Mempertanyakan Masa Depan Perempuan dan Perjuangan Feminisme di Indonesia Bersama Tunggal Pawestri
Kami berbincang dengan Tunggal Pawestri, aktivis dan konsultan gender yang aktif memperjuangkan isu-isu feminisme di Indonesia, tentang keadaan feminisme di Indonesia pada saat ini dan di masa depan.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Nada Salsabila
Isu feminisme di Indonesia masih tabu diperbincangkan pada beberapa lapisan di masyarakat. Banyak faktor yang menghalangi perkembangan feminisme tersebut, seperti konstruksi budaya hingga pemikiran yang masih sempit. Perjalanan feminisme di Indonesia masih jauh, namun dengan lantang masih terus diperjuangkan.
Sering terdengar dalam perbincangan soal wacana aktivisme perempuan, politik, isu kesetaraan gender, dan keberagaman gender, aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri kerap melibatkan dirinya dalam berbagai hal yang menjadi perhatiannya, yaitu isu-isu perempuan yang masih perlu disuarakan dan diperjuangkan. Walaupun perjuangan feminisme di Indonesia masih belum maksimal dan masih banyak yang harus dibenahi, Tunggal optimis bahwa kedepannya, situasi terkait kesetaraan gender akan jauh lebih baik.
Anda sudah lama memperjuangkan isu feminisme di Indonesia, kapan dan bagaimana awal mula Anda terjun ke dalam bidang ini? Apa yang menjadi motivasi Anda?
Memiliki ketertarikan saat masih aktif menjadi kader PRD (Partai Rakyat Demokratik) di masa reformasi lalu berlanjut dengan mendirikan sebuah organisasi perempuan bersama beberapa teman di awal tahun 2000an. Pada saat itu saya sebagai perempuan merasa bahwa banyak sekali isu perempuan yang luput dalam isu-isu demokrasi meski penting juga untuk disuarakan dan diperjuangkan.
Hal apa yang menjadi perhatian utama Anda sebagai aktivis perempuan saat memperjuangkan isu-isu mengenai feminisme di Indonesia? Di mana Anda biasanya menyuarakan isu-isu feminisme ini?
Media sosial menjadi salah satu alat untuk mengamplifikasi isu yang penting untuk menjadi perhatian publik.
Persoalan kekerasan terhadap perempuan termasuk persoalan diskriminasi berbasis gender adalah hal yang menjadi perhatian utama saya saat bekerja. Saat ini saya menggabungkan kerja offline dan online dalam menyuarakan isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi berbasis gender, meski dalam masa pandemi begini akhirnya semua harus dilakukan secara online tentu saja. Media sosial menjadi salah satu alat untuk mengamplifikasi isu yang penting untuk menjadi perhatian publik.
Seperti yang kita tahu, pergerakan feminisme sudah masuk ke fourth wave feminism dimana feminisme sudah masuk ke intersectional feminism yang membicarakan soal inklusivitas gender. Hal dan batasan seperti apa yang harus diperhatikan ketika memperjuangkan feminisme itu sendiri di Indonesia?
Feminisme sebagai sebuah perspektif adalah paham yang percaya dengan keadilan gender. Sementara feminisme sebagai sebuah kata kerja adalah gerakan memperjuangkan atau mengadvokasi keadilan dan kesetaraan gender. Dalam gerakannya, maka ada beberapa aspek yang harus dipenuhi misalnya inklusif dan interseksional. Hal ini untuk memastikan bahwa saat bekerja untuk memperjuangkan keadilan gender. Hal yang harus jadi perhatian adalah bagaimana kita mesti melibatkan kelompok kepentingan utama dan memperhatikan kebutuhan setiap kelompok pemegang hak yang bisa jadi memiliki kekhasan masing-masing.
Apa yang menjadi concern dan tuntutan utama bagi Anda dan aktivis perempuan lainnya yang memperjuangkan isu feminisme di Indonesia?
Isu atau persoalan terkait memperjuangkan keadilan gender maksudnya? Perlu dimengerti bahwa di Indonesia masih banyak yang belum memahami konsep feminisme sehingga kita tahu bahwa masih banyak salah kaprah dan disinformasi mengenai apa itu feminisme. Jika mendengar kata feminisme maka hal itu selalu diidentikan sebagai agenda Barat, padahal upaya untuk memperjuangkan keadilan gender sudah ada sejak jaman dahulu kala.
Bagaimana menghapuskan ketimpangan gender di segala bidang dan mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan saat ini masih jadi tuntutan utama bagi para pegiat kesetaraan gender.
Tentu masih banyak kasus yang menyangkut ketidakadilan perempuan di Indonesia, tapi adakah kasus yang meresahkan bagi Anda dan aktivis perempuan lainnya yang belum sepenuhnya tersorot oleh media?
Sudah banyak kasus yang tersorot media sebenarnya, tapi tidak banyak yang membuat pemberitaannya dengan komprehensif dan apik. Tidak banyak media yang membuat liputan mendalam tentang isu-isu perempuan. Pun jika ada bisanya akan langsung mendapat ‘serangan’ missal saja kasus belakangan ini yang terjadi pada teman-teman di Project Multatuli saat mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak.
Isu kekerasan dan pelecehan di dunia kerja juga tidak terlalu banyak media yang meliputnya, padahal banyak sekali misalnya buruh-buruh perempuan mengalaminya.
Bagaimana menghapuskan ketimpangan gender di segala bidang dan mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan saat ini masih jadi tuntutan utama bagi para pegiat kesetaraan gender.
Bicara soal RUU PKS yang sudah lama diperjuangkan juga di Indonesia, menurut Anda apakah sudah ada perkembangan signifikan yang bisa dikatakan ke arah positif? Apakah pemerintah sudah sepenuhnya mempertimbangkan urgensi dari undang-undang tersebut?
Kendati pembahasan sudah dilakukan, namun dari draft terakhir yang judulnya diganti oleh tim Baleg DPR menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ada beberapa elemen kunci yang malah dipangkas, di antaranya jenis-jenis kekerasan seksual yang diakui, hilangnya materi pencegahan kekerasan seksual serta pemulihan dan perlindungan yang komprehensif bagi korban. Melihat perkembangan ini tentu saja kita patut mempertanyakan kembali komitmen pembuat kebijakan terkait mengatasi darurat kekerasan seksual sekarang ini.
Bentuk perlindungan terhadap perempuan seperti apa yang sudah disediakan oleh pemerintah? Menurut Anda sudah cukupkah hal tersebut untuk mendukung kedudukan dan keadilan perempuan di Indonesia?
Di tingkat nasional ada beberapa kebijakan yang dihasilkan untuk melindungi perempuan, beberapa daerah pun kemudian membuat aturan turunannya, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun hampir semua mengetahui bahwa di level implementasi banyak yang kedodoran, bukan hanya kurang infrastruktur atau anggaran tapi juga kurang perspektif.
Media sosial menjadi medium utama dalam menyampaikan aspirasi dan gagasan hampir semua orang, terlebih aktivis perempuan di Indonesia. Namun, masih banyak yang masih memiliki stereotip terhadap segelintir feminis di Indonesia dengan sebutan social justice warrior (SJW). Any thoughts on that?
Input yang masuk akal perlu dipertimbangkan, dan input yang buruk dapat diabaikan.
Dulu saya sempat terganggu, tapi melihat perkembangannya, saya sudah tak peduli lagi. Sekarang ini sebutan SJW disematkan hampir ke semua orang yang mencoba kritis dan membongkar ketabuan, bukan hanya ke aktivis perempuan saja. Tidak usah terlalu pusinglah. Bekerja saja dengan baik, bukan untuk diri sendiri dan bukan bekerja sendiri juga, tapi bekerja secara kolektif. Jangan terlalu alergi sama kritik. Input yang masuk akal perlu dipertimbangkan, dan input yang buruk dapat diabaikan.
Masih mengenai feminisme di Indonesia, tentunya perjuangan ini sudah lama dilakukan. Seiring perkembangan zaman, sudah banyak munculnya gerakan-gerakan feminis di Indonesia yang diinisiasi oleh generasi muda. Menurut Anda sendiri apa perbedaan signifikan dengan gerakan pada era sebelumnya?
Zaman berubah, terutama karena kita masuk dalam era digital. Sekarang ini feminis muda saya lihat lebih kreatif dalam mengemas sebuah persoalan dan mempromosikannya ke publik. Asik banget lihat cara mereka mendiskusikan hal-hal berat di publik.
Menurut Anda, apakah gerakan feminisme di Indonesia sudah diperjuangkan dengan sepenuhnya, baik dari komunitas perempuan Indonesia maupun pemerintah?
Belum maksimal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Di saat isu feminisme yang masih terdengar tabu dan kurangnya edukasi akan feminisme di sebagian masyarakat Indonesia, apakah Anda memiliki tips untuk mengedukasi agar masyarakat Indonesia bisa lebih terbuka akan hal ini?
Perlu lebih banyak lagi praktik-praktik dan contoh baik dimunculkan ke publik agar timbul pemahaman bersama bahwa mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan ketimpangan gender akan berdampak positif dan membawa kemajuan di semua bidang bagi kita semua sebagai sebuah bangsa.
Apakah Anda memiliki rekomendasi bacaan maupun tontonan bagi masyarakat yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai feminisme?
Untuk pemula, saya sarankan untuk membaca buku Ibuisme Negara, Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru karya Julia Suryakusuma. Juga penting membaca buku Feminist theory: From Margin to center dan juga Feminism is for everybody: passionate politics yang ditulis oleh Bell Hooks. Selain itu saya juga merekomendasikan buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia yang ditulis oleh Saskia E Wieringa.
Untuk film saya merekomendasikan Hidden Figures (2016) dan Suffragette (2015)
Sebagai aktivis dan konsultan gender, apa saja yang menjadi kesibukan Anda selama pandemi ini? Adakah projek yang sedang berlangsung maupun upcoming project yang akan Anda lakukan nantinya?
Saat ini bersama dengan beberapa teman kami masih mengelola website womenunlimited.id, sebuah database yang berisikan nama-nama perempuan dan transpuan yang memiliki keahlian di berbagai bidang. Database ini dibuat untuk menjawab kebutuhan daftar nama perempuan yang dapat diminta untuk menjadi narasumber.
Sebagai penutup, Whiteboard Journal saat ini memiliki campaign Open Column mengenai masa depan. Melihat perjuangan feminisme yang masih panjang di Indonesia, bagaimana Anda melihat masa depan perempuan dan perjuangan feminisme di Indonesia?
Saya selalu percaya bahwa dunia bergerak maju, mungkin sedikit ada mundur atau stagnan, tapi secara alamiah, akan bergerak maju. Kaum muda sekarang selalu punya strategi dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, dan kita bisa lihat beberapa gerakan progresif terkait hak-hak perempuan dan banyak isu lain, dipimpin oleh anak-anak muda. Saya cukup optimis bahwa ke depan situasi kita terkait kesetaraan gender akan jauh lebih baik.