Siasat Menghadapi Stress Pekerjaan dan Perjalanan Mencari Kebahagiaan bersama Adjie Santosoputro
Berbincang dengan praktisi mindfulness tentang toxic success dan menerima kegagalan.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Adjie Santosoputro
Menerima diri disini kini, sebuah ungkapan yang menjadi pegangan dari seorang Adjie Santosoputro. Selepas mendalami ilmu psikologi di jenjang S2, Adjie mendalami lebih jauh tentang ilmu kesehatan mental lewat menjadi seorang praktisi mindfulness. Lewat praktek metode tersebut yang menekankan esensi hidup disini kini, Adjie kemudian menjumpai keseimbangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Adjie kerap kali berbagi pengalamannya dalam bermacam kesempatan untuk belajar bersama tentang hidup penuh kesadaran, dan lewat perbincangan ini ia pun berbagi ceritanya sekali lagi.
Adakah alasan Anda memilih memperkenalkan diri sebagai “manusia yang biasa-biasa saja”, terutama dalam profil Anda sebagai praktisi dan pengajar?
Apa ya? [tertawa] lebih karena di profesi saya yaitu praktisi emotional healing, saya ingin memposisikan diri saya bukan sebagai guru, saya sendiri pun sedang belajar untuk memulihkan batin saya. Jadi disitu awalnya mulanya, kenapa saya memilih untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya ini juga sebenarnya bukan siapa-siapa. Menyamakan diri, saya dan teman-teman itu ya sama-sama sedang belajar untuk memulihkan batin.
Hal yang sama juga Anda praktikkan saat memberikan pelatihan di tempat kerja, boleh dibilang dalam posisi instruktur?
Kalau saya diundang, saya lebih bercerita tentang pengalaman saya. Dulu di awal-awal saya diundang, saya tidak terus dengan sengaja mengumumkan kalau saya adalah guru. Selama ini lebih ke sharing, berbagi sudut pandang saya, sharing tentang apa yang saya pelajari. Itulah yang juga saya sampaikan, saya tekankan pada waktu saya diundang ke training, workshop, atau seminar, kalau saya mengalami masalah, – misal tentang produktivitas ya, kalau di lingkungan kerja – saya jelaskan kalau saya itu caranya begini. Saya juga bilang ke peserta bahwa belum tentu juga apa yang saya lakukan cocok untuk peserta, pengalaman saya belum tentu bisa berlaku untuk mereka.
Anda banyak memberikan pelatihan tentang mindfulness di tempat kerja. Berbicara soal dunia profesional, apa hubungan praktik tersebut dengan produktivitas dan fenomena burnout?
Tidak bisa kerja tanpa stres, itu malah aneh. Sehingga yang kita perlu pahami adalah bagaimana caranya supaya stres itu ada di takaran yang pas
Kalau di dunia kerja kan sebenarnya kalau kita mau melihat secara jujur, dalam dunia kerja memang akan selalu ada stres. Tidak bisa kerja tanpa stres, itu malah aneh. Sehingga yang kita perlu pahami adalah bagaimana caranya supaya stres itu ada di takaran yang pas, jangan terlalu berlebihan namun juga jangan sama sekali tidak ada, karena stres itu sendiri juga bisa memicu produktivitas. Mindfulness itu bahasa Indonesianya ‘kan kesadaran diri, menyadari tingkat stres kita sendiri seperti “oh saya sudah berlebihan nih,” “saya kurang nih stressnya,” dari situ baru ditindaklanjuti dengan apa yang harus dilakukan. Kalau misal kita ternyata berlebihan stresnya, dan sebaliknya, kalau kita sadar tingkat stres kita kurang maka apa yang harus kita lakukan, itu semua adalah langkah pertama.
Karena mindfulness melatih kita untuk menenangkan batin sehingga kita lebih bisa fokus.
Sementara kalau isu burnout, itu adalah kondisi dimana kita berlebihan stresnya, sehingga pendekatan mindfulness menyarankan yang pertama adalah – banyak sih sebenarnya pendekatannya, tapi mungkin salah satunya supaya tidak burnout maka kita perlu pertama-tama bikin skala prioritas. Saya hari ini harus melakukan apa, istilahnya adalah MIT, Most Important Task. Lalu kalau sudah tahu bahwa yang penting adalah A-B-C, maka ya dilakukan. Jangan sampai hanya menulis, lalu tidak dilakukan, jadi selanjutnya adalah melakukan itu sendiri. Jangan menunda. Yang ketiga – dan mungkin yang paling menarik – adalah soal multitasking dan single-tasking. Jadi ketika sedang melakukan, sebisa mungkin dalam prosesnya itu ya fokus, hanya melakukan satu hal dalam satu waktu, itu yang disebut single-tasking. Seringkali ketika kita melakukan satu hal kita terpikir untuk beralih ke tugas yang lain, atau seringkali dalam satu kali waktu melakukan banyak hal atau multitasking. Nah, disinilah pentingnya mindfulness, karena mindfulness melatih kita untuk menenangkan batin sehingga kita lebih bisa fokus.
Mindfulness akan mengajak kita untuk bisa mengikhlaskan keinginan
Praktik mindfulness memang menghindari kebiasaan multitasking, ya?
Iya, pentingnya mindfulness adalah ketika secara praktis misalnya, kita sedang mengerjakan satu hal, dan tiba-tiba muncul keinginan, muncul pikiran untuk mengerjakan hal yang lain. Disini kemampuan mindfulness inilah yang berperan, kita jadi menyadari pikiran kita sendiri, menyadari ketika keinginan itu muncul. Ketika kita multitasking, melakukan banyak hal bersamaan itu tidak tiba-tiba, ada semacam momen dimana kita muncul keinginan untuk melakukan hal yang lainnya. Pada saat momen itulah kemampuan mindfulness itu berperan, sehingga kita lebih bisa menangkap ketika pikiran kita, keinginan kita mulai muncul untuk melakukan multitasking atau beralih ke tugas yang lainnya.
Seketika kita bisa menangkap keinginan atau pikiran kita sendiri, kita ngeh begitu, “Oh ya, saya ingin melakukan hal yang lain,” di saat itu kita bisa memilih, antara mengikhlaskan keinginan itu atau melakukannya. Mindfulness akan mengajak kita untuk bisa mengikhlaskan keinginan tersebut dan tetap fokus.
Tapi apakah kita juga berkesempatan untuk memilih?
Iya, yang terpenting adalah menangkap pikiran kita sendiri itu tadi, menyadari pikiran kita.
Apakah gambaran dari lingkungan kerja yang mindful?
Mereka menggunakan mindfulness sebagai senjata untuk “yang penting kamu tenang, batinmu tenang”
Ini juga isu yang menarik diperbincangkan di tataran luas, ada penyalahartian dalam pendekatan mindfulness di lingkungan kerja. Ada artikel dari media lain yang memberitakan bahwa mindfulness menjadi senjata para pengusaha, para pemilik perusahaan untuk membenarkan lingkungan yang penuh stres, asal kamu berlatih mindfulness. Jadi atasan atau pemilik perusahaan memberikan gaji yang tidak layak untuk karyawannya, jam kerja yang tidak manusiawi, dan mereka menggunakan mindfulness sebagai senjata untuk “yang penting kamu tenang, batinmu tenang.”
Sederhananya adalah kalau di satu perusahaan ada penyakit-penyakit misalnya stres atau burnout, yang perlu diperiksa adalah lingkungan dan kondisi personal.
Di sini, saya berpendapat sebagai praktisi, saya melihat bahwa manusia – dalam hal ini adalah karyawan – itu secara psikologis dipengaruhi oleh nature dan nurture. Nature adalah secara personal dari dalam diri sendiri, dan nurture adalah secara sosial dari lingkungan. Keduanya memang harus selaras, harus sama-sama diperbaiki. Sederhananya adalah kalau di satu perusahaan ada penyakit-penyakit misalnya stres atau burnout, yang perlu diperiksa adalah lingkungan dan kondisi personal. Jadi tidak bisa hanya diperbaiki personalnya saja, tapi juga lingkungannya. Terkait dengan lingkungan atau budaya dan sistem kerja, sifatnya memang lebih makro. Saya selalu menyarankan ketika diundang untuk berbagi, sebisa mungkin saya berbagi dengan top management.
Anda memang memilih pendekatan top to bottom, berarti.
Iya, top management bisa berbagi ke bawah, atau paling tidak mulai menata bagaimana untuk lebih mindful, lebih manusiawi. Tidak bisa disangkal memang kebanyakan lingkungan kerja terlalu sibuk untuk memperhatikan ini.
Kalau dunia kerja kita dirasa lingkungannya toxic, kembali lagi ada dua pilihan, yaitu resign yang mungkin terdengar ekstrem, atau meningkatkan daya tahan batin kita.
Boleh dibilang ada hubungan/kultur yang beracun di situ, yang seringkali kita “terpaksa” masih harus bersinggungan. Bagaimana sebaiknya menanggapinya?
Saya sebagai praktisi mindfulness dan emotional healing melihat itu misalkan seperti di dalam satu ruangan, ada yang sakit flu dan saya berada di ruangan yang sama dengan dia. Maka saya punya pilihan supaya tidak tertular, antara saya meninggalkan ruangan itu atau saya meningkatkan daya tahan tubuh dengan suplemen dan gaya hidup sehat. Dari gambaran seperti itu, kita bisa terapkan juga di dunia sebenarnya.
Kalau dunia kerja kita dirasa lingkungannya toxic, kembali lagi ada dua pilihan, yaitu resign yang mungkin terdengar ekstrem, atau meningkatkan daya tahan batin kita. Sehingga meskipun kita berhadapan dengan orang-orang menyebalkan, kita bisa memahami bahwa mereka sebenarnya juga berkonflik dengan diri sendiri. Misalkan atasan atau rekan kerja suka marah-marah, ketika daya tahan batin kita kuat maka kita akan tidak gampang sakit hati.
Anda juga banyak mengangkat soal kebahagiaan, baik dalam kehidupan profesional maupun personal. Apakah tolok ukur kebahagiaan bagi Anda?
Belum tentu orang yang gembira itu bahagia.
Cukup banyak orang yang menyalah artikan antara kebahagiaan dan kegembiraan. Kalau gembira itu ternyata perasaan dimana kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan kebahagiaan itu lebih tentang rasa berkecukupan, perasaan content dan enough. Jadi kebahagiaan itu bukan tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, ini yang seringkali orang salah kaprah. Kita ingin mengejar kebahagiaan, padahal dia tidak perlu dikejar, yang dikejar adalah kegembiraan. Kegembiraan kita kejar dengan cara berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan yang kita inginkan. Belum tentu orang yang gembira itu bahagia.
Apakah kebahagiaan itu; sebuah tujuan akhir atau pola pikir?
Bukan tujuan, tapi kebahagiaan itu adalah ketika kita merasa sudah tidak banyak yang harus dilakukan untuk mencukupi keinginan kita. Dalam mindfulness esensinya adalah melatih pikiran untuk berada disini kini. Kondisi pikiran inilah yang menjadi kunci bahagia, kalau pikiran kita masih menyesali masa lalu atau terlalu cemas akan masa depan, semakin jauh juga kita dari kebahagiaan. Bahagia bukan perihal materi, memang di takaran tertentu uang itu diperlukan untuk mencukupi kebutuhan, tapi yang seringkali terjadi malah berlebihan, kita berusaha untuk mendapatkan uang demi mencukupi keinginan kita. Kekurangan uang menjadi dirasa tidak bahagia, tapi kelebihan uang juga bisa membuat tidak bahagia.
Kebahagiaan itu memang sudah menunggu di dalam untuk ditemui.
Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang ada di luar diri kita, bukan sesuatu yang berada di masa depan. Dia ada di dalam diri kita, di saat ini, di sini kini. Jadi yang kita perlukan sebenarnya adalah untuk berhenti mengejarnya, kebahagiaan itu memang sudah menunggu di dalam untuk ditemui. Kita terhalang oleh pikiran kita sendiri, kita terhalang oleh logika kita sendiri sehingga kita tidak bisa bertemu dengan bahagia, dan terutama dengan ketakutan kita sendiri. Ada tembok yang begitu tebal antara diri kita dengan bahagia, maka di mindfulness lewat latihan hening, berdiam diri, meditasi itu membuat kita istilahnya masuk ke dalam diri, masuk ke momen saat ini.
Kalau selama ini mungkin memang sifatnya meluas, hanya di permukaan saja, mengukur rentang jarak yang jauh antara kita dan kebahagiaan, dia berada di tempat yang jauh dari kita. Ternyata kebahagiaan itu bukan perihal seberapa jauh, tapi perihal seberapa dalam kita masuk ke momen saat ini. Seperti ketika kita berenang, bukan seberapa jauh kita berenang tapi seberapa dalam kita menyelam. Kebahagiaan bukan tentang seberapa jauh kita mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi seberapa dalam kita merasa cukup di saat ini, di sini kini.
Menerima diri sendiri bukan berarti terus tidak berbuat apa-apa, tidak berkarya atau tidak berusaha.
Bisa disimpulkan, penerimaan diri apa adanya berarti memang salah satu dari komponen bahagia. Apa bedanya penerimaan diri dan bersikap realistis, dan seberapa krusial kemampuan tersebut dalam praktik emotional healing dan mindfulness?
Menerima diri sendiri bukan berarti terus tidak berbuat apa-apa, tidak berkarya atau tidak berusaha. Tetap bergerak tapi dengan kondisi batin yang lebih terasa berkecukupan itu tadi, bukan bergerak dengan rasa takut. Kita bekerja dan berkarya apakah karena rasa takut atau penerimaan diri? Ada dua motif berbeda disitu. Kalau kondisi batinnya lebih dibekali rasa takut, maka yang muncul adalah rasa marah, rasa kelelahan juga.
Karena pikiran kita itu cenderung mencari yang belum kita punya, cenderung melihat yang kurang dari diri kita.
Sedangkan kalau berkecukupan, itu rasanya dia lebih memahami “kelemahanku disini, kekuatanku disini,” dan masih ada upaya untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Kenapa ini penting di dalam emotional healing, karena pikiran kita itu cenderung mencari yang belum kita punya, cenderung melihat yang kurang dari diri kita. Itu memang sifatnya pikiran karena dengan seperti itu kita jadi termotivasi, tapi kalau kebablasan kita hanya terus-menerus melihat yang kurang dan muncul kecenderungan menyiksa diri demi mencari yang belum kita punya itu tadi. Jadi pentingnya penerimaan diri adalah untuk menyeimbangkan, jangan sampai upaya kita untuk memperbaiki diri malah jadi menyiksa.
Boleh dijelaskan lebih lanjut perihal motivasi yang muncul dari rasa ketakutan?
Kesuksesan ternyata bisa mengandung racun karena meraih suksesnya berbekal rasa takut dan rasa marah.
Contoh nyatanya adalah misal seseorang merasa marah kepada mantannya, dan karena kemarahan itu dia berjanji untuk menjadi lebih sukses dari mantannya, atau membuktikan kepada si mantan untuk bisa menjadi lebih daripada dia. Berbekal kemarahan, berbekal ambisi pembuktian, berbekal balas dendam maka seseorang menjadi terbiasa untuk bekerja dan berusaha dengan landasan itu, hasil kesuksesannya menjadi tidak bahagia. Batinnya tidak tenang.
Ada fenomena namanya toxic success, bahwa kesuksesan ternyata bisa mengandung racun karena meraih suksesnya berbekal rasa takut dan rasa marah. Jadi sukses, kaya raya, bebas dari rasa sial tapi mengalami isu gangguan mental mulai dari kecemasan, depresi, susah tidur nyenyak, dan lainnya itu bisa jadi karena hal tersebut.
Menurut pengalaman Anda sejauh ini, apa sajakah isu-isu yang paling umum menjadi akar dari seseorang merasa tidak/kurang bahagia, dan bagaimana menyikapinya?
Sebenarnya ada dua, yang satu adalah terkait dengan relasi antara orang tersebut dengan misal pasangannya atau keluarganya, karena kualitas relasi dengan orang-orang terdekat itu sangat mempengaruhi kebahagiaan. Yang kedua lebih kepada cara seseorang bekerja, cara dia mengolah stres kerjanya, bagaimana dia menyikapi kesibukan bekerja, apakah sering multitasking dan merasa kelelahan.
Mitos-mitos apa saja yang kerap muncul berkaitan dengan emotional healing dan mindfulness, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Memang permasalahan kesehatan mental di Indonesia masih belum dibahas luas, ada beberapa yang ingin saya suarakan, seperti penanganan batin. Ketika kita mengalami kegagalan, kehilangan, penolakan, dan sejenisnya, sebaiknya jangan terlalu diremehkan. Ketika kita mengalami hal-hal tersebut, batin kita itu terluka atau mengalami cedera. Iya, seperti luka fisik. Meskipun mungkin tidak parah dan tidak terlihat, – sakit hati bukan seperti jari yang terluka – saya rasa masih banyak orang yang cenderung meremehkan hal tersebut, sehingga alangkah baiknya kita belajar untuk bersama-sama menyadari pentingnya kesehatan mental. Karena hal-hal yang selama ini kita remehkan tadi bisa berdampak ke kesehatan fisik, produktivitas, relasi dengan orang-orang di sekitar, jadi isu ini perlu ditangani secara serius.
Nah, penanganan kesehatan mental atau batin ketika terluka, yang paling akrab dengan kita itu ‘kan kebiasaan curhat. Sering kita menyarankan orang untuk curhat, hal itu menjadi satu yang kelihatannya biasa dan bisa untuk menyembuhkan. Memang bisa, tetapi juga harus berhati-hati karena belum tentu semua orang terlatih untuk mendengarkan curhat. Ketika kita curhat kepada orang yang tidak terlatih untuk mendengarkannya, ada kemungkinan dia malah bisa memperparah masalah. Maka penting membekali diri kita dengan ilmu-ilmu kesehatan mental yang bisa menjadi semacam P3K atau pertolongan pertama untuk bisa menangani diri sendiri ketika kita terluka batinnya.
Kalau yang selama ini kita kenal P3K-nya adalah itu tadi, dalam bentuk curhat, padahal bisa jadi itu kurang sehat. Selain itu pertolongan pertama yang juga kita kenal tapi sebenarnya tidak menyembuhkan adalah pelampiasan. Ketika sedih atau marah kita melampiaskannya ke sekitar, itu kurang sehat. Itu jurus-jurus yang selama ini kita kenal yang kurang sehat, selain itu ada juga suppression. Memendam, kalau ada kesedihan atau kemarahan itu kita tekan, kita pendam. Ada juga yang mengalihkan kesedihan, kemarahan, atau stres kerja dengan kegiatan seperti belanja, makan, pengalihan ke hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Meskipun di awal kita mungkin memerlukan cara itu, seperti ketika kita ingin lupa akan seseorang atau sesuatu, kita berusaha menyibukkan diri dengan bekerja, itu juga bentuk pengalihan. Di awal mungkin diperlukan, tapi sebenarnya itu tidak menuntaskan pemulihan batin kita. Yang terakhir, adalah upaya reframing. Reframing ini juga kurang bisa menuntaskan pemulihan batin kita, contohnya adalah ketika gagal, kita berusaha memberi makna lain seperti gagal adalah sukses yang tertunda.
Bagaimana kalau kita terlanjur terbiasa dengan metode-metode tersebut, terutama reframing yang sering dianggap sebagai bentuk penanganan yang “sehat”?
Manusia ‘kan memang cenderung senang lari dari kenyataan ya. [tertawa] Mengalami kenyataan gagal, lalu berusaha memberi makna ulang bahwa ini ada sukses yang tertunda. Sekali lagi, mungkin memang di awal kita perlu metode tersebut untuk menenangkan hati kita, hanya di jangka waktu awal ketika shock mungkin. Tapi di jangka waktu yang lama, kita perlu menerima kegagalan itu seutuhnya. Kita perlu menerima bahwa, “Iya, saya gagal”, karena dengan penerimaan itulah pemulihan bisa terjadi. Di mindfulness kita dilatih untuk melihat bahwa kegagalan itu tidak seburuk yang kita kira. Kita memberi makna baru terhadap gagal karena kita melihat bahwa gagal itu buruk sekali. Padahal ketika kita melatih kesadaran kita, kita akan lebih melihat lewat sudut pandang yang lebih luas bahwa gagal itu tidak seburuk yang kita kira, dan sukses itu tidak seindah yang kita kira. Berpikir netral, terima saja gagal itu, bahwa gagal juga mengandung berkah. Tidak perlu memberikan makna yang baru bahwa ini adalah sukses yang tertunda. Demikian juga ketika kita sukses, sadari bahwa kesuksesan juga mengandung musibah.
Lalu bagaimana supaya bisa tuntas pemulihan batinnya? Kembali ke latihan mindfulness, itu dengan meluangkan waktu untuk duduk diam, hening, bermeditasi sehingga kita bisa menemui perasaan, menemui pikiran kita sendiri yang selama ini mengganggu kita.
Praktik hidup mindful terlebih beragam medianya terlihat sedang populer saat ini, seperti meditasi dan earthing. Adakah popularitas tersebut mereduksi makna, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Memang mulai bermunculan orang-orang yang memanfaatkan ini sebagai pencarian keuntungan, dan mindfulness menjadi keluar dari esensinya. Saya sebagai praktisi sudah belajar tentang mindfulness sejak dulu, sebelum orang-orang mulai membahas topik itu, sehingga mungkin saya bisa sedikit tahu ketika ada orang yang menjelaskan soal mindfulness tapi sebenarnya bukan hal itu. Saya terus berusaha dan belajar sebagai praktisi, jadi lebih ke menerapkan ilmu ini dalam diri saya. Saya juga jadi belajar untuk tidak mengikuti tren, karena di berbagai bidang itu ketika sesuatu menjadi tren, segera setelahnya bisa turun lagi. Dan setiap tren pasti diikuti dengan berbagai pihak yang hanya ikut-ikutan. Saya tidak menolak mereka, saya rasa itu nanti menjadi seleksi alam saja. Seleksi alam, karena masyarakat pasti tahu nanti yang mana yang lebih cocok untuk mereka, mana yang benar-benar mindfulness dan mana yang mindfulness sebagai tren.
Media sosial bisa berjalan sedemikian rupa karena membesarkan rasa takut kita, menjadi ada istilah fomo atau fear of missing out, kita jadi serba ketakutan.
Popularitas tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari asalnya, yaitu media sosial. Bicara tentang media sosial, sebenarnya seberapa efektif upaya “detoks” dari teknologi tersebut, dan seberapa perlu bagi kita melakukannya?
Media sosial sendiri sangat membantu saya dalam berkarir. Tapi memang, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, maka saya menggunakan media sosial ya sewajarnya saja. Memang media sosial itu menyenangkan, asyik menjadi tempat pelarian ketika kesepian, merasa sedang tidak melakukan apa-apa kemudian larinya ke media sosial. Ada sisi baik dari media sosial, namun juga ada sisi gelapnya yaitu ketika kita menjadi tidak tenang, karena sifatnya media sosial itu ‘kan melihat cuplikan-cuplikan, seperti percikan yang membuat kemampuan pikiran kita untuk memperhatikan jadi pendek-pendek, short attention span. Itu yang membuat batin kita tidak tenang.
Dan memang media sosial bisa berjalan sedemikian rupa karena membesarkan rasa takut kita, menjadi ada istilah fomo atau fear of missing out, kita jadi serba ketakutan. Takut tidak update, takut jika tidak mengunggah foto atau story, takut ketinggalan berita, dan lain sebagainya. Ketakutan inilah yang menjadi akar dari kecemasan, kemarahan, dan detoks disini berperan sebagai bentuk rehat dalam rangka untuk sekian waktu berhenti dulu dari berbagai perangkat. Tidak harus langsung berhenti, tapi lebih kepada membatasi intensitas ber-media sosial per hari.
Kembali lagi kepada motivasi yang didasarkan rasa takut, berarti?
Iya, apalagi kalau yang sudah berlebihan, maka memang mengurangi durasi ber-media sosial itu diperlukan.
Kepada mereka yang skeptis akan emotional healing, mindfulness dan kesehatan mental, adakah yang ingin disampaikan?
Saya ingin menyarankan untuk mulailah peduli dengan kesehatan mentalmu, kenapa? Karena kesehatan mental mempengaruhi banyak hal, termasuk hal-hal yang dirasa penting dalam hidup ini.
Menurut seorang Adjie Santosoputro, apa definisi dari menjalani hidup yang mindful?
Hidup mindful itu hidup yang lebih banyak pikiran kita berada disini, di saat ini. Istilahnya adalah disini kini. Tetap memikirkan dan merencanakan masa depan, impian dan sebagainya, tetapi diimbangi dengan menjalani hidup di masa sekarang. Termasuk juga tetap perlu mengambil hikmah dan belajar dari masa lalu yang sudah kita alami, tapi tetap berhati-hati dan diimbangi dengan yang sekarang. Hidup ini ‘kan disini, disaat ini kini, masa depan adalah imajinasi dan masa lalu adalah ingatan. Dengan hidup disini kini, ada penerimaan terhadap apapun yang terjadi, dan penerimaan itulah yang menjadi kunci pemulihan batin.