset dan pemilihan suara. Dari segi frequency range, tekstur dan emotional quality setiap elemen yang dipilih, kami menentukan nuansa seperti apa yang ingin kami gambarkan dan juga naratif yang diangkat. Setelah mengetahui konsep besarnya, kami akan menuju ke arah itu. Alat-alat yang digunakan juga akan ditentukan oleh konsep tersebut. Proses komposisi akan berjalan dengan sendirinya.
Dalam berkarya, titik kepuasan terkadang bersifat subjektif. Bagaimana DIVISI 62 menemukan titik sempurna ketika meramu musik tradisional dan elektronik?
Titik sempurna itu tidak ada, semua subjektif dan relatif. Kami suka improvisasi dan bereksperimen dengan hal-hal yang belum pernah kami coba. Yang paling penting bagi kami adalah untuk menjelajah potensi keberagaman musik Indonesia dan lalu kemudian mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. Kami ingin mengejutkan diri kami masing-masing terlebih dahulu dengan apa yang kami hasilkan sebelum mempresentasikan karya tersebut di ruang publik.
Relevansi menjadi karakter karya DIVISI 62. Bagaimana kalian mensiasati label tradisional dan kontemporer dalam dunia musik lewat karya kalian?
Sebetulnya tidak ada siasat atau strategi tertentu. Kami hanya mempelajari apa yang sedang dilakukan oleh para artist dan label musik yang kami sering amati, lalu berupaya untuk menerapkannya di praktik yang kami lakukan. Program kesenian dan seniman-seniman dari disiplin lain juga menjadi referensi. Memperkaya referensi dari berbagai macam sumber sangat penting bagi proses berkarya kami.
Musik yang kalian tawarkan merupakan angin segar di tengah tren yang berlangsung. Apakah ini salah satu cara kalian untuk mengkritisi skena musik elektronik di Indonesia yang bisa dibilang stagnan?
Mau dianggap kritik atau tidak ya itu diserahkan kepada audiens. Karya kita diterima atau tidak diterima di masyarakat itu juga ada di luar kendali kita. Tugas kami sebagai kreator adalah untuk berkarya dengan jujur dan menyalurkan perspektif kami, bukan untuk me-label-kan karya kami. Selama proses kreatif, kami selalu memikirkan apa yang belum pernah kami dengar atau lihat sebelumnya di sini, sehingga itu yang menjadi orientasi kami. Di mana peran DIVISI 62 adalah untuk menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam mencari definisi ke-Indonesia-an.
Melihat adanya semangat untuk menampilkan ide unik yang datang dari sosok-sosok kreatif Indonesia, seperti DIVISI 62, adalah wajar jika kita hopeful akan perubahan dalam blantikan musik lokal. Dibantu dengan majunya teknologi, tentu kemungkinan-kemungkinan akan musik baru yang jauh lebih eksperimental atau segar mampu mendorong regenerasi musisi dalam negeri.