Remote Working Tak Lagi Dianggap Relevan, Beberapa Perusahaan Internasional Perintahkan Karyawannya untuk Kembali Ke Kantor
Pasca terjadinya hiring boom di kala pandemi, banyak perusahaan kini justru kembali beralih pada metode konvensional kerja langsung di kantor.
Teks: Alissa Wiranova
Beberapa perusahaan berskala internasional baru saja mengumumkan kebijakan baru yang menitikberatkan pada kehadiran karyawan di kantor.
CEO Disney, Bob Iger misalnya. Dirinya menyatakan bahwa kreativitas yang sudah sepatutnya menjadi nilai utama para pekerja Disney tak akan dengan mudah didapat secara optimal ketika melaksanakan metode kerja dari rumah (work from home). “Nothing can replace the ability to connect, observe, and create with peers that comes from being phisically together,” jelas Iger.
Tak hanya Disney, perusahaan ternama lainnya seperti Twitter, Starbucks, hingga KPMG juga mulai menerapkan persentase WFO wajib yang ukurannya lebih besar bila dibandingkan kesempatan pekerja untuk melakukan remote working. Misalnya, pegawai hanya diperbolehkan mengerjakan tugasnya secara remote selama satu hari dalam sepekan. Empat hari sisanya, wajib hukumnya untuk senantiasa hadir di kantor.
Keinginan perusahaan untuk ‘mengembalikan’ karyawan ke kantor ini nyatanya tak sejalan dengan keinginan para pekerja. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh firma McKinsey & Company, salah satu faktor pendorong terbesar bagi para pegawai untuk mempertahankan pekerjaannya ialah kebijakan mengenai fleksibiltas tempat bekerja yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan kata lain, kebijakan perusahaan yang memperbolehkan pegawainya untuk WFO maupun WFA ini merupakan salah satu aspek pendukung terbesar yang membuat para pegawai betah bekerja.
Meski begitu, seiring dengan berakhirnya pandemi, maka keinginan para pekerja untuk melakukan remote working ini tak lagi dapat dipenuhi dengan mudah. Hal ini kiranya berawal pada fenomena hiring boom yang banyak terjadi pada perusahaan berbasis teknologi di masa pandemi. Keberadaan hiring boom ini memungkinkan para pekerja memiliki kesempatan untuk tidak mematuhi perintah perusahaan, dengan asumsi bahwa banyak perusahaan lain yang dapat menampung keahlian si pekerja.
Kini, ketika pandemi telah usai dan tech winter digadang-gadang akan (atau malahan sudah?) datang, banyak pekerja yang berada dalam posisi tak aman. PHK bisa terjadi kapan saja, sementara hiring freeze tentu berlaku di mana-mana. Akibatnya, besar kemungkinan bahwa para pegawai harus mematuhi keinginan atasan untuk ‘mengamankan’ pekerjaan mereka. Situasi seperti inilah yang menjadikan metode bekerja konvensional–9 to 5 di kantor–sangat mungkin untuk kembali mendominasi dunia kerja.