Menakar Posisi Dark Comedy dan Political Correctness pada Lanskap Komedi Kita
Berbincang dengan komedian Pandji Pragiwaksono, Sakdiyah Ma’ruf, hingga Adriano Qalbi soal political correctness dan penggunaan dark comedy pada era yang semakin progresif.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Avicena Farkhan Dharma
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
Seiring dengan perkembangan budaya populer yang semakin progresif, penerimaan publik terhadap sebuah produk budaya juga berubah, tak terkecuali soal komedi. Konektivitas yang terjalin melalui kehadiran internet pun membuat publik semakin mudah menerima dan menyebarkan opini mereka di ruang publik, sehingga mendorong terbentuknya sebuah diskursus secara online. Hal ini membuat perdebatan soal dark comedy dan ketersinggungan beberapa kali terjadi di ruang publik internet. Beberapa berpendapat bahwa komedian seharusnya memiliki sensitivitas lebih terkait topik yang dibicarakan, sementara lainnya merasa komedi adalah praktik kesenian yang tidak sepatutnya diberi batasan. Sebagai upaya pencarian perspektif soal fenomena ini, kami berbincang dengan beberapa stand-up comedian untuk mempertanyakan kembali soal sejauh mana batasan bagi dark comedy dan political correctness di Indonesia, serta posisi komedian dalam era yang semakin progresif hari ini.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Sebenarnya komedi Indonesia sama saja dari dulu sampai sekarang. Yang berbeda paling hanya jenisnya, jadi lebih banyak, terutama dengan adanya tambahan stand up comedy beberapa tahun terakhir. Kalo dari tipe komedinya sama saja. Kalau kita suka nonton Warkop dulu, mereka juga sudah mengkritik pemerintah, sering berkomedi ke arah blue (dengan cewek-cewek seksinya), kadang bahas SARA juga. P-Project lagu-lagunya dulu juga ada yang bahas soal PSSI (yang sampai sekarang tetap bermasalah). Komedi, seperti bentuk seni lainnya, memang seharusnya “mengganggu” sih. Art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Memang kejadian itu membuat kami para komedian jadi sedikit panik atau bahkan jadi takut dalam membuat lelucon. Namun, sepertinya yang lebih penting lagi, membuat kami belajar akan pentingnya mengeluarkan sebuah lelucon di panggung dan penonton yang tepat.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Sama seperti poin pertama, jenis komedi ini bukan hal baru di Indonesia. Hanya saja karena ada kanal digital jadi penyebarannya lebih terasa sekarang, karena di digital merasa lebih bebas berbicara apapun. Mungkin iya, itu pushing the limit, tapi satu menurut saya yang paling penting, harus tetap lucu. Saya percaya lelucon tuh mau bentuknya blue, dark, SARA, sexist, sadis, atau apapun lah, penonton tuh mau saja tertawa. Penonton tuh tidak mau tertawa sama lelucon yang tidak lucu. Sudah itu saja. Jangan lupa ada kata jokes di dalam dark jokes. Kalau tidak ada lucunya, jatuhnya jadi kasar doang.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Sensitivitas tentu perlu, tapi lebih untuk tahu mana materi yang lucu mana yang tidak. Mana materi yang bisa lucu untuk kita sendiri dan orang lain juga. Dan menurut saya, topik apapun boleh untuk dijadikan materi komedi. Apapun. Karena, semua materi itu selalu ada kemungkinan tersinggungnya. Tak perlu jauh-jauh ke topik SARA, misalkan bahas jomblo, memang tidak bisa yang jomblo tersinggung dan nuntut kita? Bisa banget. Atau bahas kulkas? Bisa saja produsen atau pengguna gelas tersinggung. Perbedaannya hanya seberapa besar massa yang kira-kira akan “tersinggung” dengan materi kita. Sudah terbukti dengan beberapa teman saya yang materinya jadi ramai diperbincangkan karena bahas kucing, musang, atau bahkan rice cooker. Jadi bagi saya tidak ada batasan untuk topik suatu lelucon. Batasannya hanya hati nurani masing-masing komedian.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Kalau saya pribadi sih tidak terlalu berpengaruh. Tulis apa yang saya anggap lucu saja, dan sekali lagi, penempatan sebuah lelucon harus pas dengan panggung dan penontonnya, untuk meminimalisir ketersinggungan. Itulah gunanya latihan di open mic. Walaupun, seperti kata senior saya Pandji, yang juga saya setuju, “Offense is taken, not given.” Jadi orang bisa bicara apapun tentang saya, dan saya bisa memilih untuk jadi tersinggung atau tidak atas perkataannya tersebut.
Bisa saya pastikan, bahwa kami para komedian, menulis dan mengeluarkan sebuah lelucon itu hanya karena kami anggap lucu. Itu saja. Bukan karena ingin sengaja membuat orang tersinggung. Tak pernah saya menulis sesuatu dengan pikiran, “Ah, saya mau bikin lelucon ini ah, biar orang-orang pada tersinggung.” Tak pernah seperti itu.
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Banyakin referensi, tonton sebanyak-banyaknya komika. Perbanyak open mic, biar tahu comedic sense kita seberapa, baru setelah itu pelajari teori dan tekniknya. Karena sejatinya stand-up comedy itu seni yang harus lebih banyak praktek. Buat materi original, karena yang paling penting adalah jadi diri sendiri. Nontonnya juga lebih menyenangkan kalau materi seorang komika terasa personal.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Komedi di Indonesia saat ini sesungguhnya dalam momentum yang amat baik. Stand-up comic atau komika semakin banyak dan kreatif, konten komedi semakin banyak, dan genre juga amat beragam. Tahun 2019 yang lalu juga adalah tahun bersejarah dengan lahirnya Ketawa Comedy Club yang didirikan oleh komika Mo Sidik. Hampir semua pertunjukan yang diselenggarakan terjual habis. Artinya, masyarakat kita siap dan menyambut baik bahkan lebih siap dari sebelumnya saat stand-up comedy pertama kali muncul di awal 2000-an dan dipertegas mulai 2011. Masyarakat kita bahkan lebih siap dari saat-saat itu. Pemilu dan polarisasi di tengah kita menimbulkan kejenuhan. Komedi memiliki potensi besar menerobos kejenuhan tersebut dan memberikan perspektif hidup bermasyarakat dan berbangsa yang lebih segar. Satir yang dirindukan.
Masyarakat yang semakin “woke”, sadar relasi kuasa, sadar hak, dan lain-lain adalah perkembangan amat positif yang penting untuk disambut dengan gembira pula oleh komika. After all, sejarah komedi di banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan keterlibatan mendalam komedi dan komika dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa. There is no time better than now. Di tengah masyarakat yang sebagiannya krisis selera humor, sebagian yang lain sesungguhnya haus pencerahan.
Persoalan muncul ketika kami sendiri sebagai komika tidak memiliki sensitivitas. Berulang kali saya mendapatkan curahan hati dan aspirasi teman-teman aktivis yang mengundang stand-up comic dalam acara mereka. Mereka menyampaikan betapa kaget dan jengahnya mereka ketika komika yang diundang membawakan materi yang amat seksis dan tidak sensitif. Sampai pada suatu hari di sebuah event, ketika ada komika yang tampil baik, seorang teman aktivis berkata, “Tumben, nggak seksis. Bagus nih!” Kalau komentarnya begini, tentu kita semua prihatin. Seksis, diskriminatif, tidak sensitif seolah menjadi “the new normal”, sehingga ada yang menggunakan istilah “tumben” pada mereka yang tampil lebih baik. Ini refleksi kita bersama di tengah potensi besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan komika bersama-sama dengan masyarakat sipil.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Saya tidak ingin berkomentar secara khusus soal kasus tertentu. Menurut saya, ini adalah momen yang amat menentukan, apakah komika akan bertahan dan dipercaya masyarakat atau tidak.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Musuh seniman adalah self-censorship. Artinya kebebasan berekspresi itu sepatutnya dipraktikkan dan diperjuangkan. Namun, komika tentu punya nilai dan integritas ya. Ini yang sesungguhnya kita pertaruhkan. Push the boundaries of creativity dan saling memacu kemampuan berkarya satu sama lain tentu seru sekali. Push the boundaries of the discussion and narrative juga penting. Hanya dengan mendorong, memperluas, dan bahkan menembus batas, mereka yang selama ini marginal, tidak punya suara, bisa menemukan suara dan ruang mereka. Ini saya kira hakikat pushing the limits atau pushing the boundaries, bukan semata-mata kompetisi “paling dark” tanpa menghiraukan siapa yang menjadi objek humor dan posisi mereka di relasi kuasa.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Penting bagi komika untuk memiliki sensitivitas, terutama terkait relasi kuasa. Jadi ini bukan masalah siapa tersinggung dan siapa tersungging, tapi tanggung jawab kita sebagai orang yang berkarya. Soal topik yang tidak boleh disentuh, berbeda konteks budaya tentu berbeda batasannya. Humor holocaust misalnya, pada banyak konteks dan masyarakat, terutama masyarakat Barat, dianggap tidak boleh disentuh kecuali oleh penyintasnya.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Ketersinggungan bukan menjadi pertimbangan utama ya. Bagi saya, stand-up comedy memang memungkinkan untuk offending the powerful and the complacent. Mengangkat yang tak berdaya, mengungkit yang berkuasa. Jadi, sensitivitas komika itu berbasis nilai diri sendiri dan pemahaman terhadap konteks dan relasi kuasa. Bukan karena takut menyinggung.
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Buat komika muda, saran saya percaya dan teguh pada proses sendiri sampai kita menemukan suara kita. Tidak perlu terburu-buru ingin cepat terkenal atau viral. Kalau masalahnya ekonomi atau nafkah hidup, berusahalah bertahan dan kreatif. Saya sendiri selain stand-up comedy ada pekerjaan lain. Urusan nafkah hidup, berusaha sekuat mungkin jangan mengorbankan integritas. Kita berjuang bersama-sama. Tidak mudah, banyak halangan dan kubangan. Saya pun demikian, banyak salah juga. Asal terus semangat dan yakin sama nilai yang kita pegang.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Terus terang menurut saya iklim komedi di Indonesia tidak berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya selama ini sudah pernah terjadi. Kalau dibilang karena masyarakat itu terlalu PC (Politically Correct) dan menyinggung, sebenarnya dari zaman dulu juga udah menyinggung. Saya sering ngobrol sama Bang Mi’ing, Pakde Indro Warkop, Pakde Tarzan Srimulat, mereka cerita bahwa pada zaman mereka pun ketersinggungan terjadi, dan besar ketersinggungannya seperti sekarang. Yang membedakan hanyalah bahwa internet membuat kabar soal ketersinggungan itu makin cepat tersebar. Orang jadi semakin cepat menemukan sesuatu yang bikin mereka tersinggung, orang jadi semakin cepat menyebarkan ketersinggungan mereka.
Tapi, masalah kita PC itu sesungguhnya sudah sejak dulu. Jadi mungkin ini bukan cara pandang yang populer dan tidak begitu lazim, tapi itu yang saya yakini. Pakde Indro pernah cerita bahwa dia waktu itu pernah diprotes masyarakat muslim konservatif. Belum ada ormas pada zaman itu, jadi tidak ada lembaganya, hanya masyarakat muslim yang bilang bahwa komedi membuat orang jadi lupa ibadah. Lalu ada lagi yang bilang bahwa, “Wah kok menghina agama”, tentang joke-nya mereka. Bang Mi’ing juga pernah cerita tentang Tutut, anaknya Pak Harto, yang pernah tersinggung. Jadi itu sudah dari dulu sampai sekarang. Tapi karena dulu tidak ada media sosial, untuk tahu ada kabar-kabar seperti itu, orang harus baca koran dan nonton TV. Sementara secara umum orang Indonesia malas baca dan kita tidak pernah nonton TV selain berita.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Tidak ada signifikansinya. Sebab seperti tadi yang saya bilang, tidak berbeda sama sekali dengan apa yang pernah terjadi. Yang membedakan adalah internet yang membuat itu lebih cepat tersebar.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Saya kurang setuju kalau disebut dark jokes itu pushing the limit, karena limit dalam berkomedi itu sesungguhnya bukan hanya pada topik apa yang boleh dibahas dan apa yang tidak boleh dibahas. Bahkan saya merasa kehadiran stand-up comedy secara umum adalah bentuk kita pushing the limit. Karena kita dulu berpikir lawak adalah grup, kemudian kita bisa dobrak itu, dan limit-nya bisa banyak. Kita pikir misalnya ya, stand up itu satu orang berdiri di atas panggung, limit itu bisa kita push. Di Amerika Serikat sudah mulai ada orang yang stand up, formulanya stand up, disebut industri sebagai stand up, tapi dilakukan berdua. Jadi tidak bisa dibilang bahwa pushing the limit itu hanya dark comedy.
Bagaimanapun, dark comedy itu sebenarnya istilah yang baru dipopulerkan belakangan ini saja. Ya sama anak-anak seperti Coki dan Muslim juga, tapi ini bukan sesuatu yang baru. Hal ini sama seperti orang selfie sebelum ada istilah selfie. Ambil contoh, almarhum Basiyo di Jogja dulu kalau disebut dark, itu dark banget. Kenapa? Karena Basiyo membahas kemiskinan, depresi, soal tinggal di petak, dan itu sangat gelap sebenarnya. Bahkan sebelum Coki dan Muslim dan teman-teman MLI (Majelis Lucu Indonesia) berdiri, Dani Aditya juga udah disebut orang yang bercandanya dark, karena kondisi fisiknya yang cacat tersebut membuat dia punya cara pandang berbeda.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Menurut saya, komedian harus memiliki sensitivitas lebih, tapi bukan hanya saat ini, selama ini tepatnya. Jadi kalau dibilang, “Wah sekarang kita harus lebih sensitif.” Tidak. Selama ini memang seharusnya kita lebih sensitif. Dari dulu sampe sekarang juga orang kalau melawak tuh harus sensitif. Warkop adalah wujud dari komedi yang sensitif terhadap zamannya. Pakde Indro bilang, “Kalo elu mainnya nyerempet-nyerempet, jangan rewel kalo lu nabrak,” ini konteksnya komedi. Jadi Pakde Indro bilang pada zaman dulu, kami simbolik semuanya. Jadi bukan tidak cynical, tapi lebih ke sarcastic. Sarkasme. Dan itu adalah bentuk sensitivitas mereka terhadap kondisi saat itu, di mana represinya datang dari Orde Baru.
Jadi dibilang saat ini harus sensitif, tidak tepat. Selama ini, memang harus sensitif juga. Stand-up comedy kan bukan tempat orang nyampah. Kita kan tidak bisa naik ke atas panggung dalam rangka komedi, lalu merasa kita bebas bahas apapun yang sebenarnya tidak ada niat berkomedinya sama sekali. Ada koridornya di situ, dan koridornya adalah membuat orang tertawa.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Dari dulu sampai sekarang, dari pertama kali saya stand up di tahun 2010, saya memang sudah sensitif dengan lingkungan. Sudah peka terhadap lingkungan dan tidak ada satupun bit saya yang tidak bisa saya pertanggungjawabkan, dan itu sudah dari dulu.
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Komedian muda mesti sadar bahwa ada tiga jenis tawa. Mengajak orang menertawakan diri kita sendiri – namanya self deprecating, mengajak orang menertawakan orang lain, dan mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri. Nah, sebelum mulai bahas yang aneh-aneh, belajar untuk buat materi stand up tentang dirinya sendiri dulu saja. Bahkan kalau saya mengajar, saya selalu bilang, “Sebelum lu ngomongin soal agama, ngomongin soal aborsi, ngomongin soal depresi, ngomongin soal bunuh diri, ngomongin soal LGBT, ngomongin diri lu sendiri.” Kalau tidak bisa buat joke lucu tentang diri sendiri, buat apa bikin yang aneh-aneh, yang susah-susah.
Kadang-kadang komedian muda tuh mau bahas itu hanya karena edgy saja, karena itu sesuatu yang terlihat keren. Padahal senior-senior mereka yang melakukan itu, melakukannya dengan tujuan dan dasar. Nah, kalau misalkan dia tidak bisa menertawakan dirinya sendiri, atau tidak bisa bikin materi stand up tentang dirinya sendiri, tidak usah ngomongin yang aneh-aneh.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Stand up comedy di Indonesia menurut saya baru mulai. Para komika yang tadinya membawakan materi ringan pun baru mulai masuk ranah kritik sosial. Soal political correctness saya rasa bukan tugas komika, tapi tergantung tanggapan penonton. Jika ada demand soal political correctness, maka komika pun akan ada yang menuju ke arah sana.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Kenyataannya memang ada pasal hukum yang digunakan untuk persekusi kebebasan berpendapat. Untuk komentar itu tentu saja harus ke pakar hukum. Tapi menurut saya, seni harus tanpa sensor. Seni harus memancing reaksi murni penikmat seni. Reaksi ini penuh kemerdekaan. Bisa senang, bisa tersinggung. Tidak ada yang dapat menghalangi reaksi orang.
Nah, stand-up comedy ini adalah salah satu seni yang fungsinya bahkan bisa juga untuk kritik sosial yang efektif. Hanya saja butuh konteks untuk bisa memahami pesan dari stand-up comedy. Soal Tretan dan Coki saya tidak nonton semuanya. Apapun yang mereka kerjakan ya tanggung jawab mereka sendiri. Materi provokatif memang akan mendapatkan reaksi kontroversial juga.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Sekali lagi stand-up comedy adalah seni dan membutuhkan kemerdekaan ekspresi pelakunya. Jadi jika ingin menyampaikan materi dark jokes, harus ada ruang yang aman untuk komika bereksperimen juga. Dark jokes ada tempatnya. Di panggung komedi. Bersama hadirin yang sudah siap dan memang bayar untuk tertawa. Dark jokes ada konteksnya. Di panggung. Saya perhatikan “marah-marah” pada komika ini terjadinya di media sosial. Konteks sering hilang di media sosial. Sehingga konteks komedi tidak sampai. Di satu pihak, kebebasan berpendapat harus kita pertahankan. Di pihak lain, memang ada Undang-Undang yang siap mengganjal siapapun di media elektronik/digital. Jadi tentu saja, sekali lagi, pakar hukum yang harus menjawab ini. Kalau buat saya, berbeda pendapat itu tidak apa-apa. Bahkan saya berbeda pendapat dengan orang lain, belum tentu saya salah, belum tentu dia salah. It’s okay to disagree. Bukan berarti harus dituntut secara hukum.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Tidak ada materi yang tidak boleh disentuh. Tapi, objeknya siapa? Misalnya membahas perkosaan, banyak yang bilang tidak boleh. Menurut saya boleh, kalau kamu berpihak pada korban. Membahas coronavirus boleh, tapi kamu berpihak pada siapa? Penonton yang makin kritis, akan berpihak pada korban. Maka kalau kita malah menggunakan korban jadi bahan tertawaan, penonton tidak akan menerima itu.
Komika, butuh penonton. Jadi penonton yang semakin kritis; semakin peduli pada isu sosial, akan berpihak pada komedi yang membawa keresahan mereka. Tidak semua komika akan melayani purpose ini kok. Jadi tidak harus juga membawakan materi yang dianggap “berbahaya” kalau memang merasa bukan ahlinya. Musdalifah Basri misalnya, membawakan materi perkosaan lucu sekali. Penonton tertawa karena mereka merasakan, Musdalifah itu memang pernah hampir jadi korban. Betapa pemberaninya dia karena bisa mengubah tragedi hidupnya jadi komedi. Tapi kalau ada laki-laki membahas perkosaan dan tidak berpihak pada korban, penonton bisa jadi malah protes dan melawan dia. Artinya, tergantung penonton juga. Materi agama Islam? Sebagai ibu haji berkerudung saya punya kebebasan membawakan materi sensitif menyerempet agama. Bukan menertawakan Islam. Tapi menertawakan isu sosial yang sedang beredar di tengah umat Islam. Kalau orang lain yang membawakan, belum tentu pesannya sampai.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Sebelum masuk dunia stand-up comedy, saya sudah sering garang di media sosial untuk urusan opini politik. Sehingga banyak mendapatkan serangan juga. Maka saat masuk stand-up comedy saya malah mendapatkan ruang yang aman untuk terus menyuarakan opini politik saya. Tentu saja artinya, tidak ada di YouTube dan tidak masuk TV. Materi keras hanya ada di panggung komedi di mana orang harus bayar untuk nonton. Ya kalau bayar lalu tersinggung, artinya salah masuk ruangan.
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Selalu bawakan materi yang kamu pahami. Pahami konsekuensinya. Materi komedi tidak lucu saat penonton bilang tidak lucu. Saya juga pernah satu panggung dengan komika yang bahas payudara komika perempuan. Ini politically incorrect. Sudah mulai menjurus pelecehan seksual. Penonton tertawa, sedikit. Giliran saya naik panggung, ya saya balas saja dengan lelucon yang gantian merendahkan dia dan mengganggu kelelakiannya. Di panggung selanjutnya, bertemu lagi dengan saya, dia tidak membawakan materi itu.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Menurut saya Indonesia masih sangat menggalakkan free speech, dan semua reaksinya dalam tahap yang sangat wajar. Perbedaan yang paling besar, di Amerika, free speech dilindungi Undang-Undang dan mereka sempat mempraktikkan sebelum social media booming, sedangkan Indonesia tidak.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Tidak juga, kasus itu sangat besar ditunggangi politik. Sekarang tidak ada agenda politik besar, saya rasa kasus seperti itu musiman saja. Tapi ya sebagaimana banyaknya hal besar, perubahan butuh tokoh, ya Coki-Muslim itu tokohnya.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Ya setuju. Tapi ya begitu, kesensitifan pelaku dan penerimanya masih harus diasah. Jokes are jokes, they don’t kill, they don’t add a number of victims, dan ada true evil out there. Kenapa jadi joke yang diserang.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Memilih topik apa itu pilihan. I don’t think there’s should be any limit, tidak cuma dalam komedi, tapi sains, seni dan lain-lain.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Tidak.
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Menurut saya, komedian hanya diukur oleh dua hal, keberanian dan kelucuan. Berani membicarakan topik tabu, dan apakah itu lucu.
Berkaca pada ramainya perdebatan mengenai political correctness pada lanskap komedi di Amerika Serikat, bagaimana pandangan Anda soal iklim komedi di Indonesia saat ini?
Sebenarnya baik-baik saja ya. Apa yang jadi ramai di media sosial itu kan belum tentu berdampak langsung di dunia nyata. Seperti di dunia nyata show-show stand up masih jalan-jalan saja. Apalagi dengan adanya comedy club punya Kang Mo Sidik, Ketawa Club itu juga banyak stand-up comedy menggelar event di sana. Tiketnya sold out, event-event buatan komunitas stand up Indonesia juga sold out. Jadi apa saja masalah yang ramai di media sosial belum tentu berdampak di dunia nyata.
Coki Pardede dan Tretan Muslim sempat berurusan dengan hukum atas tuduhan penistaan agama. Menurut Anda, apa signifikansi hal tersebut terhadap lanskap komedi di Indonesia secara keseluruhan?
Memang waktu kasus yang dulu tentang penistaan agama banyak yang pro dan kontra. Ada yang merasa itu penistaan, ada yang bukan. Masing-masing orang lah menilainya gimana. Tapi memang waktu itu cukup berdampak terhadap keseluruhan pelaku stand up di Indonesia, tapi dampaknya juga tidak terlalu signifikan. Ada beberapa sih yang mendapatkan dampak cukup besar, seperti show-nya Rizpo yang waktu itu mau gelar tur ke luar Jakarta, harus ada yang di-cancel di beberapa kota hanya karena Rizpo termasuk Majelis Lucu, di mana Coki & Muslim juga Majelis Lucu. Di beberapa tempat open mic, anak-anak komunitas stand up juga jadi takut melakukan kegiatan latihan stand up mingguan karena takut ada dampak grebek-grebek dari ormas. Itu sih dampak-dampak yang timbul karena isu penistaan. Tapi setelah itu balik lagi, santai lagi.
Bagaimana pendapat Anda soal dark jokes dan penggunaannya dalam lanskap komedi di Indonesia? Apakah Anda setuju kalau dark jokes disebut membantu “pushing the limit”?
Sah-sah saja sih menggunakan dark joke menurut saya di Indonesia, karena ada juga penikmatnya. Kita sebenarnya punya senior yang memang jago membuat dark joke, namanya bang Rindra Dana. Dia punya massa sendiri yang memang menikmati jokes-jokes-nya, yang kalau mungkin orang-orang umum belum banyak nonton stand up, akan kaget mendengar bit-bit-nya dia dan materi-materinya karena terlalu keras.
Pushing the limit ya jelas, karena dark jokes pasti dibuat dari sebuah topik/bahasan yang serius atau bahkan berbahaya, sehingga kalau dibilang push the limit buat komiknya ya jelas. Kalau buat materi dark joke kita harus lebih teliti, harus lebih usaha keras bagaimana caranya bisa membuat komedi dari hal yang tidak ada komedinya sama sekali. Itu kan pasti pushing the limit dari skill kita juga kan. Memang susah. Kadang-kadang jadi bagus, ada juga yang kepleset, mungkin, kayak Coki.
Menurut Anda, apakah komedian saat ini harus memiliki sensitivitas lebih terkait materi/joke yang ditulis? Adakah topik yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh komedi?
Masing-masing comic pasti punya sensitivitas sendiri. Kita punya batasan-batasan sendiri. Semua balik lagi ke komikanya sendiri sih ya, apa yang diomongin, dia harus berani tanggung jawab. Makanya (kembali ke) masing-masing pribadi komika. Jangan sampai karena salah satu orang buat salah, semua komunitasnya kena. Untuk topik, menurut saya apa saja boleh. Bahkan kalau dibilang agama, ustadz-ustadz juga banyak yang ceramah pakai komedi, ada lucu-lucunya, ada humornya, kan tidak apa juga kan. Karena apa saja menurut saya kalo disampaikan lewat komedi bisa lebih mudah diterima.
Apakah dengan mudahnya terjadi ketersinggungan soal isu-isu politik dan sosial telah memengaruhi proses kreatif Anda dalam menulis materi komedi?
Tidak sih, buat saya pribadi tidak berpengaruh. Soalnya belum pernah berdampak langsung ke saya. Nanti kalau saya sudah buat materi, lalu ada orang tersinggung, nah nanti saya minta maaf (tertawa). Itu mungkin baru berdampak habis itu. Kalau sekarang sih belum, jadi santai-santai aja tidak ada takutnya. Kalo sudah kena, baru takut (tertawa).
Apa saran Anda bagi para komedian muda yang tengah mencari tempat di tengah iklim komedi yang semakin progresif?
Semangat terus, latihan terus. Sebenarnya kan komedi dan jenis-jenis joke itu banyak, tidak harus selalu jadi dark jokes. Dark jokes tuh tidak berarti lebih keren dari jokes yang lain. Jokes-jokes story telling juga sama-sama susahnya, membawa orang untuk mendengar cerita dan tidak lepas konsentrasi dari cerita kita itu kan juga susah. Bawakan jokes one-liner misalnya, dari sedikit kata itu harus membuat orang tertawa kan juga susah. Banyak jokes, tidak harus terpaku sama dark jokes.