Pergeseran Makna dan Peran Ayah di Mata Generasi Terkini
Kami mengumpulkan cerita mengenai pengalaman mereka melihat ayah, dan rasanya ketika menjadi seorang ayah untuk keluarga baru mereka.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ahmad Baihaqi & Garrin Faturrahman
Ilustrasi: Mardhi Lu
Tak bisa dipungkiri, mengartikan sosok seorang ayah adalah hal yang bisa menjadi polarizing jika ditanyakan kepada seorang anak dalam keluarga. Beberapa anak tidak ingin mengulangi apa yang mereka terima semasa kecil, tapi tidak sedikit yang tetap memiliki impian untuk mengikuti jejak ayahnya setelah beranjak dewasa.
Kami mengajak beberapa ayah-ayah muda untuk bercerita tentang bagaimana pengalaman dan zaman mempengaruhi pendekatan dalam menjalani peran baru mereka.
Sirin Farid Stevy
Artist
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai ayah Anda?
Tentu saja banyak ingatan tentang Bapak, cuma satu yang “tebal” adalah saya tidak pernah mendapati bapak memarahi saya, setidaknya ketika saya sudah mulai beranjak dewasa. Dan ternyata hal tersebut membentuk saya yang seperti sekarang. Namun, sebetulnya bapak juga tipikal orang yang tegas, tetapi tidak mendistribusikan prinsipnya dengan marah melainkan hanya berbicara dan memberikan pengertian.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Semenjak punya anak, menghadapi kerewelan anak, membuat saya menjadi lebih empatik dan lebih berterima kasih sama orang tua, terutama kepada bapak yang waktu itu pasti menghadapi kerewelan saya juga. Akhirnya sekarang bisa tahu apa yang dulu bapak rasakan ketika menghadapi saya. Berikutnya adalah bagaimana kemudian saya mendukung pilihan anak, karena hal tersebut juga yang sebenarnya dilakukan bapak saya di balik tidak marahnya. Hari ini, saya mendapati itu di anak saya, anak saya punya kehendak sebagaimana manusia seutuhnya, dan saya sedang belajar menghadapi anak ketika dia menyatakan kehendaknya yang lebih mendasar nanti. Mungkin saat ini kehendaknya hanya sebatas dia mau makan permen, tetapi nanti ketika beranjak dewasa dengan kehendaknya yang lebih besar, seperti kehendak untuk memilih agama atau pilihan atas hubungannya, saya harus bisa tetap mendukung pilihan-pilihannya.
Bagaimana hubungan Anda dengan ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Ketika berbicara mengenai kedekatan saya dengan bapak, kedekatan yang terjalin sekarang pun melalui proses. Saya tidak sejak dulu dekat dengan bapak, ada renggangnya dan ada dekatnya. Namun, ketika saya sekarang berada di posisi sebagai bapak, saya mengalami kedekatan yang paling intim dengan bapak. Dan kedekatan saya dengan Bapak jelas mempengaruhi cara saya membangun hubungan dengan anak, terlebih yang tidak bisa dilupakan adalah bapak saya merupakan kakek dari anak saya, jadi kedekatan antara bapak dan kakek yang dilihat oleh anak itu penting sepertinya. Dengan menyaksikan kedekatan tersebut, anak saya jadi tahu bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan saya, karena saya percaya anak kecil akan lebih mudah belajar dari sebuah contoh. Selebihnya, saya juga akan menjadi seorang bapak yang tidak pernah marah dan mendidik anak lewat pembicaraan, pengertian, logika, serta perasaan, sama seperti yang bapak saya lakukan dulu.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Saya tidak pernah berpikiran seperti itu, dan kebetulan atas pilihan hidup yang saya ambil, saya berkesempatan untuk tidak menjadi seperti itu. Misalnya, pekerjaan saya yang tidak terjebak dengan rutinitas membuat saya bisa lebih banyak melewatkan waktu di rumah, bisa dekat dengan anak dan istri membuat saya merasa beruntung. Selain itu, kembali lagi kepada apa yang bapak saya lakukan, bahwa bapak juga ikut merawat anak. Jadi, saya tidak merasa bahwa anak hanya dirawat oleh ibu dan bapak hanya mencari nafkah. Dan saat ini, di keluarga kecil saya, salah satu koridor utamanya adalah kerja sama. Jadi, memang iya salah satu hal utama yang menjadi tugas saya adalah mencari nafkah, tetapi tidak berarti membuat saya menjadi anggota keluarga yang tidak punya urusan merawat anak. Saya juga merasa beruntung karena hingga saat ini saya bisa bersama istri merawat anak, saya tidak membayangkan membina hubungan dengan anak itu atas dasar prinsip bahwa ini adalah bapak saya yang memberi uang atau prinsip ini adalah anak yang saya nafkahi. Sama halnya dengan pola hubungan yang saya bangun dengan istri, saya tidak pernah membayangkan terjebak di dalam pola hubungan dengan prinsip laki-laki mencari nafkah dan istri mengurus anak, karena menurut saya itu prinsip yang menjijikan juga.
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Saya tidak pernah membagi waktu, karena saya ga bisa. Jadi, saya melibatkan semua anggota keluarga dalam kehidupan saya, artinya saya tidak memisahkan waktu bermusik, berkesenian, diri sendiri dengan waktu bersama keluarga. Saya melibatkan semuanya, anak saya sekarang terlibat di studio saya, terlibat di kerja musik saya, untuk menyaksikan dan ikut saya bekerja. Meski saya juga ga tau hal ini akan baik atau tidak, tetapi sejauh yang saya yakini anak juga harus tahu apa yang dilakukan bapaknya. Misalnya, anak itu harus tahu dia bisa jajan dari uang yang didapat bapaknya dari mana, itu sebuah logika yang ketika dia saksikan semoga bisa membantu dia. Jadi, alih-alih membagi waktu yang saya tahu akan gagal, saya lebih memilih untuk melibatkan anak di part-part kehidupan saya.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anak-anak Anda?
Tidak pernah mudah menjawab ketika ditanya apa yang paling utama, karena ada seperangkat nilai dan prinsip yang saya pegang hari ini untuk coba diwariskan ke anak-anak nanti. Namun, salah satu yang paling penting justru hal-hal yang sederhana. Mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih itu sudah jelas menjadi hal fundamental yang harus diterapkan. Selain itu, jika diperkenankan untuk mengajarkan satu hal yang saya yakini, saya akan mengajarkan untuk tidak boleh menindas orang lain, dan semoga nanti anak saya juga bisa memahami.
Bhagavad Sambadha
Photographer
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai ayah Anda?
Yang paling gua inget dari bokap itu, ga pernah marah soal pendidikan. Maksudnya, dengan kebandelan gua ketika sekolah itu dia ga pernah marah soal nilai yang ga bagus atau bolos sekolah – dia akan lebih marah mengenai kesopanan. Misalnya, gua bikin masalah sama guru, dia baru akan marah. Selain itu, bokap adalah temen cerita gua, sering banget dulu ketika pulang ngantor kita saling cerita, entah dia atau gua yang cerita. Ya, kalo bisa gua bilang, dia sebagai bapak adalah role model pertama gua.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Ya, itu sih yang paling membekas tadi, yang namanya bokap tuh ya kaya bokap gua, bapak yang egaliter, yang terbuka. Jadi, ya, paling awal yang gua terapin ke Astu (anak) sama kaya yang bokap gua terapin ke gua dulu, ga berubah. Contohnya, Astu manggil gua itu pake nama aja, ga pake panggilan ayah atau apa gitu, karena dulu gua ke bokap juga kaya gitu. Terus ga pernah gua suruh cium tangan, karena gua berusaha sebisa mungkin nempatin posisi gua sebagai temen buat dia. Sesepele gua ngobrol sama dia, gua pasti berlutut biar eye to eye, karena menurut gua hal tersebut jadi gesture yang sederhana tapi penting, supaya dia tahu gua sama dia tuh equal. Termasuk ketika dia bercerita, gua ga pernah nganggep dia sebagai anak kecil, jadi mau dia cerita apapun gua akan tanggepin secara serius, hal ini juga gua pelajarin dari bokap yang selalu nanggepin cerita gua dengan serius. Kadang tuh ada aja orang tua yang ngerasa kaya “anak kecil tuh tau apa sih”, padahal anak kecil tuh bisa ngerasain kalo dia lagi disepelein.
Bagaimana hubungan Anda dengan ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Kalo ditanya pengaruh, jelas berpengaruh. Karena gua menyadari bahwa role model pertama gua adalah bokap, jadi dengan sadar gua memang meng-copy cara dia dulu memperlakukan gua. Kaya dulu gua selalu punya tempat buat mengekspresikan apa yang gua rasa, mau seneng, sedih, ataupun marah, paling ga, gua tau hal itu bisa gua ceritain ke orang tua. Jadi, itu juga salah satu cara yang gua terapin ke Astu, karena pada akhirnya ketika kita merasa punya ruang yang egaliter, nyaman, dan aman, serta sama-sama tahu kalo kita saling ngedengerin, nanti bondingnya pasti akan jadi kaya temen. Dan itu adalah bentuk hubungan yang dulu gua tangkep dan gua harapkan dari seorang ayah.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Untuk stigma seperti itu sih sebenernya jadi masalah struktural, ya, dan stigma itu justru lahir dari cowok karena adanya miskonsepsi, kaya ada yang bilang cowok tuh lebih logis, sedangkan cewek lebih emosional. Hal tersebut akhirnya nimbulin pembagian seperti itu bahwa cowok tuh cocoknya nyari uang aja, keluar rumah, dan cewe karena lebih perasa jadi cocoknya ngurus anak di rumah. Tapi kalo gua sama Lika (istri), jutsru gua yang lebih sensitif daripada Lika. Dan sebetulnya dari dulu pun gua pengen di rumah, karena dari dulu gua pengen punya anak, jadi, ketika sudah ada Astu gua pengennya di rumah. Pas awal Astu lahir pun sempet seperti itu, Lika kerja dan gua di rumah, tapi kemudian kondisi finansial ga memungkinkan untuk kita bisa bertahan menjadi kelas menengah kalau hanya mengandalkan satu pemasukan. Akhirnya kita berdua sempet sama-sama ngantor, tapi semenjak Agustus kemarin gua resign, gua jadi banyak waktu lagi di rumah sama Astu, dan gua malah seneng. Jadi, kalo gua sih ga masalah siapa yang mencari nafkah dan siapa yang di rumah, yang penting hal ini bisa dikomunikasikan dan ga jadi masalah dalam rumah tangga. Untungnya juga Lika ga masalah sama hal ini.
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Kalo untuk hal itu, akhirnya kesepakatan gua bersama Lika dan Astu adalah weekend tuh waktu buat rumah. Apalagi ketika gua masih jadi fotografer di Tirto, Senin sampai Jumat gua selalu keluar karena gua harus keliling, dan pulangnya pasti malem ketika Astu udah tidur, alhasil ga ketemu. Jadi, biasanya gua luangin di Sabtu dan Minggu, minimal banget Minggu, kalo memang di Sabtu ada hal penting yang bikin gua harus keluar. Atau kalo misalnya gua lagi ada tugas keluar kota selama seminggu, biasanya Astu minta untuk ditebus waktunya. Jadi, setelah seminggu gua keluar kota, berarti setelahnya gua akan seminggu di rumah. Itu sih sebenarnya yang coba gua seimbangkan mengenai pembagian waktu.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anak-anak Anda?
Semua pasti tentang karakter sih, karena kalo pendidikan kan udah diajarin di sekolah, sedangkan character building ga diajarkan secara langsung, padahal karakter tuh penting untuk membentuk kita jadi seperti apa nanti. Contohnya sih, Astu tuh gua ajarin banget kalo punya salah tuh minta maaf sama orang, gua juga jelasin ke dia kenapa harus minta maaf. Gua ajarin ke dia bahwa minta maaf tuh gampang, yang susah tuh maafin. Jadi, ketika dia udah bisa minta maaf sama orang, nanti dia bisa belajar yang lebih susah, yakni maafin orang. Hal ini juga kami terapin di keseharian, kalo ada salah ya akuin aja, minta maaf. Tapi hal ini juga ngebuat gua harus bisa ngingetin diri gua sendiri sih, karena ketika Astu punya salah gua ga bisa langsung marah. Kalo dia udah minta maaf, ya gua harus kaya “oh yaudaah” aja gitu, meskipun kadang tetep ada sebelnya. Tapi ya itu lah hal utama yang mau gua ajarin ke dia. Setelah itu, seharusnya dia bisa belajar untuk hal yang lebih besar, kalo dia mau orang baik sama dia, dia harus baik dulu sama orang. Selain itu, mengucapkan terima kasih, tolong, maaf juga jadi hal penting, karena gua ngerasa dulu ketika gua keluar rumah dan tinggal di mana-mana, modal gua cuma sopan, tatakrama, dan bisa nempatin diri. Jadi, ya, hal itu yang nanti bisa ngebawa dia ke mana-mana. Ketika dia menjalin hubungan sama orang, apakah itu hubungan kerja atau hubungan sebatas temen dan dia udah punya karakter, harusnya kan dia akan baik-baik saja, ya.
Adnan Satyanugraha Putra
Musician
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai Ayah Anda?
Satu hal yang gua inget dari bokap gua adalah dia selalu bilang dan titip pesan untuk jangan lupa solat. Hal itu selalu bokap gua ingetin, sejak gua kecil sampe sekarang gua umur 28 tahun, bahkan ketika gua sudah tinggal sendiri dan berkeluarga pun dia selalu bilang jangan lupa solat. Kebetulan gua juga besar di keluarga yang secara finansial di tengah-tengah aja gitu, ga terlalu berlebih, ga kekurangan juga, jadi mereka (orang tua) selalu mengedepankan tiang agama (islam), yakni solat supaya gua bisa punya pondasi dan inget sama yang nyiptain kita di dunia itu siapa.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Bisa dibilang gua dibesarkan oleh kedua orang tua dengan parenting yang cukup bagus, ya, kaya gua ga pernah lihat orang tua gua bertengkar di depan anak-anaknya, jadi gua ga pernah punya trauma dengan keluarga yang represif. Jadi, ketika sekarang gua udah jadi seorang ayah pun, gua akan mencoba melakukan hal yang sama ke anak gua nanti. Gua juga akan membebaskan anak gua nantinya, tapi tetap membimbing, seperti apa yang Ayah gua lakukan. Jadi sebagai Ayah, gua akan coba berperan untuk ngebebasin pilihan anak tapi tetap ngejagain dia supaya bisa berperilaku sesuai dengan norma-norma di lingkungannya. Satu hal utama, gua juga ga mau jadi Ayah yang absen, gua pengen selalu bisa hadir untuk anak-anak gua nanti.
Bagaimana hubungan Anda dengan ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Untuk hubungan, relationship gua dan Ayah udah baik banget nih, cuma ada hal-hal yang perlu di-improve. Misalnya, rasa gengsi untuk meluk atau mengucapkan “i love you” secara gamblang ke anak, yang akhirnya anak pun ngerasa gengsi untuk mengucapkan hal tersebut. Nah, hal-hal kaya gitu yang pengen coba gua improve dalam menjalin hubungan sama anak gua nanti untuk ga gengsi dalam menyatakan perasaan.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Untuk hal tersebut sih mungkin masih ada ya, karena konsep tersebut seperti menjadi warisan sejak zaman dulu. Dan untuk stigma itu sih sebenernya gua oke-oke aja, karena pandangan orang kan beda-beda, ya. Tapi, untuk yang gua terapkan sekarang sih ga kaya gitu ya, karena di tahun 2022 ini, terlebih hidup di Jakarta, seorang istri ikut mencari kerja udah jadi hal yang lumrah, jadi kita justru bisa patungan (bersama-sama) untuk saling menghidupi dan membesarkan anak kita. Tapi, gua juga mencoba untuk tetap lebih dominan sih dalam menafkahi, karena ya gua pengen ngasih semuanya aja buat anak istri, dan mungkin ketika nanti finansial udah lebih stabil gua akan meminta istri untuk resign supaya bisa punya waktu lebih banyak sama anak, sama kaya yang dulu bokap lakuin ke nyokap. Karena waktu tuh ga bisa dibeli, jadi, kalo gua mending berkecukupan aja tapi punya waktu buat keluarga.
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Sebenernya agak dilema juga sih, karena ya gua bareng sama .Feast sering banget dapet job buat manggung di luar kota dan bahkan luar negeri yang bikin ga pulang sehari, dua hari, dan kemaren sampe ga pulang seminggu ninggalin anak gua. Jadi, saat ini sih supaya tetep bisa tau perkembangan anak, gua banyak install aplikasi baby monitoring dan selalu minta update sama istri gua supaya tetep bisa tau anak gua lagi ngapain ketika gua lagi ga sama dia. Selain itu sih yang jelas, selalu komunikasi dan bisa tag team sama istri, karena ya fungsinya berkeluarga memang harus seperti itu kan. Dan mungkin nanti kalo anak gua udah bisa ikut perjalanan jauh, dia akan gua ajak untuk ikut manggung supaya dia bisa tau apa yang bapaknya kerjakan.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anak-anak Anda?
Yang jelas agama sih udah pasti. Tapi selain itu, karena gua akan menjadi orang tua yang membebaskan pilihan anak gua untuk mengeksplor dirinya, gua pengen anak gua bisa jadi orang yang punya kedewasaan dalam menanggapi lingkungannya, karena ya lingkungan akan berpengaruh sama mindset nantinya. Dan tambahan, gua pengen anak gua punya kepercayaan diri yang baik, di mana hal tersebut juga akan terlatih di lingkungan terdekatnya, yakni keluarga.
Nakula Senchaki
Corporate Strategist
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai Ayah Anda?
Hal yang gue ingat tentang ayah gue itu disiplin. Dia disiplin sih orangnya, dan dia keras ke dirinya sendiri, jadi he fights for what he wants. Itu sih yang gue ingat sampai sekarang. Terus, dia respect ke orang-orang sekitar, apalagi ke orang-orang yang bener-bener bantuin dia sih.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Perspektif gue terkait main, dan biasanya gue masih mikirin apa yang penting buat diri gue sendiri. Sekarang, apapun keputusan yang gue ambil dalam hidup gue, even keputusan gue untuk pindah kantor, itu semua bergantung sama keluarga dan anak. Jadi, anak gue itu selalu menjadi salah satu consideration gue terhadap keputusan-keputusan major dalam hidup, sampai se-level, misalnya, sesimpel mau main tenis di hari Sabtu malam bersama temen-temen. Untuk itu, gue juga consider my kids gitu, sih. Kayak, gue harus pergi atau nggak—gue pilih temen-temen apa anak gue.
Bagaimana hubungan Anda dengan Ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Let me say this blatantly to you—he’s quite harsh to me. Hal-hal yang dia lakukan ke gue dulu itu yang bikin gue nggak mau kasar ke anak gue. I’m trying to be a “normal” father aja sih. Kayak, gue nggak mau main tangan, nggak mau kasar yang gimana-gimana banget gitu, sih. Terus juga, gue nggak mau yang kalau ngomong keras banget. Itu yang gue hindari, sih. Beberapa hal yang gue pelajari dari bokap: apa yang dilakukan itu ternyata berpengaruh ke mentality-nya gue, dan gue nggak mau hal itu terjadi sama anak gue. Karena, buat gue, untuk gue bisa keluar dari mentality dan segala breakdown itu lumayan susah sih. Jadi, gue nggak mau anak gue mesti ngelewatin itu: nggak mau nge-break mentality-nya dia itu untuk kembali ke state yang normal lagi—kayak, pasti ada another way, lah, yang lebih manusiawi.
Sayang aja gitu lho, kayak, kita kan udah punya macam-macam informasi, skills, dan tips and tricks gitu nggak sih untuk ngurusin cara mendidik anak. Jadi, sudah nggak make sense lagi tuh jaman sekarang untuk kayak begitu.
Sebelumnya, yang gue maksud “normal” tadi adalah in regards to today’s context. Tapi, jaman sekarang ada juga yang parenting-nya bener-bener nggak boleh ditegur sama sekali, yaa… itu nggak juga sih gue. Maksud gue, yaa ada batasnya, cuman nggak perlu sampai kayak dulu babé gue ke gue dulu. Jadi, gue nggak mau kayak point-to-point, a carbon copy of bokap, nggak mau. Itu gue harus improve. Karena kita udah tau, kan, apa rasanya, dan kita nggak mau anak kita ngerasain hal yang sama.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Menurut gue, ya, kalau jaman dulu, iya: bapak cari duit, ibu di rumah ngurus anak, gitu kan. Tapi, kalau sekarang nggak sih. Waktu itu, ke istri, gue bilang kan, lu mau kerja boleh, nggak kerja juga boleh; enaknya lu aja gimana. Jadi, menurut gue, jaman sekarang sih, kebanyakan ya, kayak ngebebasin aja. Tapi, harus liat lagi kondisi ekonominya: kalau cuman satu yang kerja cukup atau nggak. Kalau ternyata cukup, kalau buat gue, yaudah. Kalau nggak cukup, rasanya perlu dibantu juga sih. Jadi, tergantung lagi sih ke situasi ekonominya.
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Biasanya sih, Sabtu dan Minggu. Misalnya, Selasa dan Jumat tuh ada jadwal main tenis pulang kantor, terus, hari Rabu biasanya nemenin bos gue lari. Nanti, anak-anak sama bini biasanya mainnya hari Sabtu dan Minggu. Kayak misalnya kemarin (Sabtu) pagi sampai siang gue ke sekolahnya si anak pertama (ekskul), lalu, siang sampai sore kami di mall, terus, malamnya kami nonton TV bareng atau duduk bermain bareng. Besoknya, Minggu siang nemenin potong rambut, dan sorenya berenang.
Tapi, kalau hari biasa, Senin sampai Jum’at tuh susah, sih. Soalnya kantor cukup demanding dan gue bisa pulang jam 00:00, 01:00, sampai jam 02:00, dan gue jam 09:00 sudah di kantor lagi. Jadi, anak-anak dan bini, yaaa… pasrah aja kalau gue udah berangkat, sih. Jadi, waktu buat gue pribadi paling di antara waktu-waktu pulang kerja, sih. Biasanya kayak, misalnya, gue hari Selasa pulang kerja tenis dulu, atau running dulu di GBK nemenin bos gue. Ada lagi, hari Kamis atau Jum’at biasanya main bola sama temen-temen kantor, atau gue ke lounge atau ke club gitu sih, paling. Itu buat diri gue. Kalau anak-anak, yaa Sabtu dan Minggu palingan.
Kalau emang urgent banget atau ada urusan apa di sekolahnya, gue ambil cuti satu hari atau setengah hari, dan kalau anak gue sakit, gue ambil cuti biasanya satu hari atau setengah hari. Kecuali kalau istri bisa handle. Kalau overwhelmed, gue cuti setengah hari. kalau dia bisa handle, gue lanjut ngantor.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anak-anak Anda?
Lu harus bisa nggak bergantung sama orang lain. Kalau lu mau sesuatu, kejar, dan jangan menyerah sebelum bisa melihat garis finish-nya, dan kalau sesuatu yang dikerjakan atau diimpikan itu nggak kelihatan garis finish-nya, mending nggak usah dikejar, karena jadi setengah-setengah, kan. Terus, yang ketiga, kalau jadi orang jahat, jahat sekalian, baik pun, baik sekalian—jangan setengah-setengah. Nothing good comes from menjadi orang yang setengah-setengah karena hasilnya juga nanti setengah-setengah.
Biasanya, gue ngajarin ke mereka dengan ngomong langsung, sih. Ke si sulung, terutama, yang sudah bisa lebih mengerti. Misalnya, dia usaha sendiri merakit Lego, yaudah, lu coba dulu sendiri. Terus, dia suka bantuin gue cuci mobil tuh. Jadi, gue ajarin dia, kayak: “Nih, coba bersihin peleknya yang bersih, dan jangan sampai ada kelihatan kotornya lagi.” Gue tau dia ikutan cuci mobil karena mau main air, tapi di samping main air, lu harus bertanggung jawab 100% sama apa yang dimulai, dan apa yang lu udah mulai ini harus diselesaikan sampai 100%—sampai bersih. Contoh lainnya, dia lagi suka banget sama Minecraft, nih. Terus, Minggu lalu kami ke Pondok Indah Mall, dan mainan Minecraft-nya kan susah untuk dicari, sampai-sampai beberapa toko mainan tidak menyediakan mainan itu. Sampai akhirnya, setelah beberapa kali muter-muter toko yang berbeda, barulah dapat mainannya—poinnya, kan lu pengen banget ini mainan, dan nggak gampang, kan, nyarinya (mesti ke PIM 1, PIM 2, PIM 3) dan kadang, ketika uangnya ada, tapi barangnya nggak ada, yaa… gimana? Lu mesti usahain yang lain dan nggak segalanya tentang uang, kan. Jadi, at least dia tau kalau nyari sesuatu yang dia mau itu harus maksimal.
Adriel Basa
Sales Strategist
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai Ayah Anda?
One thing I can say is, his dedication. Like, his dedication to work. I know he’s very passionate about his work and about serving the country—‘cause he works for the government—so, I know his dedication to that, and at the same time, his dedication to studies. He took S2 dan S3 abroad and it was all scholarship. All difficult and full of pressure—very dedicated towards his studies. The things I can learn from him are his dedication, his passion, and his willingness to go through the unpleasantness of life to get what he wants—for the family and also for the country. He’s very selfless, he’s always serving, and he doesn’t rebel. That’s one character yang gue selalu ingat dari bokap gue, sih.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Of course, the moment gue menjadi ayah, itu juga the moment that I become a husband, right. So, my life is not my own, and it’s not for me alone. The choices that I make determines for my wife and for my kid. Jadi, all I can say is, definitely, I have to learn to deny some parts of myself that do not benefit my wife or my kid. So, I need to discern whether apa yang gue inginkan tuh, misalnya, is it good for my wife and my kids, and at the same time too, gue juga… my focus shifted. Not only now that gue harus mikirin soal my own work, but I also think of how I can improve my kid’s health and make my wife more happy, and how I can serve at home, as well. Many more, actually, there’s a lot more but, I guess the gist of it is… itu, lah. Like, I have to lay down my freedom, in a way.
Bagaimana hubungan Anda dengan Ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Actually, with my dad… karena dia selalu working, so he’s not always around. Jadi, I couldn’t learn much from him in terms of parenting. Tapi, pas gue di Jepang, I have a spiritual father, and he is more like a father figure to me. Jadi, dia ngajarin gue more about life, how to do life, and how to parent, and what to discern, what are good choices, what are bad choices. He really helped me with parenting. One thing I can say, he always said that the role of a parent is two things: one is to protect, and one is to empower. The role of a father is to protect your kids from threats or potential dangers, like, when parents say “don’t do this” or “you better do this”, it’s not to prohibit the child but it’s to protect them. Second thing, empower, meaning, at the same time too, most parents would protect too much. Jadinya malah nge-limit gitu, lho. Prohibiting the kids from experiencing new things, from allowing the kids themselves to learn, to being exposed to new things despite the risks whatever. However, if you feel like this “thing” is worth the risk and it will teach them more things than it harms them, then you should empower them, and at the same time, you should be there to protect as well.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Definitely. Karena sekarang kan gue yang kerja, istri gue nggak kerja. But the way we see it, is, even though I’m not working, she is working at home—for the kids. When I get home, I will do my best as a husband to support as well with what I can, dari bantu cuci piring sampai bersih-bersih.
We don’t really live to be aware of that. Malah, kita pengennya, is to not live by that guideline. We’re more like, we just discern the seasons of our lives: kalau misalnya we need more money, more finance, then my wife will find a way to work. Tapi, kalau situasinya, “Oh, we have enough money,” then we can focus more on our child, kayak letting my wife stay at home. We are doing it right now, but we don’t live by that guideline—we’re very flexible. Dan nanti, if my wife gets a job opportunity dan gajinya lebih gede, then I’ll be happy for her and stay at home. But as of right now, I’m working and she’s working at home—working for my kid, like feeding her, training her. ‘Cause that’s work, bro, like, she can’t develop those skills by herself and someone needs to teach her, right?
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Kalau soal me-times, ada sih. Tapi, definitely, length-nya berkurang. For example, sekarang tuh, my wife and I, our me-time, is probably when my kid sleeps at night. So, when she sleeps at night, my wife would come down, and we share our day, share about what we feel, what are we thinking, what are we meditating on, and then we watch movies during her sleep.
Gue juga selalu, once a week, usually on Sundays, after church, gue nggak ngapa-ngapain dan nggak ada scheduled meeting with anybody. It’s just me and my wife and my kid, and we’d spend our quality time together.
So, definitely, the quality time that we used to experience when we were single, it changes, in a way. Now, the duration is shorter, and at the same time, I have to learn how to enjoy and have a good time even if I’m not alone. Those are some of the stuffs that can be a challenge or struggle to some people ‘cause they’re used to having me-times by themselves, yang mana ketika you’re married, when you have kids, you can’t force that to happen. You can’t, like, tell your wife: “I want to have me-time by myself for one day!” Nah, you can’t, bro. Like, you need to learn how to even enjoy your me-time with your wife and your kids. So, that one took awhile for me, actually, to enjoy me-time with my wife and my kid. Dulu, I enjoy with my wife, just with her, tapi, when my kid came, in the beginning, she felt like something that hinders our quality time, but actually, she’s not, so I have to learn how to enjoy my time with my family together—so me-time becomes our-time. Something like that.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anakanak Anda?
Because I’m very close with God, one thing yang gue pengen selalu ajarin ke my kid adalah not just to pray, but to also have a relationship with God. Not just go to church, read, but have a genuine relationship with God, because that helped me a lot. Doesn’t matter about your future, your career, what people say, but if God says something, that’s way more important than what other people are saying, because He’s the one that’s gonna make you succeed. To depend on His voice, and to discern what God is saying for her, and for her future.
Wisnu Dias
Store Manager
Apa hal yang paling Anda ingat mengenai Ayah Anda?
Yang gue inget sih, dari bokap tuh, ngedidik anak itu harus tegas: kalau lu pengen “A”, ya lu harus tanggung jawab sama pilihan lu itu—itu kalau misalnya lu nggak nurut. Sementara, kalau lu nurut, ada toleransi sih. Maksudnya, bokap gue itu tipe orang yang menghargai pilihan anaknya, seperti “Yaudah, kalau lu milih itu, lu harus tanggung jawab. Gue sebagai bokap cuman ngasih fasilitas doang. Selanjutnya, lu harus tanggung jawab sama pilihan lo. Kalau lo kecewa sama pilihan lo, ya, artinya lo harus belajar dari hidup. Emang kayak gitu konsekuensinya.” Jadi, lebih tegas, cuman masih ada toleransi terhadap pilihan anak.
Soalnya, gue sedari lulus SD udah cabut dari rumah, kan. Jadi kayak, mau-nggak-mau, gue banyak belajarnya itu dari luar sebenarnya. Kalau dari bokap sih… ya, cuman itu sih. Lu udah ngambil keputusan, ya, lu harus keep moving forward setelah pilihan lu itu, apapun yang terjadi.
Setelah menjadi Ayah, perspektif apa yang berubah mengenai menjadi seorang Ayah?
Perubahannya tuh… lebih skeptis dan selektif terhadap cara penilaian orang, sih. Jadi kayak, secara general, orang suka bilang: “mendidik anak tuh harus gini, gini, dan gini…” sementara, bagi gue, “lah, anak gue nggak ada hubungannya sama itu? Kenapa harus ngikutin cara itu?” dan “gue lebih tau anak gue dibanding lu,” istilahnya kayak gitu. Itu sih yang mengubah perspektif gue.
Dan kadang tuh, semua-muanya nggak bisa ditakar pakai angka dan logika—itu yang pertama gue pelajari. Soalnya gini, kayak, ada momen di mana anak gue tuh, karena dia masih balita, ya, belum cukup besar untuk bisa diajak berpikir, dan karena balita itu natural banget: dia pengen nangis, ya nangis, dan mau ketawa, ya ketawa. Yang berarti, kita harus benar-benar bisa mengerti. Nah, dari situ, apapun teori-teori di luar sana tentang mendidik anak dengan cara “A”, “B”, “C”, sampai “Z”, sebenarnya balik lagi ke diri kita. Kayak, gue pribadi harus bisa mengukur seberapa bisa mengenal anak gue, gimana sifatnya, segala macam, dan dari situ, gue harus memilih cara mendidiknya bagaimana, yang ternyata nggak semua teori itu benar.
Bagaimana hubungan Anda dengan Ayah Anda mempengaruhi cara Anda membangun hubungan dengan anak Anda?
Sebenarnya pengaruhnya dikit banget sih. Soalnya, gue sama bokap tuh, jujur, serumah cuman pas SD doang. Jadi, setelah itu, gue bener-bener kayak lebih banyak belajar dari luar sih. Cuman, meski pengaruhnya itu kecil, tapi tetap ada pengaruhnya kan. Pengaruh yang paling terasa sih, dari apa yang bokap gue ajarin ke gue, tentang arti sebuah pilihan. Di situ, karena terbiasa mengambil keputusan sendiri, gue jadi merasa lebih mantep aja. Seperti misal, anak gue kayak begini, maka gue harus begini dan nggak mengharuskan diri untuk nanya ke orang lain, orang tua, bahkan sepupu.
Jadi, lebih pede aja sih. Nggak tau bener apa salah (kan itu cuman perspektif) yang penting anak gue bisa berkembang. Kalau pengaruh yang lebih banyak kayak orang-orang ketika bokap ngajarin kayak gini dan diturunkan ke anaknya lalu bikin dinasti kayak gitu, nggak sih. Jadi kayak, cuman sebatas pola pikir aja sih. Praktek kecil-kecilnya tuh udah beda banget. Gue sama anak gue, gue ke bokap, itu udah beda banget.
Konstruksi sosial pada umumnya memposisikan peran Ayah sebagai pencari nafkah dan peran Ibu sebagai perawat anak. Apakah pembagian tersebut masih berlaku bagi Anda?
Enggak, sih. Sebelum gue nikah sama bini gue tuh, gue ngomong sama dia tentang apa yang ada di depan nanti. Soalnya, kan, dia sebenarnya juga wanita karir banget, dan syukurlah juga dia baru selesai S2 nih—emang dia lahir buat karir lah, istilahnya. Dan mengenai urusan pencarian nafkah dan mendidik anak itu tugas siapa, sebenarnya sudah nggak ada.
Cuman, gue ngebaginya gini: gue sama dia sama-sama sadar apa kelebihan dan kekurangannya masing-masing: kelebihannya dia itu adalah telaten dalam mengurus anak, seperti detail-detail segala macam, dia tau, sedangkan itu kelemahan gue. Tapi, kelemahan dia itu, dia kurang sabar terhadap anak, dan itu kelebihan gue. Jadi, kita itu kasih timing di mana, ketika si anak ini butuh kedisiplinan, berarti sama nyokapnya, tapi ketika dia butuh mengasah kreativitasnya atau mencoba hal baru, itu tugas gue.
Untuk mencari nafkah, kita berdua sama-sama nyari, sih. Haknya sama, lah. Cuman, poin yang perlu disadari itu, apa yang diri kita nggak punya tapi ketika pasangan kita punya hal itu, berarti biarin pasangan kita yang ngelakuin itu. Nggak perlu kita memaksakan diri untuk ngelakuin itu karena yaa kita hidup berkeluarga kan, bukan sendiri ngurusnya.
Anak biasanya ada di pusat dunia kedua orang tuanya. Bagaimana Anda membagi waktu agar tetap memiliki waktu untuk diri dan keluarga?
Untuk membagi waktu untuk diri dan keluarga. Seiringnya bertambahnya umur, bertambahnya tanggung jawab—gue bilangnya tanggung jawab, sih, bukan beban. Kalau beban tuh kesannya gimanaa gitu—dan ketika tanggung jawab itu semakin banyak, berarti yang gue coba pertama kali tuh positive thinking dulu.
Gue masih percaya bahwa Tuhan itu pasti ngasih kunci jalan keluar dan banyak hal positif di balik kesusahan kita sendiri. Pertama, gue ngeyakinin diri sendiri karena ada masa-masanya gue ngerasa capek banget, dan gue hanya blamed myself, dan blaming myself itu sama sekali nggak menyelesaikan masalah dan justru hanya mengulur waktu menuju kegagalan kita. Ketika kita blaming ourselves, waktu tetap berjalan: Lu mau senang, sedih, waktu tetap 24 jam sehari. Dan, pada akhirnya, gue kebentur hal itu, dan gue merasa “Oh, berarti, kesempatan buat semua orang itu sama, tergantung kita mikirnya bagaimana.” Setelah itu, barulah gue belajar dalam mengatur semuanya.
Dan dari situ, gue cuman let it flow aja sih—kalau waktunya kerja ya kerja, kalau balik ke keluarga ya balik ke keluarga lagi. Dan ketika, gue pengen me-time, gue selalu bilang ke bini gue; “Gue pengen main nih. Lu santai nggak?” Terus, akhirnya dia bilang “Oh, take your time. Yang penting semua udah kelar, kan. Kalau kamu memang merasa exhausted, take a break for a second. Yang penting nggak keseringan.”
Jadi, yang terpenting tuh, ketika kerja, jangan bawa keluarga, dan ketika pulang ke rumah, jangan bawa kerjaan lu. Itu sih kuncinya.
Apa pelajaran yang paling utama yang ingin Anda ajarkan pada anak-anak Anda?
Pertama, dengan umur gue yang segini… sejujurnya, belum terlalu kepikiran itu, sih. Cuman, dari pengalaman gue, gue pengen ngajarin anak gue tuh untuk lebih berani.
Sejujurnya, di masa kecil itu gue culun banget—korban bullying, sejujurnya pas SD. Jadi, gue pengen anak gue tuh lebih bisa speak-up, itu yang pertama. Yang kedua, sebisa mungkin, lu harus bisa menghargai orang. Even, ketika temen dekatnya sendiri ngerasa jengkel sama dia, gue pengennya ngajarin ke dia bahwa itu bukan masalah, itu pilihan dia untuk nggak suka sama kamu. Tapi, jangan berarti gara-gara orang lain malah mempengaruhi pribadi kamu. Jadi, kamu sebaiknya tetap netral aja. Karena, sejujurnya, ketika lu merasa iri, benci, atau segala hal negatif, pada akhirnya itu cuman a waste of your energy doang, dan nggak menghasilkan impact yang baik terhadap lingkungan, dan terutama buat diri lu sendiri. Yang ada malah terus-menerus merugikan diri lu.
Jadi, yang pertama speak-up, kedua tolerance, ketiga tetep sih kayak yang bokap gue ajarin ke gue: lu bebas milih apapun piihan hidup lu, cuman ketika lu memutuskan di titik itu, ya lu harus all-out. Mau apapun yang bakal terjadi, semua proses itu sama aja buat pilihan apa itu. Mau lu jadi pemain bola, musisi, presiden sekalipun, yang namanya proses itu, ketika lu jatuh diinjak dan ketika naik temen lu banyak, semua proses itu sama, tergantung pilihan kamu. jangan sampai kamu memilih gara-gara kamu terpaksa. Kalau terpaksa, pada akhirnya, kamu akan mengajarkan yang sama kepada generasi berikutnya.
Hal yang juga pengen gue kasih tau ke anak gue itu: kamu berdarah itu nggak masalah, karena nggak ada perdamaian kalau nggak ada perang. Apapun itu pilihanmu, ya kamu harus perang dulu. Kalau kamu udah merasa capek, istirahat dulu, deh, dan jangan berhenti. Mungkin kalau setelah istirahat dan kamu menemukan hal baru yang dirasa bisa improve dirimu sendiri, atau kamu mencoba itu dan gagal lagi, kamu coba terus-terusan dan pada akhirnya kamu akan berhasil kok tinggal keyakinanmu sekuat apa. Itu yang mau gue ajarkan ke anak gue—tentang menghargai proses.