Pertemuan dengan si Gotong Royong
Di tulisan keduanya untuk seri Pertemuan, Irwan Ahmett menceritakan perjumpaannya dengan sosok dari tepian Indonesia, dan bagaimana ia menemukan sisa-sisa spirit bangsa di sana.
Words by Irwan Ahmett
Warsaw, 13 September 2017
Namaku Gotong Royong, aku lahir di antara garis khatulistiwa yang membelah planet bumi, tepatnya di untaian surgawi kepulauan hijau yang menghidupi sekaligus berdampingan dengan barisan gunung berapi yang mematikan. Aku dibesarkan dari sikap, pemikiran dan intuisi para leluhur atas dasar saling menghargai untuk membangun kepercayaan menata hidup bersama dalam perbedaan. Denyut jantungku dipompa dan ditempa oleh bermacam perlintasan ideologi, tentu saja kolonialisme telah menusuk diriku demikian hebat. Aku terlupakan.
Tapi, aku berteman baik dengan revolusi, namaku disebutkan dengan lantang di pohon-pohon jati yang ditebang, di coretan dinding, di podium demokrasi dalam rapat-rapat raksasa, lalu bergerilya dalam sanubari manusia-manusia yang merdeka. Aku dipenjara oleh kekuasaan untuk dilembagakan serta dilegitimasi sebagai instrumen identitas kebangsaan yang dipaksakan. Sekarang, aku tersesat di belantara jargon klise dan arus mainstream. Maukah membantu menemukan kembali diriku?
…
Lengan serta bagian tubuhnya berat berlemak mulai terlihat termakan usia, namun gerak geriknya terlihat gesit, tatapan matanya berusaha membongkar lawan bicara tanpa rasa curiga. Perbatasan negara-negara yang dijejali propaganda nasionalisme dan dijaga dengan sistem keamanan ‘tingkat dewa’ bukanlah penghalang bagi perempuan Sunda ini, terlebih jika niat juga tekad sudah dibulatkan. Jaringan serta koneksi yang dimilikinya melampaui batas-batas negara kawasan Selat Malaka. Dia bercerita tentang mayat-mayat yang hanyut ke tepi pantai beberapa hari setelah gelombang badai menerjang kawasan selat tersibuk di Asia tersebut. Mereka adalah para pelintas batas yang nahas. Semakin tinggi gelombang laut, semakin terbuka kesempatan untuk menerobos perbatasan karena semakin jarang kapal petugas berpatroli. Jaringan serta koneksi yang dimilikinya melampaui batas-batas negara kawasan Selat Malaka.
Sulit dibayangkan dia memilih resiko besar untuk menembus perbatasan Malaysia – Indonesia. Dia menempatkan takdirnya pada sistem lain di luar negara.
Saat kami berbincang, jarinya mengetik kata-kata pendek dan beberapa kali mengaktifkan voice mail, ternyata dia sedang berkomunikasi dengan kawannya yang buta huruf namun sukses bekerja di Singapura. Beberapa minggu lalu saya menerima kabar kalau dia sudah berhasil masuk dan bekerja di negeri Singa. Entah bagaimana caranya, namun kemampuan intuisinya untuk mengelola jaringan kerja kolektif tanpa identitas yang bersifat sementara dengan modal dasar rasa saling percaya terbukti berhasil menembus batas-batas negara, sungguh mengagumkan!
…
Lelaki tegap itu seperti ikan hiu kehilangan siripnya, intonasi suaranya bagaikan komando pasukan yang kebingungan sementara badannya terlihat kurus tidak wajar. Umurnya 29 tahun. Sebagai seorang musafir, keahlian yang sangat dikuasainya adalah menahan rasa lapar. Ditengah kapal yang melaju pelan melewati gugusan kepulauan dekat Sungai Kampar pembicaraan kami semakin mendalam. Nada suaranya setengah berteriak teredam oleh gemuruh mesin membuatnya nyaman untuk mengakui bahwa dirinya seorang tentara desersi, pernah terlibat bisnis pemalsuan uang. Temannya seorang pembuat senjata rakitan, dengan bermodalkan airsoft gun mampu disulap agar bisa menembakkan peluru tajam. Namun akurasi masih menjadi persoalan, timah panas yang meluncur deras seringkali melenceng jauh dari sasaran.
Selama lebih dari satu malam di kabin kapal yang sepi penumpang dengan menawan pria berstatus duda ini mampu mencairkan suasana. Walau kadang tergagap dan setengah memaksa, kemampuan story telling-nya bisa dikategorikan di atas rata-rata. Sesekali terlihat melobi orang Flores yang membawa serta mobilnya di lambung kapal agar bersedia mengantarkannya dari Pelabuhan Buton ke Kota Pekanbaru. Layaknya CEO dari startup gadungan yang sedang meyakinkan investor, dengan penuh percaya diri ia memaparkan rancangan konsepnya untuk berangkat dari Pekanbaru ke Jakarta walau tak memiliki uang sepeserpun. Selama di kapal biaya makan dan minumnya ditanggung ikhlas oleh pedagang balon anak-anak berbentuk karakter animasi.
Gotong royong hadir dalam jiwa-jiwa yang ingin terbebas dari sistem yang tidak adil.
Walau kami tidak saling mengenal namun hampir semua penumpang terlibat aktif bermusyawarah mencoba memberikan masukan dan memecahkan persoalan secara natural tanpa harus terlihat dramatis seperti debat politikus di televisi atau argumentasi intelektual yang membosankan di simposium internasional. Kami berpisah saat petugas kepolisian melakukan penggeledahan pada mobil-mobil yang keluar dari pelabuhan. Untuk menyambung perjalanan ke Jakarta, si musafir bekerja sebagai sopir angkot di kota-kota yang disinggahi sambil mencari tumpangan menuju kota berikutnya. Jaringan suku Minang yang tersebar di perantauan menjadi sumber daya utama dalam menyambung hidupnya dari hari ke hari.
Sebagai orang Sumatera Barat, sebelumnya ia bekerja jadi sopir Metromini jurusan Pasar Minggu – Tanah Abang. Namun sekarang nasib bus busuk sarang pencopet itu tengah sekarat, ia pun memilih kembali menjadi musafir. Sesekali masih menghubungi saya sekedar meminta diisi pulsa sambil tak lupa dengan ramah mengundang saya mengunjunginya di Jambi untuk bersilaturahmi dengan jaringan narkoba yang tengah menggila di kota-kota besar Pulau Sumatera.
…
Umurnya sama dengan saya, 43 tahunan. Yang membedakan adalah naluri kelautannya serta bekas luka tembakan pada bagian betis atas. Daging yang terkoyak itu didapat tatkala masih beroperasi sebagai Lanun di Selat Malaka. Tubuh gempalnya memudahkan mengapung diatas air sekaligus lincah bermanuver ke dasar lautan. Penampilannya jauh lebih fotogenik dibandingkan penyelam hipster ‘pemburu like’ di sosmed. Perjalanan hidupnya menjadi lanun (perompak) dimulai ketika kapalnya tenggelam diterjang badai. Setelah 13 hari bertahan hidup di atas terpal plastik yang timbul tenggelam nyawanya diselamatkan oleh kelompok Lanun asal Palembang. Sebagai balas budi dia bekerja merampok kapal Tanker pembawa minyak bumi pertiwi hasil eksploitasi gila-gilaan lalu menjualnya di pasar gelap atau melakukan penyanderaan dengan permintaan uang tebusan yang jumlahnya fantastis. Keanggotaan Lanun benar-benar mencerminkan semangat ‘Bhineka Tunggal Ika’ mereka berlatih otodidak menggunakan senjata berat dan parang, biasanya mereka terdiri dari berbagai suku bahkan negara tetangga seperti Philipina dan Vietnam. Walau berbeda budaya jiwa mereka bersatu untuk menguasai lautan.
Keanggotaan Lanun benar-benar mencerminkan semangat ‘Bhineka Tunggal Ika’.
Secara geografis, Kepulauan Riau sangat cocok untuk melakukan ‘hit and run’, merancang aksi dari pulau yang berpenduduk miskin lalu beraksi dengan gagah berani memanjat kapal tanker yang terus melaju dengan sebilah bambu akhirnya bersembunyi di pelabuhan-pelabuhan ‘tikus’ yang sulit terdeteksi. Bajak laut Mediterania dihabisi Romawi, Bajak laut Karibia dihancurkan Inggris, Spanyol dan Portugis. Dominasi kulit putih di Selat Malaka gagal mengikis satu kelompok paling tangguh di laut. Lanun modern, bekerja untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok, mereka merampok 1-2 kali dalam sebulan dengan target buruan 10.000 USD per orang. Jumlah pendapatan mereka jauh lebih besar dibandingkan penghasilan saya sebagai seniman recehan.
…
Sejenak saya bersuka cita, ternyata gotong royong masih ada, berkeliaran di daratan maupun di lautan. Hanya saja berseberangan dengan mentalitas masyarakat yang terlanjur materialistis. Mustahil untuk mendomestikasikannya karena bukan milik siapa-siapa, bukan pula milik seniman yang gencar ‘menjajakannya secara eceran’ dalam proyek seni kolektif berbasis partisipatori ataupun diperkosa dalam senyuman pencitraan janji politik. Gotong royong hadir dalam jiwa-jiwa yang ingin terbebas dari sistem yang tidak adil. Jauh dari jangkauan dunia ideal kelas menengah, di luar surga yang dipuja para fanatisme agama. Menjelma pada pelintas batas yang tidak percaya aturan, musafir yang berserah dengan jalan hidupnya juga lanun si penguasa lautan. Karena mereka mengamalkannya dalam keseharian tanpa tuntutan moral dan kemunafikan.
—
Tulisan ini dibuat pada waktu penulis melakukan penelitian untuk project ‘Name Laundering’ dalam bentuk 8 gugusan rencana untuk menembus perbatasan negara di Selat Malaka tanpa izin.