Membicarakan Relasi Antara Minoritas dan Mayoritas Kita
Melihat relasi mayoritas dan minoritas di Indonesia dari pandangan tokoh orang Indonesia dengan latar belakang Tionghoa, Ambon, hingga Jawa.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Kevina Graciela & Gernas Geraldi
Sebagai negara dengan keberagaman suku dan budayanya, Indonesia menjadi negara yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri bagi negara lain. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman tersebut. Hal itu menimbulkan konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Belakangan, konflik antar agama, konflik antar suku terjadi di Indonesia. Kita dibuat terpecah-belah demi kepentingan beberapa pihak. Kami berbincang dengan sosok dari berbagai latar belakang budaya, mulai dari penyanyi hingga stand-up comedian, untuk membicarakan minoritas, mayoritas dan bagaimana kita bisa saling menjaga.
Bhagavad Sambadha
Fotografer / Jurnalis
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Saya selalu menganggap dikotomi mayoritas-minoritas adalah masalah kesetaraan akses, bukan masalah jumlah. Pemahaman sebagian besar orang Indonesia yang melihat jumlah sebagai tolak ukur dikotomi mayoritas-minoritas pada akhirnya hanya melahirkan legitimasi moral semu yang berperan besar melanggengkan diskriminasi dan tirani mayoritas yang kerap terjadi belakangan ini.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Toleransi memang akan selalu menjadi wacana milik mayoritas, hanya mayoritas yang memiliki privilege untuk bertoleransi. Selain wacana toleransi yang sering dimanfaatkan sebagai apologi, tirani mayoritas (atau kalau mau disebut intoleransi) dapat tumbuh subur karena lemahnya penegakan hukum.
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Nggak ada masalah sih buat saya, lelucon itu kritik sosial, politik penyeragaman Orde Baru yang menyebabkan wacana-wacana identitas seperti SARA menjadi tabu.
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Sebagai triple mayoritas (laki-laki, Jawa, dan Muslim) harus diakui saya hampir tidak punya pengalaman di-diskriminasi, paling seringnya tidak boleh masuk mall karena dekil.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah ?
Respon pemerintah dalam kasus asrama mahasiswa Papua kemarin adalah cerminan lemahnya penegakan hukum dan betapa aparat (dan pemerintah) tidak memiliki perspektif yang jelas dan baik dalam menanggapi isu-isu HAM. Salah satu fungsi negara adalah sebagai penjamin hak warga negara, kontraknya ada di konstitusi. Ketika negara (dan aparatus-nya) menjalankan fungsinya berdasarkan standar moral mayoritas, maka tinggal tunggu waktu sampai akhirnya negara justru menjadi ancaman bagi warga negaranya.
Sadana Agung
Stand up comedian
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Kalo ini tentang SARA, saya lihat sih sudah ada ya. Sudah ada orang-orang yang saling membantu. Misalnya, membangun rumah ibadah bersama-sama, atau saling membantu dalam menyelenggarakan acara besar keagamaan, hari besar suatu kultur, atau budaya tertentu di suatu daerah. Menurut saya itu sebuah relasi mayoritas dengan kaum minoritas. Hanya memang masih belum banyak. Karena ini menurut saya relasi itu adalah sebuah satu tingkat diatas toleransi. Sehingga, toleransi saja masih belum banyak apalagi relasi? Tapi, pelan-pelan sudah mulai tumbuh.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Saya rasa mayoritas dan minoritas itu tidak hanya SARA saja. Tapi di semua lini kehidupan. Seperti, contohnya tangan kanan dengan tangan kiri. Penggunaan tangan kanan, itu biasanya kan lebih dibenarkan dibanding dengan penggunaan tangan kiri. Intinya semua yang mayoritas memang sudah dijadikan standar masyarakat bahwa “Ini yang lebih benar” gitu. Masalah yang ada, karena tidak saling membiarkan. Saya terkadang ingin meneriakkan kepada semua orang,“Hei, pendapatmu itu belum tentu pendapat semua orang. Jadi jangan sok menjadi yang paling mewakili dan begitu juga dengan keyakinanmu. Belum tentu yang kamu yakini juga diyakinkan oleh semua orang”. Jadi jangan merasa sok menjadi yang paling benar. Sepertinya itu sih kampanye yang harus disebarluaskan. Sehingga banyak orang akan sadar dan merasa bahwa menghargai pilihan orang lain itu penting dan tidak perlu saling mengganggu.
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Saya rasa tidak ada masalah. Lelucon berbau SARA tidak ada masalah. Karena, menurut saya yang menyinggung adalah yang menyinggung. Jadi yang tidak ya tidak menyinggung. Contoh misalnya, saya sendiri adalah etnis Jawa banyak jokes-jokes dari saya yang berbau Jawa, tapi tidak menyinggung. Ko Ernest, membawa jokes-jokes berbau etnis Tionghoa tapi dibawakan dengan nyaman dan tidak menyinggung. Ya setidaknya kita tahu bahwa itu pun tidak akan menyinggung. Contoh lain misalnya, ustad-ustad lucu. Mereka itu,membahas agama, bukan ternak lele. Maksudnya, membahas agama dengan lucu tapi tidak menyinggung. Artinya, menurut saya lelucon berbau SARA itu hanya media atau alat. Seperti pisau, jika pisau dipakai untuk kejahatan, ya bisa menusuk orang. Tapi, jika dipakai untuk kebaikan, ya bisa untuk membuat masakan yang enak. Jadi menurut saya, lelucon mengenai SARA itu media saja, tinggal bagaimana cara kita menggunakan.
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Saya seringkali merasa menjadi minoritas. Cuma, pernah mengalami intoleransi atau tidak? seingat saya tidak. Tapi, saya ingat teman saya sendiri, seorang mayoritas, dia Muslim dan berasal dari Jawa, tinggal di Jawa juga, bekerja di dekat rumahnya, artinya kurang mayoritas apa lagi? Tapi, dia bekerja di perusahaan luar negeri dan akhirnya dia dibatasi untuk tidak boleh beribadah. Nah ini terjadi disekitar saya bahwa ternyata yang mengalami intoleransi itu juga bisa mayoritas. Artinya, yang mungkin yang perlu dicatat adalah mayoritas dan minoritas ini dapat dikatakan memengaruhi, tapi bukan berarti menjadi mayoritas lalu kita tidak akan mengalami intoleransi.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah ?
Saya merasa bahwa, berita ini terlalu banyak versi. Sehingga, banyak kabar yang simpang siur. Sampai saya sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cuma karena Indonesia ini negara hukum, artinya jika memang sudah diatur dalam undang-undang, ya kita perlu patuhi, kita perlu tegakkan dengan benar begitu. Tentang memaafkan, saya rasa sih itu peradaban ya, namanya peradaban pasti ada yang menindas dan merasa ditindas, ada juga yang harus meminta maaf dan memaafkan. Saya rasa memaafkan pun juga sesuatu yang buruk. Tapi kembali lagi, jika ada hukum yang perlu dipatuhi, ya harus ditegakkan juga. Melihat kasus tersebut, Indonesia ini ternyata belum siap dengan arus informasi yang terlalu cepat juga. Sehingga sering kali menelan berita mentah-mentah dan terjadilah chaos dimana-mana, simpang siur, saling merasa benar, bahkan orang yang sedang marah juga bisa merasa sedang ditindas. Artinya, saya rasa setiap orang mempunyai kebenarannya masing-masing, tinggal kita mencari kebenaran tersebut seperti apa. Please, yuk semuanya cross-check sebelum mempercayai sesuatu.
Truly Christina
Host/Presenter
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Jujur, saya tidak mengerti kata relasi yang dipakai disini dan mayoritas serta minoritas seperti apa yg dibicarakan. Karena seharusnya jelas kita semua saling berhubungan erat. Entah dari mana awalnya kapan mulanya kata mayoritas dan minoritas bisa menjadi persoalan yang memecah belah. Apakah memang diciptakan dari jaman penjajahan untuk strategi adu domba.
Tapi kalau berbicara bagaimana status hubungan mayoritas/minoritas yang menyentuh agama/budaya/suku/ras, saya pribadi bisa bilang, kritis. entah bagaimana karakter kita memang sudah terbaca oleh bangsa penjajah dari jaman dahulu kala, perihal ini memang mudah “digoreng”. Mungkin salah satunya karena wilayah negara kita yang terbagi-bagi oleh kepulauan, suku, bahasa, budaya, ras, dan agama.
Kritis yang saya katakan disini, adalah bahkan masyarakat kita tidak lagi mengenal mayoritas/minoritas. Asal berbeda, langsung dipermasalahkan.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Membahas mengenai mayoritas/minoritas memang tak pernah ada habisnya. Semua pihak akan selalu mencari pembenaran akan cara pikirnya masing-masing. Ketimbang mempertahankan perspektif pribadi, bagaimana kalau diganti dengan mencoba mengerti perspektif orang lain yang belum tentu salah, tidak perlu didebat, dan tetap bisa meyakini perspektif kita tanpa memaksa org lain.
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Di negara demokrasi bermartabat seperti Indonesia atau liberal seperti Eropa dan Amerika, mungkin bebas berpendapat dijunjung tinggi termasuk membuat lelucon berbau SARA. tapi saya pribadi, lebih menarik buat saya untuk menonjolkan dan menikmati kelebihan SARA yang dimiliki seseorang yang saya tidak miliki.
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Agak lucu memang, saya juga mengetahui beberapa kasus yang menarik seperti diri saya. ayah saya tionghoa-jawa abdi negara seorang angkatan darat Republik Indonesia, ibu saya belanda-sunda. ayah saya melupakan bahasa mandarin, olahraga wushu dan makan dengan sumpit, karena di dalam pendidikan AKABRI, taruna hanya punya satu jati diri, Pancasila. Ibu saya minim berbahasa Belanda dengan ayahnya yang juga seorang tentara bela Indonesia.
Lalu menurut anda, saya ini orang apa? di tengah mereka yang berkulit gelap dan bermata lebar, saya adalah yang paling pucat kulitnya dan sipit matanya. sedangkan di antara mereka yang berkulit putih dan bermata sipit, saya yang paling gelap kulitnya dan lebar matanya. itu baru penampilan fisik, belum lagi persoalan agama dan cara pandang.
Tapi satu yang saya pelajari, bahwa saya tidak lagi memandang diri saya sebagai mayoritas/minoritas. menjalani semua apa adanya senyamannya dan belajar memahami orang lain. Saya tidak menempatkan diri sebagai mayoritas/minoritas, agar saya maupun orang-orang di sekeliling saya tidak merasa terintimidasi.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah ?
Itulah permasalahan kita. Masyarakat, pemerintah, media, semua mengkonstruksi perspektif mayoritas/minoritas. Minta maaf dan memaafkan itu persoalan berbeda dari mayoritas/minoritas. Buat saya, jika sebuah kasus ditetapkan sebagai tindak kriminal, tindak tegas tanpa pandang.
Tetapi memang tidak mudah untuk sebuah permasalahan yang sudah berakar dan saya mengapresiasi kerja pemerintah dalam mengupayakan segala hal untuk tetap menjaga keutuhan bangsa.
Ayub Jonn
Singer
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Sebenarnya tingkat toleransi di Indonesia cukup tinggi. Apalagi di luar ibukota, perbedaan semakin ditolerir. Dengan kata lain, relasinya baik.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Sebenarnya hal ini menjadi isu besar karena media. Sangat wajar adanya perbedaan pendapat, konflik kecil, dll berkenaan tentang perbedaan. Hanya pemicu hal ini membesar karena liputan media yang terkadang membesar-besarkan masalah juga.
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Menurut saya tidak masalah (kecuali Tuhan dan agama, itu beda perkara) selama masyarakatnya sudah dewasa secara pemikiran.
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Pernah. Dulu waktu kecil sering dibilang “hitam hitam” karena saya minoritas di sekolah itu. Tapi dari dulu saya cuek aja juga sih. Toh ternyata kulit hitam keren kok.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah ?
Saya agak bingung sih dengan langkah yang diambil pemerintah. Blokir internet, kemudian buat postingan-postingan hoax sembari ada adu tembak disana. Sejujurnya saya kurang mengikuti dan belum cross-check sumber berita, jadi saya hanya dapat berharap jika pemerintah sedang melakukan yang terbaik buat bangsa ini.
Johnsey Fernando
Gitaris
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Menurut saya masih dalam tahap aman, karena masih terbilang banyak generasi muda yang tergabung dalam berbagai komunitas yang memperjuangkan agar masyarakat minoritas dan mayoritas hidup dengan damai walaupun memang ada beberapa oknum yang mencoba merusak kerukunan antara kaum minoritas dan mayoritas di Indonesia.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Yang sering terjadi adalah berbagai bentuk diskriminasi terhadap kaum minoritas baik dalam bentuk fisik maupun mental. Terkadang kaum minoritas kurang mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Dan pendapat saya, seharusnya setiap pendapat harus dihargai, karena gagasan yang bagus bisa muncul dari setiap pikiran orang tanpa harus memandang dia dari kelompok minoritas atau mayoritas
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Lelucon itu buat saya hal yang normal. Karena ketika kita hidup dalam masyarakat yang beragam, lelucon dapat mencairkan suasana tegang yang muncul akibat perbedaan. Namun jika sudah berbau SARA, seharusnya kita mengingatkan pelaku bahwa setiap perbedaan harus dihargai dan tidak perlu dijadikan bahan tertawaan, melainkan harus disyukuri sebagai suatu kelebihan bangsa Indonesia
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Pengalaman tentang Intoleransi juga cukup banyak saya rasakan, mulai dari bentuk fisik, kepercayaan, dan hal-hal kecil lainya. Namun buat saya, mereka berbicara karena mereka belum mengenal baik siapa saya.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah?
Menurut saya kasus mahasiswa Papua yang terjadi akhir-akhir ini merupakan bentuk nyata dari masyarakat Indonesia yang kurang bisa mensyukuri perbedaan sebagai suatu kekayaan. Namun ada beberapa oknum Organisasi Papua Merdeka yang memanfaatkan momen konflik ini untuk memecah belah. Kita harus lebih sadar bahwa masyarakat Papua yang selama ini merasa dianaktirikan sehingga sangat rentan untuk dihasut. Kita harus mulai lebih menghargai dan merangkul mereka seperti saudara sendiri.
Josephine Liong
Barista & Dancer
Bagaimana Anda melihat relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas di Indonesia?
Relasi antara mayoritas dengan kaum minoritas mostly fine, karena environment dimana saya berkumpul, tidak terlalu terpengaruh dengan adanya unsur kata-kata “mayoritas” atau “minoritas”. Karena menurut saya semua sama saja, we’re all humans after all. Tetapi, ada orang-orang yang gampang terpengaruh dengan kata-kata yang sudah menjadikan label tersebut menempel pada jati dirinya mereka.
Kasus intoleransi kerap sering terjadi karena perspektif mayoritas yang dianggap lebih benar daripada minoritas. Apa tanggapan Anda melihat situasi ini?
Tanggapan saya terhadap permasalahan ini, sebaiknya orang-orang lebih di edukasikan dalam masalah kesenjangan “mayoritas-minoritas”, lebih diperkenalkan sisi equality in humanities dan bertoleransi dengan satu dan yang lain.
Bagaimana tanggapan Anda tentang lelucon-lelucon yang berbau SARA?
Untuk lelucon-lelucon yang berbau SARA, sejujurnya, saya tidak terlalu terpengaruh dengan adanya lelucon seperti itu. Tapi alangkah baiknya untuk orang atau sumber yang membuat lelucon itu harus memikirkan terlebih dahulu efek setelah lelucon itu publish atau tersebar di masyarakat luas, karena pastinya akan ada orang yang tersinggung dengan lelucon tersebut, dan kita tidak menginginkan adanya perpecahan lagi di antara masyarakat luas yang terpengaruh lelucon tersebut.
Sebagai seorang mayoritas/minoritas, apakah anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi?
Pernah.
Melihat isu terakhir tentang mahasiswa Papua dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara meminta minoritas memaafkan, apa tanggapan anda terhadap respon dari pemerintah ?
Apapun yang pemerintah katakan, itu adalah keputusan pemerintah. Kita sebagai minoritas, kita harus lebih mengerti dan mulai bertoleransi dengan orang-orang sekitar, tidak hanya dengan isu terakhir saja, ini berlaku untuk semua orang juga. Karena, kalau tidak digalakkan sisi toleransi dari berbagai sudut pandang atau kepribadian orang dengan background yang berbeda-beda, kita tidak akan bisa maju sebagai sebuah komunitas yang mempunyai tanggung jawab lebih untuk mendorong negara kita ke dalam era globalisasi yang semakin banyak saingannya.