Toxic Environment dan Dampak Gaya Hidup Modern Pada Mental Health bersama Regis Machdy
Berbincang dengan Regis Machdy, selaku co-founder Pijar Psikologi tentang meningkatnya kepedulian masyarakat akan kesehatan mental, bahaya dari self-diagnosis, hingga peran “me time” dalam self-healing.
Words by Whiteboard Journal
Text: Yohana Belinda & Avicena Farkhan Dharma
Jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, diskusi seputar kesehatan mental telah menjadi topik perbincangan yang semakin meluas di masyarakat. Persepsi publik terhadap kesehatan mental pun kini sudah mulai berubah, menjadi salah satu isu kesehatan yang harus ditanggapi secara serius dan membutuhkan pertolongan profesional. Keadaan ini pun berkat kemunculan sosok-sosok, organisasi serta platform yang aktif memberikan edukasi kepada publik mengenai isu ini. Pijar Psikologi merupakan salah satu diantaranya. Kami berbincang dengan Regis Machdy, selaku co-founder dari platform tersebut tentang meningkatnya kepedulian masyarakat akan kesehatan mental, bahaya dari self-diagnosis, hingga peran “me time” dalam self-healing.
Sebagai co-founder Pijar Psikologi boleh menceritakan sedikit awal ide dan harapan Anda mengenai Pijar Psikologi?
Ide awal berdirinya Pijar Psikologi karena waktu itu (tahun 2015) isu kesehatan mental memang belum banyak dibahas dan masyarakat belum tahu banyak soal akses informasi dan konsultasi psikologi. Saat itu, belum ada juga website yang menyediakan informasi kredibel seputar psikologi. Akhirnya saya dan teman-teman saya membuat Pijar Psikologi untuk mengedukasi masyarakat mengenai kesehatan mental serta memberikan layanan konsultasi psikologi melalui website.
Dan mungkin deep inside, saya sebagai orang yang selalu merasa ada yang salah dengan diri saya, ingin memastikan bahwa orang-orang di luar sana juga punya pengetahuan (literasi) psikologi supaya mereka tidak merasa aneh dengan pikiran dan perasaan mereka.
Harapan kami saat itu simple sebenarnya, sesuai dengan moto kami: “Menjadi seberkas cahaya yang menghidupkan sejuta asa.” Kami sadar bahwa langkah kami kecil, hanya dengan website dan konsultasi via email, tapi kami berharap bisa menghidupkan semangat orang-orang yang memiliki mental illness di luar sana, yang tidak tahu harus ke mana.
Kesehatan mental sangat sulit didiagnosis bila dibandingkan dengan kesehatan jasmani. Apa poin- poin penting yang perlu diperhatikan ketika kita merasa mengalami gejala kesehatan mental?
Sebenarnya sama seperti kesehatan fisik ya. Kalau merasa ada yang tidak beres di fisik kita – misalnya sakit leher sudah beberapa hari, kepala terasa berat banget, flu atau demam – kita pasti ke dokter kan?
Nah sama juga dengan kesehatan mental. Kalau kita merasa ada yang tidak beres dengan emosi atau pikiran kita – misalnya marah terus, sedih terus, merasa kecewa, merasa kosong – kita juga perlu ke psikolog.
Bedanya, menyampaikan keluhan fisik itu kan lebih mudah daripada menyampaikan keluhan emosi. Dan seringkali keluhan yang bersifat emosional kita anggap tidak penting atau akan selesai dengan sendirinya.
Jadi saya kira, poin pentingnya butuh berani lebih jujur atau mengakui kalau kita ada problem di emosi atau pikiran. Dan kalau sudah berhari-hari belum hilang juga dari mental kita, mungkin sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan masalah emosi atau pikiran kita ke orang yang kita percaya atau langsung meminta pertolongan profesional.
Kita akan membahas “pola hidup sehat mental di aktivitas sehari-hari”. Menurut Anda apa yang menjadi trigger depresi terbesar masyarakat saat ini?
Kalau diminta menjawab trigger terbesar, saya kira sangat perlu berhati-hati ya. Jangan sampai masyarakat menerima informasi yang kurang tepat atau misleading information bahwa depresi disebabkan oleh satu hal saja. Karena nature-nya depresi itu sangat kompleks. Depresi adalah penyakit yang berasal dari interaksi biologis-sosial-psikologi-spiritual hingga kondisi geografis dan perkembangan teknologi. Jadi, saya tidak mau menjawab ada trigger terbesar atau trigger khusus ya. Saya ambil contoh tiga hal saja yang terkait manusia saat ini.
Pertama, secara geografis. Manusia modern jauh dari alam terbuka atau green spaces. Sudah banyak sekali studi yang menemukan bahwa orang-orang yang hidupnya dekat alam stress-nya lebih sedikit. Kehidupan di kota itu kan penuh dengan stimulasi visual dan audio ya. Otak kita gak pernah istirahat, selalu menerima jutaan stimulus visual dan audio serta informasi baru tiap harinya.
Fisik dan jiwa kita rusak karena kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan tiap hari.
Kedua, lifestyle. Kerja 9-5, begadang, sedentary life, alias duduk terus, makanan junk food, jarang terpapar matahari, dan banyak lagi. Manusia itu kan diciptakan untuk bergerak ya, dan makan makanan dari alam. Tapi pola hidup jaman sekarang membuat kita hanya duduk dan makan makanan yang tidak sehat. Fisik dan jiwa kita rusak karena kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan tiap hari.
Ketiga, jangan lupakan aspek biologis. Kalau bicara penyakit, ya pasti kita harus berbicara bawaan genetik ya. Memang ada orang-orang yang secara biologis lebih rentan terhadap depresi atau gangguan lainnya. Sama seperti orang yang lebih rentan dengan allergen tertentu saja atau rentan terhadap penyakit fisik lainnya.
Menurut Anda, apa yang membuat seseorang sehat secara mental?
Kalau menurut saya pribadi, apa yang membuat seseorang sehat secara mental adalah ketika seseorang punya awareness terhadap segala hal di dalam dirinya (pikiran, emosi, tubuh), bisa mengungkapkan emosi dengan cara yang tidak destruktif, dan bisa terhubung (have a sense of connection) dengan orang lain, alam atau hewan, dan bisa menentukan makna dan tujuan hidupnya di dunia ini serta bekerja untuk tujuan itu.
Saat ini banyak topik mengenai kesehatan mental pada kehidupan sehari-hari cukup jarang dibahas, dampak seperti apa yang akan terjadi bila banyak orang yang tidak memperhatikan hal ini?
Saya kira justru belakangan ini isu kesehatan mental semakin dibicarakan ya. Awalnya yang dibahas kebanyakan tema-tema seperti depresi, anxiety, self-harm, suicide, abusive relationship, bipolar, dan lain-lain. Tapi saya kira ini tetap awal yang baik.
Sekarang pun mulai banyak juga tema sehari-hari yang dibahas seperti cara menjaga boundaries dari orang-orang yang perilakunya toxic, cara mencintai diri, cara menjaga pola makan yang baik untuk kesehatan mental dan lainnya.
Walaupun pembahasan tema kesehatan mental terkait kehidupan sehari-hari baru sebatas di sosial media atau di kota besar saja, saya kira ini tetap langkah awal yang baik. Dan saya yakin pengetahuan serta kesadaran yang dibagikan lewat berbagai platform pasti akan tersebar juga kok.
Kalau ditanya dampak apa yang akan terjadi bila orang-orang tidak memperhatikan kesehatan mental dalam kehidupan sehari-hari, saya kira jawabannya sudah ada di masyarakat saat ini ya. Misalnya orang tua yang selalu adu argumen, anak yang merasa diabaikan, perceraian, abusive relationship, bullying di sekolah, bullying di internet, segala bentuk kekerasan, kebencian, perkelahian, depresi, bunuh diri dan banyak hal lain yang ada di masyarakat sekarang terjadi karena kita belum memperhatikan kesehatan mental.
Menurut pandangan Anda sebagai seorang yang melakukan studi dalam bidang psikologi, apakah saat ini masyarakat cukup peduli dengan kesehatan mental mereka dalam kehidupan sehari-harinya?
Saya kira tergantung demografi dan psikografi ya. Kalau kita merujuk pada anak muda, punya akses ke internet, cukup berpendidikan, tinggal di kota besar dan suka baca isu-isu terkini, saya kira pasti aware dengan kesehatan mental. Generasi millennial dan Z lah.
Tapi kalau kita merujuk orang tua, atau anak muda yang memang tidak suka baca berita atau media-media lain yang edukatif, dari latar belakang status ekonomi sosial yang rendah, tidak mendapatkan privilege pendidikan tinggi, ya kemungkinan besar tidak paham.
Pembahasan mengenai kesehatan mental di Indonesia masih terbilang tabu, meski sebanyak 9 juta penduduk Indonesia mengalami depresi. Banyak dari masyarakat Indonesia kerap kali menghubungkan kesehatan mental dengan hal-hal religius seperti kurangnya beribadah. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Saya kira kita perlu melihatnya dari dua perspektif, seperti dua sisi koin saja. Bagaimanapun masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang lekat dengan kepercayaannya.
Bagaimanapun masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang lekat dengan kepercayaannya.
Jika mereka (orang-orang yang terkena gangguan mental) merasa cocok dengan pendekatan agama ya bagus. Kalau memang mereka sendiri yang niat dan aktif mencari pertolongan melalui jalur agama, ya itu baik untuk mereka. Karena melalui pendekatan agama kan seseorang bisa menemukan arti hidup dan juga merasa punya koneksi/relasi dengan sesama pemeluk agama dan dengan Tuhan. Perasaan terhubung (sense of connection) itu bisa membantu pemulihan juga untuk kasus-kasus seperti depresi ringan atau gangguan kecemasan ringan. Meskipun demikian, sangat sangat disarankan orang tersebut juga menjalani terapi dengan psikolog atau mengonsumsi obat dari psikiater.
Bagaimana dengan sisi koin yang satunya?
Nah, yang jadi berbahaya adalah jika seseorang yang merasa ibadahnya oke-oke saja, atau di sisi ekstrim lain, seseorang yang tidak begitu percaya dengan agama, namun selalu mendapatkan stigma bahwa ia kurang ibadah atau kerasukan makhluk halus. Akhirnya orang tersebut tidak mendapatkan pertolongan yang benar dan malah tertekan karena stigma. Ya jadinya tidak akan tertolong.
Meskipun demikian, alangkah lebih bijak untuk tidak berkonflik dengan orang-orang yang pandangannya berbeda dengan kita apalagi mengolok-ngolok pandangan mereka. Biarpun rasanya menyebalkan dan sakit diberi stigma macam-macam dan bahkan harus di Ruqyah atau ikut ritual exorcism, ya kita tidak perlu juga menyakiti mereka balik dengan merendahkan cara berpikir mereka. Niat mereka mungkin baik, ingin menolong. Hanya saja keterbatasan pengetahuan membuatnya caranya jadi salah dan cenderung labeling.
Bagi mereka yang tidak percaya akan gangguan mental dapat mempengaruhi kegiatan sehari-hari adakah hal yang ingin Anda sampaikan?
Belajar lebih empati saja. Pahami bahwa setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa apapun. Saya tidak bisa memaksa mereka mempercayai kesehatan mental, mereka pun tidak bisa memaksa saya untuk mengabaikan kesehatan mental
Yang penting tetap open minded saja untuk berdiskusi dan tetap humble untuk menerima perspektif orang lain. Kita-kita yang sudah lebih paham justru jangan menjauhi mereka dan menganggap mereka close-minded atau apa. Justru kita perlu menemukan strategi yang tepat untuk mengedukasi mereka tentang pentingnya kesehatan mental.
Belajar lebih empati saja. Pahami bahwa setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa apapun.
Terbatasnya akses, waktu dan biaya membuat beberapa orang di Indonesia melakukan self-diagnosis. Diliput dari National Geographic hasil dari self-diagnosis ini rupanya mengakibatkan beberapa orang mendapatkan penanganan yang salah seperti menggunakan narkoba dan melukai diri sendiri. Bagaimana pandangan Anda mengenai fenomena ini?
Dua sisi koin ya. Namanya juga hidup. Di satu sisi awareness meningkat, tapi di sisi lain self-diagnosis juga makin banyak. Kita perlu secara bijak menanggapi kasus-kasus ini, jangan juga melabeli orang-orang yang self-diagnose macam-macam. Edukasi mereka untuk ke psikolog. Apapun motif mereka untuk self-diagnose, entah itu sakit beneran, cari perhatian, atau butuh status, they need help, something isn’t going right with them.
Semua orang butuh perhatian, semua orang butuh status/title sosial. 10 tahun lalu mungkin orang pasang status di Friendster sebagai EMO. 5 tahun lalu mungkin orang pasang di profile mereka dengan zodiak atau golongan darah. 2 tahun lalu mungkin orang pasang status profile sebagai INFJ, ENFP. Sekarang ketika mental illness lagi ngetren ya akhirnya orang pakai status-status tersebut. Jadi, mari jangan pernah berhenti edukasi mereka.
Kita semua yang bergerak di bidang keswa (kesehatan jiwa) terutama yang bergerak banyak di ranah psikoedukasi ya bertanggung jawab untuk melanjutkan arah psikoedukasi ini. Awalnya hanya awareness tentang gangguan kesehatan jiwa, sekarang perlu awareness bahaya self-diagnosis. Ke depan, pasti ada lagi tantangan dan tanggung jawab baru yang perlu dilakukan dalam mengedukasi masyarakat terkait mental illness.
Menurut Anda, stress test yang tersedia di internet yang tersedia online cukup akurat untuk mengukur tingkat stres seseorang dalam kehidupan sehari-harinya?
Kalau ngomongin akurat atau tidak ini kan harus ada standar ya. Dan kalau bicara standar, ya kita kembali ke ranah ilmiah. Tes-tes di internet biasanya tes untuk sekedar tahu saja. Tapi rasanya belum bisa dibilang akurat ya. Kecuali, stres tesnya memang jelas di website yang dibuat oleh peneliti atau institusi yang bisa memberi jaminan bahwa tesnya akurat dan sudah dilakukan penelitian terhadap alat ukurnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, karena tes di internet untuk sekadar tahu saja, kalau memang hasilnya ada kecenderungan stres tinggi ya segera ke psikolog. Jangan sampai cari-cari tes online cuma untuk validasi “saya stress” dan justifikasi produktivitas yang menurun atau perilaku yang menyebalkan tapi tidak pernah terapi sama sekali.
Anda sempat menuliskan “8 Metode Self Healing” dimana orang yang memiliki depresi belajar menyembuhkan luka batin itu secara mandiri. Namun Anda juga sempat menulis buku tentang “Loving The Wounded Soul” yang membahas pengalaman personal Anda melawan depresi. Menurut Anda apakah mencoba melakukan perdamaian dengan diri sendiri dapat membantu orang melalui masalah kesehatan mental tanpa bantuan medis seperti psikiater?
Buku dan tulisan-tulisan saya sama sekali tidak ditujukan untuk menyembuhkan seseorang dari mental illness tanpa bantuan profesional. Kalau bukunya dibaca dengan seksama, entah berapa kali saya bilang bahwa harus ke psikolog dan ke psikiater untuk sembuh dan untuk mendapatkan diagnosa. Saya pun menceritakan banyak pengalaman saya saat terapi dengan tujuan agar orang tidak perlu malu ke psikolog. Jadi secara implisit dan eksplisit saya sangat encourage orang-orang yang merasa memiliki permasalahan emosi untuk konsultasi ke psikolog.
Oh iya, artikel “8 Metode Self-Healing” itu bukan tulisan saya. Tapi rekan saya di Pijar, dan self-healing itu tidak dimaksudkan untuk sembuh tanpa bantuan profesional, melainkan mempercepat pemulihan. Self-healing ini ibaratkan saja dengan menjaga gaya hidup sehat melalui olahraga dan makan sehat. Bedanya yang dijaga dan dirawat adalah kualitas mental. Selain itu, self-healing juga ditujukan untuk orang-orang yang mungkin masih harus menabung atau menunggu waktu yang tepat untuk ke psikolog.
Anda juga menyarankan “me-time” sebagai salah satu cara untuk melakukan self-healing. Bagaimana ini dapat diterapkan ke dalam kehidupan yang rata-rata harus berinteraksi dengan banyak orang?
Saya kira justru penekanan me time adalah bagaimana kita membuat boundaries atas waktu yang dimiliki untuk menjaga kesehatan mental kita. Sebenarnya kita punya banyak waktu sendiri kok. Ketika naik kendaraan, 2 jam sebelum tidur, 1 jam setelah pagi hari. Tapi, kita selalu cek smartphone, masih baca grup WhatsApp kantor, masih terima email dari klien. Akhirnya otak kita konstan memikirkan orang lain, kerjaan, dan lain-lain. Jadi kita tidak punya waktu untuk memikirkan diri sendiri. Jangankan kesehatan mental, kesehatan fisik pasti ambruk juga kan?
Tapi orang zaman sekarang kan bahkan nge-gym saja sibuk selfie dan upload. Liburan masih bawa laptop. Jadi ya bagaimana tidak stres karena tidak pernah mendedikasikan waktu untuk diri sendiri? Segala aktivitas kita harus dilihat dan dikomentari orang lain di social media. Terus kita juga cemas dengan penilaian orang lain terhadap kita. Jadinya kecemasan tak berujung deh.
Balik lagi ke me time. Me time adalah waktu yang secara total kita dedikasikan ke diri kita sendiri, dan itu tidak perlu yang harus meditasi 10 hari di Tibet atau liburan keliling ASEAN (meskipun kalau ada budget dan waktu silahkan-silahkan saja ya). Cukup sediakan 2 jam sehari sebelum tidur dan 1 jam setelah bangun tidur aja, itu yang simple. Plus seharian pas weekend. Kan ada dua hari, Sabtu dan Minggu. Sediakanlah satu hari untuk full baca buku atau nonton konser atau lakukan apapun untuk diri sendiri. Seharinya lagi baru untuk orang lain atau pekerjaan. Kita pasti punya waktu untuk me time kok kalau kita mau menyediakan waktu untuk diri sendiri.
Tips seperti apa untuk masyarakat agar mereka dapat mengetahui bila mereka mengidap gangguan kesehatan mental pada kehidupan sehari-hari?
Tingkatkan pengetahuan lewat berbagai media yang kredibel ya entah itu di website, Instagram, YouTube atau buku. Jujur sama keadaan emosi dan pikiran. Serta jangan pernah self-diagnose. Harus ke psikolog.
Apakah Anda memiliki tips yang praktis untuk masyarakat melawan mental illness dalam kehidupan sehari-hari?
Saya kira tidak ada yang perlu dilawan ya, tetapi diterima, dirasakan, diterapi, diobati, diberi makna. Setiap sakit, baik itu fisik atau mental pasti ada tujuannya kok mampir di hidup kita. Kalau menyembuhkan mental illness, harus komunikasi sama psikolog dan psikiater. Kalau merawat kesehatan mental, maka harus membiasakan diri dengan pola hidup sehat dan konsisten menyediakan waktu me time untuk self-healing.
Apa yang bisa Anda sampaikan kepada mereka yang dealing with mental health issue pada keseharian mereka?
Mungkin dua ya.
Pertama, “Kalian tidak sendiri, dan kalian adalah orang-orang hebat yang terpilih untuk merasakan pengalaman tidak menyenangkan. Di balik penderitaan, pasti ada banyak pelajaran yang mengiringi.”
Kedua, “Berilah makna pada segala peristiwa yang terjadi dalam hidup Anda, termasuk mengalami / memiliki mental illness.”
Saya pribadi memaknai depresi sebagai guru spiritual saya. Karena saya semakin terhubung dengan diri saya sendiri dan orang lain setelah depresi menghantam saya. Bagaimana kalian memaknai mental illness dalam eksistensi kalian akan memudahkan proses pemulihan diri kalian.
–
Buku kedua Whiteboard Journal Open Column yang membahas tentang kesehatan mental akan segera terbit. Dengan Aan Mansyur, Baskara Putra, dan Fathia Izzati sebagai kurator, serta Pijar Psikologi, Menjadi Manusia, dan Dipha Barus sebagai kontributor. Tunggu kabar selanjutnya di website dan social media kami.