Meningkatnya Produksi Sampah Plastik di Bawah Pengaruh Pandemi
Berbincang dengan berbagai praktisi hidup minim sampah mengenai meningkatnya produksi sampah plastik sekali pakai sebagai bentuk penjagaan kebersihan dan kesehatan di tengah pandemi COVID-19.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Annisa Nadya
Ilustrasi: Max Suriaganda
Design: Mardhi Lu
Semenjak mewabahnya virus COVID-19 yang memiliki kadar penularan tinggi, masyarakat memiliki peningkatan dalam kepekaan untuk selalu menjaga higienitas. Sebagai solusi cepat, penggunaan materi plastik sekali pakai pun meningkat, mulai dari masker, kantong plastik untuk memesan makanan, hingga botol-botol hand sanitizer pun telah meningkat jumlah penggunaannya. Oleh karena itu, kami berbincang dengan beberapa praktisi hidup minim sampah mengenai opsi-opsi alternatif untuk terus menerapkan gaya hidup yang aman bagi lingkungan juga bagi kesehatan diri sendiri di tengah pandemi.
Andhini Miranda
Praktisi Hidup Minim Sampah, Founder @021suarasampah
Sebelum pandemi, budaya meminimalkan produksi sampah seperti single-use straw ataupun plastik lainnya telah berkembang, bagaimanakah Anda melihat pengaruh COVID-19 terhadap kultur tersebut atau kebiasaan zero waste lainnya?
Meskipun sudah mulai ada kesadaran untuk mengurangi produk single use plastic, tetapi sejak pandemi, konsumsi produk yang sifatnya sekali pakai justru meningkat di masyarakat. Atas alasan higienitas, masyarakat secara masif menggunakan masker sekali pakai, sarung tangan sekali pakai, tissue basah, hand sanitizer dan disinfektan dalam kemasan kecil ataupun sabun cuci tangan dalam kemasan sekali pakai. Ditambah fenomena panic buying dan belanja online, yang membuat jumlah sampah rumah tangga melonjak drastis selama pandemi.
Apa tanggapan anda mengenai penggunaan plastik yang meningkat guna menjaga kebersihan dan kesehatan di tengah pandemi?
Sejak pandemi, penggunaan masker sekali pakai meningkat karena alasan untuk menjaga kesehatan. Sampah masker sekali pakai termasuk di dalam sampah medis. Sampah medis ini perlu penanganan khusus, tidak bisa dicampur begitu saja dengan sampah lainnya. Selain masker sekali pakai, penggunaan sarung tangan sekali pakai, tissue basah, hand sanitizer, disinfektan, dan sabun cuci tangan juga meningkat drastis. Hal ini mengakibatkan jumlah sampah single use plastic menanjak tajam.
Bentuk adaptasi apa sajakah yang bisa diterapkan guna meminimalkan produksi sampah di tengah pandemi ini?
Menjaga kesehatan dan kebersihan tubuh bisa dilakukan tanpa mencederai lingkungan. Ada opsi lain yang bisa dipilih. Alih-alih menggunakan masker sekali pakai, bisa pakai masker kain yang bisa dipakai berkali-kali. Daripada menggunakan sarung tangan sekali pakai, bisa cuci tangan pakai sabun. Jika memungkinkan, pilih cuci tangan pakai sabun dibanding pakai hand sanitizer. Jika perlu menggunakan hand sanitizer dan disinfektan, pilih botol besar untuk meminimalisir sampah. Pilih sabun cuci tangan dengan kemasan yang bisa digunakan ulang. Cari opsi lain yang paling sedikit menghasilkan sampah dan lebih ramah lingkungan.
Selain masker reusable yang kini mudah ditemukan, apakah ada cara lain untuk meminimalkan produksi sampah di masyarakat, terutama dengan tempat makan yang hanya melayani takeout atau delivery?
Meminimalisir sampah bisa dilakukan dengan bijak saat konsumsi. Sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu, kita perlu tanya ke diri sendiri, apakah kita benar-benar “perlu” atau hanya sekedar “pengen”. Kalau memang perlu, cari opsi produk yang seminimal mungkin menghasilkan sampah. Bisa dengan membeli produk curah menggunakan wadah dari rumah atau beli produk dengan kemasan yang bisa digunakan ulang. Terkait dengan tempat makan yang hanya melayani takeout atau delivery, sama dengan prinsip bijak konsumsi yang tadi disebutkan. Apakah memang “perlu” membeli atau sekedar “pengen”. Kalau memang harus beli makanan, cari tempat makan yang membolehkan beli makanan menggunakan rantang atau wadah makan dari rumah.
Apakah Anda melihat kultur zero waste atau anti-plastik sebagai sesuatu yang memungkinkan untuk dijalani secara berkelanjutan di masa pandemi ini?
Zero waste bukanlah anti plastik. Zero Waste adalah bagaimana kita menghasilkan sampah hingga nirsampah. Penggunaan plastik yang dihindari adalah plastik yang sifatnya sekali pakai. Sekali pakai di sini adalah saat produknya selesai digunakan atau isi produk habis, langsung dibuang. Kalau ditanya apakah kultur zero waste mungkin dilakukan selama pandemi, jawabannya sangat mungkin. Meski pandemi, kebiasaan kami mengurangi sampah dalam keseharian tetap berjalan. Kami tetap groceries menggunakan wadah sendiri, tetap beli makan dengan rantang yang dibawa dari rumah, tetap pilah sampah dan mengolah sampah organik sendiri. Pandemi bukanlah alasan untuk kita jadi seenaknya menghasilkan sampah.
Wilma Chrysanti
Co-Founder Kota Tanpa Sampah
Sebelum pandemi, budaya meminimalkan produksi sampah seperti single-use straw ataupun plastik lainnya telah berkembang, bagaimanakah Anda melihat pengaruh COVID-19 terhadap kultur tersebut atau kebiasaan zero waste lainnya?
Di awal masa pandemi, banyak orang atau pihak sejenak bergeser urgensinya akan mendahulukan ke pencegahan dan penanganan Covid-19. Namun, seharusnya ini jadi kesempatan baik untuk mengingatkan ulang existing business, usaha atau upaya yang sudah ada, pencegahan dan penanganan COVID-19 ini mesti direspon bersama oleh semua pihak.
Misalnya, dalam membuat suatu panduan atau SOP yang komprehensif dalam pencegahan dan penanganan COVID-19. Tidak hanya masalah higienis yang dimasukkan tetapi juga sekalian dipikirkan apa-apa yang dilakukan juga, memikirkan agar sisa konsumsi dan produksinya tetap minim sampah.
Dari sisi pemerintah juga, dengan kondisi anggaran yang berkurang, harusnya membuat satu skema yang tidak mengalihkan atau menggeser prioritas lain. Karena bisa jadi existing problem (masalah sampah misalnya) yang dikesampingkan, akan jadi bencana berikutnya bila konsentrasi hanya di satu masalah saja.
Apa tanggapan anda mengenai penggunaan plastik yang meningkat guna menjaga kebersihan dan kesehatan di tengah pandemi?
Wajar saja untuk kondisi di awal, mungkin untuk sebulan pertama, plastik akan jadi pilihan untuk alasan ataupun tujuan kebersihan dan kesehatan. Di awal masa pandemi tentunya akan banyak penyesuaian, tetapi harus ada upaya bangkit dan mencari alternatif kemasan atau suatu sistem yang tidak terus mengandalkan plastik sebagai wadah atau kemasan yang sekali pakai buang.
Bentuk adaptasi apa sajakah yang bisa diterapkan guna meminimalkan produksi sampah di tengah pandemi ini?
Untuk menjamin higienis, membawa wadah dan peralatan makan serta minum sendiri setiap kali keluar rumah harusnya jadi lebih masuk akal dibanding mengandalkan peralatan makan minum dari makanan atau minuman yang kita beli saat aktivitas di luar. Dan kalaupun harus membeli makanan atau minuman bisa gunakan wadah kita sendiri.
Selain masker reusable yang kini mudah ditemukan, apakah ada cara lain untuk meminimalkan produksi sampah di masyarakat, terutama dengan tempat makan yang hanya melayani takeout atau delivery?
Untuk tempat makan yang hanya melayani take out dan delivery, bisa memikirkan sistem agar wadah atau kemasan makanannya tidak segera jadi sampah dengan menggunakan wadah pakai ulang atau sistem tukar wadah, misalnya.
Selain itu, perlu ada inisiatif-inisiatif yang harusnya bisa dimulai di masa pandemi ini. Di tingkat lingkungan atau lokal seperti di RT/RW mulai ada informasi masak apa dan jual apa, dengan kondisi ekonomi atau pendapatan terhambat mulai mencari alternatif, mulai menyasar tetangga sendiri. Mumpung jaringan distribusi pendek dan dekat juga relatif dikenal, sehingga ada trus. Jadi mekanisme pakai ulang untuk wadah makanan dan minuman bisa dilakukan. Dengan sistem dikirim sendiri lalu wadah dikembalikan, masih mungkin juga karena dasar saling support antar tetangga.
Apakah Anda melihat kultur zero waste atau anti-plastik sebagai sesuatu yang memungkinkan untuk dijalani secara berkelanjutan di masa pandemi ini?
Sebenarnya lebih tepat kultur hidup berkesadaran ekologis dan minim sampah ini, bukan soal ‘anti material’. Tapi perlakuan kita terhadap material yang excessive dan sekali pakai buang yang tidak menghargai keterbatasan dan keberlangsungan sumber daya. Material bisa apa saja, tetapi kalau kulturnya excessive dan exploitative, material apapun bisa bermasalah. Saat ini plastik jadi cerminan sekali pakai buang. Akan tapi bukan cuma itu, kardus, karton, kertas juga sekali pakai buang dari cara kita memperlakukannya, kemasan atau wadah kardus untuk makanan, kena makanan kotor terpaksa dibuang karena tidak bisa didaur ulang.
Bukan plastiknya, tapi sekali pakai buangnya yang berisiko dengan sumber daya di hulu dan di hilir.
Jessica Halim
Co-Founder Demibumi.id
Sebelum pandemi, budaya meminimalkan produksi sampah seperti single-use straw ataupun plastik lainnya telah berkembang, bagaimanakah Anda melihat pengaruh COVID-19 terhadap kultur tersebut atau kebiasaan zero waste lainnya?
Menurut saya menggunakan reusable straw sangat diperlukan, karena sedotan plastik itu sangat susah didaur ulang dan semua larinya ke TPA dan laut. Karena semua cafe atau perorangan tidak ada yg mau memilah dan mengolahnya. Akhirnya malah melukai binatang-binatang kita dan akhirnya mikroplastik yg dihasilkan pun mencemari sumber makanan kita.
Pakai yang reusable sangat cocok pada masa pandemi ini, karena kita sendiri yang mencuci dan itu milik kita. Baik sedotan, wadah, atau peralatan makanan itu sangat penting karena kita yang mengontrol dan memastikan kebersihannya.
Apa tanggapan anda mengenai penggunaan plastik yang meningkat guna menjaga kebersihan dan kesehatan di tengah pandemi?
Sampah di TPA kita untuk plastik meningkat double, dan ini membahayakan kita. Kita ingin bersih tapi kita juga harus pandai dan bijak memahami kondisi alam dan laut kita. Makanan yang dibungkus dengan plastik secara tidak langsung sudah dicemari oleh mikroplastik, lalu kita buang dan berpikir area kita bersih. Sistem pemilahan dan pengolahan di Indonesia itu sangat minim, sehingga dengan semua sampah yang tidak terolah pada akhirnya ‘lari’ ke tubuh kita juga lewat pencemaran di air, laut dan sumber makanan kita yang banyak terbukti sudah tercemar dengan mikroplastik.
Masa pandemi ini saya tetap membiasakan diri seperti sebelumnya yaitu memakai semua wadah yg reusable. Ketika ingin membeli makanan saya menghubungi restorannya bahwa saya akan bawa wadah saya sendiri dan ingin ditempatkan di sana. Begitu juga mengirimkan makanan ke keluarga, sekarang tiap hari masak dan jadi barter makanan ke teman dan keluarga juga. Kalaupun harus nyampah saya pastikan dulu wadahnya apa, daun atau kertas, karena banyak juga kok wadah makanan seperti itu.
Dan sampah apapun yg kita bawa ke rumah kita akan nyampah di TPA jadi dipastikan kita cuci dan pilah dan saya kirim ke bank sampah agar terdaur ulang bahkan kita mendapatkan uang karena sampah yg dibersihkan itu ada nilai daurnya. Kalau yang ber-residue atau kotor wadahnya terkena sisa makanan atau apapun, itu tidak bisa didaur kecuali dengan alat khusus seperti hydrothermal atau pyrolysis seperti yang dimiliki oleh @golimbah.
Bentuk adaptasi apa sajakah yang bisa diterapkan guna meminimalkan produksi sampah di tengah pandemi ini?
Tetap jaga jarak, dan kalau saya pribadi, tetap hindari keramaian. Di kantor pun kami tetap jaga jarak dan semua pegawai membawa wadah, peralatan makanan, dan tumbler mereka sendiri dan cuci sendiri agar kebersihan masing-masing bisa terjaga. Kita tetap berikan katering kantor dengan rantangan agar tidak ada sampah sekali pakai.
Ketika belanja online, saya pastikan supplier mengirimkan dengan box corrugated, koran, atau kertas. Jadi, saya selalu berikan note untuk mohon “jangan pakai bubble wrap atau plastik lagi”. Beli lada pun juga begitu, saya beli lada bangka online berhasil semua masuk box tanpa plastik luar lagi dan bubble wrap, jadi senang juga. Dengan berani berbicara, kita juga mengajarkan pedagang-pedagang untuk berubah. Beli buah juga saya ada langganan tukang buah jalanan, selalu saya antarkan jaring serut saya. Kalaupun lagi nggak bisa, saya minta dia masukkan semua dalam satu boks dan selalu berhasil.
Beli makanan restoran juga masih sama, selalu bawa wadah reusable. Karena sudah tau mau beli apa sebelum memesan, jadi saya siapkan wadahnya.
Selain masker reusable yang kini mudah ditemukan, apakah ada cara lain untuk meminimalkan produksi sampah di masyarakat, terutama dengan tempat makan yang hanya melayani takeout atau delivery?
Kalau saya masih tetap sama, bawa wadah dan kirim ke restorannya untuk diisi. Kalau harus takeout pun saya minta tanpa plastik, pakai box saja. Kalaupun menerima kiriman makanan dengan plastik semua, saya bersihkan dan simpan kembali. Semua plastik kiloan yg kena sample atau box yang terkena sisa makanan saya selalu biasakan cuci seperti halnya cuci piring, lalu tiriskan dan kemudian setelah kering masuk ke pemilahan sampah saya.
Karena sampah pilahan selalu bersih saya nggak pakai plastik sampah lagi di ruang tamu, semua hanya tong pemilahan sampah yg di-note, organik, kertas, plastik, beling/alu, atau B3. Yang sampah kecil-kecil seperti stapler atau serutan pensil juga saya pisahkan. Serutan pensil selalu saya masukan ke wadah sendiri untuk ditaburi di atas komposter saya.
Jadi mengolah sampah organik dengan komposter dan biopori itu penting banget, jadi nggak ada yang lari ke TPA. Sisa potong buah dan sayur masuk komposter jadi pupuk cair dan pupuk padat. Sisa makanan seperti daging, tulang, susu, atau makanan berminyak masuk biopori. Membiasakan mengolah organik banyak manfaatnya ke kebun kita juga, jadi nggak perlu beli pupuk dan semua dari makanan kita juga. Secara nggak langsung kita juga mengurangi panas bumi karena sampah organik di TPA itu menghasilkan gas metana yang menjadi salah satu penyebab panas bumi juga, lho.
Apakah Anda melihat kultur zero waste atau anti-plastik sebagai sesuatu yang memungkinkan untuk dijalani secara berkelanjutan di masa pandemi ini?
Selalu sih, kalau buat saya. Karena kita lebih bersih juga dan membuat kita selalu berpikir ketika melakukan sesuatu. Intinya, kita nggak boleh egois cuma memikirkan kita sendiri saja, tapi kita juga harus memikirkan kelangsungan hidup anak-anak kita. Saya selalu ingat anak saya menangis ketika dia tau berita bahwa 20 tahun lagi Indonesia akan banjir. Lalu, anak ke-2 saya waktu itu bilang “ya perbaiki saja”. Jadi, setiap hari kita harus ingat masa depan mereka, bukan hanya keadaan kita sekarang dan untuk saat ini saja. Pikirkan sumber pangan mereka nantinya, harus kita pastikan bersih dari mikroplastik. Karena sekarang saja sudah tercemar. Alam harus selalu kita jaga, dan pastikan generasi selanjutnya punya kehidupan yang layak. Karena pemerintah sendiri sudah mengatakan pada tahun 2030 sampah plastik kita akan melebihi jumlah ikan-ikan kita. Nah, ini kan sebentar lagi, 10 tahun itu waktu yang sangat sedikit, lho. Kita harus perbaiki sekarang dan hari ini juga, dan setiap hari kita harus ingat.
Saya bukan orang yang ingin di-note zero waste ataupun anti plastik. Saya belum bisa zero waste dan selalu masih ada plastik di rumah atau kantor walau sudah dikurangi terus. Karena saya hidup dengan orang lain, mertua, kakak ipar, supir, dan mbak. Kalau di kantor pun sama pegawai-pegawai, jadi tempat sampah itu milik bersama, makanya perlu dibuatkan sistem pilahan dan kirim ke bank sampah. Akan tetapi, saya selalu berusaha untuk mengurangi setiap harinya. Karena saya juga bukan orang yang perfect, masih suka lupa dan selalu mengingatkan diri sendiri untuk mengurangi itu sangat penting. Mengajak sekeluarga dan membiasakan turut mengurangi juga sangat penting. Karena kalau sudah terbiasa itu enak.
Menurut saya, suara konsumen itu penting dan powerful dalam perubahan. Kalau kita minta dan bersuara jika kita nggak mau plastiknya, pasti dikasih kok. Jadi perlu ngomong aja, karena produsen akan berubah kalau kita mau berubah.