Suara Orang Papua Tentang Permasalahan Rasisme yang Sering Terjadi di Indonesia
Kami berbincang dengan beberapa masyarakat Papua mengenai akar permasalahan rasisme yang sering dihadapkan oleh mereka di Indonesia, hingga merubah cara pandang keliru publik mengenai Papua.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Hanindito Buwono
Ilustrasi: Mardhi Lu
Permasalahan yang terjadi di Tanah Papua hingga sekarang masih menjadi persoalan yang sulit untuk ditemukan jalan tengahnya. Dengan isu rasisme yang kembali dihadapkan oleh orang Papua, membuat berbagai pertanyaan muncul mengapa hal demikian masih jamak ditemukan di tengah masyarakat kita. Beberapa upaya pemerintah saat ini tampaknya sedang berusaha untuk menyelesaikan kompleksitas ini, melalui merangkul lebih masyarakatnya yang berada di ujung timur Indonesia dengan beragam kebijakan. Namun, apakah sudah cukup untuk mengatasinya? Dengan latar belakang tersebut, kami berbincang dengan beberapa masyarakat Papua mengenai awal mula permasalahan rasisme yang sering terjadi oleh orang Papua di Indonesia, bagaimana peran pemerintah bisa menanggulangi problem yang hingga saat ini belum terselesaikan, hingga cara merubah pandangan yang keliru tentang Papua kepada publik.
Victor Mambor
Jurnalis & Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi
Menurut Anda, apa sebenarnya definisi identitas sebagai orang Papua?
Saya bukan lahir di Papua, tapi saya besar di Papua. Saya merasa menjadi orang Papua karena saya masih memiliki relasi dengan kampung dan tanah yang menjelaskan asal usul Kepapuaan saya serta keluarga saya.
Papua selalu dianggap berbeda di mata masyarakat Indonesia, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Bagaimanapun, Papua pasti berbeda di mata masyarakat Indonesia. Secara fisik, budaya dan etnis sudah berbeda. Namun tidak seharusnya masyarakat Indonesia melihat Papua itu berbeda. Menurut saya, ini terjadi karena masyarakat Indonesia pernah mengalami penjajahan dalam waktu yang cukup lama. Bagi saya, inilah praktek neocolonialism. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia secara sadar dan tidak sadar diarahkan oleh pemerintah Indonesia melalui regulasi yang dibuat, narasi yang dibangun, hingga pembangunan yang menyingkirkan orang Papua untuk melihat Papua secara berbeda demi menegaskan kontrol atas perekonomian, budaya, dan bahasa setelah kontrol politik dianggap selesai oleh pemerintah Indonesia sejak integrasi (versi Indonesia) atau aneksasi (versi Papua). Jika tidak dilihat sebagai masyarakat yang berbeda, pemerintah akan sulit menegaskan kontrol tersebut. Ini hal yang logis untuk negara-negara yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa.
Pandangan berbeda ini dibutuhkan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah Indonesia pada Papua di mata masyarakat Indonesia. Dalam kalimat yang sederhana, pandangan berbeda ini dikonstruksi untuk melegitimasi penguasaan sumberdaya di Papua tanpa harus bertanggung jawab pada orang-orang Papua.
Apa tanggapan Anda melihat sifat represif pemerintah dan pembungkaman media terhadap Papua yang menyebabkan suara-suara masyarakat tidak dapat didengarkan?
Sikap represif tidak akan menghentikan perjuangan Papua untuk menemukan identitas kultur maupun politik. Zaman sekarang pembungkaman media pun semakin sulit karena teknologi dan infrastruktur semakin baik. Sikap represif dan pembungkaman media ini hanya akan mempertebal simpati publik pada orang Papua, dan menjelaskan pada publik bahwa pemerintah Indonesia memang diskriminatif serta rasis pada Papua.
Bagaimana Anda melihat dengan konsep NKRI yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih untuk perlakuan rasis terhadap orang Papua?
Konsep NKRI itu untuk membangun nasionalisme masyarakat Indonesia. Jika diterapkan untuk masyarakat Papua yang belum tuntas masalah nasionalisme Keindonesiaan ini, maka yang terjadi bukan saja praktek diskriminasi ataupun rasis namun juga ‘kebingungan identitas’. ‘Kebingungan identitas’ ini akan menyebabkan sikap resisten pada masyarakat Papua, yang pada akhirnya akan berwujud konflik berkepanjangan dan kekerasan yang berulang, seperti yang terjadi hingga saat ini.
Pemerintah Indonesia saat ini merangkul banyak kepada Papua dengan proyek pembangunan infrastruktur serta penyelenggaraan PON XX, menurut Anda apakah itu kebijakan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada?
Masalah di Papua ini bukan cuma pembangunan infrastruktur atau kesejahteraan. Merujuk Road Map LIPI, masalah Papua ini berakar pada stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, serta status serta sejarah politik Papua. Jelas, kebijakan pembangunan infrastruktur ini bukan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah Papua. Bagi saya ini hanya kebijakan ‘buying time’ saja, jika kita tidak mau menyebutkan pemerintah sebenarnya tidak punya ide untuk menyelesaikan masalah Papua secara elegan.
Apa pandangan Anda dengan isu-isu luar negeri seperti gerakan Black Lives Matter, tampaknya mudah tersentuh bagi masyarakat Indonesia daripada isu yang terjadi di Papua?
Ini karena pengaruh media massa juga. Hingga saat ini isu-isu di Papua jarang diangkat oleh media-media mainstream Indonesia. Jika dulu, isu Papua sangat sulit mendapatkan tempat di media mainstream, sekarang isu Papua lebih banyak beredar di media sosial yang saat ini sangat mudah disebut sebagai ‘hoax’. Masyarakat masih kurang yakin dengan isu Papua, disisi lain, pemerintah sangat masif dalam menggunakan media massa untuk mengkampanyekan sikap dan kebijakan pemerintah yang seakan-akan pro Papua. Sementara isu di luar negeri mendapatkan tempat yang cukup di media Indonesia. Sehingga, masyarakat Indonesia bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk meyakinkan mereka terlibat dalam isu tersebut.
Sebagai orang Papua, apa yang Anda ingin sampaikan kepada publik mengenai pandangan yang keliru mengenai Papua?
Memahami Papua ini tidak mudah. Trauma panjang yang dialami oleh rakyat Papua sangat berpengaruh pada relasi Papua dan Indonesia. Jadi sebelum kita mencoba memahami Papua, marilah kita coba pahami empat akar masalah yang sudah dirumuskan LIPI, yakni stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan status serta sejarah politik Papua.
Johno Surodji Sembor
Model & Founder The Papuan Movements
Menurut Anda, apa sebenarnya definisi identitas sebagai orang Papua?
Menurut pandangan saya pribadi definisi identitas sebagai orang Papua bukan hanya dari visual (fisik) saja, tetapi juga dari diri kita yang menerima (bangga dengan dari mana kita berasal) dan selalu ingat untuk pulang ke Papua walau sudah di ujung bumi manapun, tetapi tidak lupa dari mana kita berasal (awalnya kita memulai hidup).
Papua selalu dianggap berbeda di mata masyarakat Indonesia, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Kurangnya edukasi, representasi, toleransi, dan hidup di lingkungan homogen, memang secara visual (fisik) serta juga budaya kita berbeda. Tetapi, jika seseorang menganggap dirinya sebagai orang Indonesia seharusnya dia paham dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
Apa tanggapan Anda melihat sifat represif pemerintah dan pembungkaman media terhadap Papua yang menyebabkan suara-suara masyarakat tidak dapat didengarkan?
Selamat datang di Indonesia!
Bagaimana Anda melihat dengan konsep NKRI yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih untuk perlakuan rasis terhadap orang Papua?
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya kurangnya edukasi, dengan sikap pemerintah yang malas tau atau ignorant. Hanya untuk kepentingan pribadi/kelompok petinggi. Membawa NKRI sebagai alasan untuk bertindak semena-mena terhadap kaum minoritas.
Pemerintah Indonesia saat ini merangkul banyak kepada Papua dengan proyek pembangunan infrastruktur serta penyelenggaraan PON XX, menurut Anda apakah itu kebijakan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada?
Proyek pembangunan infrastruktur itu kan kewajiban pemerintah, karena sering ada perkataan seperti ini, “Harusnya bersyukur sudah diberi pembangunan infrastruktur,” padahal emang itu kewajiban suatu negara untuk memajukan negaranya. Sepertinya itu tidak menyelesaikan masalah yah, hanya memberi solusi yang tidak memecahkan masalah.
Apa pandangan Anda dengan isu-isu luar negeri seperti gerakan Black Lives Matter, tampaknya mudah tersentuh bagi masyarakat Indonesia daripada isu yang terjadi di Papua?
Mau peduli terhadap ‘BLM’ menurut saya sah-sah saja, tetapi sebaiknya kita juga peduli dengan isu-isu yang terjadi di dekat atau di depan mata kita (di negara sendiri). Saya sendiri berusaha menerima dan memahami identitas atau jati diri saya sebagai orang Papua Indonesia. Belajar menjadi manusia merdeka! Menghargai, menerima, dan respek dengan budaya yang kita punya di negara ini.
Sebagai orang Papua, apa yang Anda ingin sampaikan kepada publik mengenai pandangan yang keliru mengenai Papua?
Pertama-tama edukasi diri kalian sendiri, jangan selalu mengkotak kotakan individu atau kelompok masyarakat/suku yang berbeda dari Indonesia, khususnya untuk orang Papua yang sering dibedakan atau kesalahpahaman pandangan terhadap kami yang ada di media mainstream.
Bella F. Onama
Mahasiswi
Menurut Anda, apa sebenarnya definisi identitas sebagai orang Papua?
Sejatinya, Papua adalah surga yang jatuh ke bumi. Orang Papua dikenal memiliki kasih yang besar kepada sesama.
Papua selalu dianggap berbeda di mata masyarakat Indonesia, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Karena dari segi ras, kami berbeda warna kulit dan tekstur rambut dengan kebanyakan orang yang tinggal di wilayah Indonesia bagian Barat. Kemudian karena berada di ujung pulau Indonesia, kami memiliki banyak ketertinggalan.
Apa tanggapan Anda melihat sifat represif pemerintah dan pembungkaman media terhadap Papua yang menyebabkan suara-suara masyarakat tidak dapat didengarkan?
Amat sangat geram karena sebagai masyarakat yang menganut paham demokratis, kami merasa hak kami diambil. Berasa sudah tidak punya hak walau hanya sekedar menyuarakan hal yang tidak kami terima.
Bagaimana Anda melihat dengan konsep NKRI yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih untuk perlakuan rasis terhadap orang Papua?
Bagaimana bisa kami masih bagian dari NKRI kalau kami tidak dianggap sama sekali.
Pemerintah Indonesia saat ini merangkul banyak kepada Papua dengan proyek pembangunan infrastruktur serta penyelenggaraan PON XX, menurut Anda apakah itu kebijakan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada?
Tidak, masalah di Papua ada banyak yang sudah lama terpendam dan dibiarkan begitu saja. Bukan tentang infrastrukturnya saja. Seharusnya Papua membutuhkan lembaga pendidikan maupun universitas yang tingkatnya setara dengan Indonesia bagian Barat, agar SDM disini tidak selalu dipandang rendah dan bisa berkontribusi membangun Papua menjadi lebih baik lagi.
Apa pandangan Anda dengan isu-isu luar negeri seperti gerakan Black Lives Matter, tampaknya mudah tersentuh bagi masyarakat Indonesia daripada isu yang terjadi di Papua?
Rasanya lucu saja untuk mengurusi masalah diluar Indonesia, yang nampaknya lebih maju daripada urusan dapurnya sendiri.
Sebagai orang Papua, apa yang Anda ingin sampaikan kepada publik mengenai pandangan yang keliru mengenai Papua?
Saya menyarankan kepada mereka untuk datang dan berkontribusi ke Papua sebelum bisa menilai. Karena Papua tidak seperti apa yang kalian pikirkan selama ini.
Achram Harveliono Bay
Staf DPR Dapil Papua
Menurut Anda, apa sebenarnya definisi identitas sebagai orang Papua?
Ini pertanyaan yang sangat bagus. Istilah “orang Papua” menurut saya belakangan ini memiliki makna yang multitafsir. Karena sering sekali kebanyakan orang, khususnya teman-teman saya yang bukan “Orang Asli Papua” menyebut/menganggap diri mereka sebagai “orang Papua”, karena mereka lahir besar di Tanah Papua. Mungkin hal seperti ini juga banyak terjadi di daerah lain. Sebetulnya, tidak menjadi masalah, karena artinya dia/mereka memiliki rasa cinta/rasa kepemilikan terhadap tanah kelahirannya. Namun kemudian, fenomena ini (sering kali) pada kenyataannya membuat hak-hak “Orang Asli Papua” semakin terpinggirkan/tergeserkan. Maka dari itu, muncullah istilah ‘OAP’ (Orang Asli Papua), yang mana ‘OAP’ ini memiliki hak kekhususan/keistimewaan atas tanah mereka sendiri yang dijamin oleh Undang-Undang. Nah sekarang, apa ‘OAP’ itu? ‘OAP’ atau Orang Asli Papua, dalam pelaksanaannya (hingga saat ini) adalah orang Papua yang memiliki garis keturunan Papua dari Bapaknya. Istilah ‘OAP’ ini berpegang teguh kepada patrilineal, karena dalam adat Papua, pemberian ‘marga’ bagi anak harus mengikuti garis keturunan Bapak. Tetapi tidak sedikit juga ada mereka yang diberi ‘marga’ dari Ibunya, biasanya kejadian seperti ini diikuti dengan pemberian hak dalam bentuk tanah atau warisan adat, misalnya kebun.
Papua selalu dianggap berbeda di mata masyarakat Indonesia, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Perbedaan fisik, warna kulit, dan bentuk postur, pasti sangat terlihat jelas berbeda dengan masyarakat Indonesia dari daerah lain. Itu kalau kita lihat makna ‘perbedaan’ ini dari sesuatu yang ‘nampak’. Tetapi menurut saya sendiri, perbedaan pandangan masyarakat Indonesia (khususnya di wilayah selain Timur) terhadap orang Papua disebabkan oleh alasan-alasan yang jauh lebih penting; rendahnya tingkat pendidikan, akses penghubung dari satu daerah ke daerah lainnya yang masih sangat tertinggal atau bahkan sama sekali tidak tersedia, kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai, tingginya angka kemiskinan, dan masih banyak (permasalahan) lagi yang menurut saya, ketika kita dihadapkan dengan orang Papua, kita seperti dihadapkan dengan masyarakat yang tinggal di zaman/waktu yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang hidup di wilayah perkotaan, khususnya Pulau Jawa. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya, secara tidak sadar, yang nantinya akan melahirkan benih-benih ‘rasisme’.
Apa tanggapan Anda melihat sifat represif pemerintah dan pembungkaman media terhadap Papua yang menyebabkan suara-suara masyarakat tidak dapat didengarkan?
Tentu sering kali saya merasa kecewa. Membangun Papua, idealnya adalah dialog dari hati ke hati. Saya sangat memimpikan suatu saat pemerintah kita bisa duduk berdialog dengan masyarakat Papua, mendengarkan isi hati mereka, sehingga saudara-saudari saya tidak perlu harus selalu aksi turun ke jalan yang akhir-akhirnya pasti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Terlalu banyak orang Papua yg terluka dan bahkan mati hingga hari ini. Tindakan represif sampai kapanpun tidak akan pernah menyelesaikan masalah/konflik yang terjadi di Tanah Papua, karena persoalan yang dihadapi hari ini adalah persoalan demokrasi-politis. Pembungkaman media yang sering terjadi menjadikan dinamika praktis di Papua menjadi tidak seimbang, dan ini menjadikan kita kehilangan substansi ‘diplomatic‘ di dunia internasional, yang pada akhirnya melahirkan ‘distrust‘.
Bagaimana Anda melihat dengan konsep NKRI yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih untuk perlakuan rasis terhadap orang Papua?
Saya sering berdiskusi dengan rekan-rekan, khususnya dengan Ayah saya terkait persoalan ini. Konsep pembangunan NKRI, khususnya di Tanah Papua perlu diubah pendekatannya. Yang perlu saat ini dilakukan adalah, bagaimana caranya kita berpikir sama-sama untuk membangun konsep Kepapuaan dalam Keindonesiaan. Kita selama ini, sedari dulu, selalu memfokuskan pada hal yang sebaliknya. Padahal, untuk membentuk suatu keadaan yang diharapkan, perlu dilakukan keduanya. Membangun ‘Kepapuaan’ dalam bingkai ‘Keindonesiaan’, menurut hemat saya, akan menciptakan rasa yang adil, diakui, dan diterima menjadi bagian dari kebhinekaan itu sendiri. Ketika hal ini terjadi, tendensi rasialisme akan hilang dengan sendirinya.
Pemerintah Indonesia saat ini merangkul banyak kepada Papua dengan proyek pembangunan infrastruktur serta penyelenggaraan PON XX, menurut Anda apakah itu kebijakan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada?
Pada dasarnya, memang sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah di daerah manapun di Indonesia, untuk menyediakan dan membangun infrastruktur bagi masyarakatnya (yang sudah membayar pajak), agar dapat menjalankan kegiatan/aktivitas sehari-hari. Pembangunan infrastruktur di daerah, merupakan inisiatif/kewenangan dari Pemerintah Daerahnya sendiri karena Indonesia menganut sistem desentralisasi. Yang kita lihat hari ini, adalah bagaimana kita menyaksikan Pemerintah Pusat menaruh perhatian dan fokus penuh terhadap pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, tujuannya adalah tentunya untuk mengejar ketertinggalan ketersediaan berbagai macam bentuk infrastruktur di Papua dengan daerah lainnya di Indonesia. Apakah hal ini nantinya akan menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi di Papua? Tentu saja. Saya sebagai orang Papua, menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana sulitnya masyarakat Papua mendapatkan berbagai macam fasilitas (kesehatan, pendidikan, logistik, dan lain-lain) yang disebabkan oleh tidak tersedianya infrastruktur yang memadai (khususnya jalan darat yang mengintegrasikan satu daerah/kabupaten/kota dengan satu sama lainnya). Hal ini yang juga menyebabkan tingginya harga barang karena mobilisasi yang ditempuh memakan waktu dan biaya yang sangat amat banyak.
Mengenai PON XX, saya jujur sama sekali tidak melihat relevansi penyelenggaraan olahraga akbar nasional ini sebagai salah satu upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah atau isu yang terjadi di Papua hari ini. Mungkin bisa dibilang agak jauh untuk menyentuh sana ya. Karena setahu saya, PON di tiap provinsi itu diatur dan diselenggarakan oleh daerah/provinsi itu sendiri, sehingga, tanggung jawab PON XX ini ada tangan Provinsi Papua. Namun saya yakin dan percaya, semangat PON XX Papua ini adalah upaya Pemerintah Provinsi Papua untuk menunjukkan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia bahwa Papua mampu menyelenggarakan event olahraga nasional yang bergengsi serta menjadi tuan rumah yang baik, tentunya dengan harapan sembari memperkenalkan daerah dan kebudayaannya secara langsung. Akan tetapi, menurut saya pribadi, penyelenggaraan PON XX kali ini perlu dipertimbangkan kembali waktu penyelenggaraannya dikarenakan kondisi pandemi yang sedang memburuk. Kalau bisa diundur, lebih baik diundur, tidak ada urgensi menurut saya. Keselamatan dan kesehatan manusia lebih penting. Orang Papua jumlahnya sudah sedikit, tidak perlu mengambil resiko yang membahayakan.
Apa pandangan Anda dengan isu-isu luar negeri seperti gerakan Black Lives Matter, tampaknya mudah tersentuh bagi masyarakat Indonesia daripada isu yang terjadi di Papua?
Sejujurnya saya kurang paham ya kalau masalah ini. Mungkin isu itu lebih terlihat ‘keren’ bagi kebanyakan orang untuk diposting 🤣
Sebagai orang Papua, apa yang Anda ingin sampaikan kepada publik mengenai pandangan yang keliru mengenai Papua?
Bahwa orang Papua ingin dirangkul, ingin diikutsertakan, ingin diakui, ingin dianggap, ingin diajak berkomunikasi. Stigma masyarakat Indonesia kebanyakan yang sudah bukan lagi menjadi rahasia umum adalah mereka selalu merasa ‘takut’ hanya karena melihat fisik orang-orang Papua. Saya selalu bercerita ke siapapun, bahwa orang Papua janganlah selalu dilihat dari apa yang selalu nampak. Jangan biarkan stigma orang Papua ‘begini-begitu’ tanpa memastikannya sendiri. Hal inilah yang sebetulnya secara tidak sadar, menjadi pemeliharaan terhadap benih-benih rasisme. Orang Papua memiliki keunggulan ketulusan hati, penyayang. Ajaklah orang Papua berkomunikasi. Rangkul orang Papua agar orang Papua merasa mereka juga bagian dari Indonesia. Kalau masyarakat Indonesia semuanya memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya tinggal di Papua, saya rasa masyarakat akan kaget dan malu, bagaimana orang Papua memperlakukan saudara-saudarinya yang datang dari perantauan. Karena di sanalah, cermin/potret toleransi sesungguhnya berada.
Dorthea Elisabeth W.
Alumni Hubungan Internasional Universitas Parahyangan
Menurut Anda, apa sebenarnya definisi identitas sebagai orang Papua?
Saya pribadi awalnya berpikiran sangat sempit, bahwa orang Papua berarti orang-orang dengan ciri-ciri spesifik memiliki warna kulit gelap dan rambut yang keriting. Tetapi seiring dengan perkembangan situasi yang ada di Papua saat ini, definisi identitas sebagai orang Papua menurut saya adalah orang asli Papua dan orang yang mungkin secara fisik berbeda, tetapi punya hati bagi Tanah Papua.
Papua selalu dianggap berbeda di mata masyarakat Indonesia, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Menurut pengalaman saya saat pergi merantau ke Bandung, masyarakat dari luar Papua cenderung berpikir bahwa Papua adalah tempat yang terlambat untuk maju. Hal ini ditunjukkan dari pertanyaan-pertanyaan yang saya dapatkan seperti, “Apakah kami masih tinggal di rumah yang tidak layak,” atau, “Apakah di Papua ada internet,” dan sebagainya. Lalu ada juga teman saya orang Batak yang saat dia memperkenalkan diri, dia justru mendapatkan pertanyaan seperti, “Kamu dari Papua? Kenapa rambutnya lurus dan kulitnya putih?’”
Saya mengambil kesimpulan bahwa ini terjadi karena shaping yang dilakukan oleh media Indonesia. Saya pernah lihat bahwa bagian-bagian yang ditunjukkan oleh media bukanlah kehidupan kota, tapi kehidupan dari masyarakat pedalaman yang membuat orang-orang berpikir bahwa kami masih primitif.
Apa tanggapan Anda melihat sifat represif pemerintah dan pembungkaman media terhadap Papua yang menyebabkan suara-suara masyarakat tidak dapat didengarkan?
Ironis ya? Hehehe. Menurut saya ini hal yang paradox untuk dilakukan oleh negara dengan sistem demokrasi. Pembungkaman media dan sifat represif ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ‘salah’ dilakukan oleh pemerintah. Saya sejujurnya berada di posisi dilema, karena background saya Ilmu HI dan saya mengerti bahwa hal ini lumrah terjadi di dalam dunia perpolitikan, tapi saya juga sedih sebagai orang Papua.
Bagaimana Anda melihat dengan konsep NKRI yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih untuk perlakuan rasis terhadap orang Papua?
Alasan apapun yang digunakan oleh siapapun untuk merendahkan manusia lain itu tidak benar menurut saya. Kita saling menghargai karena kita sesama manusia, bukan karena ideologi atau karakter fisik.
Pemerintah Indonesia saat ini merangkul banyak kepada Papua dengan proyek pembangunan infrastruktur serta penyelenggaraan PON XX, menurut Anda apakah itu kebijakan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada?
Terkait dengan pembangunan infrastruktur saya salah satu yang berpikir ini bukanlah kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sejauh ini situasi yang ada di Papua masih sama saja dengan sebelum infrastruktur dibangun bahkan jauh lebih parah. Kebijakan ini kemudian terlihat seperti seorang Ibu yang ingin menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dengan memberi uang, padahal seumur anak itu dia dipukul. Dia tidak akan tiba-tiba menyayangi ibunya, karena luka yang dia punya masih ada.
Saya pikir, penting untuk pemerintah betul-betul menyelesaikan akar persoalan. Pelanggaran HAM, menjelaskan sejarah integrasi yang sebenarnya, lalu berupaya agar tidak ada ketimpangan yang jauh antara Papua dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Untuk penyelenggaraan PON XX sendiri, sebenarnya saya tidak berpikir sebagai bentuk penyelesaian permasalahan, karena ini agenda nasional yang sudah berjalan sejak lama.
Apa pandangan Anda dengan isu-isu luar negeri seperti gerakan Black Lives Matter, tampaknya mudah tersentuh bagi masyarakat Indonesia daripada isu yang terjadi di Papua?
Menurut apa yang saya amati di beberapa media sosial yang berbeda, betul ini yang terjadi. Terutama saat kasus George Floyd terjadi. Semua orang di media sosial saya terutama yang bukan orang Papua ikut mengecam tindakan pelaku. Awalnya shock, kayak, “Hei, selama ini tuh hal yang sama terjadi juga loh di negara kita sendiri.”
Saya sejujurnya tidak tau apa alasan mereka kenapa lebih tersentuh dengan isu luar negeri. Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam benak saya adalah, apakah ini artinya setiap masyarakat tau apa yang terjadi di Papua itu salah, tetapi mereka tidak mau punya rasa simpati yang sama kepada George Floyd? Mungkinkah level ignorance terhadap apa yang terjadi di Papua sangat tinggi? Atau juga karena media yang membuat informasi tentang kejadian-kejadian yang sama tidak muncul secara umum di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai orang Papua, apa yang Anda ingin sampaikan kepada publik mengenai pandangan yang keliru mengenai Papua?
Saya harap dengan perkembangan media sosial yang pesat ini, lebih banyak bisa mulai aware dan mau mencari tahu tentang apa yang terjadi disekitarnya. Terutama tentang apa yang terjadi di Papua atau tentang Papua. Lalu, tidak semua hal harus dipersulit dan merupakan masalah politik. Jika ada saudara yang mengalami perlakukan yang tidak adil, atau ada orang yang butuh bantuan, saya harap kita bisa saling memperhatikan karena itulah yang harus dilakukan sesama manusia. Saling menghargai dan saling melindungi.