Realita Kesehatan Jiwa Masyarakat Indonesia bersama Nova Riyanti Yusuf
Kami berbincang dengan Nova Riyanti Yusuf, seorang penulis, psikiater, dan eks-politisi soal UU Kesehatan Jiwa yang ia bangun dan realita kepedulian pemerintah terhadap isu tersebut.
Words by Ghina Sabrina
Ketika mengadvokasi sebuah isu atau topik yang menyangkut masyarakat secara menyeluruh, selain memerlukan sosok-sosok yang aktif dalam pergerakan, juga perlu perubahan secara sistem yang memayungi masyarakat itu sendiri. Pemahaman ini pun yang mendorong Nova Riyanti Yusuf dalam praktiknya mengadvokasi tentang kesehatan jiwa. Kami berbincang dengan penulis, psikiater, dan mantan politisi ini tentang realita kepedulian pemerintah terhadap isu kesehatan jiwa, potensi untuk menghapus stigma, serta langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan gerakan yang mengadvokasi isu ini.
Selama menempuh pendidikan jurusan kedokteran, Anda pun mengambil spesialisasi di Kedokteran Jiwa. Bagaimana ketertarikan Anda terhadap ilmu tersebut muncul?
Jadi selama kita mengambil program untuk menjadi dokter umum, itu kan harus melewati koas (ko-asisten) beberapa stase. Dari berbagai stase yang dilewati, baik mayor seperti Bedah, Penyakit Dalam, Obgyn, Anak, kemudian minor seperti THT, mata, kulit dan lain-lain, saya paling berminat terhadap Psikiatri atau Kedokteran Jiwa. Ini dapat saya rasakan pada saat saya menjalankan stase sebagai koas di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Lalu ternyata setelah saya selesai sebagai anggota DPR RI di antara 2 periode, di tahun 2016 sampai 2018 pertengahan, saya berpraktik di sana. Jadi memang ada hubungannya di situ.
Kemudian saya juga tertarik dengan ilmunya karena saya senang dengan filosofi dan banyak sekali filsafat yang menjadi referensi pada saat kita sedang dididik Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Saya pun senang sekali ada banyak literatur-literatur filsafat yang kita gunakan dan di sinilah kenapa saya berminat terhadap keilmuan selain praktiknya itu sendiri. Ada universalitas yang sangat luar biasa dari Kedokteran Jiwa. Bahkan secara definisi kesehatan saja, menurut WHO (World Health Organization), kesehatan itu kan sebuah kondisi lengkap; sehat fisik, mental, dan juga sosial. Ini ada kekhususan dari kesehatan mental itu sendiri, sangat universal dan dia memiliki hubungan erat antara kondisi fisik dan mental. Makanya dikatakan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Jadi itu beberapa hal yang membuat saya tertarik dengan ilmu Kedokteran Jiwa.
Anda kemudian mengambil program Doktoral di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang didapatkan hingga kemudian membentuk pemikiran Anda dalam praktik yang dikerjaan saat ini?
Justru terbalik. Saya kan tertarik dengan suicide sejak 2007. Research saya tentang bunuh diri, dan hasil penelitian tesis saya dari FKUI saya jadikan buku “Jelajah Jiwa Hapus Stigma”. Memang ada keminatan yang khusus sekali terhadap masalah suicide dan di sini akhirnya saya ingin sekali melakukan penelitian tentang suicide di ranah yang sifatnya prevention. Jadi kalau dulu saya melakukan otopsi psikologis untuk memahami tentang sebab seseorang melakukan tindakan bunuh diri, justru saya ingin melakukan pencegahan. Sehingga untuk melakukan pencegahan, di antaranya adalah dengan mengambil bidang yang menjadi penekanan dari public health atau kesehatan masyarakat. Di sana kuat sekali aspek pencegahan sehingga saya akhirnya membuat Instrumen Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja. Jadi itu merupakan bentuk suicide prevention dan paling tepat untuk bicara prevention adalah di Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jadi, dalam arti untuk penelitiannya dan juga untuk implementasinya.
Setelah selesai di DPR pada tahun 2014, di tahun 2015 saya mendapatkan diploma untuk mental health implementation research di Harvard Medical School sebagai Research Fellow atau Visiting Scientist selama 6 bulan. Namun, justru saya merasa bahwa dengan saya belajar public health di Universitas Indonesia, akhirnya saya secara insting terasah untuk melakukan penelitian itu. Misalnya, pada masa pandemi ini saya melakukan research dengan sejawat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI juga, melakukan penelitian untuk dampak kesehatan jiwa terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Tapi ini masih dalam proses penelitian, belum selesai.
Sebelum terjun ke dunia politik, Anda juga telah merintis karir sebagai penulis dan psikiater. Apa yang menggerakkan Anda untuk merubah sistem dari dalam?
Tiga P, Psikiater, Penulis, Politisi. Ketiganya ini sebenarnya saling melengkapi. Jadi pada saat saya memilih akan menjadi seorang politisi itu adalah karena pada saat saya sebagai seorang penulis, otomatis – apalagi saya juga sering menulis esai – di situ sensitivitas terasah. Saya lebih banyak mengamati sekitar, melihat fenomena dan kemudian berusaha menganalisis. Dan saya menggunakan kacamata Kedokteran Jiwa pada saat saya menganalisis.
Jadi, periode saat saya menjadi anggota DPR itu juga berbarengan dengan saya kelar sebagai seorang dokter jiwa atau seorang psikiater dari FKUI. Selama beberapa tahun saya menjalankan program di FKUI, saya itu sering melihat ada berbagai masalah psikososial. Misalnya dari keluarga pasien, saya seharusnya berperan untuk follow up dalam konteks medis saja. Namun ada satu pengalaman saat seorang ibu pasien harus ke kasir, dia kembali ke saya dan bilang, “Boleh gak saya menyerahkan cincin ini untuk membayar?” Hal ini terjadi berulang-ulang pada banyak keluarga pasien dan akhirnya saya melihat bahwa aspek psikososial berdampak sangat berat kepada keluarga pasien. Apalagi waktu itu belum ada BPJS.
Kemudian dari segi pelanggaran HAM di tahun 2007, ada data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) bahwa ada 18.000 pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Dari sana saya melihat, kalau saya sebagai klinisi atau sebagai dokter saja yang berpraktik di rumah sakit, tentunya saya tidak bisa membuat begitu banyak perubahan karena perubahan yang dibuat sifatnya person-to-person. Tidak bisa bersifat yang fundamental. Tidak ground breaking, memperbaiki sistem. Jadi kalau ini harus menjadi seseorang di dalam sistem, ya harus menjadi legislator kalau ingin merubah regulasi. Ini akhirnya yang justru mendorong saya, masalah-masalah sosial ekonomi yang banyak terjadi di masyarakat dan keluarga pasien. Itu sebenarnya yang mendorong saya dan juga data yang berbicara.
Butuh 5 tahun sebelum akhirnya UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa disahkan di DPR. Sebagai inisiator undang-undang ini, bagaimana Anda melihat pembahasan/pemahaman soal kesehatan jiwa di pemerintahan kita?
Intinya saya rasa cukup jelas dengan saya mengatakan bahwa saat ini kesehatan jiwa tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan yang kedua, pencegahan bunuh diri tidak masuk di dalam cetak biru pencapain target SDGs (Sustainable Development Goals) versi Indonesia. Saya rasa itu sudah cukup jelas, ditambah lagi dengan tidak adanya tindak lanjut UU Kesehatan Jiwa dalam bentuk dilahirkannya peraturan-peraturan turunan baik di Perpres (Peraturan Presiden), Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan), hingga Permensos (Peraturan Menteri Sosial). Ini semua tidak ada, berarti cukup jelas ya.
Sudah lewat 6 tahun, tapi tidak ada satupun peraturan turunannya, jadi kita bisa tahu bagaimana menempatkan stakeholders pemerintah dalam hal ini tentang kepeduliannya terhadap kesehatan jiwa. Ini cukup clear menurut saya.
Pada sesi Anda di TEDxMlatiWomen, anda menyebutkan bahwa profesi Penulis, Psikiater dan Politisi dibutuhkan untuk mencapai pengesahan Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Boleh jelaskan lebih lanjut soal ini?
Jadi pada saat saya menjadi seorang politisi, khususnya pada saat berusaha menggolkan UU Kesehatan Jiwa, itu kan harus paham substansi dari kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa itu sendiri. Jadi, memahami profesi psikiater, psikolog, dan profesi lain yang terlibat di penanganan kesehatan jiwa di Indonesia seperti social worker. Ini dibutuhkan pemahaman direct di lapangan sebagai seorang dokter jiwa, menurut saya. Kemudian, sebagai politisi, tentunya karena itu yang mendorong saya sehingga bisa akhirnya mengesahkan UU Kesehatan Jiwa. Penulis, tentunya adalah bagian dari yang melengkapi.
Jadi pada saat saya berusaha menggolkan UU tersebut, saya harus menuliskan – kan tadi saya katakan bahwa setiap ada fenomena-fenomena selama di DPR itu, seminggu sekali atau minimal dua minggu sekali, saya selalu aktif menuliskan artikel-artikel dalam kacamata kedokteran jiwa untuk menunjukkan urgensi dari kesehatan jiwa. Ini akhirnya diterbitkan menjadi buku berjudul “Atas Nama Jiwa”, bekerja sama dengan Philips Vermonte yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Jadi dia yang bekerja sama dengan saya hingga akhirnya menerbitkan buku itu pada hari Kesehatan Jiwa Sedunia di 2011. Dalam buku itu ada hal-hal yang tidak cukup saya jelaskan ke wartawan tapi harus saya tulis secara lebih mendetail dengan kalimat saya sendiri.
Saat ini kesehatan jiwa tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Kini kesadaran atas kesehatan mental telah cukup meningkat akibat kemunculan organisasi maupun sosok-sosok vokal yang mengedukasi masyarakat baik lewat media sosial atau gerakan-gerakan baru. Sebagai sosok yang aktif pada advokasi terhadap kesehatan jiwa, langkah-langkah lain seperti apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)?
Ada banyak sekali memang movement-movement, apalagi sejak pandemi ini menjadi semakin luar biasa. Movement kesehatan jiwa itu muncul karena tiga hal, pada saat UU Kesehatan Jiwa akan disahkan, kemudian saat UU Kesehatan Jiwa disahkan, dan juga pada masa pandemi. Movement ini kan sebetulnya merupakan peran serta masyarakat. Di dalam UU Kesehatan Jiwa sudah ada juga pasal yang mengatur tentang peran serta masyarakat.
Mereka ini kan kesulitannya selalu satu, yaitu finansial, kemudian kapasitas dari masing-masing movement. Jadi organisasi ini kadang tidak berjejaring sehingga akhirnya mereka tidak mempunyai sebuah kekuatan yang masif untuk melakukan perubahan yang bisa dirasa signifikan di masyarakat karena mereka kadang-kadang kebanyakan habis bensin duluan. Padahal, kalau berjejaring, mereka bisa saling melengkapi. Akhirnya pada tahun 2019 saya mengadakan Jakarta Mental Health Convention bekerja sama dengan General Electric (GE) Volunteer, pada waktu itu bersama Pak Handry Satriago, dan Kopi Panas Foundation (KPF) milik Prisia Nasution. Di situ kita berjejaring serta mengumpulkan organisasi-organisasi kesehatan jiwa.
Rencananya saya dengan GE Volunteer lagi akan membuat Jakarta Mental Health Convention yang ke-2 karena ini banyak banget organisasi yang muncul semenjak pandemi. Jadi harapannya kita akan berjejaring lagi sehingga akhirnya masing-masing dari organisasi atau movement ini bisa bernapas panjang. Bisa benar-benar memberikan manfaat bagi perkembangan kesehatan jiwa masyarakat dan bisa berperan terhadap core interest dari masing-masing organisasi.
Saat ini Indonesia masih memberikan pelayanan kesehatan jiwa dengan kombinasi pelayanan berbasis rumah sakit dan berbasis komunitas. Nah, peran serta masyarakat sudah juga diatur dalam UU Kesehatan Jiwa tetapi belum ada peraturan turunannya. Padahal, sebenarnya kita berharap ada guideline, ada guidance kepada mereka yang peduli kepada kesehatan jiwa ini sehingga mereka bisa menjadi kekuatan di mana pemerintah bisa membangun basis masyarakat. Itu kan artinya jejaringnya sudah terbentuk di bawah, tapi ini belum ke arah sana. Maybe one day, saya dengan senang hati akan terus mengumpulkan organisasi ini. Insya Allah sponsor-sponsornya cukup banyak yang mau untuk membantu kita berjejaring.
Ketika berbicara soal kesehatan mental, isu atau masalah seperti apa yang khususnya dihadapi para perempuan di Indonesia?
Banyak. Kalau sekarang itu masalah sexual abuse atau kekerasan seksual yang banyak dihadapi perempuan pada masa pandemi. Kita juga berharap bahwa ada sebuah pendampingan dan penanganan khusus terhadap kelompok-kelompok rentan apalagi di masa pandemi ini. Padahal sebelumnya perempuan sudah dalam posisi yang seringkali dirugikan karena macam-macam hal, sama seperti kesehatan jiwa. Perempuan itu sering mendapatkan stigma negatif karena hal-hal yang terjadi pada dirinya itu dilihat sebagai akibat karena dia yang membuat dia sendiri terkena masalah itu. Perempuan selalu menjadi sumber dari masalah yang timbul kepada dirinya. Ini yang membuat saya merasa kalau lebih banyak perempuan juga harus ikut aktif.
Ada beberapa organisasi/movement yang berisi perempuan semua, jadi saya senang sekali bahwa justru perempuan yang berbicara tentang kesehatan mental sekarang. Juga perempuan lah yang kini berjejaring, bergerak dan berperan untuk ikut memperjuangkan kesehatan jiwa di Indonesia bersama-sama dengan saya setelah waktu itu saya membuka dengan UU Kesehatan Jiwa.
Anda juga baru merilis buku “Jelajah Jiwa Hapus Stigma” yang mengeksplorasi stigma yang ada soal kasus bunuh diri. Melihat stigma negatif terhadap kesehatan mental yang masih melekat di mata banyak masyarakat, apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah stigma tersebut?
Masa pandemi ini adalah kesempatan untuk mendestigmatisasi gangguan jiwa
Justru sekarang pada masa pandemi ini adalah kesempatan untuk mendestigmatisasi gangguan jiwa karena saat ini ibaratnya dunia sedang menjadi sebuah laboratorium besar yang menjalani eksperimen. Jadi bayangkan ada sebuah eksperimen yang begitu besar karena pandemi ini di mana manusia-manusia itu di-lockdown. Manusia-manusia yang harusnya bisa beraktivitas sebagai makhluk sosial, bukan sebagai makhluk individual saja, tiba-tiba dia menjadi terkurung. Ini adalah sebuah eksperimen yang sangat luar biasa, jadi wajar kalau saat ini banyak yang mengalami pergeseran di kesehatan jiwanya. Artinya mulai mengarah ke distress, kemudian mengarah ke kondisi-kondisi seperti gangguan panik, cemas, trauma psikologis dan lain sebagainya. Justru saat ini kita sama-sama mendestigmatisasi itu dengan tentunya menerima bahwa ini adalah momen di mana kita menjadi vulnerable, tidak produktif, dan menjadi seseorang yang butuh untuk berbicara dengan orang lain, misalnya secara profesional lewat konsultasi daring, bisa lewat SehatPedia atau yang lain. Ini bisa menjadi awal dari kita mem-breakdown dinding stigma itu sendiri dengan mau berkonsultasi. Karena ini kan sebenarnya konsultasi yang sifatnya dukungan kesehatan jiwa dan psikososial yang relatif aman karena dia tidak tampak orang lain, kemudian juga minimal dia bisa jujur kepada dirinya sendiri kalau dia butuh konsultasi, dan gratis pula. Ini saya rasa bisa menjadi awal dari kita sama-sama mendestigmatisasi masalah gangguan jiwa.
Di masa pandemi ini, kesehatan mental pun semakin diuji karena kita dipaksa untuk memulai kebiasaan baru yang belum tentu berdampak positif. Apakah Anda memiliki tips atau saran untuk dapat menyikapi hal ini?
Kalau menurut saya, intinya adalah kita harus fleksibel karena saat ini kita semua dalam kondisi trial and error. Begitu COVID-19, tidak ada yang pasti, unprecedented, vaksin juga masih belum jelas. Jadi memang kita sebagai manusia harus fleksibel, harus membangun resiliensi, artinya pada saat kita melampaui kondisi ini, kita menjadi seseorang yang mengalami personal growth. Ada perkembangan diri menjadi lebih baik. Kemudian kita juga punya kemampuan untuk bangkit atau rebound. Ini artinya pada saat masa pandemi ini kita harus membangun resiliensi diri.
Bagi saya kalau well-being mental baik, pada akhirnya produktivitas pun akan mengikuti.
Ada macam-macam caranya, di antaranya bisa lewat coping. Ada orang yang menghadapi masalah dengan cara berfokus pada problem atau pada emosi. Kalau pada problem itu tentunya cara menyelesaikan masalah, kalau emosi itu dengan denial, mungkin mengatakan bahwa ini takdir dan sebagainya. Itu adalah beberapa cara coping terhadap uncertainty ini.
Kemudian juga yang kedua bisa tetap optimis tetapi juga realistis. Saya paling senang mengutip Viktor Frankl, dia seorang psikiater dan neurolog yang harus melewati fase di mana dia ditawan di Auschwitz camp, concentration camp Nazi. Di saat itu dia akhirnya menjadi psikoterapis generasi tiga. Kalau Freud bicara will to pleasure, kemudian Nietzsche bicara tentang will to power, kemudian pada generasi ketiga ini, termasuk Viktor Frankl, adalah will to meaning. Jadi artinya hidup ini adalah pencarian makna hidup. Kalau saya melihatnya adalah kita semua saat ini sedang ditantang untuk merumuskan kembali makna hidup kita. Pertama kita cari makna hidup, kemudian kalau kita mempunyai makna hidup itu lantas bagaimana kita bisa berperan sesuai dengan makna hidup itu. Saat ini rasanya makna hidup itu adalah kita ingin bermanfaat untuk sesama. Minimal kita bertanggung jawab. Dengan tidak menularkan, dengan memakai masker, dan lain sebagainya, itu adalah bentuk-bentuk dari tanggung jawab manusia terhadap diri dan orang lain.
Lalu, apakah Anda memiliki tips untuk menghadapi perubahan yang signifikan di sekitar kita agar tetap tenang?
– Harus ada fleksibilitas.
– Membangun resiliensi. Coping with uncertainty.
– Membangun makna hidup lagi.
– Lakukan aktivitas – olahraga, suplemen, 3M. Itu sudah menjadi perubahan yang harus kita jalankan dan sudah menjadi kebiasaan baru.
– Compassionate. Kita harus compassionate terhadap diri kita sendiri. Jadi kalau saya sih lebih menekankan kalau well-being saya itu nomor satu. Jika saya bisa melakukan satu-dua hal dalam satu hari, saya sudah appreciate itu. Saya tidak akan memaksakan diri saya untuk bisa lebih dari itu, maksimal ada dua target dalam satu hari. Malah bisa sama sekali tidak tercapai but it’s okay, yang penting kita compassionate. Mengasihi diri kita. Bagi saya kalau well-being mental baik, pada akhirnya produktivitas pun akan mengikuti.
Apakah Anda memiliki rencana tertentu atau hal-hal yang menjadi fokus di masa depan?
Saya itu seseorang yang mempunyai target. Entah lima tahunan, sepuluh tahunan, saya punya rencana-rencana yang saya tulis. Saya punya agenda, biasanya agenda saya yang “Day Planner” dari Paulo Coelho sejak lima tahun yang lalu. Di situ saya selalu menuliskan rencana day by day. Kemudian juga ada-ada yang annually. Bahkan yang lima tahunan. Jadi walaupun COVID-19, saya tetap melihat kemungkinan kedepan itu bisa seperti apa.