Menghindari Misinformasi Soal Isu Kesehatan di Tengah Pandemi bersama dr. Shela Sundawa
Kami berbincang dengan dr. Shela Sundawa tentang pentingnya privasi pasien di tengah pandemi, tren kesehatan yang paling relevan hingga perlunya kita memahami isu kesehatan secara benar.
Words by Ghina Sabrina
Di tengah pandemi ini, dengan semakin mudahnya informasi tersebar di dunia maya, semakin mudah pula untuk informasi-informasi tidak aktual sampai ke publik. Ketika semua orang mencari cara untuk tetap sehat di tengah seruan untuk tetap berdiam di rumah, banyak pula pesan berantai yang menyajikan informasi tentang cara-cara menjaga kesehatan yang terbukti salah. Di sinilah diperlukan sosok dokter untuk memberikan saran yang tepat bagi publik. Salah seorang dokter yang aktif memberikan informasi seputar hal medis adalah dr. Shela Putri Sundawa, yang memanfaatkan media sosial Twitter maupun program podcast-nya Relatif Perspektif dalam edukasi kesehatan. Kami berbincang dengan dr. Shela tentang cara mematahkan eksklusivitas dunia medis, tren kesehatan paling relevan di situasi sekarang, hingga apa yang bisa kita pelajari dari cara penanganan COVID-19 di negara lain.
Apa yang membuat Anda memilih terjun ke dunia medis?
Awalnya saya sempat ragu untuk memilih jurusan apa setelah saya lulus SMA. Karena waktu itu ketertarikannya cukup banyak, selain di bidang biologi, saya juga suka bidang lain seperti ilmu sosial. Waktu awal, saya sempat berpikir apa saya mengambil jurusan lain seperti hubungan internasional. Cuma sepertinya waktu SMA saya semakin diarahkan, di sana jadi semakin seru belajar biologinya karena saya juga mendapatkan guru biologi yang seru. Karena gurunya seru, pelajarannya juga jadi menyenangkan jadi akhirnya saya berpikir mungkin kuliah kedokteran menarik juga.
Orang tua saya terus terang waktu itu banyak ikut andil untuk membantu kira-kira bisa ke mana. Kalau kita mengambil jurusan medis, mengambil kedokteran, sifat karirnya itu kan lebih independen. Lalu kalau mengambil hubungan internasional itu kan kebanyakan jadi diplomat. Kata orang tua saya, saya itu orangnya tidak suka dikekang sama aturan dan birokrasi, maka saya akan lebih cocok kalau bekerja sendiri dan kalau jadi dokter kan bisa lebih independen. Akhirnya saya pun memilih untuk sekolah di kedokteran.
Anda memilih untuk lebih fokus pada jalur advocacy dalam dunia medis, terlihat dari kiprah Anda di IFMSA (International Federation of Medical Students’ Associations) hingga saat menjadi delegasi CIMSA (Center for Indonesian Medical Students) di sidang PBB. Bisa ceritakan hal-hal yang bisa diimplementasikan di Indonesia berdasarkan pengalaman Anda?
Sebenarnya kalau sekarang itu tidak cuma advokasi saja. Jadi dulu memang waktu masih mahasiswa kedokteran, saya mengikuti organisasi CIMSA dan IFMSA. Salah satu yang menarik buat saya waktu itu, kan saya ada di standing committee di public health, pertama kali saya belajar tentang advokasi itu waktu saya di CIMSA. Biasanya kita melihat public health itu turun ke lapangan, grass roots, bikin campaign di edukasi, tapi ternyata ada hal yang baru. Karena ada hal yang baru, itu yang membuat saya tertarik. Waktu itu, sebelum saya jadi pengurus standing committee public health di Asia-Pasifik, saya itu terlebih dahulu mengurus advocacy untuk Asia Pacific. Biasanya kalau kita sedang belajar dan terpapar ilmu baru kan pasti semangat banget.
Di tahun 2011, PBB itu sedang membuat sidang umum yang mengangkat topik kesehatan. Itu merupakan hal yang jarang terjadi, karena dari sejarahnya, topik kesehatan itu cuma pernah dua kali diangkat dalam sidang PBB. Sebelumnya, topik yang pernah diangkat itu HIV/AIDS di tahun 2000-an. Baru di tahun 2011, karena ada masalah besar di dunia yang dianggap bisa mengancam tidak hanya kesehatan tapi keberlangsungan sosial dan finansial, maka diadakanlah sidang umum PBB untuk penyakit tidak menular. Kebetulan waktu itu saya memang aktif mengadvokasi pengendalian tembakau di Indonesia, di kalangan mahasiswa kedokteran dan ranah ilmu kesehatan yang lain. Akhirnya karena saya banyak terpapar dengan advokasi untuk pengendalian tembakau, saya ikut menjadi Global Cancer Ambassador-nya American Cancer Society. Kemudian, salah satu goals dari advocacy yang diadakan oleh American Cancer Society itu adalah untuk mengajarkan bagaimana caranya membawa advokasi itu ke kancah yang lebih besar, yang waktu itu adalah High-Level Meeting on Noncommunicable Diseases di New York. Jadi, setelah saya selesai training di ACS, saya langsung belajar bagaimana mengimplementasikannya untuk dibawa ke sidang umum PBB. Jadi kita ikut terlibat dalam penyusunan dokumennya. Cuman sampai sekarang, saya belajar bahwa advokasi itu satu hal yang menarik tapi tidak lepas dari kampanye di level grass roots. Grass roots itu adalah pondasi lain dari public health. Public health itu ada yang arahnya ke atas dan ke bawah. Kalau sekarang ditanya, saya suka advokasi tapi saya juga suka campaign. Jadi sekarang keduanya sama-sama saya sukai dan akhirnya dikerjakan hampir berimbang.
Kini semakin banyak dokter yang aktif di media sosial, mulai dari Twitter hingga Podcast, menurut Anda, apa yang menyebabkan shifting pada jalur komunikasi antara dokter dan publik yang dulu terkesan eksklusif?
Saya sudah lama punya Twitter, kayaknya dari zaman Twitter baru ada saya sudah punya. Tapi saya menggunakan Twitter sebagai platform untuk edukasi itu baru-baru ini, terus belajar serta menggunakan podcast juga baru-baru ini. Sebelum di media sosial dan podcast, saya sering menulis op-ed di Jakarta Globe dan Jakarta Post. Saya menulis di sana, dengan harapan bahwa pendapat saya mudah-mudahan ada yang mau baca sehingga mungkin nanti kalau pun ada pengambil kebijakan atau orang awam yang baca itu akan lebih mengerti dengan isu kesehatan. Tujuannya itu menghilangkan eksklusivitas dari tenaga medis, umumnya dokter. Nah tapi, setelah saya telaah, kayaknya targetnya tidak sampai karena yang membaca itu adalah orang yang sudah setuju dengan isu yang saya bawa. Padahal, orang yang perlu saya reach out itu orang-orang yang bisa di-invest kesehatannya dalam jangka panjang yaitu anak muda dan remaja. Sedangkan yang membaca Jakarta Post dan Jakarta Globe itu bukan remaja, jadi saya merasa waktu saya menulis itu tidak ada gunanya dan pesan yang ingin saya sampaikan juga tidak sampai.
Isu kesehatan itu selalu dibawakan seolah-olah cuma bisa didiskusikan antar tenaga medis, antar dokter.
Lalu saya berpikir, apa yang bisa saya kerjakan? Yang tidak terlalu susah tapi mungkin bisa me-reach out orang-orang yang perlu di-reach out. Isu kesehatan itu selalu dibawakan seolah-olah cuma bisa didiskusikan antar tenaga medis, antar dokter. Konferensi banyak, hampir setiap tahun itu ada puluhan konferensi yang bisa diikuti oleh dokter. Tapi di luar profesi tersebut, isu ini jarang sekali dibicarakan. Ini menimbulkan masalah lain di mana hoax dari berita-berita kesehatan itu banyak sekali. Masyarakat juga tidak punya anchor, karena mereka pun bingung mau mengikuti siapa karena dokternya sendiri juga susah untuk diajak ngobrol. Lagi pula mereka juga selalu menganggap bahwa dokter itu orang yang tinggi sehingga mereka tidak enak kalau mau mengajak diskusi. Kemudian saya pikir mungkin dengan kita berusaha mengobrol seolah seperti dengan teman, seperti yang saya lakukan di podcast dan Twitter, saya itu bisa seperti teman kalian. Kalau ada peer-to-peer mengobrol, itu akan lebih sampai pesannya. Itu yang ingin saya bawakan baik di Twitter atau di podcast, dengan kita mengobrol seperti dengan teman, pasti akan sampai ke lebih banyak orang. Orang pasti lebih mau bercerita dan mendengarkan kita karena mereka menganggap bahwa kita itu teman mereka. Jadi mereka bisa lebih percaya juga sama apa yang kita bicarakan, sehingga mudah-mudahan dalam waktu jangka panjang ada perubahan perilaku lebih baik yang mengarah ke kesehatan.
Kini aktif dalam podcast Relatif Perspektif, selain mematahkan stigma eksklusivitas dunia medis, apa yang ingin Anda sampaikan melalui program tersebut?
Pertama memang benar bahwa salah satunya adalah untuk mengurangi eksklusivitas atau pandangan orang tentang kedokteran. Seperti yang dibahas tadi, jadi ini sebetulnya adalah awal mula bagaimana isu kesehatan itu jadi banyak sekali hoax-nya karena orang yang dipandang berpengetahuan itu susah dijangkau. Kalau kita membayangkan bentuk segitiga, orang yang bukan dokter itu ada di dasar segitiganya. Dokternya sendiri ada di ujung dari puncak segitiga, jumlahnya sedikit dan di atas. Walaupun sebenarnya, dokter kan sama saja dengan manusia yang lain, memang jumlahnya lebih sedikit tapi bukan berarti mereka sulit dijangkau.
Harapannya dengan Relatif Perspektif itu, dokter yang jumlahnya sedikit ini bisa mengadakan edukasi yang lebih efektif. Kan kalau misalnya saya bertemu satu pasien, yang tahu dan paham hanya satu saja. Tapi dengan podcast, orang bisa mendengarkan, bisa diulang-ulang dan di-share ke temannya. Jadi harapannya supaya sekali orang ngomong, lebih banyak yang tersampaikan. Sementara itu, visi jangka panjangnya adalah kalau orang Indonesia bisa mengerti kesehatan dengan baik, tidak mudah termakan hoax, bisa lebih paham seperti bagaimana mereka terlihat ngerti banget soal isu politik, kalau seandainya semua orang punya pengetahuan sebaik itu, kerja dokter akan jauh lebih gampang. Menurut saya, idealnya kerja dokter itu sudah tidak usah dari awal lagi, mereka bisa jadi semacam supervisor. Misalnya, ada pasien yang datang, dokternya bisa langsung mengoreksi, “Kamu sudah melakukan ini? Kamu sakit radang tenggorokan karena infeksi bakteri?” dan pasiennya juga bisa langsung menjawab, “Iya dok, saya cek kayaknya saya sakit karena habis minum ini, habis ketularan ini.” Karena sudah ada yang dikerjakan sama pasiennya, jadi dokternya tinggal membenarkan, tidak perlu mulai dari awal. Beda banget kalau mereka tidak mengerti sama sekali, menceritakan keluhannya tidak bisa, bingung cara ngomongnya seperti apa, itu kerja dokter jadi susah banget. Idealnya, harapan saya di masa depan, orang-orang itu semakin paham dengan isu kesehatan, jadi kunjungan ke dokter itu diminimalisir karena mereka hidupnya lebih sehat, dan kalaupun ada sedikit keluhan bisa langsung diselesaikan oleh mereka.
Ada kutipan dari Thomas Alva Edison yang menurut saya revolusioner sekali, “The doctor of the future will give no medicine but will interest his patients in the care of the human frame, in diet and in the cause and prevention of disease.” Jadi sudah tidak lagi mengobati penyakit karena kalau sudah terjadi penyakit, artinya itu ada sesuatu imbalance yang sudah tidak benar, ada suatu distress yang dibiarkan terlalu lama atau insult yang tidak langsung ditangani.
Korban pemerkosaan kena stigma, pasien HIV dikucilkan, sekarang yg kena COVID-19 juga dipermalukan. Jadi apa yg salah? Yang salah narasi dan storytelling nya. Kalian para jurnalis punya andil, berhentilah mengcapture korban dan pasien layaknya monster
— dr. Shela Putri Sundawa (@oxfara) March 4, 2020
Anda sempat membahas soal korban COVID-19 yang diperlakukan layaknya ‘monster’, mirip seperti perlakuan terhadap korban pemerkosaan dan pasien HIV, menurut Anda, bagaimana cara yang tepat untuk memberitakan korban di tengah pandemi ini?
Tentunya saya melihat dari perspektif orang yang di luar jurnalistik, saya tidak punya keahlian jurnalistik tapi cuma sebagai pembaca dan dokter saja. Jadi bagaimana kita melihat supaya pasien yang terkena COVID-19 ini tidak dianggap sebagai monster itu dengan pertama, identitasnya harus dirahasiakan. Identitas yang dirahasiakan itu merupakan hal yang sangat krusial di kedokteran. Jadi untuk semua pasien, diagnosis itu kita tidak boleh memberi tahu orang lain karena ini suatu hal yang pribadi. Tapi banyak argumen yang mengatakan bahwa nanti kalau kita tidak dikasih tahu identitasnya, kita jadi tidak bisa trace. Kalau memang yang dibutuhkan adalah lokasi, lokasi itu kan digunakan untuk tracing, jadi artinya untuk orang-orang yang memang punya kepentingan di situ, bukan orang yang kepentingannya untuk menayangkan di berita. Kalau kita kepentingannya di berita, sampai dibahas keluarganya siapa, kegiatannya seperti apa, sampai tetangganya diwawancara, tentu saja itu malah jadi meng-capture yang berlebihan, yang tidak penting. Harusnya yang di-capture bukan kebiasaan orang tersebut, tetangganya, atau pekerjaannya apa, yang penting adalah pemberitahuan virus ini sudah menyebar ke mana saja dan apakah orang-orang yang berhubungan dengan dia sudah di-trace.
Identitas yang dirahasiakan itu merupakan hal yang sangat krusial di kedokteran
Informasi tersebut cukup sebagai rahasia yang dipegang oleh bagian yang punya kepentingan tracing, dan bukan konsumsi publik. Toh kalau publik tahu, juga tidak akan ada solusinya. Kalau publik tahu, yang ada malah memulai stigma untuk orang-orang yang tinggal di sana. Pasti berdampak ke hal-hal seperti pekerjaan orang tersebut yang terpaksa tidak boleh masuk karena takut ketularan dan sebagainya. Ini kan sesuatu yang tidak penting. Jadi seharusnya kita tahu porsi kita sejauh apa. Saya itu siapa, kalau saya itu cuman wartawan dan tidak memiliki kepentingan untuk tracing, saya tidak perlu tahu sedetail orang itu ketemu siapa dan berpapasan dengan siapa. Itu kan tidak penting. Itu kan cuma buat berita, dan itu juga harusnya ada etisnya karena ingat, bahwa di dunia kedokteran, diagnosis itu private sifatnya.
Di antara tren kesehatan yang telah muncul sekarang, mana yang paling relevan untuk diikuti di situasi seperti sekarang?
Jadi kalau menurut saya, yang lagi tren di kalangan anak muda itu seperti detoks, nge-gym, yoga, sama lari. Dari tren-tren yang dikerjakan ini, yang menarik adalah anak muda itu kesannya, tidak semuanya ya, saya tidak mau mengeneralisir, tapi kebanyakan melakukan sesuatu itu kalau temannya banyak yang mengerjakan. Sebenarnya yoga, lari dan detoks itu bukan suatu hal yang baru ditemukan. Detoks yang paling lama itu apa? Puasa. Makannya diatur, jamnya diatur, aktivitas keseharian jadi diatur karena jam makannya di waktu tertentu. Sama seperti intermittent fasting, itu kan sebenarnya dari dulu sudah ada. Namun dengan bahasanya anak muda itu kan jadi baru. Lari juga aktivitas yang sudah dilakukan orang dari zaman dulu. Cuman dengan packaging baru seperti adanya marathon, ada jam keren yang bisa mengukur kecepatan, maka orang jadi lebih semangat.
Yang perlu saya tekankan sebenarnya yang penting, kalau kesehatan itu harusnya jangan cuma jadi tren. Jangan cuma mengikuti apa yang lagi ngehits karena sebenarnya prinsipnya itu sama, cuma ada empat, yaitu tidur atau istirahat cukup, makan yang seimbang, waktunya teratur, kemudian aktivitas yang baik (bekerja/sekolah) di jam-jam beraktivitas, serta olahraga. Jadi sebenarnya empat prinsip itu sama saja dari dulu hingga sekarang, cuma packaging-nya aja yang berbeda. Di era pandemi ini, tentunya tren tadi banyak yang coba dikemas supaya bisa dikerjakan di rumah. Contoh, makan yang seimbang, orang jadi banyak masak atau bahkan memakai catering bagi mereka yang males masak. Olahraga, sekarang kan banyak olahraga yang online, yoga, training, hingga workout video training. Menurut saya tren-tren yang ada itu baik diikuti asal kita tahu esensinya dan bukan sekadar mengikuti tren. Jadi tidak perlu mengikuti tren yang terus berganti karena intinya adalah bagaimana caranya bisa makan yang imbang dan baik. Sesuatu yang kita kerjakan sedikit demi sedikit setiap harinya itu jauh lebih baik daripada sesuatu hal yang sangat baik langsung kita kerjakan tapi cuma sebentar.
Selain social distancing dan menjaga kebersihan, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari COVID-19?
Penting disini diingat bahwa kesehatan itu komponennya dua, mental dan fisik. Jadi selama social distancing, artinya dua hal ini harus kita jaga dengan baik. Cara menjaganya adalah lewat empat pilar tadi, makan tetap harus seimbang, tidur harus selalu cukup, aktivitas kuliah maupun pekerjaan harus tetap berjalan dan satu lagi adalah olahraga tetap dikerjakan. Jadi dengan empat pilar yang bisa dikerjakan ini, kita bisa menjaga bagaimana secara fisik kita sehat dan mental juga sehat. Yang sering dikeluhkan ketika social distancing itu adalah kesepian. Biasanya ramai-ramai makan bareng teman, olahraga bareng teman, pasti keluhan yang utama dikeluhkan adalah yang biasa pergi ke luar tiba-tiba harus di rumah, ini harus dibenarkan dulu konsepnya. Jadi sebenarnya, kalau diminta tinggal di rumah, itu bukan berarti kita harus full mengubah semua aktivitasnya, cuma sekarang pakai metode yang berbeda aja. Kalau biasanya dulu kerja di kantor, ini kerjanya beda tempat aja, di rumah tapi tetap sama yang dikerjain juga aktivitas seperti di kantor. Di jam kantor tentunya. Terus misalnya olahraga, sekarang sudah tidak bisa karena biasanya suka ke gym dan di sana ada banyak resiko tertular, bisa juga kan di rumah kita berolahraga. Kan ada banyak video di YouTube dan aplikasi yang menyediakan training, itu kan masih kita bisa kerjakan. Dan untuk waktu sosialisasi, misalnya biasanya makan bareng teman, sebenarnya kita juga bisa makan sambil menelpon teman pakai video call, itu kan mirip juga. Jadi kalau dulu kita pergi ke luar terus makan sama teman tapi fokus di hp, sekarang temannya tidak ada tapi kita fokus ke mereka. Jadi ini kan sebenarnya ada banyak hal positif yang bisa kita lihat. Walaupun secara tatap muka atau fisik kita tidak secara langsung bertemu dengan orang tersebut.
Yang juga penting diingat adalah kesepian itu memang salah satu isu yang dikeluhkan oleh banyak orang yang bisa menurunkan kesehatan fisik. Karena tadi merasa sendirian, kemudian merasa tidak punya teman jadi akhirnya mood-nya tidak bagus. Mood yang jelek itu bisa memengaruhi kesehatan fisik kita, kita jadi lebih mudah capek, tidak semangat kerjanya, di rumah kayaknya tidak ada inspirasi. Harus diubah dulu mindset-nya bahwa di rumah juga bisa menyenangkan. Banyak aktivitas yang bisa kita kerjakan di rumah. Dulu yang misalnya pulang dari kantor itu butuh waktu dua jam karena macet, sekarang di rumah bahkan tidak butuh mengeluarkan ongkos dan menghabiskan waktu. Jadi untuk pekerjaan sebetulnya lebih efektif, kita jadi punya banyak spare time yang bisa kita manfaatkan. Misalnya untuk tidur dan beristirahat, atau untuk berkarya–dulu tidak sempat punya hobi melukis dan sekarang jadi punya karena kita sudah tidak commuting lagi.
Semuanya itu akan gelagapan kalau kita tidak mempersiapkan diri.
Apa tanggapan Anda terhadap perkembangan COVID-19 di Indonesia? Melihat death rate di Indonesia yang semakin bertambah dan menjadi tertinggi di Asia Tenggara.
Sebenarnya angka death rate itu relatif di setiap negara. Kenapa relatif? Karena jumlah yang meninggal dibagi dengan total kasus. Artinya jika total kasus jumlahnya sedikit dan death rate-nya cukup tinggi tentu presentasinya akan meningkat. Kalau menurut saya, kenapa di Indonesia death rate-nya kesannya tinggi itu karena adanya under diagnosis. Jadi jumlah kasus yang nyata itu sepertinya mungkin banyak yang belum terdeteksi, sehingga kesannya jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang meninggal, death rate-nya akan tinggi. Karena di seluruh dunia, case fatality rate-nya sendiri sekitar 2%. Jadi kalau di kita sampai lebih dari 8% itu artinya ada sesuatu yang salah, dengan logika yang sama, kalau virusnya ini sama, maka harusnya virusnya tidak lebih berbahaya kalau ada di Indonesia dengan di negara lain.
Yang dapat terjadi adalah diagnosis atau kasus yang ditemukan itu banyak sekali yang belum terlihat. Kasusnya jadi kayak fenomena gunung es, yang kelihatan yang di ujung-ujungnya saja yang sudah parah. Sebenarnya ada kemungkinan lain, kasus yang meninggal ini bisa terjadi karena sudah terlambat di saat penanganannya. Artinya dia sudah dalam kondisi terminal sehingga menyebabkan kematian yang lebih tinggi. Tapi kalau dilihat dari persentasenya, lebih mungkin bukan karena kondisinya yang terlambat baru dibawa, tapi mungkin menurut saya karena ada banyak kasus positif yang belum terdeteksi.
Kita bisa lihat sendiri di Korea Selatan, karena dites secara massal, case fatality rate-nya jadi rendah. Kalau kasus positifnya dibandingkan dengan jumlah yang meninggal, maka presentasinya akan kecil sekali. Mungkin selain kontribusi dari tes massal yang begitu banyak, juga ada kontribusi dari kecanggihan teknologi kedokteran di sana sehingga yang datang bisa terselamatkan.
Apa yang bisa dipelajari dari negara-negara lain tentang cara penanganan dan pencegahan Coronavirus?
Yang perlu kita perbaiki adalah sistem antisipasi dan perencanaan kita. Mari kita belajar dari Singapura. Pada tahun 2003, mereka terpukul sekali karena adanya SARS. Dari adanya SARS, akhirnya mereka belajar. Selama 16 tahun mereka menyiapkan diri tentang apa yang akan mereka lakukan kalau terjadi pandemi lagi. Selama 16 tahun ini, Singapura membuat regulasi, badan, memberikan riset untuk persiapan pandemi dan semua yang mereka lakukan terefleksi pada cara penanganannya sekarang untuk COVID-19. Setelah mempelajari yang telah terjadi, mereka kini sudah punya tempat khusus quarantine, mereka sudah punya alurnya, itu merupakan contoh yang sangat baik yang menurut saya bisa dipelajari Indonesia. Selain perencanaan yang baik, mereka juga membuat terobosan baru dengan pemeriksaan lewat antibodi. Sementara kalau di Amerika dan Cina itu mereka tes dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Cara pemeriksaannya pun beda, kalau antibodi itu lewat serum, artinya walaupun sudah sembuh, orang tersebut bisa dicek apakah dulu pernah sakit atau tidak.
Ini berkat pemerintah Singapura yang punya dana khusus untuk hal-hal seperti ini. Jadi sudah disiapkan kalau misalnya ada orang yang punya penelitian untuk riset tentang COVID-19, mereka akan langsung kucurkan dana. Itu karena sudah menyiapkan dari jauh hari. Jadi mudah-mudahan kalau kita selesai dengan COVID-19 ini, kita bisa mencontoh Singapura bagaimana mereka mengatasinya supaya kita tidak gelagapan. Semuanya itu akan gelagapan kalau kita tidak mempersiapkan diri.