Mendefinisikan Ulang Konsep Maskulinitas bersama Aliansi Laki-Laki Baru
Kami berbincang dengan Wawan Suwandi dari Aliansi Laki-Laki Baru tentang peran laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender serta realita kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat.
Words by Ghina Sabrina
Tahun sudah silih berganti, tapi perjalanan kita masih panjang untuk mencapai titik di mana kita mencapai kesetaraan gender. Walau sosok dan kelompok yang mendukung gerakan ini semakin banyak dan terdengar, namun masih banyak pula yang menentang dan menganggap bahwa perjuangan tersebut tidak sesuai dengan budaya dan konstruksi sosial kita.
Ketika membicarakan tentang kesetaraan gender – khususnya pemberdayaan perempuan, bagaimana dengan laki-laki? Dalam negara yang mendukung budaya patriarki, bagaimana cara melibatkan laki-laki tanpa harus meredupkan gerakan perempuan itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berusaha dijawab oleh Aliansi Laki-Laki Baru, sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan gender kepada dan untuk mengedukasi kelompok laki-laki.
Boleh ceritakan awal mula terbentuknya Aliansi Laki-Laki Baru?
Aliansi Laki-Laki Baru itu berdiri pada November 2009. Dulu, terbentuknya itu karena memang pertama, kami melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan itu merupakan sebuah situasi yang ‘khas’, terutama di negara Indonesia, yang masih menjadikan patriarki sebuah patron di kehidupan kita sehari-hari. Lalu, edukasi tentang keadilan gender dan edukasi akan anti kekerasan terhadap perempuan atau berbasis gender itu lebih banyak diberikan kepada kelompok perempuan, padahal, akar permasalahannya itu laki-laki.
Dari sana, kami melihat sebetulnya ada inisiatif dari kelompok laki-laki yang memulai untuk melakukan edukasi kepada kelompok laki-laki, tapi itu sifatnya bisa dibilang tidak terlalu frontal karena tidak kontinu. Dulu konsep maskulinitas masih asing, jadi lebih kepada bagaimana laki-laki harus perlu memahami gender. Pembahasan itu ada sejak tahun 2000-an.
Saya dan teman-teman saya, di tahun 2006-2007 itu bikin Koalisi Laki-Laki Menolak Poligami dengan tujuan meng-counter datangnya sebuah komunitas namanya Ikatan Istri Taat Suami, dari Malaysia yang datang ke Indonesia untuk mempromosikan poligami. Kami yang di Jakarta, merasa kebakaran jenggot. Ini semacam komunitas perempuan yang membenarkan praktik poligami. Padahal hal itu hanya terjadi pada segelintir orang, dan kami sebenarnya juga sadar bahwa komunitas tersebut digagaskan oleh kelompok Islam dari Malaysia, masuk kemari dan diterima banget sama partai-partai agamis, kemudian sama kelompok Indonesia yang pro-poligami.
Maka sebaiknya kita membuat sebuah gerakan yang established, menggunakan istilah laki-laki, tetapi kami gunakan untuk mempromosikan keadilan gender kepada (untuk mengedukasi) kelompok laki-laki. Nah, dari situlah terbentuknya Aliansi Laki-Laki Baru.
Jadi maksudnya ‘laki-laki baru’ itu yaitu transformasi laki-laki yang tadinya memiliki perspektif lama, yang memandang perempuan sebagai manusia nomor dua sebagai ‘pengikut’ laki-laki. Dengan laki-laki memahami isu gender, kami mengharapkan terjadinya sebuah transformasi baru pada perspektif komunitas laki-laki, jadi tidak lagi menganggap perempuan sebagai manusia nomor dua, namun sebagai partner yang setara, yang tidak ditempatkan didepan, atau dibelakang, namun disebelahnya.
Lalu bagaimana perjalanan ALB sejauh ini?
Bisa dibilang, bahkan banyak yang greget ya, “Ini ALB lemot banget sih.” Sebenarnya yang bikin kami agak “lemot” adalah kehati-hatian yang luar biasa. Memang banyak kekhawatiran akan langkah yang akan kami ambil, apakah deklarasi ALB itu sebuah langkah yang tepat atau sebaliknya akan merugikan bagi gerakan perempuan?
Di sisi lain, teman-teman aktivis perempuan juga memiliki kekhawatiran bahwa ALB akan mendominasi dalam aspek pendanaan donor. Kami khawatir yang sebenarnya sebuah niat baik untuk mempromosikan edukasi kesetaraan gender kepada kelompok laki-laki ternyata tidak tepat caranya. Niat sebaik apapun jika penerapannya salah juga tidak baik akhirnya.
Setelah lama berefleksi, kami memutuskan bahwa ALB tidak akan didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM secara legal dan resmi. Jadi kami tidak akan mendapatkan dana langsung kalau dapat proyek. Hal tersebut sendiri untuk menjaga kepercayaan gerakan perempuan, menjamin bahwa ALB tidak akan mengambil sumber dana bagi pemberdayaan perempuan, yang dari sananya sudah kecil. Yang kalau kami ambil, ya akan menjadi lebih kecil lagi.
Apakah deklarasi ALB itu sebuah langkah yang tepat atau sebaliknya akan merugikan bagi gerakan perempuan?
Jika ada orang bekerja sama dengan ALB, caranya, kami menjadi organisasi pendukung, bagi organisasi perempuan. Maksud saya, jadi kalau ada donor yang mau bekerja sama dengan kami, maka organisasi yang menjadi host-nya itu organisasi perempuan agar manfaat pendanaannya dirasakan sama organisasi perempuan.
Harapan kami itu untuk menjadikan gerakan dan organisasi jadi sebagai kereta api. Perumpamaannya kereta api, lokomotif adalah organisasi perempuan, sementara kami sebagai gerbongnya. Kami juga sebagai organisasi yang pro-feminis, tapi jangan sampai mengambil alih gerakan perempuan, jadi sebagai pendukung saja.
Banyak sekali perdebatan yang bilang “laki-laki tidak bisa menjadi feminis” tapi itu hanya pendapat yang merujuk pada teori bahwa laki-laki tidak pernah mengalami kebutuhan sebagai perempuan, makanya dia tidak pernah merasakan haid setiap bulan, hamil, melahirkan, dan lain-lain. Maka dari itu dia tidak bisa menjadi feminis.
Yang kedua, feminis dipandang sebagai sebuah keberpihakan terhadap perempuan dan upaya perlawanan ketidakadilan terhadap perempuan. Bila ada laki-laki yang melakukan itu, maka dia sebenarnya juga sudah feminis. Kami tidak mau terjebak diantara keduanya, kami hanya ingin mendukung nilai dan prinsip yang berada pada perjuangan perempuan.
Pastinya kami menyadari kalau ruang publik itu sudah didominasi laki-laki, jangan sampai gerakan perempuan pun didominasi laki-laki.
Ketika membicarakan soal ‘male feminist’, banyak yang beranggapan bahwa allies seringkali meredam gerakan yang mereka klaim dukung – seperti kemunculan term ‘woke misogynist’. Apa tanggapan ALB soal ini?
Pada beberapa kesempatan seminar atau training, dalam penyusunan narasumber, dilihat semuanya perempuan dan ada pasti sebuah gagasan yang diajukan bagi panitia untuk memiliki satu pembicara laki-laki.
Dari situ saja sudah bisa dilihat kalau tanpa disadari [hal itu] membangun privilege bagi laki-laki. Selama itu cuma sebatas strategi tidak apa, untuk menghindari resistensi laki-laki, melibatkan laki-laki sebagai narasumber. Tapi untuk selanjutnya, harusnya perspektif peserta sudah lumayan berubah, mulailah membiasakan berpikir semua orang termasuk perempuan memiliki kapasitas untuk mengedukasi dan menjadi narasumber.
Menurut kami, ada kepentingan untuk melihat pola asuh keluarga atau orang tua yang masih menganut kepercayaan tradisional atau patriarki – jangan sampai bawaan tersebut memengaruhi kehidupan sehari-hari perempuan atau diamalkan pada hidupnya ke depannya.
Banyak sekali keterlibatan laki-laki pada keluarga yang diglorifikasi. Laki-laki mau asuh anak saja dianggap keren, padahal istrinya pagi sampai malam mengasuh anaknya. Namun, ketika laki-laki gendong anak, post di media sosial, langsung dicap laki idaman. Glorifikasi seperti itulah yang menyakiti perasaan kelompok perempuan bukan hanya aktivis. Perempuan dan ibu yang bangun paling pagi, tidur paling malam, tapi gak pernah diapresiasi juga.
Jadi, maksud saya itu, bila kelompok laki-laki tidak memulai gerakan keterlibatan laki-laki dari refleksi diri sendiri, dari membahas dan mendefinisi ulang konsep maskulinitas, maka ada potensi blunder. Malah ujungnya meredupkan gerakan perempuan sendiri.
Pastinya kami menyadari kalau ruang publik itu sudah didominasi laki-laki, jangan sampai gerakan perempuan pun didominasi laki-laki.
ALB sering mengadakan atau ikut dalam diskusi dan kampanye yang ditargetkan pada laki-laki perihal peran mereka dalam upaya mendekonstruksi budaya patriarki. Bagaimana respon audiens ALB atau laki-laki secara general pada topik ini?
Pada pelatihan terkait dengan isu gender, biasanya kalau saya menjadi narasumber, saya selalu mengaitkan topik tersebut dengan maskulinitas. Ketika saya memperkenalkan konsep maskulinitas, justru mereka menjadi lebih tertarik dengan isu gender. Kenapa? Karena ngomongin dirinya. Karena ketika kita membahas tentang perempuan dan pesertanya laki-laki yang belum melek isu gender, pasti kesannya agendanya ‘Barat’.
Ketertarikan kaum laki-laki jauh lebih baik kalau memang membicarakan tentang maskulinitas. Jadi dari situ saya memiliki strategi bagaimana untuk menjaga ketertarikan audiens perempuan dan laki-laki. Ada suatu perbedaan dalam target audiens perempuan dan laki-laki dalam pemberian materi, namun materi-materi dasar tentang persamaan gender tetap dikasih ke dua-duanya.
Buat kelompok laki-laki, saya temukan [mereka] sangat resisten akan kata-kata ‘feminis’ dan hak perempuan. Jadi sebagai strategi tentunya kami mencoba untuk susun kata-kata yang nantinya berkesan menarik bagi laki-laki, contohnya sifat maskulinitas yang merugikan bagi diri sendiri dan orang lain, pastinya banyak ketertarikan partisipasi dari kelompok laki-laki.
Itulah awalnya, tentunya harus mengedepankan ketertarikan audiens laki-laki, agar mereka juga ujungnya sadar sendiri dan teredukasi, kemudian [baru] akan membahas kesetaraan gender. Kalau dari awal judulnya sudah “kesetaraan gender”, mungkin tingkat ketertarikan laki-laki juga kurang, jadi pasti kami susun kata-katanya menjadi “hubungan relasi sehat” melainkan “kesetaraan gender pada hubungan atau relationship”. Tapi keduanya pasti berujung di tempat dan pembicaraan yang sama, jadi kuncinya itu strategi untuk mendapatkan ketertarikan audiens.
Sebenarnya saya agak miris ya, karena berkesan ‘feminis’ itu di pikiran orang menjadi sesuatu yang negatif. Jadi kalau kampanyenya sudah bermula dari judul ‘feminis’, malah ujungnya gak jalan. Berbeda kalau di forum dan panitianya sudah menggunakan istilah ‘feminis’, ya gak masalah.
Disesuaikan sama situasinya saja, kalau pesertanya sudah mengenal istilah ‘feminisme’ dan ‘gender’ ya tidak apa, tapi tentunya pasti dikaitkan antara dua topik, misalnya “Dampak Dari Pemisahan Gender Bagi Laki-Laki/Perempuan” begitu, pasti jadi lebih komprehensif.
Beberapa peserta perempuan juga merasa mereka mendapatkan informasi baru ketika mereka mendengarkan konten informasi edukatif mengenai hal-hal seperti dalam sudut pandang laki-laki. Jadi, bukan hanya laki-laki saja yang bisa diedukasi tapi perempuan juga.
View this post on Instagram
Lalu, apa pembelajaran terpenting yang dapat disampaikan ALB dari sesi-sesi diskusi tersebut?
Kepentingan laki-laki dan perempuan itu harus saling mendukung, karena masing-masing kelompok juga memiliki persoalan dan beban masing-masing. Nah, bila perempuan juga tidak mendapatkan edukasi tentang toxic masculinity, maka dia juga akan memposisikan dirinya dengan mindset yang tidak mendukung perubahan perspektif akan laki-laki. Maka dari itu, pentingnya konsep edukasi ulang mengenai prinsip-prinsip tradisional dan toxic masculinity yang sebenarnya merugikan bagi dia, dan mendapatkan informasi mengenai dampak dari gender roles.
Edukasi terhadap laki-laki tentang definisi ulang konsep maskulinitas itu penting, diajak mengerti permasalahan yang timbul dari ketidaksetaraan gender, sementara kalau perempuan diedukasi akan hak-haknya sebagai perempuan, jadi mencegah pelecehan dan diskriminasi.
Pada orientasi peran gender, perempuan sudah dikategorikan menjadi manusia inferior dan norma gender tradisional mengharuskan mereka menurut dan semacamnya. Jadi, kalau mereka mengalami kekerasan seksual, mereka tetap disalahkan karena sesuai orientasi peran gender ya begitu, “Perempuan baik-baik ya ngapain keluar rumah,” nah, dari situ kita bisa melihat kalau orientasi dan peran gender tradisional itu sendiri sangat merugikan bagi kelompok perempuan.
Tapi, di sisi lain juga merugikan laki-laki, karena dari orientasi gender, laki-laki hanya sebagai objek untuk keuntungan ekonomi, dan dari sudut pandang toxic masculinity, misalnya konsep emosi, laki-laki tidak boleh menangis. Jadi ia tidak bisa mengenali emosi dia sendiri, tidak bisa memproses perasaannya ketika ia kecewa, kemudian semua permasalahannya pun akhirnya dia pendam semua, kemudian dari kecil hingga dewasa mengendap lah itu.
Akibatnya, dia memiliki perilaku yang mudah terpancing, impulsif, senggol bacok. Banyak juga lahir sebuah kecenderungan bagi laki-laki untuk melakukan bunuh diri, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki cara sehat untuk menyalurkan keresahan mereka.
Padahal ironisnya, perempuan dituduh sebagai makhluk yang irasional dan emosional, tapi sebenarnya laki-laki yang seperti itu. Hal-hal sepele bisa mereka besar-besarkan. Maskulinitas yang toxic ya seperti itu…contohnya budaya harakiri di Jepang yang memberikan pria kematian yang terhormat, dan malah sedihnya laki-laki dipandang lebih keren kalau mereka bunuh diri dibanding cerita dan menangis akan masalah dia.
Akhir-akhir ini terdapat sentimen bahwa kasus-kasus kekerasan seksual baru akan ditindaklanjuti jika menjadi viral di media sosial, sehingga semakin banyak korban yang meminta bantuan lewat platform tersebut. Bagaimana ALB melihat realita ini sebagai cerminan sistem peradilan saat ini sehubungan kasus kekerasan seksual di Indonesia?
Tidak lepas dari yang namanya perspektif ya, terkait dengan mengapa banyak laporan kasus kekerasa seksual (KS) yang tidak ditanggapi, mau tidak mau kita harus mengakui perspektif penegak hukum kami, orang yang masih memiliki ideologi patriarki tidak memandang perempuan secara seutuhnya. Apalagi kemudian, jika yang melapor tidak didukung dengan status sosial yang tinggi, orang yang biasa saja, maka kalau kasusnya tidak ditindaklanjuti ya tidak akan ada konsekuensinya juga bagi mereka.
Kita bisa melihat praktik penegakan hukum di Indonesia masih belum bersahabat pada kelompok perempuan.
Masalah kelas sosial itu beda halnya kalau yang melaporkan itu artis atau pejabat, pastinya langsung ditindaklanjuti. Dari situ kita bisa melihat praktik penegakan hukum di Indonesia masih belum bersahabat pada kelompok perempuan. Baik di pengadilan, maupun di kepolisian.
Lalu, persoalan kelas sosial. RUU Pekerja Rumah Tangga yang sudah belasan tahun juga tidak disahkan dan dibahas. Karena mereka masih menganggap pekerja rumah tangga tidak memiliki power. Kita bisa lihat bahwa sistem kami masih dikelilingi dengan persoalan keadilan gender dan keadilan sosial yang berat sebelah.
Kita tidak bisa mengharapkan banyak, memang. Faktanya, saat ini kita bergantung kepada DPR untuk menetapkan regulasi untuk kepentingan perempuan, juga aparat penegak hukum. Maka dari itu, kita juga harus mencari celah supaya kepolisian juga tidak terus menunggu viral kasus kasus seperti itu, kalau yang melaporkan perempuan.
Kita bisa melihat bahwa “wajar” ketika laporan perempuan diabaikan, karena penegak aparat hukum juga masih memandang perempuan sebagai makhluk seksual. Begitulah mengapa kemudian, pertanyaan dalam pemeriksaan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan itu mendudukkan manusia perempuan sebagai makhluk seksual belaka. Yang dipertanyakan pasti apa sudah terjadi intercourse atau belum, baru kemudian akan dianggap pemerkosaan dan kekerasan seksual.
Hal-hal yang seharusnya tidak menjadi rangkaian pertanyaan pada kasus pelecehan atau pemerkosaan memperlihatkan kalau mereka masih belum memahami bahwa beberapa pertanyaan yang bersifat sensitif bisa kembali membangkitkan trauma korban. Korban disuruh bercerita, [padahal] dari perspektif psikologi, ya pastinya korban yang trauma lebih cenderung diam. Ketika ia dipaksa bercerita, maka dia pasti merasakan trauma dan pengalaman tersebut itu lagi, memorinya kembali lagi. Seharusnya yang seperti itu ya diminta untuk bercerita ketika sudah siap. Hal tersebut juga lebih baik untuk korban.
Catcalling saja masih belum dianggap penegak hukum sebagai kekerasan seksual. Kita lumayan banyak PR ya untuk hal-hal seperti ini, dan penegak hukum yang masih memiliki ideologi patriarki. Sistem hukum Indonesia masih sangat tidak berpihak dan sangat tidak adil pada komunitas perempuan.
Banyak lelaki merespon kasus-kasus KS yang marak terjadi dengan menyarankan perempuan agar lebih waspada, padahal anggapan ini malah menaruh tanggung jawab lebih pada korban maupun penyintas. Bagaimana menurut ALB?
Justru perempuan sebagai korban memiliki beban tambahan untuk berhati-hati. Tapi hati-hati dan waspadanya justru dalam konteks jangan keluar malam, berpakaian yang rapat. Padahal kita juga tahu, pakaian apapun yang digunakan perempuan serapat apapun, juga tetap mengalami kekerasan seksual.
Semestinya justru ketika di dalam sebuah komunitas ada penjahat, ya penjahat ini yang ditangkap, bukan sebaliknya. Penjahat tidak ditangkap, korbannya disuruh sembunyi. Ini logika yang terbalik, didasari oleh perspektif patriarki yang dominan. Mereka menyadari sebetulnya, di luar publik itu laki-laki mendominasi, maka dari itu perempuan harus waspada. Begitulah kenapa keluar sebuah ide untuk membebani perempuan untuk waspada, bukannya menciptakan sebuah ruang aman bagi perempuan di ruang publik.
Sampai saat ini juga catcalling masih belum dianggap sebagai isu serius, karena banyak laki-laki yang masih mempraktikkan norma gender tradisional yang merasa wajar bagi laki-laki untuk melakukan hal tersebut. Bahkan menjadi tidak wajar kalau laki-laki tidak menggoda perempuan yang lewat, dan juga menggoda perempuan yang lewat itu menjadi tolak ukur dia laki-laki pemberani, dalam konteks norma gender tradisional. Itulah mengapa kemudian, terkait sekali dengan pola asuh dan praktik norma gender tradisional itu sangat banyak di penegak hukum, dan masyarakat di sekitar kita.
Kita masih terjebak dalam apa yang namanya budaya yang melibatkan norma-norma gender tradisional. Dan ujungnya kita melawan arus sampai saat ini.
Pembahasan gender saja baru ada di universitas, dan tidak semua jurusan mendapatkan itu. Di sekolah formal mana ada konten edukasi begitu. Dulu ketika di sekolah ada gagasan untuk menyelenggarakan edukasi seksual sejak dini, malah dianggap ‘ngajarin’ perkara seks, padahal itu sebenarnya kayak belajar IPA ya.
Ada juga pembelajaran akan apa yang boleh dan tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain, nah ini kayaknya baru-baru ini malah baru masuk di pendidikan dasar, saya kemarin sudah liat kalo di SD swasta sih sudah mulai ada edukasi hal seperti ini ya.
View this post on Instagram
Menurut ALB, apa saja langkah-langkah yang harus diajarkan pada laki-laki untuk dapat mencegah kekerasan seksual?
Pertama, kalau memang dia agak sulit membangun empati, maka ajak dia berefleksi akan suatu hal yang terkait dengan dirinya. Ajak agar dia membayangkan kalau korban itu merupakan adik perempuan dia atau ibunya, atau teman perempuannya. Karena ini terkait dengan orang di sekitarnya, ini cukup efektif.
Kedua, yang bisa dilakukan adalah mengajaknya untuk berefleksi akan definisi ulang konsep maskulinitas, mudahnya bisa membahas toxic masculinity, mengenai paradoks maskulinitas, jadi bahan refleksi ya bagi laki-laki.
Sebagai bahan refleksi, biasanya kalau saya mengajak melihat orang lain dulu, misalnya “Kalau kamu di depan seorang pemerkosa, apa yang akan kamu lakukan?” gitu, biasanya dia akan bilang “Wah langsung gue hajar”, lalu kemudian tanya perasaan dia terhadap orang itu, terus kembalikan lagi pada dirinya, bayangkan saat ini kita mempraktikkan catcalling atau melakukan kekerasan pada perempuan, ya begitulah orang memandang kamu. Karena itu juga berkaitan dengan dia, pasti ini juga lumayan efektif.
Nah, tanya lagi, bagaimana perasaan dia soal cara membuktikan keberanian sebagai laki-laki? Ajaklah dia refleksi, sebenarnya apa sih yang dia inginkan? Nah ini bentuk positive masculinity, jadi apa sebenarnya yang dia butuhkan.
Sebagai laki-laki, inginnya ya tidak ada stigma kalau dia tidak memenuhi ekspektasi teman-temannya. Dia mau pakai baju terserah dia, pakai sepatu terserah dia, dan lainnya. Ketika laki-laki juga diajak refleksi, sebagai salah satu strategi efektif, kalau dia sudah tidak mempraktikkan toxic masculinity, juga dia tidak akan melakukan kekerasan seksual, karena hal tersebut merugikan orang lain dan dia juga tidak mau dipandang secara negatif oleh orang di sekelilingnya
Kemudian, pendidikan seperti apa yang seharusnya ditanamkan ke anak-anak sedari kecil yang bisa membangun pemikiran lebih inklusif dan melek kesetaraan gender?
Tidak memberikan jenis kelamin pada jenis-jenis pekerjaan, misal saya di rumah masak, anak saya ya kenalnya yang masak di dapur itu ayah. Anti mainstream dia ya.
Pekerjaan domestik itu tidak dianggap sebagai pekerjaan laki-laki atau perempuan, hal ini untuk keduanya. Satu-satunya hal yang tidak bisa dilakukan ayah dalam rumah tangga itu memberikan susu. Sisanya, ganti popok dan mandi ya bisa dilakukan juga oleh laki-laki. Memberikan susu juga sebenarnya bisa dari botol, jadi ya dari situ saja sudah tidak ada peran gender pada kerja rumah tangga.
Memperkenalkan banyak warna dan tidak mengkategorikan satu warna dengan warna laki-laki dan warna perempuan. Akhirnya dia juga seiring waktu juga bisa berbeda-beda, besok biru, bulan depan beda lagi.
Kemudian, memperkenalkan banyak jenis profesi juga, jadi tidak hanya terpaku pada kerjaan yang dikategorisasikan pada gender. Jadi sebagai perempuan ya tidak sebatas perawat. Kalau menanyakan anak cita-citanya jadi apa ya pasti: dokter, guru, perawat. Maka dari itu harus diperkenalkan dengan jenis profesi yang lebih luas lagi.
Dalam konten superhero mungkin juga ya, jangan dibatasi hanya pahlawan laki-laki, tapi lebih diperkenalkan kalau perempuan juga bisa menjadi superhero.
Ketika sudah punya anak laki-laki, maka penting sekali untuk memperkenalkan dia akan pekerjaan domestik dan tanggung jawab, karena itu selain sebagai investasi bagi dirinya untuk nanti dia hidup sendiri, juga sebagai semacam skill dasar bagi dia sebagai manusia. Jadi laki-laki dan perempuan, keduanya harus diperkenalkan pada pekerjaan domestik. Tapi kalau nanti dia tidak suka, ya tidak apa. Perempuan bisa melakukan hal yang biasa dilakukan laki-laki, dan laki-laki juga bisa melakukan hal yang biasa dilakukan perempuan
Hal-hal mengenai ekspresi juga, ya perempuan bisa feminin dan maskulin, laki-laki bisa menjadi feminin dan maskulin. Kita jangan memilah ekspresi, jadi kalau anak perempuan mau potong rambut pendek, ya biarkan. Mungkin mereka lebih suka dipotong pendek. Karena kalau sama anak saya sendiri, dia merasa rambut pendek lebih praktis.
Dengan kita memperkenalkan berbagai kehidupan ini, kita berharap juga sebagai orang tua memberikan bekal sayap kepada dia, melalui referensi pengetahuan dan memberikan tameng untuk dia yang sudah dibekali skill dan pengetahuan yang dia miliki. Dengan tidak memberikan batasan pengetahuan, kita berharap anak kita akan memiliki banyak pilihan yang hampir tidak terbatas. Kalau misal kita ingin menyekolahkan anak kemudian jurusannya ditentukan sama kita, ya itu semacam memotong sayapnya.
Kalau anak laki-laki juga misalnya mem-bully temannya yang perempuan hanya karena ia perempuan, maka harus dijelaskan dengan bahasa yang sesuai kalau itu juga suatu kekerasan yang berbasis gender.
View this post on Instagram
Apa harapan ALB dalam waktu dekat mengenai masa depan kita dalam menuntaskan kekerasan terhadap perempuan?
Kami di ALB inginnya pihak yang memiliki kewenangan besar juga turut berpartisipasi dalam upaya ini, apalagi pemerintah. Kami sebenarnya sudah mulai membaik, angkatan kerja perempuan juga mulai membaik karena sudah ada Pengarusutamaan Gender (PUG).
Kenapa dibebankan kepada pemerintah, ya karena cakupan mereka kan luas, dan tersedia di daerah-daerah. Kalau dari mereka sendiri sudah berupaya mencegah kekerasan yang berbasis gender, tentu lebih mudah bagi mereka dibanding sipil yang ruang gerak dan reach-nya terbatas.
Persoalan berbasis gender ini masih dianggap sebagai urusan perempuan saja, padahal mestinya pihak pemerintah dengan kewenangan luas itu terbuka dan terlibat dengan kelompok laki-laki dengan edukasi melalui program buatan mereka.
Kami juga mengharapkan dana desa yang memang disalurkan untuk pemberdayaan perempuan. Jangan hanya pembangunan saja. Harapan saya itu agar pihak perempuan juga dilibatkan dalam proses Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa). Jarang sekali perempuan dapat ikut acara Musrembang. Mengingat aspirasi mereka juga aspirasi yang benar benar dibutuhkan pada kehidupan sehari-hari.
Dari hasil riset saya, karena program yang dibentuk itu tidak dirancang oleh pihak perempuan, maka program tersebut tidak ramah terhadap kebutuhan perempuan. Misal, kalau desa tersebut masih asing dengan adanya toilet di dalam rumah, mereka menempatkan toilet itu di luar, atau kamar mandi terpisah dari rumah. Sebagian daerah itu tidak punya toilet, jadi buang air di kali atau di semak-semak. Nah, ibu-ibu kan punya persoalan-persoalan sendiri kalau ditengah malam, tidak aman baginya untuk punya hajat ditengah malam.
Maka, dibutuhkan akses MCK yang lebih aman untuk perempuan sebagai salah satu kebutuhan yang basic. Tapi hal tersebut kan tidak terpikirkan kalau tidak diajukan pada rancangan program yang didominasi oleh laki-laki.
Harapan saya, masalah kesetaraan gender itu tidak dipandang dengan hanya sebatas aturan atau regulasi. Biasanya kalau orang pemerintah bikin apapun, pasti membuat landasan undang-undang nomor sekian. Mestinya ya, dipraktikan pada banyak program untuk mencegah kekerasan berbasis gender.
Semoga akan semakin banyak laki-laki yang terpapar isu kesetaraan dan keadilan gender, dan dengan demikian, kita seperti memotong rantai permasalahan kekerasan berbasis gender.
Bila banyak laki-laki yang bisa sadar dan memahami buruknya kekerasan terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender, saya berharap ketidakadilan berbasis gender serta kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya semakin berkurang.