Membicarakan tentang Makna Social Justice Warrior di Ranah Dunia Digital Twitter
Membahas soal bagaimana Twitter telah menjadi platform untuk menyuarakan pendapat demi keadilan sosial, tapi di saat yang bersamaan dapat pula “meredupkan” suara.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Bintang Lestada
Dengan internet, kita semakin tidak dapat menyangkal kekuatan dalam menyuarakan pendapat secara online. Tak terkecuali melalui media sosial Twitter yang mulai dianggap menjadi metode yang pantas untuk menyampaikan masalah. Di tengah kondisi dunia yang kerap membawa ketakutan tersendiri, mengoceh (ranting) di media sosial, termasuk Twitter, telah menjadi salah satu cara untuk melepaskan ketegangan, rasa sakit, atau beban. Tapi kemudian, ada diskusi tentang gatekeeping di mana ada batasan tersendiri dalam beberapa topik yang tidak layak dibahas untuk orang awam. Mereka yang kemudian dianggap melewati batas tersebut dicap sebagai “social justice worker” atau SJW dengan nada yang merendahkan, tanpa tahu apapun tentang pengetahuan atau sejarahnya. Dalam edisi ini, kami berbicara dengan orang-orang tentang persepsi mereka tentang kesadaran politik dan mengapa Twitter telah menjadi platform utama untuk menyuarakan pendapat mereka.
Tunggal Pawestri
Consultant of Gender & Sexual Rights and Diversity Programme – Hivos, Indonesia
Di zaman sekarang, apa langkah awal untuk jadi politically conscious and correct (a.k.a “woke”)?
Ini term “woke” juga kelihatannya sudah mengalami peyorasi, ya? Saya malah baru tahu sekarang sebenarnya kalau untuk jadi politically conscious and correct itu ada langkah awalnya. Bukankah ini insting dasar kita sebagai manusia? Jika mengalami ketidakadilan, ya dilawan. Ya tapi memang gak perlu tunggu kita yang mengalami dulu sih baru melawan saat melihat ketidakadilan. Jika kita punya empati, bisa saja kita bersolidaritas melihat ketidakadilan yang dialami oleh orang lain.
Social justice warriors (SJW) secara harfiah diartikan sebagai pejuang keadilan sosial, yang memang selalu jadi hal yang baik. Tapi akhir-akhir ini term tersebut itu selalu disalahgunakan, menurut Anda kenapa hal ini terjadi?
Kata “warrior” di singkatan SJW saja sudah membuat saya risih. Saya tidak terlalu sreg dengan penggunaan istilah yang pakai embel-embel “pejuang”. Kerja, bersuara menuntut hak dan bersolidaritas untuk isu kita sendiri sehari-hari kok ya pakai disebut pejuang. Tapi karena sekarang istilah SJW malah dipakai untuk mengejek orang-orang yang bersuara soal keadilan dan kesetaraan, saya justru ingin reclaim istilah itu.
Ya memang tak bisa dipungkiri, ada orang-orang yang bekerja untuk satu isu tapi dia tidak walk the talk, ini yang menurut saya bermasalah. Dan kelihatannya, hal semacam inilah yang membuat orang-orang gerah jika melihat seseorang yang nampak progresif di luar tapi tindakannya berseberangan dengan apa yang diperjuangkan. Mungkin penggunaan pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga agak cocok ya dengan situasi saat ini.
Tapi, bagi saya, kalau kita sungguh-sungguh bekerja untuk kemanusiaan, mau disebut apa saja, terserahlah. Model-model stigma, pembungkaman dan sebagainya kan bukan hal baru. Anggap saja ini kritik bagi para pegiat sosial agar lebih baik menyampaikan pesannya.
Akhir-akhir ini, banyak yang mulai menyuarakan opini politik via Twitter, dan karena Anda pengguna setia Twitter, menurut Anda kenapa Twitter jadi platform yang paling digunakan?
Twitter saya gunakan karena semua orang, siapapun, bebas kasih sanggahan atau kritik atau pendapat kepada siapapun. Twitter juga lumayan ampuh untuk amplifikasi isu. Belakangan saya lihat banyak pemangku kebijakan juga pakai Twitter, jadi saya lihat ini sebagai peluang untuk menarik perhatian mereka secara terbuka.
Dengan adanya isu-isu di Twitter seperti lelucon ofensif disamarkan sebagai “dark jokes” dan budaya “calling out” sendiri, menurut Anda, apakah ada batasan tersendiri agar terhindar dari posisi keterlaluan?
Saya tidak mau jadi polisi moral apalagi polisi political correctness. Bebas saja orang bikin lelucon apa, tapi ya juga bebas saja juga jika ada orang yang merespon dan menolaknya. Semua hal pasti ada konsekuensinya, dan ya harus siap dikritik jika bikin pernyataan ngaco atau ofensif. Tapi saya sendiri punya prinsip, dan tidak semua orang harus punya prinsip yang sama, bahwa kemerdekaan yang saya miliki untuk berbicara, berpendapat dan berekspresi haruslah menghargai nilai-nilai keadilan dan penghormatan terhadap kelompok liyan.
Menurut Anda, dengan mengidentifikasikan diri sebagai SJW, apakah Anda merasa lebih terbatas untuk mengekspresikan atau tidak?
Saya tidak pernah mengidentifikasikan diri sebagai apapun dan tidak merasa terbatas untuk melakukan apapun. Satu-satunya yang membuat saya harus lebih hati-hati sekarang justru ancaman UU ITE. Pada titik itulah saya harus sedikit menyensor ekspresi saya dalam berpendapat.
Lini Zurlia
Queer Feminist Activist
Di zaman sekarang, apa langkah awal untuk jadi politically conscious and correct (a.k.a “woke”)?
Wah kalau ditanya apa langkahnya, aku tidak bisa juga ya kasih tips-tipsnya bagaimana. Tapi sebenernya sesederhana memahami sebuah tanggung jawab menjadi manusia untuk at the very least memiliki basic decency. Tidak mem-bully orang lain agar tidak menyakiti hati orang lain, tidak buang sampah sembarangan termasuk puntung rokok yang usai dihisap (bagi perokok tentu saja), kalau makan di rumah makan–mulai dari restaurant mahal sampai yang sesederhana–tempat makan ya sebisa mungkin untuk bekas makannya dirapikan sebelum ditinggal pergi, tidak mencaci orang baik yang dikenal apalagi yang belum dikenal. Hal-hal kayak gitu kan sebenarnya basic decency yang harus dimiliki, dan itu tanggung jawab kita sebagai manusia.
Kalau itu sudah punya, menurutku akan mudah berkembang ke hal yang lebih ideologis, mengamini dan menerapkan nilai-nilai yang dijunjung seperti nilai kesetaraan, feminisme, progresif, anti korupsi, anti kekerasan termasuk kekerasan seksual, ekologis, dan seterusnya (tergantung nilai apa yang diamini) niscaya akan dapat menjadi panduan bertindak politically correct and conscious.
Social justice warriors (SJW) secara harfiah diartikan sebagai pejuang keadilan sosial, yang memang selalu jadi hal yang baik. Tapi akhir-akhir ini term tersebut itu selalu disalahgunakan, menurut Anda kenapa hal ini terjadi?
Loh justru tidak begitu. Sejak kata itu muncul memang maknanya sudah peyoratif dan kerap digunakan untuk menyerang individu yang mengkampanyekan isu-isu keadilan sosial melalui media sosial. Label SJW ini biasanya ditempelkan pada mereka yg keras menyuarakan soal pandangan politik, feminisme, juga isu lingkungan. Belakangan semua orang yang mengutarakan pendapat berbeda langsung dilabel SJW.
Menurutku itu melabel orang lain dengan SJW adalah bukan tanpa maksud, ya memang maksudnya mau mengecilkan isu yang disuarakan sekaligus merendahkan si pembawa pesan.
Akhir-akhir ini, banyak yang mulai menyuarakan opini politik via Twitter, dan karena kamu pengguna setia Twitter, menurutmu kenapa Twitter jadi platform yang paling digunakan?
Twitter adalah social media yang digunakan tidak cuma di Indonesia tapi secara global sebagai digital activism platform. Dan ini bisa dicek untuk gerakan isu apapun, baik dia gerakan yang cuma online atau mobilisasi on ground seperti protest-protest di India, Chile, Hong Kong juga kita tentu saja, Twitter adalah platform yang dipilih.
Tentu saja bagi banyak aktivis di seluruh pemilihan platform ini bukan tanpa alasan. Twitter adalah social media yang paling jelas memiliki Community Policy yang mengedepankan pengguna sebagai agency atas dirinya sendiri, dan tentu saja policy tentang anti-hateful conduct yang setiap user tidak bisa promote violence, harassment, dan seterusnya. Twitter paling mudah untuk men-takedown postingan yang melanggar community policy tapi sebaliknya mereka tidak akan men-takedown pandangan-pandangan politik yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beropini dan berekspresi. Atau bahkan ranah yang paling privat seperti social media platform lain menganggap nudity atau erotic video sebagai ponografi sementara Twitter melihat itu sebagai hak pengguna sepanjang foto atau video yang diunggah bukan hasil curian a.k.a posting-an tanpa consent. Banyak porn star atau aktivis yang menyuarakan hak untuk bagi pekerja seks adalah pengguna Twitter tapi tidak platform lain. Itu kenapa Twitter secara global diminati sebagai platform digital untuk beraktivisme.
Dengan adanya isu-isu di Twitter seperti lelucon ofensif disamarkan sebagai “dark jokes” dan budaya “calling out” sendiri, menurut Anda, apakah ada batasan tersendiri agar terhindar dari posisi keterlaluan?
Balik lagi ke yang tadi di awal ya, basic decency itu batasan yang harus terus menerus dicek. Kalau bikin becandaan tapi ada pihak lain yang tersakiti, itu namanya bukan dark jokes tapi ya memang tidak punya basic decency aja.
Menurut Anda, dengan mengidentifikasikan diri sebagai “SJW”, apakah Anda merasa lebih terbatas untuk mengekspresikan atau tidak?
Aku tidak pernah mengidentifikasi diri sebagai SJW sih. Aku, Lini sebagai manusia yang kebetulan perempuan dan mengimani nilai anti kekerasan, kesetaraan dan feminisme. Percaya bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk dapat hidup dengan tenang dan nyaman regardless of their gender identity and sexual orientation, race, class, religion dan identitas lain-lainnya, setara di hadapan hukum. Dan, negara sebagai pengampu kekuasaan tidak boleh abai atas hak-hak tersebut bilamana abai maka sudah sepantas dan selayaknya kita melawan!
Sedapat mungkin semua yang aku suarakan akan mengekspresikan apa yang aku imani tersebut, pun orang mau menjinakkan dengan label SJW atau bahkan label lain, I just don’t care!
Ellena Ekarahendy
Chairperson at SINDIKASI
Di zaman sekarang, apa langkah awal untuk jadi politically conscious and correct (a.k.a “woke”)?
Gue pikir kita perlu balik lagi ke persoalan mendasar kalau penyebutan SJW yang digunakan sekarang memang cuma mereduksi upaya-upaya yang dilakukan untuk benar-benar mempertahankan diri (survival). Mungkin bagi banyak orang yang berprivilese, menjadi politically conscious atau tidak bisa jadi cuma sekadar pilihan (semacam untuk menjadi edgy atau tidak menjadi edgy dengan jadi “woke”, mikirin politik atau tidak, dan seterusnya). Tapi percayalah, banyak orang yang beneran gue temui, and I work closely with them, yang tidak punya pilihan selain harus sadar sama hak-hak yang melekat pada dirinya. Salah satunya dengan membangun kesadaran politik dan vokal terhadap haknya supaya tidak terus-terusan ditindas. Memang tidak ada pilihan selain jadi melek politik atau gagal survive aja sih. Jadi balik lagi, pertanyaan ini ditujukan buat siapa dulu?
Social justice warriors (SJW) secara harfiah diartikan sebagai pejuang keadilan sosial, yang memang selalu jadi hal yang baik. Tapi akhir-akhir ini term tersebut itu selalu disalahgunakan, menurut Anda kenapa hal ini terjadi?
When you’re accustomed to privilege, equality feels like oppression. Tidak sedikit orang yang disebut SJW karena menyampaikan hal yang dianggap “mengganggu” karena membongkar atau dismantle konstruksi sosial yang selama ini dianggap wajar dan kasih lihat problem struktural dibalik satu fenomena sosial. Menyebut orang SJW adalah cara paling mudah buat lari dari keharusan merefleksi diri: atas privilese yang dipunya, atas peran tidak langsungnya dalam melanggengkan penindasan struktural, atau sekadar refleksi diri di atas realita macam apa ruang nyamannya dibangun.
Akhir-akhir ini, banyak yang mulai menyuarakan opini politik via Twitter, dan karena kamu pengguna setia Twitter, menurut Anda kenapa Twitter jadi platform yang paling digunakan?
Buat gue Twitter cuma salah satu platform, sama seperti Instagram dan media sosial lainnya. Kerja-kerja offline yang jauh dari retweet dan like masih lebih fundamental untuk kerja-kerja advokasi jangka panjang. Twitter lebih sering gue gunakan karena lebih mudah posting 140-280 karakter di Twitter ketimbang posting gegambaran (ilustrasi/poster) di Instagram yang lebih labor-intensive. Mungkin itu juga alasan orang: Twitter memudahkan orang untuk ngoceh.
Dengan adanya isu-isu di Twitter seperti lelucon ofensif disamarkan sebagai “dark jokes” dan budaya “calling out” sendiri, menurut Anda, apakah ada batasan tersendiri agar terhindar dari posisi keterlaluan?
Ofensif atau kelewatan/tidak kelewatannya tweet orang mah sebetulnya tanggung jawab pribadi orang itu. Harusnya semakin besar pengaruh seseorang, semakin besar juga kesadarannya untuk belajar lebih banyak, lebih peka dan simpatik sama manusia lain, terutama terkait yang dia lontarkan. Cuma seringkali kan orang merasa tidak punya tanggung jawab moral apa-apa sama orang lain, yang penting viral. Tidak semua hal juga harus ditanggapi di Twitter. Kalau lagi banyak kerjaan, gue jarang buka Twitter, apalagi menanggapi orang. Haha. Biasanya gue tanggapi atau call out kalau yang diomongin ofensif buat gue atau ke lingkungan gue. Misalnya di joke Pardede kemarin soal coronavirus di dalam angpao. Yang menurut gue tidak empatik banget, sementara sejumlah kenalan gue pada saat itu di wilayah Cina, Hongkong, dan Taiwan lagi benar-benar panik dan khawatir sama keluarga mereka gara-gara coronavirus waktu lagi tahun baru (momen penting yang gue rayakan juga, yang harusnya jadi momen bahagia mereka juga).
Menurut kamu, dengan mengidentifikasikan diri sebagai “SJW’, apakah kamu merasa lebih terbatas untuk mengekspresikan atau tidak?
I never refer myself as an SJW. Gue juga tidak suka menyebut diri gue aktivis. Ya gue warga negara pada umumnya aja.
Raka Ibrahim
Writer
Di zaman sekarang, apa langkah awal untuk jadi politically conscious and correct (a.k.a “woke”)?
Mulai membaca dan memperhatikan hal sekitar. Selama masih aktif di LSM, tiap pelatihan ada satu trik yang selalu saya lakukan. Peserta akan saya tanya, “Dalam perjalanan kemari, apa hal tak wajar yang kalian saksikan?” Mulanya semua diam, tapi lambat laun kami mulai mencari tahu bahwa hal-hal yang mereka anggap remeh rupanya tidak benar. Ada gelandangan, ada pengamen, jalanan berlubang, perempuan risih di angkot karena dilihatin orang, pedagang menutupi trotoar. Banyak hal yang kita anggap bagian dari keseharian sebenarnya adalah hasil dari persoalan struktural. Dari situ baru peserta mulai bisa merelasikan keseharian mereka dengan politik, dan memandang isu politik lebih dari konteks politik elektoral.
Social justice warriors (SJW) secara harfiah diartikan sebagai pejuang keadilan sosial, yang memang selalu jadi hal yang baik. Tapi akhir-akhir ini term tersebut itu selalu disalahgunakan, menurut Anda kenapa hal ini terjadi?
Ada beberapa faktor. Pertama, ketika ada hegemoni yang diusik pasti akan ada yang menginjak balik. Misalkan kita mau mengurai patriarki, pasti lelaki akan gerah karena posisi kuasa mereka diganggu. Kesetaraan dan keadilan sesungguhnya tidak selalu dilakukan dengan sopan santun. Ada kalanya pihak yang berkuasa memang perlu agak “ditampar” dan dibikin tidak nyaman. Proses ini tentu membuat sebal sebagian pihak. Di sisi lain, kita perlu mengakui bahwa saat ini menjadi woke dan berkesadaran sosial telah menjadi tren. Hal ini baik, sejauh berarti isu-isu politis semakin lekat dengan keseharian publik. Namun, kita juga harus mawas diri terhadap performative wokeness, atau kesadaran sosial yang setengah-setengah dan tidak interseksional. Percuma mengaku feminis kalau kamu masih bias kelas, percuma mengaku aktivis lingkungan kalau kamu transfobik. Percuma mengaku woke ketika kamu tidak berani mengusik posisi kuasamu sendiri dan menyadari bagaimana privilese-privilesemu berkontribusi terhadap dunia yang timpang. Saya pikir ketika kebanyakan orang punya kesan buruk terhadap SJW, imaji yang muncul di kepala mereka adalah para champagne socialist atau Tumblr activists yang mulutnya berbusa-busa tentang ketidakadilan tetapi tidak pernah sekalipun merasakan kehidupan yang rentan.
Akhir-akhir ini, banyak yang mulai menyuarakan opini politik via Twitter, dan karena kamu pengguna setia Twitter, menurut Anda kenapa Twitter jadi platform yang paling digunakan?
Karena Twitter mudah, memfasilitasi bacot, dan bisa digunakan tanpa banyak berpikir. Juga karena Facebook sudah terlalu banyak berisi orang-orang tua menyebalkan. Namun, aku pikir secara global Facebook dan WhatsApp groups masih menjadi medsos utama yang mendorong diskursus politik publik. Apa yang kita anggap masif di Twitter atau medium lainnya bisa jadi cuma riak kecil di lautan luas.
Dengan adanya isu-isu di Twitter seperti lelucon ofensif disamarkan sebagai “dark jokes” dan budaya “calling out” sendiri, menurut Anda, apakah ada batasan tersendiri agar terhindar dari posisi keterlaluan?
Secara pribadi, saya mencintai lelucon ofensif. Namun, ada banyak kata “tapi” dibalik lelucon yang ofensif. Ia dapat menjadi coping mechanism untuk kelompok rentan. Saya selalu percaya bahwa mengenal audiens dan berhati-hati dengan pesan itu penting. Kalau kita bikin lelucon ofensif tentang subyek A, kita perlu yakin bahwa mayoritas yang mendengar subyek tersebut sama-sama paham bahwa subyek A itu salah. Makanya dijadikan lelucon. Budaya calling out sendiri menurut saya wajar. Itu bagian dari kamu berinteraksi dengan orang luas, dan ada bagusnya kita sama-sama paham bahwa sesuatu itu salah dan tidak patut. Saya pribadi kurang sepakat dengan cancel culture, karena menurut saya tidak memberi ruang bagi orang untuk belajar dan berubah. Namun, itu bagian dari cara kita belajar berinteraksi dengan orang yang lebih beragam dan luas latar belakangnya. Kelompok termarjinalkan yang selama ini tidak punya ruang bicara mulai menemukan satu sama lain dan berani berbicara, dan itu hal baik. Sekarang tugas kita adalah belajar untuk menerima bahwa ini ruang bersama, ruang global, dan narasinya bukan punya satu kelompok saja.
Menurut kamu, dengan mengidentifikasikan diri sebagai “SJW”, apakah kamu merasa lebih terbatas untuk mengekspresikan atau tidak?
Oh, tidak. Saya tetap laki-laki cishet, apalah batasan bagi saya di masyarakat patriarkis semacam ini. Geblek kalau saya mengeluh soal batasan sementara orang lain beneran tidak punya ruang untuk berbicara. Sekarang ini saya cuma perlu lebih mawas diri soal apa yang saya katakan dan mempertimbangkan perasaan orang lain. Dan kalau dipikir-pikir, seharusnya sejak awal semua orang juga berperilaku seperti itu. Tidak ada yang perlu dikeluhkan dan dirayakan saat apa yang kamu kerjakan itu the bare minimum hahahaha.
Harits Paramasatya
Veteran Twitter user since 2009
Di zaman sekarang, apa langkah awal untuk jadi politically conscious and correct (a.k.a “woke”)?
Kalau gue, lebih merhatiin ke bagaimana gue berkomunikasi—apakah akan menyakiti orang lain dan lebih mengasah empati gue sih. Kayak, omongan macam apa yang kemungkinan akan bikin orang tersinggung atau apakah omongan gue akan dismissing someone else’s experiences dan sebagainya. Tentang orang-orang ngomongin kata “woke” tuh, kadang orang berpikir kayak, oh lo harus pintar, atau lo harus tahu politik atau berita terkini. Tapi gue melihatnya sih, kadang orang-orang akan ngomong sesuatu dan tanpa sadar mereka bisa saja terlihat sotoy atau menghapus identitas orang.
Social justice warriors (SJW) secara harfiah diartikan sebagai pejuang keadilan sosial, yang memang selalu jadi hal yang baik. Tapi akhir-akhir ini term tersebut itu selalu disalahgunakan, menurut Anda kenapa hal ini terjadi?
Kalau di bahasa Inggris dan kalau kita melihat skena Twitter dan Tumblr di negara berbahasa Inggris, SJW juga sudah jadi term yang derogatory di beberapa kelompok. Tapi kalau untuk gue, kenapa di skena internet di Indonesia juga jadi seperti itu, ya karena orang-orang belum terbiasa dengan sistem calling out, saling mengingatkan, taking accountability for your actions. Masyarakat kita cenderung untuk lebih permisif dan lebih tertarik dengan musyawarah, “biar semuanya juga enak”. Sementara, karena tidak ada kontak muka yang palpable dalam berkomunikasi di internet, orang jadi lebih mudah untuk calling out atau mengingatkan sesuatu. In a way it’s a good thing because there will be conversations about how to be a better person, in general. Dan, mengapa itu disalahgunakan adalah ya, bahasa akan bisa selalu diambil dan diutak-atik perbendaharaannya dan bagaimana pemakaiannya.
Akhir-akhir ini, banyak yang mulai menyuarakan opini politik via Twitter, dan karena kamu pengguna setia Twitter, menurut Anda kenapa Twitter jadi platform yang paling digunakan?
Gue melihat bagaimana Twitter dapat mendukung lo untuk buat akun anonim, ya sama seperti Facebook atau Instagram. Bedanya bagaimana kita menyerap kontennya, secara visual atau verbal atau apapun itu. Untuk Twitter, konten berbentuk tulisan akan lebih mudah untuk disebarluaskan, dengan adanya fitur like dan retweet. Twitter sepertinya buat gue lebih ringan, as in lebih gak ribet, nulis pendek-pendek aja dan bisa disebarluaskan dengan sangat cepat.
Dengan adanya isu-isu di Twitter seperti lelucon ofensif disamarkan sebagai “dark jokes” dan budaya “calling out” sendiri, menurut Anda, apakah ada batasan tersendiri agar terhindar dari posisi keterlaluan?
Tentang dark jokes, beberapa hari yang lalu ada satu komedian perempuan di Indonesia yang bilang bahwa dalam pembuatan dark jokes, lo harus sudah pernah mengalami hal yang lo buat jadi lelucon. Dan gue setuju, misalnya, kalau gue tidak pernah jadi korban banjir, sudah seharusnya gue tidak boleh bikin lelucon at the expense of people yang jadi korban banjir. Kalau lo tidak pernah mengalami sesuatu tersebut, jangan dijadikan lelucon lo sendiri. Tapi, ya tentu saja tidak semua orang tahu lo pernah mengalami hal tersebut, jadi kayak, do it at your own risk. Kalau ada orang yang salah paham, ya itu wajar. About calling out, menurut gue perlu dilakukan, kalau memang sudah ada sesuatu yang salah. Tapi menurut gue, kita harus ingat dua hal: pertama, jangan mengatakan hal-hal yang lo tidak bakal katakan di depan orang itu secara langsung, dalam artian ya kita juga harus tahu. Gunakan praduga tak bersalah, mungkin itu orang memang tidak mengerti/uneducated soal hal tersebut. Kedua, you don’t have to fight your all the battles, kayak, lo selalu calling out hal-hal kecil secara spontan, ya lo bakal capek. Tidak akan bagus buat lo. Pick your opposition and “fight” them carefully.
Menurut kamu, dengan mengidentifikasikan diri sebagai ‘SJW’, apakah kamu merasa lebih terbatas untuk mengekspresikan atau tidak?
Gue tidak merasa terbatasi, sih. Malah gue jadi lebih tahu, jikalau kata-kata gue menyakiti atau menghapus identitas orang lain, ya gue jadi nyari hal lain yang sama ekspresifnya but doesn’t come at anyone’s expense. Gue jadi lebih, “oh it’s time for us to talk about something else and to be more inclusive in the conversation”. Ya, kalau itu menyinggung orang, ngapain gue ngomongin itu?