Tentang Nasib Buruh sampai Pekerja Kreatif Dalam RUU Cipta Kerja
Pembahasan tentang RUU terbaru untuk tenaga kerja dan dampaknya terhadap buruh, pekerja kreatif sampai struktur sosial-ekonomi Indonesia.
Words by Emma Primastiwi
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
Baru-baru ini, pemerintah sekali lagi memicu adanya polemik di masyarakat Indonesia lewat penyusunan omnibus law, khususnya dalam bab ketenagakerjaan. Serikat buruh, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil pun serentak turun ke jalan dalam upaya menolak pengesahan sekaligus merujuk pemerintah untuk cepat merevisi isi dari RUU Cipta Kerja (sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja atau RUU Cilaka). Bukannya meningkatkan penghidupan pekerja, RUU ini diwarnai dengan pasal-pasal eksploitatif yang secara eksplisit mengurangi hak-hak pekerja dari retorik yang pro-investor, penyusunan undang-undang yang jelas terlihat tergesa-gesa, sampai pembatasan hak-hak pekerja perempuan. Maka dari itu, kami berbincang dengan beberapa sosok mulai dari direktur PSHK sampai pengusaha tentang nasib buruh, pekerja kreatif sampai struktur sosial-ekonomi Indonesia.
Fajri Nursyamsi
Direktur Jaringan dan Advokasi – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
RUU Cipta Kerja atau dikenal dengan “RUU Cilaka” dibuat pemerintah karena peraturan sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat kedatangan investor. Kritik utama dari RUU ini adalah pemerintah lebih mendahulukan kepentingan investor dibandingkan hak-hak para pekerja. Bagaimana pandangan Anda tentang kritik ini?
Saya sampai saat ini lebih banyak melihat kepada proses pembentukan RUU Cipta Kerja dan aspek penulisan draft RUU Cipta Kerja, sehingga jawaban saya terhadap pertanyaan ini akan berdasar kepada dua aspek tersebut. Bahwa peraturan sebelumnya dianggap terlalu kaku sehingga pemerintah hendak melakukan perubahan adalah suatu kewajaran, dan perubahan peraturan, termasuk UU adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR. Namun yang menjadi masalah adalah proses penyusunan draft Cipta Kerja yang saat ini beredar sangat tertutup, sehingga bagaimana mungkin masyarakat secara luas dapat memberikan masukan terhadap draft yang sedang disusun.
Dugaan bahwa dalam draft RUU Cipta Kerja saat ini lebih mendahulukan investor sangat masuk akal untuk disuarakan, mengingat berulang kali Presiden menyampaikan kepentingan utama dari RUU ini adalah kemudahan investasi. Lalu penyusun dari RUU ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang lebih dekat dengan kepentingan investor. Sedangkan kelompok buruh berada di posisi masyarakat pada umumnya yang sulit mendapatkan akses atas informasi penyusunan draft RUU Cipta Kerja.
Permasalahan itu seharusnya sudah bisa diatasi apabila penyusunan draft awal RUU Cipta Kerja terbuka sejak awal. Ada kanal yang dibuka untuk menampung masukan dari berbagai pihak, termasuk investor dan buruh secara seimbang.
Salah satu tambahan “RUU Cilaka” adalah gaji pekerja akan dihitung per jam. Meski hal ini sudah biasa dilakukan di negara-negara Barat, menurut Anda apakah hal tersebut bisa diaplikasikan di Indonesia?
Sampai saat ini saya belum bisa menjawab pertanyaan ini, karena saya bukan ahli di bidang ini dan saya tidak berhasil mendapatkan jawaban atau argumentasi dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja. Dialog terkait isu ini pun masih parsial, belum ada forum atau kajian yang mampu menjawab secara khusus kebijakan apa yang seharusnya diambil.
Dalam RUU, terdapat beberapa revisi terhadap peraturan yang mendukung kesejahteraan perempuan, seperti menghilangkan peraturan cuti haid dan cuti melahirkan. Apakah RUU telah membuat posisi perempuan menjadi semakin rentan?
Apabila merujuk kepada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, cuti haid dan cuti melahirkan ada pada Pasal 81 dan 82. Kedua Pasal itu tidak menjadi obyek perubahan dari RUU Cipta Kerja, yang berarti ketentuan dalam UU 13/2003 masih berlaku walaupun RUU Cipta Kerja draft saat ini disahkan. Namun begitu saya memahami bagaimana sulitnya membaca draft RUU Cipta Kerja ini, karena format yang tidak sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan juga jumlah pasal yang banyak. Pemerintah sebagai penyusun pun tidak memberikan panduan bagaimana cara membaca dan memahami draft yang tersebar, dan sudah diserahkan kepada DPR tersebut.
“RUU Cilaka” juga melakukan revisi terhadap karyawan outsource (alih daya) atau freelance yang mana memungkinkan seseorang bekerja secara penuh waktu tanpa menjadi karyawan tetap. Menurut Anda, apakah hal ini menjadi solusi atau masalah baru bagi pekerja freelance?
Perdebatan terkait ketentuan ini menurut saya berakar dari ketertutupan penyusunan draft RUU Cipta Kerja. Lalu seketika terbuka dengan draft yang tersebar luas, tetapi dalam kondisi tingkat kepercayaan yang rendah dari publik kepada masyarakat, karena proses sebelumnya yang tidak ada pelibatan. Dalam RUU Cipta Kerja, 2 dari 3 pasal tentang outsourcing di UU 13/2003 dihapus, lalu kemudian merevisi 1 pasal lainnya. Secara awam saya melihat memang dengan dihapusnya 2 pasal dan merevisi 1 pasal ada aspek perlindungan yang berkurang. Hal itu ditambah dengan ketentuan mengenai pengaturan lebih lanjut mengenai outsourcing kepada PP yang sebelumnya di UU 13 2003 tidak ada. Ketentuan delegasi itu menunjukan bahwa perlindungan terhadap pegawai yang dikontrak secara outsourcing sudah bukan lagi urusan HAM yang harus ada di UU, tetapi beralih kepada urusan administrasi yang bisa diatur dalam lingkup PP ke bawah.
Menurut Anda, langkah apa yang bisa dilakukan para pekerja untuk melindungi hak-haknya, terutama jika RUU ini disahkan?
Para pekerja sebenarnya tidak seharusnya melakukan apa-apa karena sudah menjadi kewajiban pemerintah dan DPR untuk melibatkan setiap pihak yang akan terdampak terhadap suatu peraturan. Ruang komunikasi dan kanal masukan harus dibuka seluas-luasnya bagi siapapun dalam pembentukan peraturan, terutama UU.
Namun apabila ruang itu tidak kunjung terbuka, pihak pekerja atau siapapun yang merasa akan terdampak atas berlakunya suatu peraturan mendesak untuk dilibatkan, baik dengan melakukan gerakan atau secara diplomatis melalui jalur politik. Pemikiran kritis kelompok pekerja harus tersampaikan dan bisa direspon oleh pemerintah atau DPR, baik untuk perbaikan atau diskusi agar setiap pihak paham apa yang akan terjadi kedepan kelak RUU Cipta Kerja disahkan.
Menurut Anda, pasal atau isu apa saja yang memerlukan perhatian lebih dari para pekerja?
Secara umum bagi saya, Pasal 166 dan Pasal 170 bukan hanya bermasalah tetapi bersifat merusak sistem. Pasal 166 membuka kembali kewenangan Presiden untuk langsung membatalkan Perda, yang sebelumnya sudah ditutup karena dinyatakan inkonstitusional melalui Putusan MK. Pasal 170 membuka kewenangan PP, yang hanya dibentuk oleh Presiden, untuk membatalkan UU yang disetujui bersama presiden dengan DPR.
Cecil Mariani
Desainer Grafis /SINDIKA SI- Serikat pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi
RUU Cipta Kerja atau dikenal dengan “RUU Cilaka” dibuat pemerintah karena peraturan sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat kedatangan investor. Kritik utama dari RUU ini adalah pemerintah lebih mendahulukan kepentingan investor dibandingkan hak-hak para pekerja. Bagaimana pandangan Anda tentang kritik ini?
Mungkin pertama-tama saya balik dulu pertanyaannya. Bagaimana kondisi pekerja dibawah UU 13/2003 yang dianggap kaku dan menghambat investor ini? Seberapa sejahtera kondisi pekerja yang ada selama ini? Berapa banyak kira-kira yang mampu memiliki perumahan layak dekat tempat kerjanya hanya semata dari gaji dari perusahaan saja tanpa “sabetan” atau side-job, side-project atau bantuan keluarga? Berapa banyak dari kita yang bekerja kantoran tapi juga harus merintis wirausaha atau jualan jasa, konten digital dan barang lainnya untuk tambahan, membantu inisiatif sosial juga untuk mencukupkan kebutuhan finansial maupun kebutuhan psikologis dan sosial. Artinya selama ini bekerja saja melebihi waktu normatif empat puluh jam seminggu seringkali tidak cukup untuk “penghidupan”. Barangkali cukup untuk hidup sederhana (modest) tapi untuk banyak pekerja di pelosok Indonesia penghidupan sederhana yang layak pun belum tercapai.
RUU cilaka adalah strategi “race to the bottom”. Banting-bantingan harga upah dan izin eksploitasi alam dan tambang demi dilirik investasi korporasi besar global dari implikasi pasar bebas. Nampaknya tanpa investasi lebih dari luar, kondisi pekerja tidak ideal namun dengan adanya investasi asing lewat RUU ini kondisi pekerja justru malah makin sengsara.
Sebagai warga negara yang kritis pembaca media kita mesti bertanya apakah benar hambatan dari investasi asing atau pertumbuhan ekonomi ini sebelumnya adalah memang dikarena standar upah kerja di Indonesia terlalu tinggi? Atau karena faktor lain seperti korupsi atau praktik kartel atau oligopoli misalnya? Atau semata kemalasan mencari solusi kesejahteraan lain selain pertumbuhan ekonomi? Atau kita punya masalah besar dalam pengukuran ekonomi? Banyak aspek yang bisa memperbaiki ekonomi maupun iklim investasi tapi pilihan paling malas memang menjual murah pekerja karena Indonesia dapat bonus demografi. Dan fenomena penyalahgunaan hak pekerja demi peningkatan ekonomi ini memang makin marak di Asia, justru karena buruh murah. Salah satu argumen pro RUU Cilaka yang saya baca juga menyebut esensialisasi buruh Indonesia sebagai malas dan mahal dibanding Vietnam. Pada kenyataannya ibu-ibu di pasar dan juru masak warteg sudah bekerja jam 3 pagi, petani yang dimangsa pabrik pupuk dan harus menanggung gagal panen musiman, pekerja kantoran pun (yang sering menolak disebut buruh) harus punya side-job dan berwirausaha juga untuk mencukupkan hidup di kota, start-up start-up wirausaha kecil yang harus lomba adu “kecantikan” rebutan menarik hati pemodal dan pekerja relawan kemanusiaan, aktivisme sosial, pengetahuan, dan para pekerja menopang kebutuhan masyarakat lain selain makan dan uang. Para pekerja yang saya kenal semua mengerjakan segala yang mungkin dikerjakan. Beberapa dilanda kematian di usia muda. Pekerja tanpa henti ini juga yang pada akhirnya mentraktir kemalasan-kemalasan pemerintah dan oligarki modal besar yang itu itu saja. Saya sebagai buruh industri kreatif dan buruh pendidikan sudah bekerja nonstop dan masih sulit untuk membeli kemalasan. Pertumbuhan ekonomi meningkat namun kualitas hidup semakin menurun. Lalu kemalasan hidup siapa yang saya traktir dengan kerja keras di sistem ekonomi negara ini?
Salah satu tambahan “RUU Cilaka” adalah gaji pekerja akan dihitung per jam. Meski hal ini sudah biasa dilakukan di negara-negara Barat, menurut Anda apakah hal tersebut bisa diaplikasikan di Indonesia?
Ini sudah terjadi bahkan sebelum dimasukan ke RUU, upah dihitung per jam ini sebetulnya sama dengan gaji bulanan tapi dicacah per jam. Jadi akan dikurangi waktu kita sakit, upah jamnya akan dipotong, waktu kita ijin upah dipotong, mungkin bisa dipotong juga waktu makan, waktu terlambat, waktu cek sosmed, jadi semua akan diperlakukan sebagai pekerja jam produktif. Bukan pekerja gaji (salary). Seakan laba perusahaan dari kerja produktif tak perlu menanggung investasi waktu reproduktif kesehatan dan kewarasan pekerja di mana pekerja harus mengongkosinya sendiri dan ongkos yang kita dan keluarga keluarkan untuk menopang produktivitas bekerja sudah selalu lebih besar daripada upah produktif. Produktivitas butuh waktu luang, waktu hiburan, waktu reproduksi sosial dan psikologis dan waktu memaknai hidup dengan aktivitas non produktif. Tanpa ini semua tak ada produktifitas apalagi kreativitas. Hitungan jam ini seperti mau memerah susu sapi tapi tak mau mengeluarkan ongkos peternakan jadi sapi dilepas di padang yang bahkan tidak berumput dan penuh padat sapi lapar lain yang habis diperah.
Perihal mengaplikasikan; coba kita bayangkan berapa banyak di antara kita, yang pernah jadi relawan, yang bekerja memproduksi pengetahuan dan budaya secara cuma-cuma untuk masyarakat dan negara. Kerja-kerja yang dihargai tinggi per jam di negara-negara “Barat”, di sini jadi kerja relawan yang bahkan tidak dianggap sebagai kerja. Boro-boro per jam. Berhubung tidak menghasilkan keuntungan uang langsung, kerja-kerja budaya dan pengembangan pengetahuan ini dinormakan sebagai “pengabdian” masyarakat. Berita buruknya adalah majikan sesungguh dan sejatinya di negara ini pada akhirnya adalah modal besar dan laba langsungnya. Jadi kita seringkali mengongkosi dan mentraktir perbaikan atau terobosan dari hal yang diacak-acak ketidakadilan dan ketamakan tapi ketika sudah diperbaiki keuntungannya dipersembahkan kembali kepada “modal” dan “investasi” untuk dipanen keuntungan finansialnya. Di mana kita kemudian seperti ternak juga berpikir cuma hasil yang “produktif’ dan berlaba yang ada nilainya,jadi diwajarkan saja kerja belajar dan membangun pengetahuan itu gratis, karena ditempelkan narasi “mulia”. Padahal, tanpa pengetahuan dan imajinasi tak akan ada terobosan baru yang lebih canggih. Namun, kerja-kerja pengetahuan di luar kerja produktif selalu dan semakin dinormakan sebagai cuma-cuma dan semakin dikikis ruangnya demi yang berlaba.
Dalam RUU, terdapat beberapa revisi terhadap peraturan yang mendukung kesejahteraan perempuan, seperti menghilangkan peraturan cuti haid dan cuti melahirkan. Apakah RUU telah membuat posisi perempuan menjadi semakin rentan?
Dari draft RUU yang saya baca cuti haid dan melahirkan masih ada namun tidak lagi dibayar (unpaid leave). Implikasinya terkait gender pay gap, perempuan yang sudah secara umum dibayar 30% lebih murah akan lebih murah lagi bila kehilangan hari kerjanya karena harus haid tiap bulan atau ketika melahirkan. Penyebab perceraian tertinggi adalah karena masalah stres ekonomi, demikian juga alasan utama pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah stres ekonomi, korbannya umumnya perempuan. Kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 114% di tahun 2019. Kalau beban ongkos laba ekonomi negara dibebankan lagi ke pekerja bayangkan berapa kali lipat lagi naiknya angka kekerasan. Posisi pekerja secara umum kemudian tak akan lebih baik dari posisi perempuan di masyarakat. Ketika Anda sakit upah tidak akan diperhitungkan, kepastian kerja juga dipertaruhkan bila Anda sakit dalam jangka waktu cukup lama bisa di PHK, skema BPJS diongkosi sesama pekerja rentan juga yang tak boleh putus iuran walau bisa mendadak putus kontrak kerja atau PHK. Begitu pula bila cuti menikah atau menikahkan anak.
Anda beranak pinak melakukan tugas-tugas masyarakat yang juga memungkinkan roda ekonomi berjalan, bersosialisasi, melahirkan, memproduksi pekerja-pekerja untuk keuntungan ekonomi negara dan pemodal besar di masa depan. Kalangan pemodal secara legal tidak harus menanggung, ongkos-ongkos reproduksi sosial maupun kultural masyarakat, sebagai ongkos yang harus Anda bayar ke sistem ini untuk bisa membeli akses “kerja layak”. Kalau anak Anda sudah cukup dewasa dan cukup punya ilmu, mereka akan bisa memproduksi nilai dan gagasan lewat kerjanya dengan sedikit upah, itupun bila anak Anda dianggap cukup berketrampilan (tergantung juga ongkos materi dan emosi anda juga ketika mendidik dan menyekolahkan juga) dan upahnya tentunya ditentukan sesuai seberapa ketat pasar perebutan anak-anak pekerja lain yang setara dengan ketrampilan anak Anda.
Suka atau tidak inilah norma formal saat ini. Kapan saja anak Anda nanti bisa dianggap obsolet atau terlalu mahal, antara harus usaha belajar lebih keras lagi upskilling atau tak berguna lagi untuk pasar kerja dan laba ekonomi. Tanpa RUU Cilaka pun realitas ini sudah terjadi, tapi pekerja masih kurang lebih dilindungi undang-undang dan bisa memperkarakan hak tunjangan, komponen hidup layak dan lain-lain. Tapi RUU Cilaka akan menghilangkan hak pekerja memperkarakan PHK bila perusahaan pailit atau merger. Padahal sudah banyak juga perusahaan yang bisa dengan mudahnya pura-pura pailit padahal mau ganti usaha.
Beban berlipat ganda, perempuan digaji lebih kecil tapi harus sukses membesarkan anak dan tak boleh haid bila mau dapat upah lebih, harus mengongkosi baik secara fisik, energi maupun emosi, harus melahirkan, menyekolahkan dan membesarkan anak.
“RUU Cilaka” juga melakukan revisi terhadap karyawan outsource (alih daya) atau freelance yang mana memungkinkan seseorang bekerja secara penuh waktu tanpa menjadi karyawan tetap. Menurut Anda, apakah hal ini menjadi solusi atau masalah baru bagi pekerja freelance?
Pekerja bisa diperlakukan sebagai pekerja full time, disuruh masuk kerja di kantor dengan status freelance. Artinya secara konkret bekerja sebagai pekerja tetap dan full time tapi tak punya hak-hak pekerja tetap. Ia bisa diperlakukan seperti pekerja tetap tapi statusnya dikontrak terus-terusan. Jadi bisa saja tawarannya kerja tetap tapi percobaan dan status hukumnya dilemahkan dengan kemungkinan model kontrak tanpa batas. Kerja “tetap” berbasis kontrak tidak akan memberi jaminan keamanan finansial karena perusahaan bisa sewaktu-waktu memutus hubungan kerja. Di atas itu juga perusahaan di RUU bisa menawarkan kontrak sesukanya dengan upah non-UMR, dahulu kontrak kerja yang tak sesuai dengan PP13 bisa dikalahkan di sidang hubungan industrial. Pada praktiknya banyak perusahaan nakal yang sudah melakukan ini sebelumnya, dan mereka bisa diperkarakan bila pekerjanya menuntut. Namun, dengan RUU Cilaka, mereka berhak melakukan keculasan ini dan pekerja tak lagi dilindungi undang-undang untuk bisa menuntut (pasal bisa membawa PHK ke persidangan hubungan industrial dihapuskan).
Upah minimum padat karya lebih rendah dari upah minimum karena hitungannya bukan kerja tetap juga. Apakah itu solusi atau masalah? Untuk marjin laba perusahaan, ini adalah solusi yang sangat menguntungkan dan juga ‘malas’. Untuk pekerja? mesti kerja ganda dan nonstop, ganti pekerjaan setiap kontrak habis atau siap siap gelisah membayar cicilan kalau tiba-tiba kontrak diputus, siap siap dapat jumlah upah yang berfluktuasi karena jam produktif Anda akan dihitung sesuai hitungan perusahaan dan siap-siap juga saling sikut dan membunuh sesama pekerja karena rebutan tempat di pasar tenaga kerja, juga rebutan penghasilan yang makin kecil.
Menurut Anda, langkah apa yang bisa dilakukan para pekerja untuk melindungi hak-haknya, terutama jika RUU ini disahkan?
Bila eksploitasi sudah dilegalkan atas nama investasi; langkahnya mungkin untuk berusaha menjadi X-men menggalang kekuatan super dan adikodrati supaya bisa kerja lebih produktif lagi dan tidak cepat mati karena kurang gizi atau kelelahan kerja. Sekolah setinggi-tingginya bila punya kesempatan tapi siap-siap dibayar semurah-murahnya, dan siap-siap makan teman, sesama pekerja atau pekerja migran karena persaingan yang tidak manusiawi, siapkan ongkos kesehatan mental dan siap-siap mengeluarkan ongkos menyewa sekuriti lebih banyak karena konflik sosial akan bertambah. Bisnis tambang, manufaktur, keuangan, keamanan sosial dan kesehatan mental mungkin akan sangat menguntungkan buat anda yang memilih jadi pengusaha dan punya modal, tapi mungkin tak lama.
Langkah pilihan saya tidak normatif ataupun optimis namun kita bisa punya daya tawar kekuatan yang berpotensi menggiring perubahan dan menciptakan terobosan yang barangkali lebih mengarah ke kesejahteraan dan kepentingan bersama. Langkahnya mungkin akan panjang dan tidak mudah bersama dengan jejaring serikat, peneliti dan masyarakat sipil. Ragam gagasan untuk strategi sistemik yang tak hanya bergantung pada itikad baik pemerintah atau kemurahan hati pemodal. Karena dari bumi dan pekerja semua nilai laba atau kekayaan di dunia ini dihasilkan. Hanya kita dibuat percaya bahwa kita dengan ilusi usaha sendiri dan berjuang sendiri dan di upah secara individu, walau kita menghasilkan nilai dan kemakmuran selalu bersama-sama. Pemerintah bisa saja (tapi tidak) mengatur bahwa buruh wajib memiliki saham perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perusahaan telko, sosmed, pertambangan, atau bank, semua nasabah otomatis punya saham perbankan misalnya, penduduk tergusur bisa punya saham obligasi fasilitas kota, atau mall dan apartemen mewah yang dibangun atas tanah gusuran. Tidak sulit membayangkan yang mungkin kalau tidak malas dan punya itikad baik, tapi tentu saja sulit sekali dalam hal mengurangi laba segelintir orang untuk boleh berkurang dalam waktu pendek (walau dalam jangka panjang akan untung lebih besar sebetulnya).
Saya menganggap kawan-kawan wirausaha kecil menengah juga pekerja keras yang akan terdampak atas RUU ini, Omnibus Law tak hanya berdampak juga pekerja upahan tapi juga pada eksploitasi alam dengan pemudahan ijin usaha pertambangan. Di gambar besarnya bila anda pengusaha kecil Anda pun akan rebutan kue pasar, daya beli pekerja melemah itu berita buruk buat anda, dan biasanya pasar akan dimenangkan oleh yang punya daya lebih besar. Bila kita bicara pekerja, bumi dan alam itu adalah sumber penghidupan kita semua. Pertanyaanya apakah akan sama kita jaga dan kelola untuk penghidupan atau berebut secara individual dan menghabiskannya untuk keselamatan dan kekayaan keluarga masing-masing?
Ada permainan yang tak harus mempecundangi orang banyak. Ada banyak gagasan kemungkinan inklusi sistem ekonomi, ekonomi harus bekerja untuk banyak orang dan banyak ragamnya. Ada ekonomi yang berbasis kesejahteraan bukan pertumbuhan, perusahaan berlandaskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi pekerja, ada model ketahanan penghidupan yang lebih sadar interdependensi yang bisa saya sampaikan, tapi mungkin sebaiknya didiskusikan lebih lanjut hanya dengan rekan-rekan yang tak berminat jadi sekedar juara kontes kecantikan modal, namun yang bisa melihat potensi ekonomi global yang bisa lebih melimpah dari strategi yang tidak menindas yang tak punya banyak pilihan. Toh pilihan-pilihan juga selalu dikondisikan.
Menurut Anda, pasal / isu apa saja yang memerlukan perhatian lebih dari para pekerja?
Saya dan kawan-kawan di Serikat pekerja Media dan Kreatif melakukan pembacaan intensif RUU ini di akhir pekan lalu ini akan menerbitkan panduan. Perhatikan juga UU No.13 tahun 2003 – Ketenagakerjaan untuk membandingkan. Dan cukup serius diperhatikan karena potensi dampaknya ke banyak aspek penghidupan.
Di RUU Cilaka kewajiban atau larangan pengusaha membayar upah minimum dihapuskan dan diserahkan ke kesepakatan buruh dan pengusaha. Perlu diingat dalam perundingan kesepakatan upah biasanya yang punya kuasa atau kekuatan lebih akan menang. Bahwa pekerja lebih banyak dari pengusaha dan dari awal posisi ‘melamar’ pekerjaan sudah mengasumsikan kuasa lebih bagi yang ‘dilamar’. Ini sudah tidak setara dari awal. Walau pasti ada pekerja yang mahir melakukan kesepakatan dan punya daya tawar tinggi, anda pengecualian-pengecualian. Tak semua bisa menyiasati sistem yang sudah timpang.
Ada juga pasal yang problematis juga menyatakan ukuran hidup layak dilakukan secara bertahap ditentukan oleh ‘kemampuan dunia usaha’. Kemampuan ini tidak didefinisikan. Soal kemampuan ini juga aneh. Sekedar potret keanehan: Secangkir kopi impor di kota New York (kebetulan kopi impor semua di sana) sama harganya dengan secangkir kopi lokal di mall Jakarta (di Indonesia yang penghasil kopi, tak perlu impor, dan sering mencampur arabika dengan robusta). Padahal median income di New York 8 kali lebih tinggi daripada Jakarta, dan harga sewa properti niaga 5 kali lebih tinggi. Apakah artinya pengusaha di NY rugi semua? kok upah bisa 7-8 kali lebih tinggi? marjin laba untung usaha di Jakarta besar sekali? atau apakah rantai laba terbesar ada di petani? di broker? di tengkulak? pemilik properti? usaha perbankan? atau lari ke kantong ‘kemampuan dunia usaha’ lain? Kemampuan dunia usaha yang mana yang dimaksud?
Terakhir, saya pikir sesama pekerja yang tak setuju tak perlu memusuhi buruh atau serikat buruh karena memprotes RUU ini, kami berupaya mengerjakan PR solidaritas yang tak dikerjakan banyak pihak. Kawan-kawan yang percaya narasi semua keberhasilan adalah semata hasil kerja keras sendiri, tanpa modal atau koneksi jaringan, bentuk kerja keras apapun akan mentok di plafon sistem. Kesuksesan apapun selalu berhutang pada banyak orang. Kita semua punya pengalaman, perjuangan, dan keberuntungan yang unik tapi selalu saling terkait, jangan tergesa membanggakan pencapaian khas individu lalu diukurkan ke semua pekerja seakan itu yang “seharusnya”. Ada narasi pemenang atau kesuksesan yang sama, diulang-ulang dan dipercaya di kondisi yang tak pernah ideal yang membuat kita berlomba merentankan diri sendiri berjamaah demi uang dan dilahap problem-problem kesehatan mental dan konflik-konflik sosial tanpa kita tahu atau sama-sama tilik kenapa.
Kokok Dirgantoro
Pengusaha
RUU Cipta Kerja atau dikenal dengan “RUU Cilaka” dibuat pemerintah karena peraturan sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat kedatangan investor. Kritik utama dari RUU ini adalah pemerintah lebih mendahulukan kepentingan investor dibandingkan hak-hak para pekerja. Bagaimana pandangan Anda tentang kritik ini?
Kritik tersebut valid. Perusahaan harus membukukan keuntungan rasanya tak perlu diperdebatkan. Ketika suatu usaha mengeluhkan biaya produksi naik karena biaya karyawan, kerap pemerintah secara populis justru menyetujui sebagian kenaikan UMK. Apakah ini meningkatkan kesejahteraan pekerja? Jangka pendek dan secara relatif mungkin terjadi. Apakah berkelanjutan bisa seperti ini? Hal ini yang seharusnya diselesaikan.
Pemerintah dan banyak orang pintar bicara bagaimana seharusnya pekerja meningkatkan produktivitas. Mereka menuding dan menunjuk pekerja, tanpa mereka melakukan “Bunuh diri kelas”. Tanpa tahu apa yang dihadapi pekerja dari hari ke hari. Dengan congkak merendahkan orang lain dari ujung menara.
Bagi saya negara harus melindungi dulu rakyatnya, termasuk pekerja. Dibedah struktur biaya hidupnya. Apa yang bisa diambil alih melalui anggaran pusat dan daerah. Misalnya transportasi gratis/murah untuk pekerja MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) atau UMK (Upah Minimum Kota), fasilitas pendidikan anak, kesehatan, daycare, cuti melahirkan + cuti ayah yang lebih panjang dll. Mana yang bisa dicukupi negara dihitung dan dimulai.
Dunia usaha tentu akan sangat berterima kasih jika beban hidup pekerja dapat diambil alih sebagian dari negara. Ketenangan hidup dan juga kecukupan gizi diurusi serius. Baru bicara produktivitas. Menurut saya begitu. Bukan terbalik pekerja disuruh bertarung / berkompetisi dan rela menderita luar biasa bagi perusahaan. Pekerja punya keluarga, mereka milik ayah ibunya, milik suami / istri dan anaknya, bukan sekedar hidup untuk menjadi hamba sahaya korporasi.
Concern buruh bahwa hak-hak mereka yang diatur dalam UU 13 Nomor 2003 tentang Ketenagakerjaan akan dipreteli harus mendapat penjelasan yang konkrit dan jaminan tertulis bahwa apa yang dikhawatirkan pekerja tidak akan terjadi.
Negara harus berpikir win win. Ujungnya adalah itu.
Salah satu tambahan “RUU Cilaka” adalah gaji pekerja akan dihitung per jam. Meski hal ini sudah biasa dilakukan di negara-negara Barat, menurut Anda apakah hal tersebut bisa diaplikasikan di Indonesia?
Saya tidak begitu memahami mengenai gaji pekerja per jam atau satuan. Menaker sudah mengatakan di media bahwa membuka berbagai masukan dan sepertinya dilakukan pembahasan di level menteri koordinator perekonomian.
Terlalu dini bagi saya untuk menjawab sesuatu belum jelas. Kecuali dari Menaker atau Menko Perekonomian membuka kajian plus minus penggajian berbasis jam atau satuan. Mungkin yang bisa dilakukan hari ini adalah meminta kajian dibuka seluas-luasnya dan dasar-dasar pemikiran mudah di unduh versi digitalnya agar dapat dibahas lebih tajam. Kerangkanya untuk membangun dialektika tentunya.
Dalam RUU, terdapat beberapa revisi terhadap peraturan yang mendukung kesejahteraan perempuan, seperti menghilangkan peraturan cuti haid dan cuti melahirkan. Apakah RUU telah membuat posisi perempuan menjadi semakin rentan?
Saya membaca dugaan-dugaan ini. Mengapa saya sebut dugaan, karena memang belum clear dan utuh informasi yang saya peroleh. Menaker (Menteri Tenaga Kerja) sudah membantunya. Menaker sudah menyatakan cuti haid, istirahat melahirkan dan cuti ayah berikut cuti khusus lainnya tidak ada perubahan. Sebagai suatu pegangan awal, statement ini sudah cukup.
Sebagai perjuangan masa depan, tentunya masih cukup jauh. RI belum meratifikasi Konvensi ILO 183 tentang kesehatan maternitas sebanyak 14 minggu. Jangankan istirahat melahirkan 6 bulan agar leluasa mengurusi anak dan memberikan asi eksklusif ke anak, cuti saat ini pun dibagi dua sebelum dan setelah. Kita belum bicara diskriminasi upah, pelecehan, dan banyak lagi.
Semoga dengan atau tidak dengan omnibus, kesejahteraan dan hak-hak pekerja, terutama pekerja perempuan, dapat lebih diperjuangkan.
“RUU Cilaka” juga melakukan revisi terhadap karyawan outsource (alih daya) atau freelance yang mana memungkinkan seseorang bekerja secara penuh waktu tanpa menjadi karyawan tetap. Menurut Anda, apakah hal ini menjadi solusi atau masalah baru bagi pekerja freelance?
Info yang saya dapat dari pekerja, mereka ingin ketenangan status bekerja. Dari pengusaha jika jadi karyawan tetap, maka biaya pesangonnya tinggi.
Dua pendulum berlawanan dan negara selama ini melakukan pembiaran saat pekerja tak berkarir karena pindah-pindah perusahaan alih daya sebagai karyawan kontrak. Yang pekerja cari adalah penghidupan. Kepastian status pekerja yang harusnya digenggam justru tidak menjadi concern pemerintah.
Jika fasilitas dan kepastian berkarir berikut pendapatan tidak berbeda, alih daya atau pekerja tetap tentu tidak menjadi masalah. Namun jika alih daya dengan kepentingan menempurkan antar pekerja, yang produktif yang survive, tak pelak lagi itu adalah penghisapan. Karena pekerja akan menua tanpa ada kepastian status dan akan diganti oleh pekerja yang usia lebih muda dan masuk via alih daya atau freelance. Ujungnya sama, perusahaan mendapat pekerja dgn produktivitas tinggi dgn minim perhatian terhadap masa depan pekerja.
Menurut Anda, langkah apa yang bisa dilakukan para pekerja untuk melindungi hak-haknya, terutama jika RUU ini disahkan?
Pemerintah juga membuka selebar-lebarnya siapa saja yang ingin memberikan masukan. Ini harus dimanfaatkan maksimal. Ruang-ruang diskusi antara yg dukung, kontra serta yang sekadar ingin tahu dibuka seluas-luasnya.
Asosiasi pekerja harus bersama-sama akademisi dan parpol untuk membuka ruang-ruang komunikasi. Sekat-sekat yang selama ini buntu harus dibongkar.
Tentu saja semua pihak harus benar-benar mengawasi RUU ini tahapannya sampai di mana. Diawasi seketat-ketatnya oleh banyak pihak. Jika memang terjadi upaya-upaya sistematis merugikan pekerja, satu hal harus kita lakukan segera, KITA BIKIN RAME!!!