Memahami Arti Kasih Ibu Bagi Anggota Komunitas LGBTQ+
Kami mengumpulkan cerita dan pengalaman mengenai Ibu dari anggota komunitas LGBTQ+.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ghina Sabrina & Shadia Kansha
Ilustrasi: Mardhi Lu
Kasih Ibu tak terhingga sepanjang masa adalah kalimat yang terucap tak cuma-cuma. Banyak dari kita yang beruntung dapat merasakan kasih dan dukungan Ibu untuk melalui segala lika-liku kehidupan. Begitu juga bagi anggota komunitas LGBTQ+. Kasih Ibu menjadi bagian dari perjalanan mereka untuk mencapai diri mereka yang sejati. Maka dari itu, dalam rangka Hari Ibu Nasional, kami mengumpulkan cerita dan pengalaman mengenai Ibu dalam perjalanan anggota komunitas LGBTQ+
Seperti apa hubungan Anda dengan Ibu sekarang?
My relationship with my mom is currently okay, just like nothing ever happened. Kebetulan sejak aku pindah ke Jakarta di tahun 2019, hubunganku dengan orang tua semakin bagus. So, we’re okay with everything now.
Bisa ceritakan seperti apa respon Ibu ketika mengetahui Anda bagian dari LGBTQ+?
My mom was not entirely sure of it, she doesn’t support this lifestyle she said. Tapi aku sangat privileged karena orang tuaku mendukung aku. They didn’t support me being a transwoman or being a woman, tapi mamaku tetap sayang dan mendukung aku. She even still supports me financially as if nothing ever happened, cuma memang kalau ada subjek soal itu yang dibahas, it’s a little bit tricky because I’m sometimes very sensitive but my mom has been very amazing in handling it so I’m really amazed of her.
Apa pesan Ibu yang selalu Anda ingat hingga hari ini?
There’s this one thing that she always reminds me of, but it always rubs me in the wrong way. Pesannya itu, “Jangan pernah bikin malu orang tua”. And knowing me being a transwoman, itu secara tidak langsung udah bikin malu orang tua, so sometimes it really hurts me. Tapi pesan lain yang dia selalu bilang ke aku adalah, she always reminds me what a miracle I am to her and my parents, and that I am a blessing and a grace. Anugerah dari Tuhan ke mereka. So knowing that, I know that they still love me unconditionally walaupun they just don’t support my way of life. And also, me being a transwoman is very – they don’t like it at all. But my parents, especially my mom really loves me.
Seperti apa hubungan Anda dengan Ibu sekarang?
Kami lumayan dekat. Aku anak tunggal dan aku pasti ketemu sama ibu setiap hari karena emang tinggal bareng dari dulu. Jadi setiap hari itu kami bertegur sapa, ada obrolan juga, entah obrolan gosip atau hal-hal gapenting lainnya, tapi setiap hari itu pasti ada. Dan ibu itu mau mendengarkan aku, dan aku juga mau mendengarkan ibu. Cuman, kalau hal-hal LGBT, aku memilih untuk gak membahas sama ibu karena beliau itu usianya sudah 65 tahun – hal-hal seperti ini itu hal baru untuk dia. Jadi aku gak mau bikin ibu pusing dengan hal-hal seperti ini.
Bisa ceritakan seperti apa respon Ibu ketika mengetahui Anda bagian dari LGBTQ+?
Awalnya ibu pasti kaget dan nanya “kenapa, kok bisa?”, “apa ibu ada salah sama kamu?”. Aku coba jelasin baik-baik, pelan-pelan. Kami ngobrolnya pelan-pelan dan gak marah-marah. Kami duduk berdua, diskusi dari hati ke hati. Aku bilang, “Aku dari dulu gak nyaman jadi perempuan, cuman aku baru ada keberanian dan baru benar-benar menyadari kalau aku adalah seorang pria itu ketika aku besar.” Waktu itu tahun 2015 dan aku baru kuliah semester pertama. Aku baru bisa bilang ke ibu waktu itu.
Awalnya, ibu sempat nangis, sedih. Menurutku wajar kalau ibu merasa sedih karena bagi ibu, hal ini adalah hal baru di hidupnya. Namun, lama-lama aku coba kasih pengertian. Dan ibu juga untungnya gak defensif, ibu coba memahami aku. Akhirnya kami bertemu di satu titik, dan di sana aku bisa jadi diriku sendiri dan ibu juga bisa menerima diriku sebagaimana yang aku mau.
Apa pesan Ibu yang selalu Anda ingat hingga hari ini?
“Gak apa-apa kalau kamu ingin jadi pria, cuman jangan sampai stigma-stigma negatif tentang transgender ini melekat di kamu.” Kan kebanyakan orang mikir kalau transgender ini orang nakal, tidak berpendidikan, dijauhi/dikucilkan dari lingkungan, atau kriminal. “Ibu gak mau kata-kata tersebut melekat ke kamu ketika orang ketemu kamu. Jadi, selesaikanlah pendidikanmu, tunjukin ke orang-orang kalau transgender itu gak kayak gitu. Transgender itu sama seperti manusia biasa. Manusia juga bermacam-macam jenisnya.” Jadi ibuku ingin aku jadi orang yang baik, menjauhi hal-hal kriminal dan tetap jadi anak ibu – anak yang ibu sayang. Ibuku gak minta aku jadi orang sukses, ibuku minta aku tetap jadi anak ibu yang baik, yang ibu sayang, dan yang berbakti sama ibu.
VIN
Seperti apa hubungan Anda dengan Ibu sekarang?
Jika biasanya hubungan antara anak dan orang tuanya semakin dekat saat si anak memasuki fase kehidupan dewasa, hal tersebut tidak terjadi antara saya dan ibu saya — setidaknya untuk saat ini.
Sebentar lagi saya berumur 29 tahun namun saya masih enggan untuk membagikan fakta bahwa saya gay kepadanya. Ketakutan-ketakutan terkait penolakan atau bahkan diusir dari rumah selalu menghantui saya.
Ibu saya pun akhirnya merasakan adanya jarak yang tidak sengaja saya buat. Kami hanya berbicara seperlunya karena saya sangat menghindari obrolan-obrolan seputar mengapa saya tidak pernah mengenalkan seorang perempuan istimewa kepadanya.
Rasanya seperti berada di sebuah persimpangan jalan. Ibu saya sudah memasuki kepala 6 (walaupun dia masih terlihat seperti layaknya wanita umur 40an) dan saya ingin sisa waktu yang saya miliki dengannya diisi dengan cinta dan rasa saling mengerti. Namun sulit sekali rasanya untuk bisa benar-benar jujur kepadanya yang dari kecil selalu mengajarkan saya dan adik saya tentang wujud ideal seorang laki-laki yang seharusnya A, B, C, dan seterusnya.
“Seharusnya lo melakukan yang sebaliknya. Jadi saat lo akhirnya memutuskan untuk come out ke Mama, beliau bisa jadi lebih mengerti,” ujar adik saya yang merupakan seorang laki-laki heteroseksual.
Saya setuju dengannya. Namun layaknya banyak hal di dunia ini, hal tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Ia yakin ibu saya akan akhirnya menerima saya apa adanya karena saya adalah anaknya. Mungkin, mungkin tidak.
Kematian ayah kandung saya tahun lalu yang sudah tidak saya temui selama 20 tahun menjadi layaknya sebuah alarm dalam hidup saya. Bahwa semua orang mempunyai waktu yang terbatas di dimensi ini. Saya merasa sangat terpukul dan menyesal saya tidak sempat menemuinya untuk mengenalinya dari sudut pandang saya versi dewasa. Saya tidak ingin penyesalan yang sama terjadi lagi dengan ibu saya.
Bisa ceritakan seperti apa respon Ibu ketika mengetahui Anda bagian dari LGBTQ+?
Ibu saya belum tahu bahwa saya gay. Namun saya percaya frasa “mother knows best”. Saya yakin sebenarnya dia tahu namun ia hanya menunggu saya melela. Atau mungkin saat ini ia berada di fase denial. Terbukti dengan impian-impian miliknya untuk saya yang kerap ia lontarkan di waktu-waktu yang tidak menentu. Impian-impian seputar bagaimana pesta pernikahan saya nanti seperti apa atau tempat tidur masa kecil saya yang ia ingin sekali turunkan kepada anak saya di masa depan.
Apa pesan Ibu yang selalu Anda ingat hingga hari ini?
Be good.