Simpati dan Empati Terhadap Hewan Bersama Christian Joshua Pale
Sosok di balik Yayasan Sarana Metta Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hewan mulai dari menyadarkan masyarakat hingga menegakkan hukum perlindungan hewan di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Gernas Geraldi
Foto: Ardi Widja
Christian Joshua Pale atau yang lebih sering dipanggil dengan panggilan “nyai” oleh para followers-nya di Instagram adalah seorang aktivis perlindungan hewan sekaligus animal rescuer di Indonesia. Mengawali karirnya sebagai pengajar bidang Ilmu Pengetahuan Alam di sebuah sekolah dasar di daerah Serpong, ia kemudian berbalik arah dan terjun menjadi menjadi animal rescuer sekaligus menjalankan Yayasan Sarana Metta Indonesia yang merupakan shelter untuk “anak-anak”-nya, panggilan sayangnya kepada anjing-anjing hasil penyelamatannya. Kami berkesempatan untuk mengunjungi shelter-nya dan berbincang mengenai pengalaman hidupnya dalam menjadi animal rescuer hingga proses penegakkan hukum perlindungan hewan yang ia lakukan bersama dengan kerabat-kerabatnya.
Apa yang membuat Anda ingin menjadi animal rescuer?
Sebenarnya, saya lebih senang disebut aktivis. Awalnya saya tidak hanya mulai dari menyelamatkan hewan-hewan saja, tetapi juga bergerak di bidang kemanusiaan. Mungkin jika masih ingat dengan kasus Satinah, seorang TKI yang sempat akan di hukum mati di Arab Saudi, pada waktu itu saya ikut untuk menolak hukuman tersebut bersama dengan Melanie Subono. Kami melakukan aksi 1000 lilin di Bundaran HI.
Jika bukan kita sendiri yang menolong hewan-hewan ini, lalu siapa lagi? Karena hewan-hewan ini tidak bisa berbicara.
Kalau aktivitas untuk hewan awalnya dari penyelamatan penyu Bali asli Pantai Kuta. Karena, di sana banyak yang belum terekspos. Padahal, Pantai Kuta itu sebenarnya punya hewan asli khas sana. Tapi, saat itu masih banyak masyarakat yang mengkonsumsi daging penyu dan telurnya. Nah, alasan saya kenapa mau menyelamatkan hewan, basic-nya sih gini. Kita semua manusia ‘kan punya akal dan pikiran. Istilah kasarnya, manusia adalah makhluk yang superior. Artinya memiliki kuasa “lebih”. Tapi, banyak dari manusianya sendiri yang terkadang dengan sadar melakukan animal abuse. Nah, jika bukan kita sendiri yang menolong hewan-hewan ini, lalu siapa lagi? Karena hewan-hewan ini tidak bisa berbicara. Mereka tidak bisa protes atas apa yang dilakukan manusia terhadap diri mereka.
Perlindungan hukum untuk kami itu hampir tidak ada.
Apa latar belakang di balik berdirinya Yayasan Sarana Metta Indonesia?
Untuk proses pendiriannya sendiri, saya sudah mulai sejak tahun 2016. Dulu, sempat tertipu dengan sesama animal rescuer & dog lover sampai habis 21 juta. Jadi dari tahun 2016 itu saya sudah punya tekad untuk membuat sebuah yayasan. Karena begini, kita sebagai aktivis sering terbentur dengan Undang-Undang ITE dengan alasan pencemaran nama baik. Sementara, animal abuser memiliki hukuman yang sangat ringan. Pasal 302 KUHP yang mengatur tentang animal harassment hukuman penjaranya cuma 3-9 bulan. Ditambah lagi, saat kita melaporkan kasus animal abuse, mereka jarang ada yang mau menindaklanjuti – walaupun mereka terima laporan kita. Tak jarang bahkan, saat melakukan pelaporan pun kita harus mengingatkan kalau sebenarnya ada lho, pasalnya. Ini sering sekali terjadi. Hampir 80% tidak tahu kalau pasal tersebut ada.
Nah, aktivis seperti saya ini payung hukumnya lemah. Jujur ya, perlindungan hukum untuk kami itu hampir tidak ada. Sementara, animal abuser banyak berkeliaran di luar sana. Kalau kita ‘hantam’ dengan postingan, mereka akan berdalih dengan pencemaran nama baik. Mereka menyerang balik kami dengan Undang-Undang ITE dan itu hukumannya jauh lebih berat.
Nah, akhirnya tahun 2016 itu saya ingin tindakan yang saya lakukan ini sesuai dengan Undang-Undang dan perlindungan hukum. Maka itu saya bertekad harus mendirikan sebuah yayasan berbadan hukum dan legal. Bukan hanya bidang hukum saja, melainkan perjuangan untuk membuat rekening yayasan juga panjang banget. Sampai akhirnya, kami deal dengan salah satu bank. Mereka menyetujui setelah saya mengajukan syarat-syarat, data, dsb.
Di Indonesia masih ada beberapa daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi anjing. Bagaimana Anda merespon hal itu sebagai animal rescuer?
Untuk mengubah suatu mindset dan budaya itu hal yang susah. Karena mereka sudah menganggap kalau hal tersebut itu adalah budaya. Padahal kan tidak, menurut saya itu adalah habit. Itu adalah suatu kebiasaan yang mereka lakukan setiap hari, hingga pada akhirnya mereka menganggap itu adalah sebuah budaya. Ketika mereka memakan daging anjing, mereka itu berlindung di balik dalih, “Ini budayaku lho!”. Coba kita pikir saja, di suatu daerah ada budaya kanibalisme ada kan? Nah, budaya tersebut ‘kan tidak bagus. Setelah itu datanglah orang-orang yang istilahnya berpendidikan mengatakan, “Ini budaya kamu tidak baik lho, harus segera diubah.”
Sebenarnya dari segi kesehatan, daging anjing itu justru pemicu kolesterol, darah tinggi, dan stroke.
Yang kita bidik sekarang khususnya daerah-daerah pemakan daging anjing, caranya adalah dengan mengingatkan bahwa hal tersebut salah. Kebanyakan dari mereka mereka berlindung dibawah mindset bahwa daging anjing tersebut bermanfaat untuk kesehatan. Khususnya untuk meningkatkan trombosit bagi penderita demam berdarah. Selain itu, juga untuk mengatasi lemah syahwat. Itu kan ngaco banget. Sebenarnya dari segi kesehatan, daging anjing itu justru pemicu kolesterol, darah tinggi, dan stroke. Belum lagi anjing-anjing yang mereka konsumsi tersebut, khususnya di warung-warung makan, asal-usul kesehatannya ‘kan tidak jelas. Mungkin juga anjing-anjing bulukan di pinggir jalan diambil begitu saja. Penikmatnya tidak tahu, yang penting masakan itu sudah tersaji dan sesuai dengan lidah mereka, lalu mereka makan.
Padahal, latar belakang dari anjing yang mereka makan itu tidak jelas. Apakah anjingnya sudah divaksin? Hampir 90% anjing yang dikonsumsi itu belum divaksin. Jika kita lihat peredaran daging anjing ini, mereka rata-rata dari luar kota dan tidak divaksin. Nah, anjing-anjing tersebut bisa saja terinfeksi rabies. Oleh karena itu, kami gencar dalam mengkampanyekan koalisi Dog Meat Free Indonesia bersama Jakarta Animal Aid Network, Animal Friends Jogja, dan beberapa organisasi dari luar negeri. Koalisi tersebut saat ini sudah berhasil di kawasan Karang Anyar. Saya salut dengan Bupati di sana karena telah berani untuk mengambil keputusan yang tidak populer. Dia tidak takut pada saat pemilihan ia akan kehilangan banyak suara. Karena kan alur dari perdagangan daging anjing itu milyaran per bulannya. Itu makanya banyak kepala daerah yang tidak berani menyentuh area tersebut. Mereka takut kehilangan suara ketika masa pemilihan dan pemasukan daerah juga menurun.
Generasi pemakan daging anjing yang lebih tua akan sangat susah ketika kita meminta mereka untuk mengubah kebiasaan tersebut. Maka dari itu, kami lebih membidik generasi muda dengan cara mengedukasi melalui media sosial dan membuat campaign-campaign untuk memberitahu sebenarnya daging anjing tersebut berbahaya dan tidak layak untuk dikonsumsi oleh tubuh kita. Selain itu, anjing juga tidak termasuk hewan ternak. Ini dibahas sangat jelas di undang-undang peternakan, bahwa, anjing dan kucing bukan merupakan hewan ternak. Sebenarnya pemerintah kita ini sudah melindungi masyarakatnya termasuk dengan apa yang akan dimakan lho.
Kini bisnis jual beli hewan masih memiliki demand tersendiri di black market. Menurut Anda apa yang membuat hal ini masih ada, mengapa masih ada yang melihat hewan seringkali sebagai ‘aksesoris’?
Tahun 2018 saya bekerja sama dengan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan aktivis hewan dari Surabaya. Kami berhasil menyelamatkan satu ekor beruang madu dan masih ada kasus yang dalam proses, yaitu penyelamatan dua harimau yang dipelihara di tengah pemukiman padat penduduk. Saya menemukan kasus tersebut melalui black market ketika seseorang memposting di Facebook bahwa ia menjual beruang madu. Beruang madu tersebut kondisinya sangat miris. Beruangnya besar, tetapi kandangnya kecil di sebelah pembuangan sampah. Kondisi gusinya sudah pucat, tingkat stresnya benar-benar kelihatan, dan kejiwaannya sudah tidak sehat.
Selain itu juga, saya juga pernah membongkar perdagangan hewan langka dan dilindungi seperti kucing hutan. Yang membuat saya kaget adalah penjualan dua harimau yang masih hidup. Itu posisinya di tengah-tengah pemukiman padat penduduk dan dijaga oleh aparat. Karena hal tersebut sudah di luar wewenang saya, maka saya lebih fokus ke kasus beruang madu. Saat ini, beruang tersebut sudah berhasil diselamatkan dan dirilis di Kalimantan.
Masih banyak anjing dan kucing yang masih membutuhkan pertolongan kita. Karena masih banyak anjing dan kucing liar. Kenapa masih harus membeli?
Saya menentang segala bentuk jenis perdagangan hewan. Baik itu domestic pet seperti anjing dan kucing, apalagi hewan-hewan langka. Kami menentang keras. Karena begini, khususnya untuk anjing dan kucing. Masih banyak anjing dan kucing yang masih membutuhkan pertolongan kita. Karena masih banyak anjing dan kucing liar. Kenapa masih harus membeli? Dalam proses jual-beli itu banyak oknum-oknum breeder yang sangat-sangat sadis ketika ternak anjingnya. Alaminya, anjing itu kan melahirkannya setahun dua kali. Tapi di tangan breeder, satu tahun bisa 4-5 kali. Kenapa bisa begitu? Karena disuntik hormon. Ketika induknya disuntik hormon, otomatis akan berdampak ke genetik calon anaknya karena akan beresiko lahir cacat. Mereka lahir dengan genetik yang lemah. Akhirnya apa? Begitu terjadi transaksi, pembeli tidak tahu asal usul induknya? Ketika sudah dibeli, setelah beberapa bulan munculah kelainan genetik-genetik, entah kulitnya jadi jelek, tubuhnya tidak sempurna, atau bahkan karakternya tidak bagus. Ujung-ujungnya nanti hewan tersebut dibuang. Itu akan menjadi tugas berat untuk kami. Breeder enak, bisnis mereka tidak dikenakan pajak. Sedangkan satu induk yang melahirkan itu 4-6 anak, satu ekornya bisa sampai 7-20 juta bahkan bisa sampai 30 juta, bayangkan omzet sekali melahirkan itu bisa mencapai 100 juta. Sedangkan kami para animal rescuer yang menyelamatkan “produk gagal” mereka justru mengeluarkan uang yang lebih banyak lagi. Jika kita meminta pemerintah untuk menertibkan hal tersebut, itu susah.
Kualitas iman seseorang bisa kita lihat dari bagaimana ia memperlakukan hewan. Karena, dengan kita merawat hewan peliharaan kita atau lingkungan kita, sebenarnya itu bukti nyata ungkapan syukur kita kepada Tuhan.
Walaupun susah, kami tetap berjuang sampai nantinya ada peraturan yang mengatur sehingga oknum-oknum nakal tersebut tidak bisa seenaknya. Harapannya, semua breeder itu dilarang, cuma susah. Setidaknya, para breeder bekerja sesuai animal welfare saja, tidak asal melakukan breeding, lalu menjual tanpa melihat siapa pembelinya. Karena rata-rata anjing yang kami rescue itu dari para owner yang membeli dari breeder. Mungkin anjingnya jadi jelek, atau sakit, jadi daripada mereka melakukan pengobatan mahal, lebih baik mereka buang. Nah, mindset-mindset ini yang harus kita ubah.
Khusus untuk aksesoris juga masih banyak, seperti di China. Di sana banyak yang menjual kura-kura hidup lalu diawetkan. Coba, di mana sisi humanisnya? Mereka itu memang hewan, tapi bagi saya, kualitas iman seseorang bisa kita lihat dari bagaimana ia memperlakukan hewan. Karena, dengan kita merawat hewan peliharaan kita atau lingkungan kita, sebenarnya itu bukti nyata ungkapan syukur kita kepada Tuhan. Kalau kita mengabaikan mereka, mengabaikan ciptaan Tuhan, ya artinya sama saja kita menentang Tuhan.
Menurut Anda, apakah hukum perlindungan hewan, khususnya tentang hewan peliharaan di Indonesia sudah baik?
Sebenarnya anjing, kucing, dan hewan-hewan peliharaan lainnya sudah dilindungi oleh negara kita. Tetapi, payung hukumnya lemah. Kita punya pasal 302. Jika ada owner yang melakukan penelantaran atau animal abuse, kita bisa ambil. Itu teorinya. Tetapi realitanya tidak. Kami para animal rescuer dihantui dengan tuntutan hukum yang jauh lebih besar. Para animal abuser ini dapat menyerang balik menggunakan Undang-Undang ITE, pencemaran nama baik melalui media sosial. Itukan hukumannya jauh lebih berat daripada pelaku animal abuse. Saya sudah dua kali mendapatkan somasi dari para pelaku animal abuse. Menurut saya, somasi itu adalah hak mereka. Tapi menurut saya, selama apa yang saya lakukan itu adalah demi kebenaran, saya tidak akan pernah takut. Pada akhirnya, mereka sendiri yang mencabut gugatan hukumnya. Jadi, yang saya sayangkan dari negara kita ini adalah payung hukum untuk perlindungan untuk hewan-hewan ini sangat lemah. Ada, tapi sangat lemah.
Contoh, kasus Lucky, anjing yang dibakar hidup-hidup di Menteng. Itu sudah jelas lho, pelaku sudah mengakui, semua sudah lengkap. Seharusnya segera dibawa ke kejaksaan untuk proses lebih lanjut, tapi sampai sekarang tidak bergerak lagi. Masih tertahan di penyidik Polsek Menteng. Karena mindset mereka, buat apa sih mengurus anjing repot-repot? Toh kasus manusia saja masih banyak. Mindset itu yang membuat saya gregetan banget. Ini bukan hanya sekedar hewan. Tetapi, para pelaku animal abuse bisa terindikasi mengidap psikopat. Penelitian mengatakan, para narapidana di Amerika, begitu ditanya sama psikolog, “Kenapa sih bisa menjadi jahat?” Ternyata dari kecil mereka itu sudah terbiasa melakukan animal abuse. Apalagi di negara kita, yang kebanyakan sifatnya permisif. Kita pasti sering melihat orang tua yang begitu lihat anaknya jahili kucing, menimpuk anjing, dsb, misalkan kita tegur, mereka akan bilang, “Ah biasa, namanya juga anak kecil” sering ‘kan? Padahal mereka tidak sadar bahwa perilaku tersebut cikal bakal yang membuat anaknya terindikasi psikopat. Harusnya dari kecil sudah diberi tahu kalau itu salah, otomatis kan nanti anaknya tahu kalo tidak boleh menyiksa hewan, karena itukan ciptaan Tuhan.
Selama Anda menjadi animal rescuer, kasus apa yang paling besar Anda tangani di Indonesia?
Sebenarnya hampir semua kasus itu berat. Tapi, kalau menurut saya, mungkin yang paling berat adalah kasus anjing Lucky. Karena, itu adalah kasus penganiayaan yang sangat kejam dan dilakukan. Bisa dibayangkan tidak dampaknya ke manusia yang lain? Maka dari itu saya mati-matiian mengumpulkan bukti, mendatangi TKP, mendatangi pelaku, dsb. Perlu diketahui anjing tersebut telah menderita selama lebih dari 5 jam dengan luka bakar stadium 4. Bahkan, sebelum dibakar, anjing tersebut disiksa dengan cara dilempari batu dan dipukul dengan bambu. Artinya apa? Kesakitan yang dialami oleh anjing tersebut teramat sangat dan dia tidak bisa mengeluh, mengadu, maupun protes. Setelah penyiksaan, anjing tersebut menunggu dan menahan sakit hingga sang owner datang. Dengan sakit yang sangat berat, dia masih bisa bersuara untuk memberitahu kepada owner-nya seperti “Aku bersembunyi di sini”. Begitu anjing tersebut disebut namanya oleh sang owner, anjingnya menggonggong. Padahal, dari segi medis anjing tersebut seharusnya sudah tidak bisa bersuara. Karena lidahnya sudah kaku. Setelah itu langsung dibawa ke klinik, mendapatkan perawatan selama beberapa jam, lalu meninggal.
Di situ, saya berpikir bahwa kasus ini harus diperjuangkan. Setidaknya, publik harus tahu dan puji Tuhan, kasusnya pun viral. Publik tahu bahwa ada manusia sekejam itu dan juga mengetahui bahwa sebenarnya melakukan penyiksaan terhadap hewan itu bisa terjerat hukum.
Di Indonesia masih ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan adu anjing. Bagaimana Anda melihat kegiatan tersebut sebagai animal rescuer?
Banyak dan itu harus ditentang. Jika dari segi Undang-Undang perlindungan hewan domestik, kegiatan tersebut sudah melanggar aturan. Tetapi apakah aparat akan bertindak? Kami sebagai aktivis adalah sebuah keharusan untuk menentang kegiatan tersebut. Karena hal tersebut bukan menunjukkan budaya yang baik. Negara luar melihat negara kita sebagai negara yang barbar. Apa mau negara kita dicap seperti itu? Tidak ‘kan? Maka, hal tersebut harus segera ditindak. Karena sudah jelas-jelas melanggar Undang-Undang kenapa masih didiamkan? Apakah karena uang yang berbicara? Masalahnya, kegiatan-kegiatan seperti itu yang menguatkan adalah peredaran uangnya. Sama seperti perdagangan daging anjing. Kenapa tidak bisa ditutup? Ya karena uang yang berbicara. Kita para aktivis dianggap tidak menghasilkan pemasukan. Sehingga pemerintah tidak terlalu mendukung.
Apa momen terberat yang pernah Anda rasakan selama Anda menjadi animal rescuer?
Saya pernah diusir, dilempari batu sampai kena kepala dan berdarah, ditipu dengan sesama dog lover.
Saya pernah diusir, dilempari batu sampai kena kepala dan berdarah, ditipu dengan sesama dog lover. Pernah juga ditipu dengan orang yang berkedok membantu. Sebenarnya begini, saya sebelum saya berada di titik ini. Saya telah melewati banyak proses. Pada 2015, saya pernah diusir dari kamar kos karena ketahuan memelihara anjing. Anjingnya masih kecil sekali sehingga tidak mungkin saya lepas, akhirnya saya pelihara di dalam kamar kos sehingga membuat saya diusir. Ketika itu, saya masih berprofesi sebagai guru SD. Saya masih ingat itu tanggal 15 Agustus hari Sabtu, saya pun terpaksa secara sembunyi-sembunyi untuk menginap di laboratorium sekolah tempat saya mengajar. Akhirnya saya harus menyewa kamar kos di dua tempat. Satu di Gading Serpong satu di Banjar Wijaya. Ketika saya berangkat kerja, saya mandi di Gading Serpong baru ke tempat kerja, setelah itu balik ke Banjar Wijaya. Saya menjalani aktivitas seperti itu selama empat bulan dengan penghasilan sebagai guru pada saat itu. Tapi Puji Tuhan saya dapat melaluinya.
Kemudian, 2016 saya pindah mengontrak di Catalina. Saya meminjam uang dari DBS (Dana Bantuan Sahabat) untuk membayar kontrakan tersebut sebesar 22 juta rupiah per tahunnya. Tapi saya di sana hanya bertahan selama 4 bulan. Saya ingat, di malam ulang tahun saya, saya diusir. Warga sekitar melakukan persekusi, mereka merasa terganggu karena saya pada saat disana memelihara 14-16 ekor anjing. Saya akui saya salah pada saat itu, saya mengerti jika tidak boleh memelihara anjing dalam jumlah banyak di dalam pemukiman warga. Akhirnya, saya dipersekusi di malam ulang tahun saya, akhirnya saya melakukan proses evakuasi hingga pukul jam 4 pagi. Saya memindahkan semuanya ke sebuah pet shop di daerah Alam Sutera.
Setelah itu saya mencari lagi lahan yang disewakan, lalu dapat di daerah Pamulang. Pada saat itu, semuanya masih menggunakan uang pribadi saya. Di Pamulang, saya menyewa selama 2 tahun, tapi di pertengahan 2017 saya diusir lagi. Ternyata, tanah yang saya sewa itu dijual lagi oleh pemiliknya. Di situ saya diusir, saya dilempari batu hingga kepala saya berdarah, anjing saya ada yang mati diracuni, dsb. Tahun 2017, pindah ke Gunung Sindur. Nah, sepanjang perjalanan saya memelihara anjing-anjing tersebut itu saya selalu menjalankannya sendiri, belum ada yang banyak membantu seperti sekarang. Saya yang melakukannya sendiri, seperti memberi makan, mencuci piring, membersihkan halaman, dan memandikan anjing-anjing yang pada saat itu sebanyak 40-an ekor.
Banyak dog lover tapi sedikit dog owner yang baik
Dengan jumlah anjing yang ada di shelter Anda, tentunya akan terus bertambah. Lalu, bagaimana dengan jumlah peminat adopter, apakah seimbang? Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Mindset masyarakat kita ini semakin bagus ras anjing yang mereka miliki semakin tinggi status sosial mereka.
Saat ini jumlahnya sekitar 140-an. Dengan jumlah itu, adopter yang berminat tidak seimbang jumlahnya. Karena, mindset masyarakat kita ini semakin bagus ras anjing yang mereka miliki semakin tinggi status sosial mereka. Banyak anjing kampung yang sulit sekali mendapatkan adopter. Banyak dog lover tapi sedikit dog owner yang baik. Beberapa dari mereka membeli anjing yang mereka suka, tetapi ketika mereka sudah tidak suka dan tidak mampu merawatnya, mereka akan membuangnya. Selain itu masih banyak orang yang menganggap bahwa shelter itu adalah tempat pembuangan anjing. Itu kan salah besar. Kami membuka shelter itu untuk memanajemen populasi. Semakin banyak jumlah anjing, maka belum tentu kesejahteraan anjing-anjing tersebut tercapai. Karena kami harus menghidupi jumlah anjing yang sangat banyak. Maka dari itulah kami sebagai shelter harus membatasi dan lebih selektif dalam merescue anjing.
Apa harapan dan visi Anda ke depan?
Saya memiliki visi bahwa kegiatan animal rescue ini harus didasari oleh animal welfare. Karena pada saat ini banyak sekali para animal rescuer yang baru muncul. Di satu sisi saya senang, artinya mulai banyak yang peduli dengan hewan. Tetapi, kita semua harus mengembalikan semua pada dasarnya yaitu animal welfare. Tidak semua yang bisa menjalankan sesuai animal welfare. Karena apa? Begini, saya menekankan kepada kepastian kesejahteraan anjing setelah di rescue. Nah, ini yang sangat susah karena membutuhkan cost yang sangat banyak. Proses rescue yang sebenarnya adalah, mensejahterakan anjing yang sudah di-rescue. Jangan sampai, anjing yang di-rescue hidupnya semakin menderita dibandingkan dengan sebelum di-rescue. Itulah yang banyak terjadi dan tidak banyak orang yang tahu.
Kebanyakan orang-orang hanya melapor kepada animal rescuer untuk menyelamatkan hewan yang mereka lihat. Padahal, manusia mempunyai batas kemampuannya masing-masing. Tidak semua hewan yang dilaporkan bisa kami rescue. Karena apa? Anjing yang kami rescue bukan hanya kami beri makan saja, tapi jika sakit kami harus obati juga, jika kita melihat hewan tersebut kurang sehat, langsung dibawa ke dokter. Jadi bukan sekedar di-rescue saja, lalu dimasukkan di kandang. Kalo hanya di kandang, mungkin jika hewan-hewan tersebut dapat berbicara, mereka akan mengatakan “Ngapain lu rescue gue? Mending gue hidup bebas di luar”. Maka dari itu saya sangat selektif dalam memilih kasus, karena saya tahu batas kemampuan saya.
Ketika Anda berani rescue, maka Anda harus menjamin kesejahteraan hewan yang kamu rescue tersebut
Saya mau hewan yang saya rescue memiliki hidup yang sejahtera. Saya tidak mau membagi penderitaan saya. Jangan sampai, owner-nya hanya makan tempe, peliharaannya juga makan tempe, jangan begitu. Ketika Anda berani rescue, maka Anda harus menjamin kesejahteraan hewan yang kamu rescue tersebut. Jika ada yang mengeluh “Saya makannya hanya sekali sehari, kasihan peliharaan saya juga ikut-ikutan.” Lho, kalau seperti itu kenapa melakukan rescue?
Dalam menjadi animal rescuer, siapa sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Anda? Mengapa?
Terlepas dari dunia hewan saja, tapi lebih ke berbuat baik kepada sama, tahun 2012 saya terinspirasi oleh Melanie Subono. Karena dia adalah sosok orang yang jujur dan mempunyai sisi kemanusiaan yang sangat besar. Bahkan bukan hanya kepada manusia, kepada hewan juga. Waktu itu, saya bersama dia memperjuangkan kasus Satinah yang ingin dihukum mati di Arab sampai Satinah dapat dibebaskan dari hukuman dan kembali ke Indonesia. Selain itu, saya dan Melanie juga pernah menangani kasus penyelamatan penyu di Bali. Sosok kedua, adalah Karin Franken selaku pendiri Jakarta Animal Aid Network. Beliau mengajarkan saya bagaimana cara manajerial shelter dengan baik. Dia juga memberitahu saya bahwa melakukan rescue itu bukan untuk sekedar meningkatkan popularitas ataupun sekadar mencari donasi saja. Tapi, kita melakukan rescue untuk mensejahterakan hewan-hewan yang membutuhkan bantuan.
Lelah pernah, tapi yang membuat saya bertahan itu adalah ketika melihat mereka bahagia.
Sebagai manusia pada umumnya, pasti pernah merasakan jenuh dan lelah. Apa yang membuat Anda bertahan di dunia animal rescuer sampai sekarang?
Saya merasa jenuh ketika saya tidak bisa berbuat apa-apa saat anjing atau kucing yang saya akan rescue dalam kondisi kritis. Waktu itu, awal saya menjadi animal rescuer, masih menggunakan motor pribadi. Saya pernah melakukan proses rescue anjing korban tabrak lari dari jam 12 siang hingga jam 9 malam baru bisa diangkat. Padahal klinik tutupnya jam 10. Ditambah lagi dulu itu akses akomodasi untuk membawa hewan sangat susah. Di situ saya seperti membenci diri sendiri karena there’s nothing I can do sementara kondisi anjingnya sudah kritis. Selain itu, saya juga merasa jenuh ketika peliharaan saya divonis bertahan hidup hanya tinggal beberapa hari lagi, dan juga ketika peliharaan saya terkena virus menular dan tidak ada klinik yang mau menerima. Di situ saya seperti “Ada apa dengan manusia-manusia ini? Kenapa sangat kurang memiliki empati?”
Dengan apa yang saya lakukan ini, sebenarnya jika boleh jujur, saya adalah pengidap insomnia. Sehingga tantangan terberat saya dalam keseharian adalah ketika saya hendak tidur. Ditambah lagi saya tidur bersama dengan anak-anak (anjing) saya. Mereka suka saling iri jika tidur dengan saya. Karena semuanya mau dekat-dekat dengan saya sementara tempat tidurnya kecil dan tangan saya hanya dua.
Lelah pernah, tapi yang membuat saya bertahan itu adalah ketika melihat mereka bahagia. Anjing itu tidak pernah bohong lho. Anjing itu tidak seperti manusia. Manusia beberapa bermuka dua. Kalau anjing itu, dia pure, jika dia suka, ya dia suka. Jika dia tidak suka, maka dia akan menunjukkan bahwa dia tidak suka. Jadi yang saya suka dari mereka ini adalah sikap dari mereka yang tahu cara berterima kasih. Anjing-anjing yang saya rescue rata-rata dalam kondisi yang memprihatinkan. Di awal proses rescue, mereka akan bersifat defensif karena wajar baru mengenal. Tapi jika sudah di rescue dan dirawat, mereka sangat manja. Kalau manusia, saat kita sudah bantu banyak tapi jika kita salah sedikit langsung lupa semuanya. Jika kita memberi makan anjing tiga hari, dia akan ingat kita selama-lamanya.