Tentang Makna Self-Acceptance dan Body Positivity di Mata Perempuan Indonesia
Perbincangan tentang makna body positivity bagi perempuan Indonesia, tempatnya dalam iklim sosial kita yang konservatif sampai cara mengapresiasi diri dalam keseharian.
Words by Emma Primastiwi
Ilustrasi: Max Suriaganda
Interviewer: Annisa Nadya
Perbincangan tentang self-acceptance dan body positivity kerap ramai di media sosial. Sebagai upaya untuk mendobrak standar kecantikan yang tidak realistis, gerakan ini hadir sebagai peringatan bagi perempuan untuk lebih mengapresiasi diri kita masing-masing ditengah dunia yang terlalu kritis. Menempatkan konsep ini dalam iklim sosial Indonesia, sayangnya masih banyak yang menyalahpahami tujuan gerakan ini sebagai ajang narsis atau bahkan malah mendukung objektifikasi terhadap perempuan. Maka dari itu, kami berbincang dengan beberapa tokoh perempuan Indonesia mengenai makna gerakan body positivity bagi mereka, tempatnya dalam iklim sosial Indonesia yang cukup konservatif sampai cara mengapresiasi diri dalam keseharian.
Meira Anastasia
Penulis “Imperfect: A Journey to Self-Acceptance”
Bagaimana dampak gerakan body positivity mempengaruhi Anda secara pribadi?
Setelah mengenal gerakan body positivity, secara pribadi saya merasa terbantu banget. Dari yang awalnya punya persepsi yang cukup buruk terhadap tubuh sendiri, menjadi lebih bisa melihat tubuh dengan cara yang lebih positif. Maksudnya, berusaha untuk lebih fokus pada apa saja yang bisa dilakukan atau sudah dilakukan oleh tubuh bagi kehidupan kita dan bukan hanya melihat dari sisi estetika atau luarannya saja. Saya juga lebih jarang membandingkan bentuk tubuh saya dengan orang lain, karena saya mengerti kalau tubuh masing-masing perempuan itu berbeda-beda, dan jadi berbeda itu gak apa-apa.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini dapat diaplikasikan pada iklim sosial Indonesia yang masih cukup konservatif?
Menurut saya, walaupun iklim sosial kita masih konservatif, gerakan body positivity sudah mulai makin dikenal, terutama di kota besar. Memang belum dalam taraf yang ideal, tapi menurut saya perlahan-lahan gerakan ini mulai meluas. Contohnya, beberapa tahun yang lalu ketika saya mulai mengenal tentang body positivity dari akun Instagram influencer luar (seperti Amerika), di Indonesia masih jarang yang membicarakan tentang hal ini. Tapi di tahun 2020, sepertinya sudah banyak influencer yang mau membuka diri untuk membicarakan tentang body positivity dari kacamata mereka masing-masing. Dan ini adalah angin segar, di tengah gempuran konten media sosial yang lebih banyak memperlihatkan kesempurnaan bentuk tubuh.
Self acceptance dan body positivity merupakan dua pernyataan yang kerap kita temukan di media sosial sekarang. Menurut Anda, sampai sejauh mana pernyataan-pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai aktivisme atau malah sebagai ajang narsis di media sosial?
Kapan self-acceptance dan body positivity dinilai sebagai sebuah aktivisme atau ajang narsis? Menurut saya, semua tergantung pada persepsi masing-masing orang yang melihatnya. Post tentang apa pun, gak perlu soal self-acceptance dan body positivity, akan bisa dinilai sebagai ajang narsis kalau orang mau melihatnya seperti itu. Jadi ya benar-benar subjektif aja sih. Tergantung cara orang melihatnya seperti apa. Saya percaya, apapun niat dibaliknya, membicarakan tentang self-acceptance atau body positivity adalah hal yang PENTING untuk dilakukan. Kita (di Indonesia) masih di dalam tahap memperkenalkan tentang gerakan ini kepada lebih banyak perempuan, jadi menurut saya akan lebih baik untuk melihat sisi positifnya saja, yaitu semakin banyak yang peduli dengan gerakan ini.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini telah sukses melawan objektifikasi terhadap perempuan, atau sebaliknya? Mengapa?
Objektifikasi terhadap perempuan terjadi di seluruh dunia, bahkan di negara-negara yang sudah lebih dulu mengenal gerakan body positivity. Apakah gerakan ini sukses melawan objektifikasi perempuan? Yang bisa saya jawab adalah, semakin banyak perempuan yang aware dengan gerakan ini, kita semakin punya pandangan atau penilaian yang lebih tinggi terhadap diri kita sendiri, sehingga kita bisa mengenali dan melawan objektifikasi yang terjadi baik pada diri kita sendiri atau sesama perempuan. Tapi, untuk para pelaku, menurut saya kemungkinannya kecil. Kecuali mereka punya empati yang sangat besar pada perempuan, sehingga membuat mereka berubah untuk tidak melakukan itu lagi. Body positivity = empowering women.
Terlepas dari media sosial, bagaimana kita sebagai perempuan bisa menerima dan mengapresiasi diri sendiri dalam keseharian kita?
Sebagai perempuan, banyak yang bisa kita lakukan dalam dunia nyata, misalnya dengan support sesama perempuan lain. Daripada kita selalu bersaing atau bahkan saling menjatuhkan, mari kita bersama menjadi lebih kuat lagi dengan saling menguatkan. Ketika kita sudah menerima dan berdamai dengan diri kita, kita jadi bisa memberikan lebih kepada dunia luar. Karena menjadi perempuan di dunia patriarki ini sudah sulit. Yang bisa kita lakukan adalah saling support dan saling menjaga. Empowered women empower women.
Feby Indirani
Penulis “Bukan Perawan Maria” dan Jurnalis
Bagaimana dampak gerakan body positivity mempengaruhi Anda secara pribadi?
Gerakan body positivity mengingatkan saya bahwa tubuh perempuan itu beragam, tidak terkecuali tubuh saya. Saya, sebagaimana banyak perempuan lain, kerap terlalu keras pada tubuh sendiri, menghakimi lipatan di perut dan lemak di lengan, misalnya. Dengan kampanye ini, kadar menghakimi diri itu berkurang dan kembali mengingatkan saya bahwa tak peduli apakah kita kurus, bergelambir, berselulit, ataupun berotot. Bagaimanapun bentuk dan kondisi tubuh perempuan, penting untuk menerima tubuh sepenuhnya, tapi bagi banyak perempuan, termasuk saya, penerimaan adalah sesuatu yang mesti dilakukan berulang-ulang.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini dapat diaplikasikan pada iklim sosial Indonesia yang masih cukup konservatif?
Bisa, dan justru penting. Penampakan tubuh perempuan yang beragam ini juga penting untuk membiasakan publik pada tubuh perempuan yang kerap ditempatkan pada dikotomi ekstrem antara sempurna lekuknya dan ditutupi atau dikaburkan sama sekali. Iklim sosial yang konservatif memiliki nuansa dan rentang yang panjang, dan kampanye seperti ini justru mesti diperbanyak di tengah kecenderungan menguatnya penghakiman tubuh perempuan dengan ancaman penghukuman moral dan neraka di akhirat nanti.
Self acceptance dan body positivity merupakan dua pernyataan yang kerap kita temukan di media sosial sekarang. Menurut Anda, sampai sejauh mana pernyataan-pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai aktivisme atau malah sebagai ajang narsis di media sosial?
Saya memandangnya sebagai kampanye yang positif, bahkan kalaupun ada kecenderungan berperilaku narsis. Bagaimanapun, hal yang pribadi juga merupakan sesuatu yang politis (personal is political). Menampilkan tubuh perempuan secara wajar—tanpa niatan menjadikannya komoditas atau menganggapnya sebagai aib—sudah menjadi pilihan politis tersendiri di tengah kecenderungan masyarakat yang menghakimi tubuh perempuan.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini telah sukses melawan objektifikasi terhadap perempuan, atau sebaliknya? Mengapa?
Saya percaya sukses adalah sesuatu yang berjenjang. Selama gerakan ini dilakukan dengan kesadaran penuh, dan para pelakunya saling mengingatkan akan hal tersebut, lalu gerakan ini bisa menciptakan percakapan baru yang konstruktif di wacana publik, itu sudah menjadi suatu kesuksesan. Objektifikasi tubuh perempuan di media sosial bisa terjadi, misalnya apabila foto-foto tubuh perempuan yang ditampilkan atau caption yang menyertainya tidak ada konsen dari perempuan tersebut. Atau jika konten yang muncul terkait tubuh perempuan dipenuhi hegemoni penghakiman moral, misalnya menyamakan tubuh perempuan dengan permen lolipop atau menyatakan bahwa perempuan yang memperlihatkan bagian tubuh ini dan itu akan menimbulkan bencana, dan sebagainya.
Terlepas dari media sosial, bagaimana kita sebagai perempuan bisa menerima dan mengapresiasi diri sendiri dalam keseharian kita?
Saya percaya “menerima diri” bukan berarti tidak berusaha menjadi lebih baik. Terkait dengan tubuh, menjaga atau meningkatkan kebugaran, kesehatan dan keapikan adalah salah satu cara mengapresiasi tubuh sendiri sehari-hari. Karena manusia adalah makhluk spiritual dalam pengalaman fisik, penting untuk memelihara tubuh sebagai kendaraan yang kita kenakan dan gunakan selama menjalani semua pengalaman fisik tersebut.
Hannah Al Rashid
Aktris dan UN Indonesia SDG mover for Gender Equality
Bagaimana dampak gerakan body positivity mempengaruhi Anda secara pribadi?
Sudah beberapa tahun, sih, aware dengan gerakan body positivity karena memang follow beberapa orang yang dari dulu terlibat dalam changing perspectives tentang isu ini, terutama plus size models seperti Nadia Aboulhosn, Tess Holliday dan Ashley Graham. Jameela Jamil dengan gerakannya “I Weigh” adalah karakter yang menginspirasi saat dia berani bertarung melawan diet-tea industry dan KOL mereka. KOL mereka ini telah menjadi by product dalam bentuk agen toksik diet-tea industry, yang lewat product tersebut mereka melanggengkan negative or unrealistic ways of being a woman. Mungkin karena follow orang-orang ini, secara pribadi gue menjadi makin aware tentang isu ini, dan waspada dengan media, product atau orang yang perpetuate that negativity, and try to avoid them.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini dapat diaplikasikan pada iklim sosial Indonesia yang masih cukup konservatif?
Seharusnya bisa, tapi kita juga harus pintar dalam mengadvokasi suatu isu. Body positivity seharusnya menjadi gerakan yang inklusif, the movement shouldn’t separate between class or race or religion, because it affects every woman. Akan ada perempuan yang merasa empowered oleh body positivity campaigns yang show actual parts of women’s bodies or show nudity, ada juga perempuan yang akan merasa empowered oleh modesty. The focus should be on our right to choose who we want to be, that choice is where true empowerment lies.
Self acceptance dan body positivity merupakan dua pernyataan yang kerap kita temukan di media sosial sekarang. Menurut Anda, sampai sejauh mana pernyataan-pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai aktivisme atau malah sebagai ajang narsis di media sosial?
Generasi demi generasi, kami perempuan-perempuan seluruh dunia dibombardir dengan objectifying images of ourselves, dibombardir dengan narasi yang justru diciptakan oleh lelaki bahwa menjadi “perempuan yang baik” harus begini dan begitu. Taking control of that narrative now, with words like “self acceptance” and “body positivity” I believe is a step towards us empowering ourselves. Perbedaan antara ajang narsis di media sosial dan ini sebagai bentuk activism baru mungkin bisa dilihat dari sisi konsistensi orangnya aja. If you consistently raise awareness and fight for a specific cause, and highlight other women for doing the same, then I don’t believe it to be narcissism.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini telah sukses melawan objektifikasi terhadap perempuan, atau sebaliknya? Mengapa?
I’m not sure to be honest. Cara membicarakan dan memperlihatkan body positivity pasti akan berbeda untuk setiap perempuan dan akan memancing reaksi yang berbeda di setiap perempuan. Tapi saya yakin keberagaman dalam “being a woman” sangatlah penting. Representasi sangat penting. Selama kita hanya melihat bentuk badan, atau warna kulit, atau tipe rambut yang sama terus, jutaan perempuan tidak akan merasa terwakili. So diversity is paramount.
Terlepas dari media sosial, bagaimana kita sebagai perempuan bisa menerima dan mengapresiasi diri sendiri dalam keseharian kita?
Kuncinya di rasa bersyukur saja menurut gue. Be grateful. For everything you have been given, be grateful. Gue sering banget mengeluh karena tidak memiliki kaki yang langsing dan toned, tapi I’m so grateful to have legs! Kekurangan apapun yang gue rasakan sama diri sendiri, gue selalu berusaha untuk turn it into gratitude saja.
Ucita Pohan
Penyiar Radio, MC, dan Penulis “Bicara Tubuh”
Bagaimana dampak gerakan body positivity mempengaruhi Anda secara pribadi?
Buat aku, dampak gerakan body positivity membuat aku menjadi lebih optimis melihat kemajuan dari pola pikir dan keterbukaan pikiran orang-orang, terutama di Indonesia. Karena dengan gerakan body positivity yang makin digaungkan, buat aku sendiri yang juga punya pemikiran sejalan, aku jadi lebih gampang membuka conversation tersebut ke orang-orang sekitar karena mereka juga mendapatkan paparan yang sama dari lingkungan sekitar mereka. Jadi akhirnya, conversations tentang body positivity buat aku, selain makna personalnya membuat aku menjadi lebih optimis sama diriku, jadi lebih optimis juga untuk menyebarkan atau membagikan conversation yang cerdas tentang body positivity itu sendiri.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini dapat diaplikasikan pada iklim sosial Indonesia yang masih cukup konservatif?
Menurut aku bisa diaplikasikan, karena optimisme tadi. Buat aku, segala sesuatu yang message-nya positif pasti ada dampaknya walaupun memang bisa dibilang iklim sosial Indonesia masih konservatif. Well, sebenarnya itu tergantung dengan cara bagaimana kita melihat. Kalau di zoom out, mungkin iya seluruh Indonesia, tapi untuk lingkungan-lingkungan di kota-kota besar yang lebih maju, aku melihat itu sangat applicable dan perkembangannya pun cukup pesat. Terutama di kalangan anak-anak muda atau millennials, generasi-generasi penerus yang nantinya akan menjadi generasi yang mengambil keputusan di tahun-tahun ke depan. Jadi, buat aku bisa kok diaplikasikan.
Self acceptance dan body positivity merupakan dua pernyataan yang kerap kita temukan di media sosial sekarang. Menurut Anda, sampai sejauh mana pernyataan-pernyataan tersebut dapat dianggap sebagai aktivisme atau malah sebagai ajang narsis di media sosial?
Tipis antara aktivisme atau ajang narsis, tapi selama dampaknya masih bisa empower orang lain, buat aku it’s okay. Karena, kalaupun memang ternyata ada kecenderungan narsis atau ingin tampil, tapi kalau yang disuarakan itu sesuatu yang dampaknya membawa kebaikan atau ke arah yang positif, buat aku itu masih hal yang manusiawi. Even though sebetulnya kita bisa membedakan mana yang memang betul-betul ingin menyebarkan pesan ini sebagai aktivisme dan mana yang cuman mengambil kesempatan untuk membuat tema ini menjadi panggungnya. Akan kelihatan, kok, intention-nya berbeda, dari dua tipe orang yang membagikannya di media sosial. Jadi manusiawi kok menurut aku kalau dua hal ini terjadi.
Menurut Anda, apakah gerakan body positivity ini telah sukses melawan objektifikasi terhadap perempuan, atau sebaliknya? Mengapa?
Perihal gerakan body positivity dibilang sukses melawan objektifikasi, aku enggak tahu ukurannya apa kita bisa bilang sebuah gerakan itu sukses atau tidak. Kalau misalkan dilihat dari angka besar pun aku tidak tahu angkanya dan grafiknya. Tapi, mengenai melawan objektifikasi terhadap perempuan, at least buat aku body positivity tuh satu gerakan yang membuat kita sedikit demi sedikit lebih pintar. Jadi, kalau menurut aku, ini perjalanan panjang yang tidak bisa dibilang sukses atau tidak sukses sekarang.
Terlepas dari media sosial, bagaimana kita sebagai perempuan bisa menerima dan mengapresiasi diri sendiri dalam keseharian kita?
Keseharian dalam kehidupan nyata sekarang, terkadang memang terbagi waktunya sama waktu kita explore media sosial dan punya “kehidupan lain” di media sosial. Bagaimana kita bisa menerima dan mengapresiasi diri dalam keseharian sebetulnya hampir sama seperti kegiatan social media kita. Hal itu bisa dijadikan tools untuk membuat kita nyaman sama keseharian kita. Misalnya, dengan stop membandingkan dan comparing diri kita di kehidupan nyata maupun di kehidupan dunia maya, karena comparison is a thief of joy.
Sebetulnya bukan cuman thief of joy menurut aku ketika kita membanding-bandingkan diri dengan orang lain, itu adalah sesuatu yang nggak pada tempatnya. It doesn’t make sense sebenarnya, karena semua orang terlahir berbeda, punya keadaan yang berbeda, punya challenge yang berbeda, dan punya lingkungan yang berbeda, nggak ada yang sama. Jadi, untuk mengapresiasi diri sendiri, mungkin yang bisa dilakukan adalah mengenali siapa diri kita, lingkungan di sekitar kita seperti apa, dan kemauan di dalam diri kita seperti apa. Itu akan lebih memudahkan kita, daripada kita membandingkan diri dengan penampilan orang lain atau hal-hal dari orang lain yang hanya kita bisa lihat dari luarnya saja.