Pentingnya Support System dalam Menghadapi Masalah Kesehatan Mental bersama Menjadi Manusia
Kami berbincang dengan Adam A. Abednego, co-founder Menjadi Manusia dan salah satu kontributor buku Open Column 2, tentang cara menjadi pendengar yang baik dan pentingnya memiliki support system.
Words by Ghina Sabrina
Dalam perbincangan seputar kesehatan mental, salah satu komponen penting dalam meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat perihal topik tersebut adalah dengan adanya inisiator atau wadah yang selain dapat memfasilitasi komunitas di dalamnya juga menjadi penggerak yang menginspirasi. Aspek tersebut tercermin dalam Menjadi Manusia, sebuah media alternatif dan social-platform yang menyajikan cerita tentang kehidupan dari berbagai sudut pandang. Kami berbincang dengan Adam Abednego, salah satu co-founder Menjadi Manusia, tentang tanggung jawab sebuah platform untuk membentuk norma sosial yang baik, cara menjadi pendengar yang baik dan pentingnya memiliki support system.
Apa definisi mental health bagi Anda?
Ketika kita berbicara soal kesehatan, kita tidak melulu membicarakan tentang kesehatan mental saja. Menurut WHO (World Health Organization) saja, kesehatan itu menyeluruh. Fisik juga, mental juga, sosial juga. Jadi ketika orang dibilang sehat, ya dia bisa secara fisik sehat, secara psikologi sehat, secara sosial juga sehat. Dia bisa behave atau bisa berperilaku dengan baik di masyarakat. Tapi kalau kesehatan mentalnya sendiri sebenarnya cukup luas sih. Kalau kesehatan fisik itu bisa terlihat, kesehatan mental itu benar-benar tidak kelihatan karena menyangkut bagaimana cara kita berpikir, berperilaku, menghadapi orang lain dan diri kita sendiri. Jadi ketika membahas soal kesehatan mental, sebenarnya, cakupannya sangat luas dan menyangkut bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku ke diri sendiri dan masyarakat itu sendiri. Ketika kita sehat secara mental adalah ketika kita yang tidak merugikan orang lain dan juga diri kita sendiri.
Bagaimana awal dari adanya kesadaran mengenai pentingnya membuka perbincangan seputar mental health?
Sebenarnya saya tahu tentang kesehatan mental itu dari tahun 2015/2016. Waktu itu mungkin saya ada di posisi yang mungkin juga bisa dibilang di titik terendah hidup saya juga. Saya tidak punya lingkungan atau teman yang bisa diajak ngobrol dan akhirnya saya malah merasa sendiri dan kesepian. Jadi hal ini berpengaruh banget sama mental saya. Akhirnya saya baca salah satu buku “Reasons to Stay Alive” dari Matt Haig. Buku ini semacam memoar dan bercerita tentang bagaimana dia survive sama depresi akut dari mulai ingin bunuh diri hingga akhirnya tidak jadi. Jadi dia menuliskan itu sebenarnya untuk mengingatkan diri sendiri atau orang lain kalau ada banyak alasan-alasan untuk kita bisa stay alive. Itu jadi salah satu bensin saya pribadi juga untuk membangun Menjadi Manusia, bahwa di luar sana itu ada orang yang melewati masalah kehidupan yang begitu rumitnya. Dan kadang kita tidak melihat itu menjadi sesuatu yang esensial karena itu tadi, tidak kelihatan. Tapi sebenarnya itu penting banget.
Jadi di situ, saya sudah mulai cukup tertarik dengan kesehatan mental dan sampai akhirnya membangun Menjadi Manusia karena saya berpikir banyak banget orang-orang yang mempertanyakan kehidupan juga dan kadang lupa tentang well being mereka secara manusia. Dan sebenarnya, yang ingin kami kasih tahu ke teman-teman semua bahwa terlepas dari masalah yang kita hadapi itu selama ini kita tidak pernah sendirian. Dalam artian, banyak orang di luar sana yang punya masalah yang sama atau bahkan jauh lebih berat dari kita. Dan dengan mendengarkan cerita mereka, atau dengan mendengarkan cerita atau bercerita ke teman-teman, kita jadi merasa punya support system yang membuat kita merasa tidak sendirian.
Mengapa Anda melihat perbincangan seputar mental health adalah hal yang penting, terutama saat ini?
Perbincangan seputar kesehatan mental itu sudah dari lama banget, sudah dari zaman filsuf-filsuf Yunani itu sudah membahas tentang kesehatan mental. Cuman memang tidak menjadi sebuah hal yang diperbincangkan seperti sekarang karena mungkin era informasi yang dulu belum terlalu luas. Jadi di tahun 2015/16 itu masih masa-masa di mana orang masih menganggap orang yang punya mental illness itu sebuah kegilaan dan masih ada sigmanya. Tapi kenapa sekarang sudah mulai bisa dibahas, mungkin trigger-nya adalah semakin banyak informasi atau informasi ini itu semakin meluap dan kita menampung banyak informasi sampai overload aja. Dan dari sini, sebenarnya semakin banyak orang-orang yang mungkin merasa secara mental itu terpengaruh atau terganggu. Sampai akhirnya banyak banget kasus-kasus yang menyangkut kesehatan mental ini.
Dari situ, di era informasi yang cepat ini, orang-orang jadi mulai aware dan sadar kalau “Oh ternyata ada ya seperti ini.” Dan dari sini, jadi perbincangan yang cukup menarik karena mungkin bisa dibilang ketika saya membuat Menjadi Manusia di 2018 itu merupakan era awal orang-orang ngomongin kesehatan mental. Kami juga ingin banget menyuarakan pentingnya kesehatan mental itu seperti apa. Ketika kita membicarakan kesehatan mental, kita tidak melulu ngomongin penyakitnya, tapi bagaimana kita hidup secara baik di masyarakat. Secara well being kita dan kita juga tidak menyakiti diri kita dan tidak merugikan orang lain. Jadi sekarang ini mungkin saat yang tepat karena dengan semakin banyak informasi kita jadi sebisa mungkin saling merangkul. Selain itu, komunikasi menjadi semakin cepat dan dekat tapi kadang itu jadi menjauhkan kita juga. Dengan ngomongin kesehatan mental, well being kita, itu mungkin bisa mendekatkan diri kita ke satu sama lain.
Ketika berbincang mengenai topik-topik mengenai penjagaan mental health, apakah menurut anda titik-titik fokus yang penting untuk diperhatikan?
Selama ini mungkin kita selalu memusatkan perhatian kita, ketika membicarakan soal kesehatan mental, itu dari penyakitnya. Itu menjadi sesuatu yang menurut saya agak sedikit ambiguous karena penyakit mental itu hanya sebagian kecil dari kesehatan mental. Karena sama dengan kesehatan fisik, ketika kita ngomongin kesehatan fisik seperti diabetes dan jantung, itu kan penyakitnya. Tapi ketika kita ngomongin kesehatan fisik, kita tidak melulu membicarakan itu, tapi bagaimana caranya kita melatih diri kita untuk olahraga dan menjadi produktif. Jadi ketika kita berbicara soal kesehatan mental, yang harus jadi fokus adalah tidak melulu tentang penyakitnya, kesehatan mental adalah bagaimana kita behave diri kita, well being kita, secara utuh.
Dari situ, coba kita membayangkan kesehatan mental itu sama dengan kesehatan fisik. Ketika ngomongin kesehatan fisik, bagaimana caranya kita melatih dan menjaga kesehatan fisik kita ya dengan olahraga. Kesehatan mental pun sama. Kita harus olahraga, caranya dengan bertemu orang lain, cerita, atau mendapatkan informasi-informasi bermanfaat supaya kita bisa berfungsi secara baik.
Fokus utama sih sebenarnya supaya orang-orang itu tidak fokus hanya sama penyakitnya. Itu bisa jadi pemantik karena kan awal-awal banyak orang paham tentang kesehatan mental dimulai mungkin karena penyakitnya. Dan dari situ mungkin bisa jadi trigger. Tapi itu yang selalu kami luruskan. Semakin tingginya awareness orang terhadap kesehatan mental, tidak cuma hal-hal baik doang yang datang. Semakin tinggi awareness itu pasti ada hal-hal buruk juga yang ikut datang di belakangnya. Nah, bagaimana caranya kita mem-filter informasi-informasi yang masuk ini? Misalnya informasi yang buruk, selain orang fokus pada kesehatan mental, orang jadi menganggap mental illness itu sebuah tren. Ada anggapan bahwa orang yang punya masalah itu tuh keren, padahal tidak keren sama sekali. Orang-orang yang benar-benar punya illness dan disorder itu benar-benar ingin pulih. Dan hal buruk itu yang selalu kita coba sosialisasikan di Menjadi Manusia lewat campaign-campaign yang kami kerjakan supaya – walau tidak secara eksplisit – salah satunya tidak self-diagnose karena itu sangat buruk dan tidak baik buat kita dan orang lain.
Sebagai sebuah alternatif media dan social-platform, bagaimana Anda melihat potensi sebuah platform untuk “memanusiakan” perbincangan di dalamnya?
Sebenarnya menarik, kami selalu bilang kalau kami itu media alternatif dan kami selalu menyuarakan hal-hal yang tidak melulu spesifik tentang kesehatan mental, tapi tentang secara keseluruhan bagaimana kita hidup, atau bagaimana kita berperilaku. Masyarakat Indonesia – atau seluruh dunia – itu kan berkolektif banget, dalam artian ketika ada satu orang yang menginisiasi sesuatu dan ada banyak orang yang ikut itu kemudian bisa menjadi norma sosial dan, “Oh, ternyata hal ini baik lho. Ayo kita lakukan bareng-bareng.” Tapi social norm ini kan tidak selalu baik. Ada yang buruk juga. Nah bagaimana kita sebagai platform ini membuat norma-norma sosial yang baik itu? Dengan cara menyampaikan kalau it’s okay kalau kita ngobrol tentang masalah pribadi ke orang lain atau di support group karena itu salah satu cara kita untuk bisa survive atau handle diri kita sendiri. Dari situ, sebenarnya role kita sebagai platform yang mengedukasi, sama seperti teman-teman lainnya yang bergerak di bidang psikologi dan wellbeing, itu jadi sebuah inisiator yang menyuarakan pentingnya untuk menciptakan norma-norma sosial yang baik untuk mengalahkan yang buruk.
Lalu bagaimana Anda melihat peranan media/platform Anda sendiri dalam perbincangan seputar mental health?
Di Menjadi Manusia kita itu selalu membagi menjadi tiga tahap: Acknowledge, Connect/Gather, Develop. Yang pertama, acknowledge, adalah kami ingin memberi tahu kalau mereka itu manusia juga lewat konten-konten yang kita sediakan. Dengan label apapun, penyakit apapun, masalah apapun yang dia hadapi, mereka juga manusia. Mereka bisa bercerita bahwa dengan masalah yang dihadapi, mereka bisa survive dan bisa bangkit dari titik terendah dan bisa memengaruhi orang lain supaya untuk bisa lebih baik lagi.
Ketika kita bercerita ke orang lain itu tidak butuh solusi, melainkan cuma validasi atas perasaan kita.
Dari situ, kita menaikkan awareness dulu. Kami selalu dari awal menaikkan awareness dulu tentang knowledge seputar disordernya misalnya, karena orang akan tertarik dengan hal seperti itu. Ketika awareness-nya sudah naik, baru kami mulai meluruskan atau menginisiasi hal-hal yang membuat orang dapat belajar lebih soal kesehatan mental selain penyakitnya saja. Ini bisa diraih dengan connect atau gather. Pada tahap itu kami mempertemukan orang-orang yang memang punya masalah untuk mengobrol. Kami membuat support group dan mereka bertemu satu sama lain untuk sekadar cerita. Biasanya, yang kami temukan adalah ketika orang-orang bercerita ke orang lain itu selalu ada tembok atau ada hal yang menghalangi jadi kita tidak bisa leluasa dan bahkan malah dihakimi orang lain. Dengan adanya support group ini kami berharap orang-orang bisa jauh lebih tenang dan leluasa untuk bercerita. Karena kadang ketika kita bercerita ke orang lain itu tidak butuh solusi, melainkan cuma validasi atas perasaan kita. Kita cuma butuh didengarkan. Itu essence yang penting dari tahap kedua dari Menjadi Manusia.
Yang ketiga, setelah kita sudah acknowledge diri kita, sudah bertemu orang lain, kita develop. Dalam artian, kita improve diri kita sebagai manusia. Bagaimana caranya kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Bagaimana kita bisa menjadi orang-orang yang berguna bagi masyarakat kita atau misalkan kalau tidak bisa berguna, jangan merugikan orang lain. Bagaimana caranya berperilaku di masyarakat. Bagaimana caranya bangkit dari kegagalan kita.
Tahap itu sedang kita develop juga di Menjadi Manusia lewat program yang namanya “Belajar Hidup”. Jadi belajar hidup bagaimana caranya kita meraih hal-hal tadi. Banyak banget hal-hal di dunia yang ngomongin kesehatan mental juga yang tidak diajarkan di sekolah. Hal-hal esensial seperti bagaimana caranya bangkit dari kegagalan, terhindar atau menanggulangi patah hati, atau ngobrol sama orang baru. Itu hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah tapi ternyata ketika menginjak dewasa itu menjadi satu hal yang penting. Itu kami lagi mencoba bagaimana caranya untuk menyampaikan ke teman-teman semua, terutama di Menjadi Manusia, untuk kita menjadi manusia itu akan terus berproses tanpa henti. Kita akan terus belajar tentang menjadi manusia itu dari kita satu sama lain sebagai manusia itu sendiri.
Selain menjadi platform yang bisa digunakan untuk mengedukasi, media sosial juga merupakan ruang di mana toxic culture berkembang. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Kalau misalkan seperti pisau bermata dua, kayaknya segala yang ada di dunia akan selalu jadi pisau bermata dua sih. Maksudnya, selalu jadi ada dua sisi yang berbeda. Dan ini yang menariknya adalah bagaimana kita menyampaikannya saja karena kita kan tidak bisa mengontrol apa yang ada di luar diri kita. Kadang diri kita saja susah untuk mengontrol, apalagi yang di luar seperti pikiran orang, perkataan orang, dan lain sebagainya. Dan semakin ada media sosial ini, semakin mudah orang untuk melakukan apapun terserah mereka dan ini sebenarnya hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana caranya kita memilih circle kita, atau memilih hal-hal yang baik untuk kita sendiri di media sosial.
Yang kedua adalah bagaimana kita sebagai pengguna media sosial itu tidak menciptakan norma-norma sosial yang buruk. Karena sekarang, orang komentar asal di media sosial itu sudah menjadi sebuah norma. Itu sudah menjadi sesuatu yang wajar padahal itu tidak sama sekali. Kita sebagai pengguna sebaiknya tidak melakukan itu. Kita sempat bikin suatu film juga tentang bahaya cyberbullying. Karena komentar jahat itu cuma membutuhkan 2 detik untuk mengetik itu tapi efeknya ketika orang membaca itu bisa menjadi sesuatu yang berlipat-lipat. Itu suatu efek yang bahkan bikin orang bisa sampai ingin bunuh diri. Ini yang harus kita pahami juga, bahwa sebagai pengguna media sosial, ada efek-efek yang kadang kita suka lupa. Dan sebagai platform juga, kami akan terus menyampaikan informasi itu. Jadi yang bisa kita lakukan ya sekarang ini ya bagaimana kita berperilaku dan mem-filter informasi yang masuk ke kepala kita.
Anda banyak membuat konten yang bersifat ‘membuka diri’ para narasumbernya. Menurut Anda, apa alasan di balik ‘larisnya’ tipe konten seperti ini?
Ini agak sedikit cukup unik juga karena mungkin orang itu ada hitam putih. Yang putihnya itu misalnya orang itu akan selalu tertarik dengan konten yang menjual mimpi misalnya ingin kaya, karena itu tuh sebuah achievement. Itu akan menjadi aspirasi mereka karena mereka ingin mencapai itu. Yang kedua, yang mungkin kami pelajari dari konten Menjadi Manusia adalah ketika ngobrolin tentang titik terendah dalam hidup itu orang-orang jadi merasa relate ke sana. Ada relatability-nya. Jadi mereka bisa merasa relate kalau misalnya, si A punya masalah tertentu, atau seorang public figure pun punya masalah yang sama seperti mereka. Jadi untuk mengingatkan kita kalau misalkan kita sebagai manusia itu tidak berbeda. Kita masih punya masalah-masalah yang sama juga.
Dengan bercerita tentang masalah personal, kita akan mengerti bahwa kita itu tidak pernah sendirian. Ketika ngomongin orang-orang yang bercerita di Menjadi Manusia, mereka itu adalah orang-orang yang mungkin bisa dibilang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Dalam artian, orang-orang yang sudah bisa menerima dirinya sendiri. Mereka sudah bisa menerima kalau dulu dia itu orang yang seperti ini, mereka pernah melewati titik terendah, dan dia bisa bangkit dari titik tersebut. Karena banyak orang-orang yang belum bisa menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri, ketika mereka melihat orang yang sudah bisa menerima, mereka jadi sadar kalau ternyata bisa untuk akhirnya berdamai dengan diri sendiri, melewati masalah yang ada. Jadi itu kesendirian tadi sih, semakin banyak informasi, kadang kita semakin merasa sepi. Dan dengan ada cerita-cerita seperti ini, yang saya dapat itu orang-orang jadi merasa tidak sendirian. Dari masalah-masalah yang dihadapi, ternyata juga ada orang lain yang menghadapi masalah yang serupa dan bahkan bisa melewatinya.
Dari deretan konten kalian di media sosial atau YouTube, apakah kalian sering menemukan cerita-cerita baru dari comment section-nya?
Contohnya waktu itu ada video yang menceritakan kalau ada seseorang yang pernah berkali-kali ingin bunuh diri, terus ada komentar yang bilang, “Wah ini persis kayak masalah gue kayak diceritain sama dia.” Jadi kita sadar bahwa ini telah menjadi sebuah normalisasi di mana orang-orang di luar sana itu memiliki masalah yang sama seperti mereka. Kemudian, banyak banget orang-orang yang jadi bisa open up, atau orang-orang di kolom komentar itu jadi saling support satu sama lain. Mereka cerita tentang, “Oh iya, kondisi gue seperti ini,” dan di balasan komentar-komentar itu mereka jadi saling menguatkan satu sama lain dengan perkataan, “Lo gak sendirian kok, gue juga pernah ngerasain ini dan it’s okay to feel something like that.” Itu adalah sebuah validasi perasaan yang menurut saya penting dan ternyata dari konten-konten seperti itu bisa menciptakan circle-circle baru.
Mungkin kontennya menceritakan masalah orang, tapi dari masalah ini orang bisa saling menguatkan satu sama lain dan orang jadi semakin tertarik untuk belajar satu sama lain. Dan mereka jadi merasa ada support system yang mungkin selama ini mereka tidak temukan di sekitar mereka.
Jadi secara tidak langsung, konten kalian telah melahirkan support group secara online ya?
Iya. Waktu itu kita sempat bikin konten HIV – waktu itu kita bikin nama kontennya “#SuratUntuk”. Kita membuat support group itu terus kita bacakan suratnya di mana dia come out gitu kalau misalkan dia kena HIV positive. Dia ceritakan kronologinya lalu dia menyemangati untuk teman-teman yang punya masalah yang sama untuk stay alive. Dan tidak lama setelah video itu tayang, orang yang mengirim surat tersebut menghubungi kita dan bilang, “Makasih ya, dari video itu kita bisa mengumpulkan sekitar 100-200 orang HIV positif di grup WhatsApp. Mereka menjadi saling mendukung satu sama lain.” Jadi mereka ketemu circle mereka. Mungkin selama ini, ketika mereka HIV positive, mereka bingung untuk cerita ke siapa. Orang tuanya pasti men-judge, teman-temannya pun menjauhi mereka, tapi ketika bertemu dengan circle yang saling mendukung, mereka itu jauh lebih tenang dalam menghadapi hidupnya.
Ini benar-benar sesuatu yang kita tidak ada ekspektasi sama sekali. Tapi ternyata orang-orang secara kolektif justru saling support satu sama lain. Bahkan untuk ini bukan kita lagi yang menginisiasi atau yang menjadi trigger-nya.
We’re always finding a reason to reply, not to understand other people.
Sebagai kontributor dari Open Column 2, pesan apa yang ingin Anda sampaikan lewat tulisan yang Anda buat untuk buku ini?
Itu sebenarnya sebagian besar saya bercerita tentang pengalaman sepenting apa sih mendengarkan cerita orang lain. Sepenting apa kita bisa menjadi pendengar. Karena selama ini mungkin kita sebagai orang itu selalu mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami. We’re always finding a reason to reply, not to understand other people. Kita selalu diajarkan untuk public speaking tapi tidak pernah kita diajarkan bagaimana caranya untuk mendengarkan secara baik dan tenang. Dan dari situ, sebenarnya kami ingin memberitahu kalau mendengarkan itu salah satu aspek yang penting untuk menjaga diri kita sebagai manusia.
Manusia itu makhluk sosial, kita butuh orang lain juga untuk bisa survive. Dan dengan bercerita ke orang lain itu menyalurkan emosi, perasaan yang mungkin bisa melegakan. Tapi setelah selama ini kami membuat Menjadi Manusia, kebanyakan orang tidak punya medium itu. Tidak punya medium untuk menyuarakan, bercerita dan dari situ mereka jadi merasa, ya sudah dipendam sendiri saja. Cerita ke teman di-judge, cerita ke keluarga dimarahi, dan di situ kami memberi tahu kalau it’s okay untuk bercerita tentang apa pun. Dan kita bisa menemukan medium atau orang yang bisa kita ajak bicara. Kita bisa ke profesional, kita bisa ikut support group, kita bisa cari teman terdekat kita atau apapun yang memang kita nyaman. Bahkan grup-grup online.
Berikutnya, kami ingin memberitahu juga sebagai manusia itu kalau kita harus bisa mendengarkan orang lain. Kadang kita harus banget mendengar orang lain itu karena kita itu mau didengar orang lain, tapi kadang kita juga lupa untuk mendengarkan orang lain. Dan itu jadi sesuatu yang supaya ada timbal balik aja. Walaupun sebenarnya kalau bisa dibilang, mendengarkan atau bercerita itu tidak menyelesaikan masalah sama sekali, tapi at least itu bisa melegakan kita atau kita bisa jadi tenang.
Bagaimana Anda melihat peranan komunitas online baik itu dalam upaya untuk menjaga optimisme dan peranannya bagi mental health saat ini?
Peran komunitas itu menurut saya sangat penting karena orang Indonesia itu sangat kolektif banget. Ketika sendiri-sendiri, itu mereka takut. Bahkan, buruknya adalah orang-orang Indonesia atau bahkan seluruh manusia itu ketika melakukan sesuatu yang buruk secara berkolektif itu mereka akan sesemangat itu dan lupa dengan moral-moralnya. Tapi bagaimana caranya komunitas ini bisa menciptakan norma sosial yang baik tadi dengan misalnya mengumpulkan orang-orang yang memang punya mental disorder untuk bisa cerita – itu jadi sebuah normalisasi di mana akan muncul pemahaman bahwa walau memiliki mental disorder itu kita masih bisa survive dan berfungsi secara baik di masyarakat. Sekarang sudah cukup banyak komunitas-komunitas yang menyuarakan itu. Dan kita sebagai pengguna internet juga atau sebagai manusia juga bisa memilih circle atau lingkungan mana saja yang menurut kita baik atau komunitas mana yang menurut kita baik. Kalau misalkan ternyata kita butuh teman cerita dan segala macam, kita bisa bergabung dengan kelompok-kelompok yang memang bertujuan untuk mendengarkan cerita orang lain.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai sebuah platform untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Kalau dari saya pribadi, atau yang selama ini Menjadi Manusia selalu sampaikan, untuk mengedukasi masyarakat itu tidak perlu marah-marah. Tidak perlu menjadi paling keras karena sekarang itu yang kita perhatikan, anak-anak muda sekarang itu tingkat resistensinya sangat tinggi. Ketika kita kasih tahu harus A, B, C, mereka akan deny, “Emang benar ya kalau ini yang harus kita lakukan?” Itu menjadi sesuatu yang menurut saya akan mental. Jadi percuma kalau kita teriak keras-keras tapi kita tidak diterima sama banyak orang. Tapi bagaimana caranya menyampaikan adalah itu tadi, orang-orang sekarang itu sangat mudah terkait atau engaged sama relatability. Ketika kami bisa menyampaikan sesuatu yang relate dengan kejadian mereka, sesuatu yang mungkin mereka bisa merasakan hal yang sama juga, mereka jadi bisa merasa terbuka.
Kami bisa melakukan itu dengan storytelling, dengan bercerita. Apapun yang kami sampaikan di Menjadi Manusia adalah selalu dengan bercerita tentang sudut pandang suatu hal. Ketika kami ngomongin tentang mental illness, kami akan bercerita. Jadi misalnya ada orang yang punya ADHD, kami akan selalu sampaikan ceritanya dengan menceritakan bagaimana trigger-nya terus kemudian bagaimana dia bisa bangkit dari titik terendahnya. Orang-orang itu akan selalu tertarik sama storytelling karena sangat powerful.
Dari dulu, selalu cerita-cerita itu jadi sesuatu hal yang orang mudah konsumsi. Entah dari agama, mitologi, itu kan bentuknya cerita. Orang-orang itu sampai bisa mengingatnya atau bisa menyampaikan secara turun temurun ke anak-anaknya dan cerita tersebut masih ada. Terutama di Menjadi Manusia sendiri, kami selalu ingin menyampaikan cerita-cerita yang powerful agar bisa memberikan dampak ke masyarakat luas.
Cara lain apakah yang menurut Anda mudah dilakukan untuk tetap menjaga mental health, optimisme, dan lainnya di tengah pandemi ini?
Di tengah pandemi ini, menariknya yang saya temukan itu orang-orang selalu take everything for granted. Sebelum pandemi itu kita bebas banget, mau ke mana saja bisa, mau ngapain aja, mau menyentuh orang, bebas. Tapi setelah pandemi ini, semuanya direnggut saja secara tiba-tiba. Pelajaran penting yang bisa kita terima adalah bahwa kedepannya mungkin kita bisa jauh lebih bersyukur atau tidak menyia-nyiakan sesuatu yang kita punya.
Yang kedua, sebenarnya setelah pandemi ini orang-orang itu kan sekarang dirumah terus dan jadi satu hal yang lumrah. Dari yang biasanya nongkrong, sekarang jadi ada banyak banget kecemasan dan ketakutan yang datang. Itu pun bisa membuat orang merasa terasing. Lalu dari situ, muncul orang-orang yang berlomba produktif. Tapi kan tidak semua orang bisa beradaptasi dengan cepat dan akhirnya berujung dengan kita yang membandingkan diri kita ke orang lain. Orang lain bisa produktif, kok saya kita tidak ya? Dan malah bikin kita stres sendiri dan ini jadi sesuatu yang menurut saya menarik dan mestinya ketika kita menghadapi bencana ini kita tidak membandingkan diri kita ke orang lain. Kita harus memvalidasi perasaan kita. I think it’s okay kalau kita merasa takut, cemas, sendiri. Kita sendiri yang tahu limit dan kapasitas diri kita sendiri. Kalau misalkan kita butuh lebih banyak waktu untuk adaptasi, ya tidak apa-apa. Yang utama adalah bagaimana caranya kita menjaga kewarasan kita selama pandemi ini sih. Dan menjaga kewarasan ini balik lagi ke masing-masing orang. Berbeda pastinya. Ada yang cocok dengan meditasi, tidur, dan segala macam. Tapi yang penting, selama pandemi ini adalah, selain kewarasan juga keamanan kita sebagai manusia. Kita harus mencari keamanan kita sendiri.