Menantang Toxic Masculinity dan Stigma Negatif Tentang Seksualitas bersama Inez Kristanti
Psikolog Inez Kristanti bicara tentang pentingnya mengedukasi diri demi menghapus stigma dan misinformasi terkait seksualitas dan kesehatan mental.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Inez Kristanti
Hidup di era digital yang menjamin ketersediaan informasi, tidak serta-merta membuka ruang berbincang yang konstruktif, terlebih dalam topik-topik yang masih banyak didera stigma seperti kesehatan mental, gender dan seksualitas. Tergerak untuk membuka dialog, Inez Kristanti pun memberi ruang lewat media sosialnya, sebuah tempat yang bebas rasa takut dan prasangka bagi siapapun yang ingin bertanya. Sebagai seorang psikolog, menemui macam-macam pertanyaan yang enggan dibahas oleh kebanyakan orang bukan hal asing baginya. Mulai dari seksualitas hingga toxic masculinity, tidak ada yang tabu untuk dibahas oleh Inez baik di media sosial maupun di perbincangan kali ini.
Boleh dibilang pembicaraan tentang seksualitas masih jarang diungkit di masyarakat kita. Apa yang menarik Anda untuk mengangkatnya?
Di Indonesia memang masih sedikit yang mengangkat tentang topik seksualitas, tapi hampir semua orang punya pertanyaan tentang itu. Dari situ mulainya concern saya, karena seksualitas adalah sesuatu yang memang dibutuhkan dan ditanyakan lewat pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang akhirnya tidak terungkap, penasaran sendiri, tapi tidak ada atau sedikit wadahnya untuk bisa mempelajari tentang seksualitas dengan cara yang aman juga. Karena orang kalau mencari lewat internet, lewat situs pornografi, justru kalau mempelajari seksualitas lewat cara-cara tersebut, takutnya malah menemukan hal-hal yang misleading, atau justru belajar dari lingkungan pertemanan dan pacar yang sama-sama tidak tahu. Jadi lebih ke arah karena saya merasa minimnya pembicaraan tapi banyak yang membutuhkan dan mempertanyakan.
Ada anggapan ketika kita memberikan informasi tentang edukasi seksual, seakan kita menginspirasi atau seolah memperbolehkan
Menurut Anda, sebenarnya darimana akar stigma tentang seksualitas muncul?
Salah satu hal yang bisa mempengaruhi itu, ya karena orang takut. Ada anggapan ketika kita memberikan informasi tentang edukasi seksual, seakan kita menginspirasi atau seolah memperbolehkan orang untuk berhubungan seks sebelum menikah. Itu yang sering ditakutkan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Ketika kita berpikir seperti itu, akhirnya kita menutup-nutupi informasi, berpikir kalau dia tidak tahu maka dia tidak akan terpapar. Kalau misalkan dia tidak diberi tahu, maka berpikirnya dia tidak akan cari tahu. Namanya anak muda, namanya remaja, keingintahuan mereka akan tetap berjalan. Kalau kita tutup-tutupi, dia akan mencari cara untuk mendapatkan informasi. Kenapa tidak informasinya diberikan oleh orang-orang yang memang kredibel, orang-orang yang memiliki informasi tepat dan tidak judgmental sehingga siapapun bisa membicarakan seksualitas lewat cara yang aman dengan orang terpercaya, jadi mereka bisa mempertimbangkan dan memutuskan dengan tanggung jawab.
Stigma-stigma tersebut juga memicu kontroversi rancangan RKUHP baru-baru ini, terutama tentang pendidikan seksualitas dan hubungan berpasangan. Sebenarnya, kemasan isu seperti apa yang paling bisa dipahami masyarakat kita?
Konotasi-konotasi seperti seks itu jorok, seks itu tidak boleh dibicarakan, yang seperti itu tidak membantu menurut saya.
Pendidikan seksualitas yang paling bisa diterima oleh masyarakat, menurut saya, adalah ketika dia dikemas dengan cara yang tidak mengancam, tidak memberikan judgment, dan juga ketika itu dibicarakan bukan sebagai sesuatu yang aneh ketika dibahas, bukan sebagai sesuatu yang “tabu”. Konotasi-konotasi seperti seks itu jorok, seks itu tidak boleh dibicarakan, yang seperti itu tidak membantu menurut saya. Tapi memang [konotasi] itu ada di masyarakat, sehingga asosiasinya kalau berbicara tentang seks itu bicara kotor, bicara jorok, padahal memang seksualitas adalah bagian dari tubuh kita yang perlu kita kenali juga, baru ketika kita kenal kita bisa memperlakukan hal tersebut secara bertanggung jawab.
Jadi poinnya adalah seperti yang saya bilang, yaitu tidak dengan cara yang mengancam dan menghakimi. Seringkali saya juga lihat pendidikan seksualitas yang mungkin memiliki maksud baik, namun tidak jadi bisa diterima dengan baik oleh anak muda karena kemasan yang diberikan sudah mengancam dan menghakimi. Banyak anak muda punya keingintahuan, mereka ingin bercerita dan didengarkan. Nah yang pada akhirnya membuat Instagram saya menjadi platform yang banyak digunakan orang, itu juga saya rasa karena curhatan-curhatan mereka tentang seksualitas – mau itu sesuai dengan norma atau tidak – itu saya tidak memberikan judgment, tapi didengarkan dulu, dan baru setelah itu diberikan informasi dan edukasi yang bisa menjadikan mereka membuat keputusan lebih bijak.
Tentang hubungan berpasangan, salah satu kunci untuk menjaganya tetap sehat adalah consent atau persetujuan. Boleh dijelaskan apa arti consent?
Consent itu adalah ketika seseorang memberikan persetujuan untuk melakukan hal-hal yang disetujui. Diam bukan berarti berarti ada consent. Persetujuan adalah ketika sudah disampaikan, diam belum tentu mau.
Orang baru bisa memperlakukan kita dengan cara tertentu ketika kita sudah memberikan persetujuan.
Dalam setiap hal di kehidupan kita kan membutuhkan consent, orang baru bisa memperlakukan kita dengan cara tertentu ketika kita sudah memberikan persetujuan. Contohnya ketika saya diwawancara seperti saat ini kemudian dimuat, harus dengan persetujuan saya juga. Saya memberi consent kepada Anda untuk memuat hasil wawancara. Itu sama saja dengan hubungan berpasangan, ada hal-hal yang secara relasional saja seperti misalnya mau dijemput tidak? Mesti diberikan consent dulu, bahwa dia memang mau didatangi ke tempat privatnya. Misalkan ketika pendekatan, sebenarnya dia tidak nyaman didatangi di rumah tapi kita nekat dan datang, itu tidak menghargai perasaaan si orang tersebut kan. Nanti akhirnya kalau kita sudah keseringan mengabaikan boundaries antara masing-masing individu dalam hubungan tersebut, jadinya mengarah ke hubungan yang tidak sehat.
Masih banyak misinformasi di antara masyarakat ketika membahas seksualitas, terutama pengertian tentang seksualitas yang disamakan dengan gender. Sebagai pendidik isu tersebut, bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Kalau kita membicarakan tentang seksualitas, itu sangat luas. Itu bukan hanya terkait hubungan sexual intercouse saja, itu juga mencakup hal-hal seperti citra tubuh, gender, itu juga termasuk dalam topik seksualitas secara luas. Ketika kita berbicara tentang gender, ya memang ada dialog-dialog yang akhirnya termasuk dalam diskursus seksualitas.
Hal-hal yang kita pahami tentang seksualitas sekarang juga dipengaruhi oleh peran gender.
Topik gender juga datang dengan berbagai isunya sendiri, seperti feminisme dan toxic masculinity. Bagaimana perbincangan tentang seksualitas dapat mengangkat pentingnya isu-isu gender seperti yang disebutkan?
Membicarakan tentang seksualitas itu tidak terpisah dari faktor-faktor gender, artinya adalah hal-hal yang kita pahami tentang seksualitas sekarang juga dipengaruhi oleh peran gender. Misalnya; ini contoh saja, kenapa perempuan lebih sedikit yang orgasme dibandingkan laki-laki? Itu kalau kita telusuri sampai akar, ada peran yang disosialisasikan bahwa kepuasan seksualitas itu menjadi milik laki-laki, perempuan perannya submisif saja, yang manut, yang ikut. Pada akhirnya ketika berhubungan seksual, kepuasan seksual menjadi diasosiasikan dengan kepuasan si laki-laki dan bukan kepuasan bersama. Itu kan sebenarnya isunya juga dari kesetaraan dalam mensosialisasikan seksualitas kepada laki-laki dan perempuan.
Lebih jauh mengenai toxic masculinity, adakah pendapat Anda tentangnya sebagai psikolog, terutama dari sudut pandang perempuan yang menjadi fokus konten Anda?
Toxic masculinity di sini maksudnya ketika laki-laki disosialisasikan untuk menjadi maskulin dan tidak boleh mengekspresikan emosi. Kalau menurut saya, istilah tersebut muncul dari sosialisasi-sosialisasi peran gender sejak kecil. Jadi memang ketika kita tumbuh, ada namanya sosialisasi peran gender. Kalau misalkan anak perempuan itu disosialisasikan dengan peran gender feminin, kemudian yang laki-laki itu dengan yang maskulin. Otomatis kan namanya masyarakat kita, dari situ mempelajari cara-cara berperilaku, budaya-budaya yang ada, kita mewariskan juga sesuatu yang memang sudah ada turun-temurun dan termasuk di situ bagaimana cara memperlakukan laki-laki dan perempuan.
Jika ditarik ke dalam konteks Indonesia dan masyarakat patriarkalnya, adakah toxic masculinity menurut Anda memengaruhi pandangan masyarakat/individu tentang definisi, juga hak dan tanggung jawab seorang pria itu sendiri?
Jangan sampai sosialisasi peran gender tersebut pada akhirnya membuat seseorang jadi terbatas secara psikologis dan menimbulkan masalah-masalah di kemudian hari.
Memang di masyarakat ini, perempuan masih diidentikkan dengan femininitas, dan laki-laki dengan maskulinitas, jadi yang tersosialisasikan dari kecil itu adalah peran-peran yang sesuai dengan tersebut. Sebenarnya setiap dari kita bisa mengadopsi gender tertentu atau memiliki kecenderungan tertentu, mau jadi feminin atau maskulin, kita punya kecenderungan masing-masing. Tapi yang menurut saya kita perlu berhati-hati, adalah jangan sampai sosialisasi peran gender tersebut pada akhirnya membuat seseorang – baik laki-laki maupun perempuan – jadi terbatas secara psikologis dan menimbulkan masalah-masalah di kemudian hari.
Contoh-contoh praktiknya misalkan kalau pada anak laki-laki, secara tidak sadar orang tuanya sering bilang yang seperti, “Laki-laki harus jadi jagoan”, “Jangan cengeng”, “Laki-laki kok nangis?”, seperti itu misalnya. Ekspresi emosi yang bebas ditekan sejak kecil, ketika ekspresi tersebut ditekan, anak tidak belajar bagaimana mengelola emosi-emosi yang tidak sesuai dengan peran gendernya menurut orang tuanya, tidak dikelola dengan baik. Pada akhirnya ketika dia dewasa, bukan berarti emosi-emosi tersebut menjadi hilang, tetap saja dia merasa sedih, kecewa, tersinggung, atau kalah dari orang lain. Ketika emosi-emosi tersebut muncul saat dewasa, kalau dia tidak bisa mengelolanya dengan baik, hal itu bisa termanifestasi dalam bentuk-bentuk yang kurang konstruktif, misalnya seperti kekerasan.
Juga dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender, itu juga terkadang kalau kita lihat dari sisi pelaku, memang ada sosialisasi maskulinitas yang begitu kuat dan akhirnya jadi kurang fungsional untuk orang tersebut. Jadi ketika dia memang merasa tersinggung, kalah, satu-satunya cara bagi dia untuk mengekspresikan adalah lewat marah, karena diajari dari kecil kalau marah boleh, tapi kalau menangis tidak boleh. Itu juga menjadi cara dia menjaga power-nya dia yang sejak kecil disosialisasikan bahwa anak laki-laki itu tidak boleh kalah, jadi kalau hal-hal seperti itu tertanam maka ketika dewasa juga terbawa.
Intinya, ketika kita mensosialisasikan peran gender, jangan sampai kita membatasi anak untuk mengekspresikan emosi, ajarkan juga cara dia mengeluarkan emosi dengan baik, kalau misalkan dia sedih itu bagaimana, marah itu bagaimana, cara-cara menyampaikan emosi yang sehat kepada orang lain.
Sebagai seorang psikolog, mitos-mitos apa saja yang kerap dipercayai masyarakat berkaitan dengan seksualitas, hubungan berpasangan dan juga kesehatan mental itu sendiri, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Mitos-mitosnya menjadi banyak karena kita tidak berusaha sendiri untuk mencari tahu yang benar, kita percaya saja kata orang.
Ada banyak sekali ya, banyak sekali mitos-mitosnya karena kan masyarakat dibiasakan untuk membatasi diri dan bukan mencari. Orang kan takut, misalkan, atau judgment seperti, “Masak sih nyari-nyari yang begitu?”, dan akhirnya menjadi membatasi diri, atau untuk yang masih di bawah orang tua ya pembatasan itu datang dari mereka. Tetapi justru bisa juga orang tua yang memberikan edukasi kepada anaknya sebagai bimbingan, tapi mitos-mitosnya menjadi banyak karena kita tidak berusaha sendiri untuk mencari tahu yang benar, kita percaya saja kata orang.
Mitos memang macam-macam, dari yang sekadar bilang kalau laki-laki perjaka atau tidak itu bisa dilihat dari lututnya (tertawa). Itu kan tidak masuk akal, sebenarnya tidak ada hubungannya. Ada juga yang bentuknya kesalahpahaman, jadi banyak orang yang tidak tahu bedanya antara pencegahan kehamilan dan penyebaran penyakit menular seksual. Jadi beranggapan kalau tidak ejakulasi di dalam tidak akan terkena penyakit menular seksual, padahal itu hanya memperkecil resiko kehamilan, bukan tidak mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil. Tapi ketika sudah ada kontak antar kelamin, ya sudah ada resiko untuk penyakit menular seksual. Ada juga stigma-stigma terkait HIV/AIDS yang percaya bahwa bisa ditularkan lewat makan, bersalaman, hal-hal seperti itu yang jelas tidak benar. Hal-hal itu kan jelas merugikan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), karena mereka kemudian mendapat penolakan dan perlakuan yang tidak adil.
Kalau dalam kesehatan mental, mungkin mitosnya adalah kalau orang yang pergi ke psikolog itu pasti mengalami gangguan jiwa. Padahal sebenarnya pergi ke psikolog untuk orang yang tidak punya gangguan jiwa tapi memiliki masalah itu juga bisa. Psikolog bisa untuk konseling, mencari alternatif penyelesaian masalahnya supaya dia menjadi orang yang lebih berdaya.
Advokasi di media sosial terkait kesehatan mental itu penting, tapi jangan sampai self-diagnose, itu yang bahaya.
Meningkatnya pembicaraan tentang isu kesehatan mental terutama di media sosial bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif. Namun adakah popularitas tersebut mereduksi makna dan fakta, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Advokasi di media sosial terkait kesehatan mental itu penting, tapi jangan sampai self-diagnose, itu yang bahaya. Kita menyebarkan informasi tentang pentingnya merawat kesehatan mental dan pergi ke profesional kalau misalkan sedang merasa tidak oke itu penting. Tapi yang tidak disarankan adalah mendiagnosa diri sendiri. Misalnya banyak pemberitaan tentang depresi atau bipolar, orang-orang jadi mendiagnosa dirinya, “Kayaknya saya bipolar,” padahal itu diagnosa diri sendiri, sehingga bukan hanya salah tapi berbahaya karena kondisi dia sebenarnya kan jadi tidak ketahuan dan cara penanganannya juga ikut salah.
Boleh saja sebarkan tentang kesehatan mental, itu baik dan sangat perlu, tapi hati-hati dengan mendiagnosa diri sendiri. Harus tetap pergi ke profesional untuk mendapatkan diagnosa yang tepat, karena mental health professionals itu kan sudah terlatih untuk mendiagnosa, melihat semua faktor yang perlu ditinjau dan dikaji untuk akhirnya membuat diagnosa. Itu tidak sesederhana kita membuka Google, kita cari daftarnya dan misalkan ada sepuluh dan kita punya delapan, terus langsung kita merasa punya gangguan psikologis tertentu. Memang di dalam dunia kesehatan mental profesional kita punya panduan diagnosa, apa saja yang ada di dalam seseorang tersebut untuk bisa didiagnosa. Tapi untuk bisa mencontreng satu indikasi saja itu butuh pemeriksaan yang benar-benar seksama, tidak bisa cuma dilihat, dipikirkan sebentar lalu, “Oke, check,” tidak bisa begitu.
Kepada mereka yang skeptis akan pentingnya seksualitas, hubungan berpasangan dan juga kesehatan mental, adakah yang ingin disampaikan?
Intinya menurut saya, kita tidak perlu takut untuk mencari informasi yang kredibel, berasal dari sumber yang terpercaya itu baik, informasinya semua ditampung saja. Nanti kalau misalkan terkait seksualitas ada nilai-nilai pribadi yang mau direfleksikan, mana yang mau dilakukan dan mana yang tidak, itu kembali lagi ke pribadi masing-masing orang. Tapi segala informasi yang memang betul dari pakarnya, seharusnya tidak akan merugikan tapi justru memperkaya perspektif supaya ketika kita mengambil keputusan dan sikap itu lebih bijak. Ini berlaku untuk semuanya, mau itu seksualitas atau kesehatan mental.
Mental yang sehat itu adalah ketika dia memiliki well being yang baik.
Menurut seorang Inez Kristanti, apa definisi dari mental yang sehat?
Mental yang sehat itu bukan sekadar kondisi tidak adanya permasalahan atau gangguan. Mental yang sehat itu adalah ketika dia memiliki well being yang baik. Artinya sebagai manusia itu punya harapan, produktif, bisa bekerja, bisa berkarya, dan bisa mengaktualisasikan diri sesuai cara yang kita mau dan juga bermanfaat bagi orang lain.