Mencari Posisi Anak Indonesia di Konteks Masyarakat Hari Ini
Melihat keadaan mentalitas dan karakter anak-anak Indonesia di masa ini mulai dari sudut pandang orang tua hingga sudut pandang anak muda.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Gernas Geraldi
Desain: Tiana Olivia
Perkembangan teknologi saat ini membuat kita untuk mengakses berbagai macam informasi dari berbagai sumber. Selain berdampak pada anak muda, anak-anak pun turut terpapar informasi yang tidak didapat di sekolah maupun keluarga. Tak jarang, efek dari hal ini adalah timbulnya idealisme sedari dini yang berpengaruh pada cara komunikasi mereka. Atas dasar tersebut, kami bertanya kepada berbagai macam tokoh, dari Sammy Bramantyo hingga Agan Harahap, untuk mendengar opini mereka.
Agan Harahap
Seniman
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat. Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Yang bilang bahwa gen Z itu pemalas, idealis, ignorant sudah tentu adalah mereka yang berasal dari generasi-generasi yang sebelumya. Terutama mereka dari gen X awal dan dari generasi yang lebih tua lagi. Menurut saya, ya biarin sajalah. Mungkin bagi mereka standar dan cara pandang dari generasi-generasi sebelumya itu sudah out of date. Tapi ya gimana lagi? Namanya juga orang tua. Ya kan?
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Ya biasa ajalah. Toh pasti ada suatu masa dimana kita berbeda pandangan dengan orang tua kita. Saya masih ingat ketika orang tua saya menyebut kegiatan browsing dengan istilah ‘main internet’. “Agan, jangan terlalu banyak main internet!” (tertawa) Padahal saya sedang belajar tutorial fotografi dan Photoshop yang akhirnya menjadi sumber utama kehidupan saya hari ini.
Begitu pula yang terjadi dengan anak-anak saya yang lahir dalam rentang generasi Alpha. Yang dalam kesehariannya mengidolakan tokoh-tokoh ‘ajaib’ semacam Ryan Kaji (Ryan Toys Review), Si kembar Emma and Kate, Kaycee and Rachel in Wonderland Family. Bayangkan, WONDERLAND FAMILY! Kalau standar keluarga idaman mereka dibentuk oleh YouTube, lalu mereka mau anggap keluarganya apa? Atau bagaimana anak-anak itu bisa sebegitu tergila-gilanya dengan lendir-lendir slime, sampai terpaksa saya harus bisa membuat slime sendiri demi menghemat uang belanja. Dan ribuan hal-hal lain yang semakin tak bisa diterima oleh akal sehat saya.
Buat saya, biarlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai zamannya. Sebagai orang tua, kita tidak bisa melulu memaksakan anak-anak kita untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan standar kita. Saya yakin, bahwa beberapa tahun ke depan, saya mungkin sudah tidak bisa lagi mengikuti tren/gejala digital yang terjadi yang akan melanda mereka. Tapi ditengah revolusi digital yang edan ini, ada nilai-nilai tertentu yang selalu saya tanamkan kepada mereka, bahwa walaupun bapak ibumu tidak mampu membelikan slime, LOL Dolls, aneka PONY, dsb. Itu bukan berarti mereka hidup di tengah keluarga yang tidak wonder. Perhatian, kasih sayang atau bahkan bentakan dan omelan sekalipun justru itu yang akan membuat mereka merasakan hidup dalam THE REAL WONDERLAND FAMILY ala keluarga Harahap.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Saya mungkin memang tidak sehebat Dr. Bernard Mahfouz, pakar vaksin ternama dari Amerika itu. Tapi kalau untuk anak, saya tidak mau eksperimen. Di tengah gempuran teknologi digital yang semakin menggila dan yang semakin hari semakin tak masuk akal ini, saya memilih yang pasti-pasti sajalah dalam membesarkan anak. Untuk orang tua lain, terserah!
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Sebaiknya para orang tua semacam itu sudah harus sadar akan konsekuensi yang akan dihadapi oleh anak-anak mereka di masa mendatang. Bayangkan, bagaimana kalau suatu saat anak mereka kelaparan dan uang mereka hanya cukup untuk makan di warung Indomie di daerah Jawa Barat. “What is bala-bala? OMG why cengek is so spicy?” Atau masa iya mereka akan berkata kepada mamang penjual Indomie, “Can I order half boiled egg with toast?”
Sebetulnya alasan saya tidak membesarkan anak dalam Bahasa Inggris bukan semata-mata karena rasa nasionalisme. Tapi lebih karena saya sadar bahwa kemampuan berbahasa Inggris saya terbatas. Dan saya tidak rela kalau anak-anak saya yang masih kecil itu bisa lebih lihai dari saya (tertawa).
Sammy Bramantyo
Seringai, Lawless Jakarta Group
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Saya kurang setuju sih. Dengan banyaknya pebisnis, anak-anak muda yang berkarya dan berprestasi, nama-nama dengan nilai kepemimpinan yang tinggi, yang usianya masih sangat muda saya rasa itu mematikan stigma bahwa generasi mereka pemalas. Mungkin bukan pemalas tapi ingin semuanya seefektif mungkin. Internet merupakan game changer dalam peradaban manusia yang membuat semuanya serba cepat. Jika kita sudah dimudahkan tentunya kita tidak lagi ingin repot. Kalau ada kelemahan menurut saya mungkin generasi ini bisa tumbuh menjadi generasi yang kurang tahan banting, karena semuanya terasa terlalu mudah dari awal. Ignorant saya rasa juga mungkin tidak segitunya. Banyak dari mereka yang bahkan sudah sadar lingkungan, sosial, masa depan, dll. Ignorant disini mungkin merupakan pride bahwa generasi mereka yang paling keren atau paling pintar. Tapi toh semua generasi juga ada sifat seperti itunya.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Bagus. Artinya mereka berpikir progresif. Walau kadang suka ada yang sok pintar tapi tidak bermodalkan kebijaksanaan yang hanya bisa didapatkan dari pengalaman. Menurut saya sah-sah saja jika anak memiliki pandangan hidupnya sendiri, tapi pribadi yang labil seringkali menyertai jiwa yang muda. Belum lagi masalah dan tekanan sosial yang datang menyusul. Baiknya mungkin jangan terlalu cepat menyimpulkan dan memutuskan. Hidup masih panjang kok.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Pertanyaan yang bagus. Sejujurnya saya tidak pernah terlalu memikirkan hal ini karena seharusnya rata-rata orang tua sudah memiliki cukup waktu untuk riset dan memutuskan yang terbaik untuk anaknya. Dan semua itu kan butuh pembuktian. Kalau saya sendiri, untuk urusan pseudoscience yang berhubungan dengan kesehatan hampir tidak pernah saya praktekkan. Misalnya anak saya panas tinggi sampai 40 derajat, saya langsung kasih obat atau bawa ke dokter. Tidak lagi memberi kompres dan mengandalkan tubuhnya untuk sembuh dengan sendirinya.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Ini saya menyayangkan. Bahasa adalah identitas. Ketika anda mengutamakan anak Anda untuk fasih berbahasa Inggris, pastikan bahwa dia akan go international kelak. Karena kalau tidak ya tidak perlu segitu fasihnya juga bak orang bule. Bahasanya sendiri jadi lebih penting kalau sang anak menetap di negaranya. Merupakan PR besar untuk orang tua supaya anaknya bisa berbahasa Inggris yang bagus tapi juga tetap bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Namun saya juga paham tantangannya. Ketika tidak sering dilatih di rumah, kemampuan berbahasa akan agak lemah. Nah, tapi bahasa mana yang akan dilatih? Membagi porsinya untuk sama rata saya rasa tidak mudah. Saya salut kepada anak yang fasih cas-cis-cus dua bahasa atau lebih. Salut ke anak, salut juga ke orang tuanya.
Faye Simanjuntak
Aktivis Rumah Faye
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Aku kurang setuju untuk mengkategorisasikan sikap idealis sebagai hal yang negatif. Dengan melekatkan ajektif idealis dengan hal negatif seperti malas dan ignorant, sepertinya idealisme diremehkan sebagai sudut pandang yang kekanak-kanakan. Padahal, bukannya untuk mencapai goals masing-masing di dalam hidup dibutuhkan idealisme? Memang benar, kita juga tidak bisa merendahkan hal-hal materi atau fisik. Tetapi, harus ada keseimbangan antara pemikiran idealis dan realistis.
Dalam pekerjaanku di Rumah Faye, kami sering bekerja sama dengan para gen z dan millennial. Semua yang aku kenal adalah pekerja keras yang datang menawarkan kolaborasi karena idealisme mereka masing-masing. Yaitu, ingin melihat Indonesia yang lebih baik lagi. Mencintai Indonesia tidak berarti mengabaikan kesalahan atau hal buruk yang terjadi di tanah air ini. Mencintai Indonesia berarti bahwa kita, sebagai warga negara, bertanggung jawab untuk mengakui kelemahan bangsa kita dan bekerja sama untuk terus memperbaiki diri. Seperti halnya aku dan Rumah Faye percaya bahwa, di dalam dunia ideal, perdagangan dan eksploitasi anak tidak terjadi lagi.
Aku memiliki berbagai teman remaja yang membuat gerakan ataupun organisasi mereka sendiri. Contohnya, Gabriella Hattari (Woke Human, @wokehuman), Sabrina & Elena Bensawan (Saab Shares, @saabshares), RJ (E Waste-RJ, @ewasterj), Jordinna Joaquin (Kudeta Mag, @kudetamag), dan Melati & Isabel Wijsen (Bye Bye Plastic Bags, @byebyeplasticbags) adalah sebagian dari betapa banyaknya changemaker muda yang aku kena. Gak kehitung organisasi atau komunitas yang digagas dan dikendalikan oleh anak gen z atau dewasa millennial dengan mengambil inisiatif untuk berpartisipasi dalam Forum Anak Indonesia (@forumanakindonesia), UNFPA ID Youth Advisory Panel (@unfpayouthid), Yayasan Lentera Anak (@lenteraanak_), dan sebagainya. (hello friends, i love you & i’m so proud to see what you’re doing!!). Ini hanya beberapa bisnis, gerakan, dan yayasan yang didorong oleh upaya dan kerja keras anak muda.
Aku percaya semua gerakan ini bermula dari kemampuan gen z dan milenial untuk berpikir dalam cara yang idealis sambil mengamati Indonesia secara realistis. Indonesia memiliki berbagai kelemahan, tetapi anak muda juga bisa memberantas kelemahan itu untuk menyempurnakan Indonesia. Contoh-contoh ini tidak hanya memperlihatkan idealisme anak muda, tetapi bagaimana anak Indonesia tidak malas atau ignorant. Jika kami diberikan kesempatan untuk berbuat suatu, kami dapat melakukan hal yang luar biasa. Setiap generasi pasti ada aja orang malas atau ignorantnya. Tapi, dalam cara yang sama, setiap generasi ada banyak juga yang idealis dan sanggup bekerja keras untuk nilai-nilai yang mereka percaya.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Aku sadar penuh akan privilege lahir di dalam keluarga yang memiliki nilai-nilai yang aku sepakati. Tapi bagaimana aku memutuskan bahwa aku setuju dengan nilai-nilai tersebut? Hasil dari self-examination. Aku nonton video Youtube, baca artikel, bahkan bertanya kepada orang dewasa, dan diskusi dengan teman di sekitarku tentang pikiran mereka mengenai isu yang dianggap sensitif. Dari begitu banyak informasi dari luar sana yang diterima, kita harus dapat memutuskan informasi mana yang bisa dipercaya atau tidak. Meskipun aku percaya kita semua mesti membuat orang tua kita senang, bukan berarti apapun yang diajarkan orang tua harus kita telan bulat-bulat.
Ada baiknya, semakin dewasa, semakin kita bisa memilah-milah. Menurut aku, hidup seharusnya penuh dengan usaha untuk menelaah lagi kepercayaan yang selama ini kita punya dan berani punya opini pribadi. Dengan begitu, baru kita dapat memutuskan nilai-nilai pribadi mana yang ingin kita pegang teguh dalam menjalani hidup dan gak mudah terpengaruh sama orang lain. Good for you kalau nilai-nilai yang kamu pahami dan percaya sejalan juga dengan nilai-nilai yang diajarkan di rumah. Kalau enggak, terus aja belajar mengenali diri sendiri sambil banyak-banyak diskusi sama orang tua biar saling mengerti, bukan malah terus bergesekan karena nilai-nilai yang berbeda.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Aku bukan profesional dalam persoalan psikologi anak atau ilmu parenting, jadi aku sendiri merasa belum tentu bisa menjawab pertanyaan ini secara akurat. Kalo ngomongin anak, menurutku, opini seseorang menjadi tidak relevan jika tidak didasari dengan fakta dan data. Contohnya dalam konteks kesehatan, orang tua yang menganut anti-vaksin itu membahayakan anaknya dan anak orang lain di sekelilingnya. Lebih bahayanya lagi, banyak public figure yang secara terang-terangan mengemukakan stance mereka ini, lalu diikuti oleh fans mereka yang mungkin langsung saja ikut-ikutan tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Atau seperti orang tua vegan yang lalu juga menerapkan gaya hidup tersebut ke anak mereka yang jelas butuh nutrisi lebih kompleks untuk bertumbuh kembang.
Tren pseudoscience yang lain, seperti aku sering lupa ngeringin rambut sebelum keluar. Orang tua teman-temanku suka ngomongin, “Awas loh, nanti sakit.” Padahal, tidak ada data yang menegaskan kepercayaan itu. Anak-anak seharusnya tidak dijadikan ‘bahan percobaan’, dan aku percaya, seringkali, orang tua gak bermaksud untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai bahan percobaan. Tapi seringkali karena kurangnya pengetahuan atau sikap tidak mau mencari tahu yang menjadikan gaya hidup tertentu justru merugikan anak.
Aku mau memuji sikap salah satu penyanyi perempuan tanah air yang memutuskan tidak mengumbar foto atau gambar anaknya di media sosial karena dia sadar bahwa setiap anak punya privasi mereka masing-masing dan sebelum si anak bisa menyampaikan pendapat, maka ruang pribadi tersebut butuh dijaga oleh orang tua.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Jujur, pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sering melintas di pikiranku juga. Sebagai anak yang bertumbuh kembang dalam berbagai sekolah misionaris dan internasional, aku dari kecil kebiasaan berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia bakuku kurang lancar, dan kalo ngomong juga masih suka salah-salah atau terasa kaku di mulut.
Kalau kita ingin gen z menjadi ‘lebih Indonesia’, kita juga harus berpikir: Indonesia itu apa? Indonesia itu bhinneka tunggal ika. Indonesia bukan hanya soal toleransi, tetapi juga penerimaan akan sesama. Betul kita perlu lancar berbahasa Indonesia, baru bahasa lain. Tetapi, mengkerdilkan anak-anak yang ingin belajar bahasa lain dengan alasan tidak nasionalis rasa-rasanya tidak perlu.
Menurutku teman-teman yang punya kesempatan untuk belajar bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya seharusnya sih tetap mengutamakan paham bahasa Indonesia. Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri.” Aku pribadi dari kecil suka baca. Tadinya aku tidak pernah membuka pintu ke dalam dunia sastra Indonesia.Hanya setelah aku baca Cantik itu Luka oleh Eka Kurniawan (buku yang kebetulan aku temukan dan sudah menjadi salah satu novel favorit aku), baru aku mulai mencari novel lain oleh penulis Indonesia. Lewat dukungan guru, teman-teman, dan orang tua, aku dapat mengambil inisiatif untuk mencari sastra Indonesia sendiri. Jelas, keadaan ini gak bisa disama ratakan untuk semua anak Indonesia.
Dewi K. Rahmayanti
Penulis Blog Catatan Lepas
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Tidak setuju, meski tidak bisa dipungkiri saya pun pernah berprasangka demikian terhadap anak “zaman sekarang”. (Btw, IMHO the word Millennials is overused). Kemudian yang saya pahami, setiap generasi memiliki zamannya sendiri. Bahkan saya dan orang tua pun mengalami yang namanya generation gap, hal yang sama dialami generasi saya dan anak-anak yang dilabeli millenials dan generasi Z tersebut. Lingkungan dan kemajuan teknologi yang beda, akan membentuk karakter yang beda pula. Anak sekarang malas? Wajar, karena teknologi memudahkan mereka sehingga mereka tidak terlatih untuk berusaha lebih keras. Tapi apakah mereka benar-benar malas? Tidak, mereka hanya memiliki solusi yang beda dari generasi saya, yang kadang lebih praktis.
Apakah idealis? Hmmm, sebenarnya menurut saya bukan idealis, tapi lebih pada keras kepala (tertawa). Tapi anak-anak sekarang memang lebih memiliki “identitas”, hal yang mereka tonjolkan. Ini penting sih, dengan identitas inilah mereka akan dilihat berbeda dari yang lainnya. Dengan berada di antara orang-orang hebat, dan ukuran hebat yang bermacam-macam, maka kita perlu berbeda. Sepertinya ini yang saya tangkap dari anak zaman sekarang. Kalau ignorant? Tidak juga. Tapi dengan attention span yang pendek dan kebiasaan untuk tidak terlalu fokus pada sesuatu, membuat mereka juga mungkin tak terlalu menaruh perhatian pada apa yang terjadi di sekelilingnya, apalagi jika dirasa hal tersebut tidak terlalu penting dan berimbas langsung pada hidup mereka.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Ini hal yang wajar, karena lagi-lagi setiap generasi memiliki zamannya masing-masing. Dengan hubungan orang tua – anak zaman sekarang yang lebih kasual, wajar jika akan tidak terdoktrin oleh pandangan dan moral orang tua. Terlebih lagi dengan mudahnya anak mengakses informasi, perkembangan teknologi yang memudahkan mereka mengenal siapa saja, maka wajar juga jika pada akhirnya anak akan memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan orang tua.
Eh, ini terjadi di setiap generasi bukan sih? Time of rebellion gitu (tertawa). Sebenarnya, yang lebih penting untuk ditanamkan orang tua pada anak bukan pandangan atau moral, tapi lebih mendasar lagi dari itu, yakni value masing-masing keluarga. Misal, di keluargaku memiliki value kindness dan fair. Maka itu yang harus diajarkan ke anak, sehingga ini yang bisa diaplikasikan pada setiap hal, bagaimanapun dia bereaksi terhadap faktor eksternal dan internal.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Sebenarnya kalau melihat tren masa kini, tidak hanya anak yang perlu disekolahkan dan diajari bermacam hal, tapi juga orang tuanya. Kemajuan teknologi terutama untuk mengakses informasi menjadikan banyak orang tua gagap dalam mencerna apa yang masuk ke mereka. Tuntutan zaman yang serba cepat jugalah yang akhirnya mau tak mau membuat orang tua yang belum selesai mencerna, meneruskan apa yang mereka pahami ke anak tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang. Pendapat saya bagaimana? Seperti opini saya di atas, orang tua bisa saja coba-coba, tapi siap-siap saja patah hati atau kecewa karena pada akhirnya anak akan menemukan kebenarannya masing-masing, jalannya masing-masing.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Hm, mungkin ini sudah tuntutan zaman ya? Karena semakin ke sini, batas-batas teritorial makin rancu bukan? Penguasaan Bahasa Inggris menurut saya penting, jadi wajar juga jika ada orang tua yang lebih mengutamakan belajar Bahasa Inggris. Tapi pendapat saya, sebenarnya ada yang lebih penting lagi dari penguasaan bahasa, yakni kemampuan berkomunikasi. Bukannya bahasa sebenarnya hanyalah tools untuk berkomunikasi? Jadi, bahasa apapun yang dipelajari, selama itu efektif untuk berkomunikasi, why not? Dan karena bahasa adalah alat komunikasi, maka akan lebih baik jika dia berbahasa yang dipahami oleh orang sekitarnya. Percuma dong dia belajar Bahasa Inggris tapi tak bisa berkomunikasi dengan orang sekitarnya? Atau sayang sekali kalau dia menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi justru membuat komunikasi tidak efektif. Demikian.
Anastasia Carolina Ranti
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Saya tidak setuju kalau gen Z dibilang malas dan ignorant, karena saya ngerasa kurang pas kalau kita menjudge mereka berdasarkan cara kita dibesarkan dulu. Zaman berubah. Menurut saya mereka lebih terpapar ke banyak hal sehingga mereka justru menjadi pribadi yang lebih kreatif dan terbuka.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Justru saya sangat setuju mereka mempunyai pandangan sendiri. Ruang diskusi antara orang tua dan anak semakin terbuka. Ada hal-hal yang mungkin mereka lebih paham dan ada hal-hal yang mereka kurang paham. Jadi saling mengisi. Justru saya senang kalau anak saya kritis.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Saya rasa tidak ada orang tua yang punya pikiran untuk menjadikan anaknya sebagai kelinci percobaan karena gaya parenting pilihan. Saya rasa semua punya kebebasan untuk memilih tipe parenting seperti apa yang mereka mau atau dianggap paling cocok. Tidak ada formulanya mengenai parenting paling ideal itu seperti apa. Tiap anak beda, tiap keluarga juga beda.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Karena zaman sepertinya sudah berkembang dengan pesat ya. Dulu kelas 1 SD saya baru belajar payung itu umbrella sekarang anak kelas 1 SD sudah bisa membuat satu paragraf dalam Bahasa Inggris. Saya rasa bahasa ibu tidak akan pernah bisa ditinggalkan dan Bahasa Inggris adalah bagian dari perkembangan zaman yang tidak bisa dihindari sehingga sekarang bahasa menjadi hal lebih kompleks saja sih dan sepengetahuan saya otak anak itu seperti sponge bisa menyerap banyak hal. Saya pikir belajar banyak bahasa adalah hal yang baik juga.
Adam Alfares Abednego
Co-Founder MenjadiManusia.id
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Sebagai salah satu bagian dari generasi tersebut, saya rasanya tidak bisa memungkiri itu. Setidaknya dari pengamatan saya sendiri, baik di lingkup pertemanan dan diri saya sendiri, dari ketiga sifat yang dipaparkan setidaknya ada dua yang benar-benar saya rasa. Pun saya banyak mendapatkan informasi dari beberapa generasi-generasi sebelumnya, bahwa generasi kami (Y & Z) merupakan generasi yang serba instan. Tetapi lebih dari itu banyak faktor yang benar-benar mempengaruhi mengapa kita menjadi seperti tersebut, seperti kita hidup di masa-masa transisi dari konvensional ke serba online, arus informasi yang sangat tinggi, dan teknologi super canggih. Kalau kita bisa menarik mundur, yang menciptakan dan mendambakan tersebut juga generasi-generasi sebelumnya, bukan? Kasarnya, kita adalah generasi yang benar-benar hidup di masa transisi. Dan lagi, siapa tahu generasi-generasi sebelumnya pun sama seperti ini, ada masa-masa kala mereka menjadi seorang pemalas yang idealis, namun karena arus informasi tidak sebanyak sekarang yang membuat kita sangat mudah sekali mendapatkan informasi yang kita inginkan, gratis, sampai-sampai kita sulit membedakan mana yang benar dan tidak.
Tetapi rasanya jika kita saling menyalahkan tidak pernah ada habisnya. Namun sebenarnya, statement seperti itu sangat bisa kita tepis, millennials dan Z merupakan generasi yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar dan juga isu-isu sosial. Sudah berapa banyak wirausaha sosial yang dibangun dan isu-isu sosial yang diangkat dengan atas dasar kemanusiaan, yang mungkin generasi sebelumnya sangat cuek tentang isu tersebut.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Prosesnya akan selalu seperti itu. Kita terlahir di lingkungan keluarga kita sendiri, mau tidak mau kita harus mengikuti sebagian besar pandangan dari orang tua kita. Meski terkadang kita tidak setuju, tetapi rasanya kita tidak punya kuasa lebih untuk menentang apapun yang mereka sematkan ke hidup kita. Beranjak dewasa, kita sedikit demi sedikit mendapatkan peran yang cukup untuk bisa memilih jalan atau pandangan yang kita rasa benar. Perlu dicatat bahwa orang tua kita hidup pada masanya, mereka akan mengajarkan apa yang menurut benar, meski dengan tujuan sama-sama untuk kebaikan anaknya. Mereka tidak hidup di masa kita sekarang, dan membandingkan pun bukan jalan yang tepat. Saya percaya bahwa suatu pandangan dapat tercipta dari pengalaman atau jam terbang yang telah dilalui manusia. Itu sebabnya mengapa sebuah pandangan tiap-tiap manusia akan berbeda, karena masalah dan kehidupan yang dilalui tiap-tiap dari kita berbeda.
Mungkin ketika kita menjadi orang tua pun akan melakukan hal yang sama, kita akan memberikan pandangan yang menurut kita benar kepada anak-anak kita, hingga akhirnya mereka akan menemukan pandangan mereka sendiri. Yang perlu dicatat adalah jika kita – yang sekarang masih belum memiliki keluarga sendiri – nanti telah berketurunan, kita mesti memahami bahwa tidak selamanya bisa memaksakan kehendak kita terhadap orang lain, terlebih kepada anak kita sendiri.
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Ini yang sulit. Pseudoscience parenting itu kan mudahnya sama aja seperti kebiasaan turun-temurun yang dilakukan orang tua untuk mendidik atau merawat anaknya, dengan tujuan supaya anak tersebut memiliki kelebihan, baik itu pintar, kuat, dan hal positif lainnya. Dan biasanya itu terjadi karena omongan mulut ke mulut dan berita-berita tidak benar yang dikonsumsi banyak orang tua, dan lagi sebagian besar yang menerima berita tersebut adalah orang-orang generasi sebelumnya yang mungkin belum memahami bahwa sebuah informasi seharusnya dicari kebenarannya dahulu sebelum dianggap benar. Apalagi paham anti-vaksin, itu adalah hasil kurangnya edukasi kepada masyarakat khususnya menengah ke bawah, dengan bumbu-bumbu agama, biasanya mereka akan mudah percaya bahwa vaksin merupakan hal yang dilarang.
Terlebih lagi pemberitaan dan kasus vaksin palsu yang semakin membuat masyarakat tersebut semakin yakin untuk tidak menggunakan vaksin. Pasalnya, agak sulit untuk mengedukasi para orang tua di generasi sebelumnya, sebab tingkat resistensi mereka akan sangat tinggi. Ada baiknya kita lebih banyak mensosialisasikan hal tersebut kepada teman-teman di generasi kita, supaya kita bisa menjadi generasi teladan bagi generasi-generasi berikutnya. Sekarang perihal bagaimana kita saja mengedukasi, dimulai dari lingkar pertemanan sendiri untuk memberitahu informasi-informasi yang tidak misleading. Toh sekarang tugas kita sebagai generasi-generasi yang melahirkan generasi-generasi berikutnya.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Ah, rasanya dua-duanya sama penting. Banyak menggunakan Bahasa Indonesia kadang selalu dibilang sok nasionalis. Sekalinya pakai Bahasa Inggris dibilang tidak cinta tanah air. Malah harusnya kita-kita bisa menguasai lebih dari dua bahasa itu. Saya sendiri menyesal dulu tidak banyak belajar bahasa-bahasa lainnya, karena sekarang baru terasa pentingnya bisa berkomunikasi dengan banyak bahasa. Bahasa kan diciptakan supaya kita bisa mudah berkomunikasi dengan banyak orang, supaya jejaring kita juga makin luas. Selama tidak melupakan bahasa sendiri ya tidak masalah lah.
Yerry Pattinasarany
Aktivis Gerakan Stop Cuek, Pencetus #strongfromhome
Pemikiran bahwa millennials dan gen Z itu malas, idealis dan ignorant masih lumayan kuat, Apakah Anda setuju terhadap statement tersebut?
Saya setuju, lalu cenderung pasif, memiliki daya tahan terhadap masalah yang sangat rendah dan labil.
Sebagian besar pandangan dan moral kita dibentuk dari ajaran orang tua kita. Namun, saat ini anak-anak dapat membentuk pandangan mereka sendiri yang berbeda dari orang tua mereka. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Semakin besarnya gap atau jarak orang tua dan anak terjadi yang menyebabkan banyak buah jatuh jauh dari pohonnya. Hal ini terjadi bukan hanya karena pola asuh, tapi berkembangnya budaya-budaya baru di millennials dan lahir komunitas-komunitas dan konten-konten media yang akhirnya lebih mendominasi mengasuh anak dibanding orang tua dan banyak orang tua tidak mau mengembangkan pola asuh, pola pendekatan, pola melayani anak-anak mereka sehingga gap atau jarak semakin lebar
Tipe-tipe parenting kini semakin luas, mulai dari tren pseudoscience sampai paham anti-vaksin. Apa pendapat Anda ketika melihat anak-anak menjadi “bahan percobaan” untuk mengikuti berbagai macam gaya hidup orang tuanya?
Ego, ambisi dan kompetitif dari orang tua yang sebenarnya banyak menjadi acuan orang tua untuk memutuskan pola didik atau kurikulum didik untuk anak mereka. Dalam menjalaninya pun banyak orang tua yang memaksa anak untuk menerima dan mengerti orang tuanya. Sedangkan itu tidak masuk akan, karena semua orang tua pernah jadi anak-anak tapi semua anak-anak belum pernah jadi orang tua, memaksa anak mengerti kita orang tua adalah hal yang tidak masuk akal.
Bagaimana Anda melihat gaya didik anak-anak zaman sekarang yang mengutamakan Bahasa Inggris sejak kecil namun malah kurang memahami bahasanya sendiri?
Dulu zaman Belanda ketika seseorang bisa Bahasa Belanda itu menunjukkan kelas kehidupannya lebih di atas, sekarang pun sama dan saya melihat indikasi hilangnya atau pudar semangat nasionalisme. Kedua, Keinginan untuk berbahasa Inggris tapi tidak dengan kesungguhan arti untuk benar-benar mempelajari secara profesional.