Melihat Persepsi Islam Kita Hari Ini
Berbincang dengan musisi hingga jurnalis tentang naiknya popularitas tren hijrah dalam kalangan anak muda, juga arti menjadi seorang muslim hari ini.
Words by Whiteboard Journal
Beberapa waktu belakangan ini, imaji Islam bergeser berkat munculnya narasi buatan yang bermunculan. Ditambah dengan iklim politik dunia saat ini, persoalan agama pun digunakan sebagai alat propaganda dan berpolitik yang dapat menyebarkan dengki dan menciptakan perselisihan. Melihat hal tersebut, kami berbincang dengan berbagai tokoh musisi dan penulis muslim di Indonesia untuk melihat persepsi Islam di Indonesia. Mulai dari naiknya popularitas tren hijrah di kalangan anak muda, sampai mencari arti menjadi seorang muslim hari ini.
Arman Dhani
Jurnalis / Penulis
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Saya tidak paham anak muda mana yang Anda maksud, tapi jika Anda merujuk pada tren misalnya artis-artis atau pesohor yang kemudian mendalami agama, lantas mengaku hijrah, ini bukan hal baru. Golongan artis yang lebih senior seperti almarhum Gito Rollies dan Hari Moekti, juga Inneke Koesherawati sudah melakukan ini. Bedanya mungkin pada paparan media sosial. Fenomena hijrah di kalangan artis ini jadi komoditas. Sayangnya beberapa dari mereka, seperti Arie Untung belajar menganggap hijrah, belajar agama, sebagai sesuatu sepele. Beberapa kali artis-artis yang baru hijrah bicara tentang hujjah, tentang ilmu agama yang serius tanpa dasar pengetahuan kuat. Misalnya soal ukhuwah atau bencana Palu kemarin. Ia bicara soal azab tanpa ilmu, bicara bencana tanpa paham sains dan melulu bicara ini hukuman Tuhan. Atau saat Teuku Wisnu bicara soal Al-Fatihah bagi orang mati. Hijrah karena ingin belajar agama itu hal baik, tapi ya tidak usah bicara hal yang tidak dipahami. Banyak mudarat daripada manfaatnya.
Fenomena lain juga terjadi pada anak-anak kancah. Munculnya the stranger atau musisi yang kemudian memutuskan membuang musik sama sekali. Ini menarik, mereka hijrah dari kutub ekstrem ke kutub lain. Mungkin mereka merasa berdosa selama jadi musisi, lantas saat ketemu agama jadi kaget, lalu ingin benar-benar bertobat. Tak ada yang salah. Yang jenis ini saya lebih hormat. Mereka tidak ribut di media sosial, menjalani agamanya untuk diri sendiri. Tidak menghakimi, sok tahu dengan ilmu yang sedikit. Kelompok ini tidak sedang jadi polisi moral, saya tidak tahu kelompok lain, faksi musisi hijrah tidak monolitik. Mungkin ada yang ngata-ngatain orang yang belum hijrah, tapi saya belum nemu. Ada juga riset di jurnal Studia Islamika (UIN Jakarta, 2004) berjudul “The Jamaah Tabligh Movement in Indonesia: Peaceful Fundamentalist” yang menyebut pola perekrutan jamaah hijrah serupa MLM. Tapi ya sah aja, orang ingin cari kedamaian kok.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Sejak Pemilu pertama agama, sudah jadi medium propaganda. Mulai dari Masyumi yang menganggap PKI sebagai ancaman. Politik identitas ini dipelihara, bedanya mungkin pada takarannya. Di kampung saya ada guyonan, di Madura itu 99% Islam, sisanya Muhammadiyah. Kelompok ini menganggap bahwa yang Islam ya hanya NU, Muhammadiyah tidak. Guyonan politik identitas ini tak pernah jadi alasan bagi NU untuk menghabisi Muhammadiyah, jadi beda saat orang Madura bicara soal Syiah, kekerasan di Sampang misalnya. Di Nusa Tenggara Barat orang Nahdlatul Watan tidak keberatan dengan adanya Muhammadiyah dan NU, tapi menganggap bahwa Ahmadiyah itu sesat dan boleh disakiti. Politik identitas menggunakan agama ini ya sudah lama. Dulu Megawati ditolak jadi presiden saat Gus Dur lengser dengan dalil nggak boleh negara dipimpin oleh perempuan, tapi saat beliau bersama Kyai Hasyim Muzadi malah boleh jadi presiden. Sikap saya mestinya publik berhenti percaya omongan agamawan soal kebijakan publik dan politik. Soal agama kembalikan saja pada ruang paling sunyi, diri sendiri.
Setelah Orde Baru berkuasa, terjadi depolitisasi besar-besaran. Partai politik dan organisasi masyarakat diwajibkan berasaskan Pancasila saja. Oleh karenanya, saat reformasi bergulir dan keran kebebasan politik dibuka, Islam politik pun bersemi kembali. Ariel Heryanto, penulis buku “State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2006)”, mencatat bahwa re-Islamisasi itu sesungguhnya sudah terjadi sejak dekade 1990-an. Salah satu indikatornya adalah pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Teman-teman Gusdurian sudah berusaha membangun komunikasi antar kelompok agama, membangun simpul-simpul gerakan, membatasi ruang kebencian dengan bicara pada banyak anak muda. Orang-orang tua fasis yang konservatif ini sudah tidak bisa diselamatkan, yang bisa kita lakukan ya merangkul anak-anak SMP-SMA untuk belajar cari tahu di luar dirinya. Anak-anak mesti diajari materi perbandingan agama, bukan sebagai doktrin tapi sebagai pengetahuan. Berapa anak muslim yang tahu, untuk menjadi Katolik tidak mudah, bersama anak Kristen yang tahu bahwa ajaran Buddha beda dengan Islam, anak-anak ini mesti diajarkan perbedaan, menerima bahwa iman mereka tidak bisa jadi alasan untuk menyakiti yang lain. Riset dari Wahid Institute dari 500 siswa di Jakarta 27 persen tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%. Kebencian macam ini mesti dihentikan, selama rumah ibadah digunakan untuk khotbah kebencian ya tidak akan habis-habis.
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Saya belajar untuk meyakini bahwa keimanan saya tidak sempurna, jadi sebaiknya tidak mengurusi iman orang lain. Kecuali tentu, jika ada yang sok tahu dan jika saya cukup tahu, mungkin akan memberikan perbandingan tafsir akan doktrin keimanan.
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Tidak tahu.
Billy Saleh
Musisi – Polka Wars
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Kalau tren yang sedang menjamur saat ini mungkin lebih cocok disebut pendalaman agama. Tren anak muda yang mendalami agama sebenernya udah beredar sejak lama, bahkan generasi orang tua kita (misalnya mengambil contoh bahwa ayah saya sendiri juga pernah ‘mondok’ di pesantren saat masa mudanya). Jika dibilang semakin populer tentu banyak faktor mendukung, informasi melimpah di internet dan masyarakat yang cenderung mudah untuk mengakses informasi-informasi beredar menjadi salah satu faktor penting ketika para muda-mudi sedang merasa gundah gulana tanpa arah dan mencari sesuatu untuk ‘menggantungkan’ harapan mereka kepada hal lebih besar, maka agama menjadi salah satu pelabuhan mereka. Serta tidak lepas juga peran orang tua yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan sedari kecil untuk diterapkan di kemudian hari.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Tidak dipungkiri, balutan agama menjadi sebuah produk yang sangat menggiurkan untuk dipasarkan. Tidak usah berjauh-jauh, maraknya lagu religi saat bulan Ramadhan maupun Natal sudah menjadi bukti konkret bagaimana sebuah produk yang dibungkus agama menjadi komoditas menjanjikan.
Baru-baru ini saya menonton iklan di televisi bagaimana sebuah pasta gigi dipasarkan dengan cap halal di dalamnya (sebenarnya jadi hal yang kaget dan tak kaget bagaimana perkembangan produk jualan yang masuk ke industri pasta gigi, mungkin ke depannya akan ada juga kulkas atau speaker dicap halal?). Dalam agenda politik, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang kerap menjunjung tinggi nilai keagamaan akan secara tidak langsung menjadikan agama sebagai identitas utama mereka. Maka politik identitas menjadi salah satu peluru utama politikus dalam menyerang lawan politiknya. Tentu agama dan politik sudah menjadi padu (jika ditelusuri sejarah bagaimana politik Islam dijalankan pada zaman keislaman muncul, atau zaman terbentuknya Katolik di Vatikan).
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Kalau saya pribadi, mungkin rasanya agak menggurui ya jika memberi tahu cara yang digunakan untuk melawan narasi tersebut. Mungkin hal yang paling sederhananya adalah sebagai manusia yang hidup di bumi ini, jangan melupakan nilai kemanusiaan sebagai penyeimbang dalam menyaring informasi berbau hasutan atas asas keagamaan. Juga di dalam kemanusiaan terdapat keberagaman agama, seperti yang sudah diajarkan sejak SD dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dimana toleransi dijunjung tinggi di Indonesia. Jika kita mendalami pemahaman agama, maka jangan lupa dalami pemahaman tentang kemanusiaan yang mudah-mudahan membuat kita menjadi semakin bijak dalam menentukan sikap atas narasi politik yang telah dibangun selama ini.
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Jalani saja (tertawa).
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Sepertinya memeluk suatu kepercayaan tertentu bukan hal yang harus dibanggakan. Jika pun merasa bangga, hal tersebut lebih cocok dijadikan piagam kepada diri sendiri, bukan hal yang dipamerkan kepada orang lain. Mungkin saya jauh lebih bangga misalnya menjalankan nilai-nilai keagamaan yang memberi manfaat kepada sesama, seperti, tidak buang sampah sembarangan, berbakti kepada orang tua, taat rambu lalu lintas atau seperti menjalani hubungan spiritual yang romantis denganNya, dan tetap, hanya kami berdua yang tahu.
Kalis Mardiasih
Penulis
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Banyak orang menyebut seseorang yang berubah ke arah “kebaikan” sebagai hijrah. Kalau begitu, setiap orang mestinya berhijrah setiap hari, termasuk kita semua sebab Al imanu yazidu wa yanqush, iman seseorang itu naik turun. Sayangnya, hijrah hari ini dimaknai berbeda. Seseorang yang berhijrah seolah sudah sampai pada puncak keimanan, lalu trennya adalah lekas-lekas mendakwahi orang lain agar orang lain segera mencecap rasa spiritual yang sama dengan mereka. Padahal, rasa spiritual tiap orang mestinya sangat intim dan personal.
Selain itu, hijrah yang sedang hype hari ini terasa seperti mundur belasan abad karena hanya bicara soal ibadah dan minta orang pakai jilbab lalu berantem karena preferensi politik. Padahal Islam bisa lebih keren dengan merespons isu ketimpangan ekonomi, nasib angkatan kerja produktif, ancaman sampah plastik di lautan, kedaulatan pangan sampai perubahan iklim. Untuk bicara tantangan-tantangan itu memang kita sama sekali tidak bisa bicara soal moralitas belaka, apalagi jadi eksklusif, kan?
Hijrah, yang kita kenal hari ini lebih identik sebagai bahasa industri. Dulu, istilah tersebut dipopulerkan untuk menyebut deretan artis yang menandai proses perubahan dirinya dengan menarik diri dari dunia hiburan di televisi. Untuk artis perempuan, biasanya proses tersebut ditandai dengan berkerudung, misalnya Inneke Koesherawati dan Dewi Sandra. Sekitar lima tahun belakangan, istilah hijrah tidak bisa dibicarakan sesederhana itu. Hijrah hari ini hadir sebagai sebuah gerakan terpola: artis hijrah, hashtag khas hijrah, ustadz tertentu pembimbing komunitas hijrah, bahkan festival hijrah. Gerakan hijrah hari ini juga lebih terang-terangan mengumumkan keberpihakan ideologi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Saya pribadi tak punya masalah dengan proses seseorang yang merasa berjalan ke arah kebaikan lewat petunjuk yang datang dari nilai-nilai agama. Tapi, gerakan apa pun, tidak mesti dengan label hijrah, jika berpotensi mengajarkan sikap beragama yang eksklusif yakni tidak mau menerima pendapat lain selain kelompoknya, bahkan mengajarkan sikap ekstrem yaitu memprovokasi bahkan menyerukan diskriminasi dan kekerasan kepada kelompok lain, maka hal tersebut harus kita lawan. Esensi Islam adalah mengajarkan manusia kepada kemanusiaan yang utuh dan menyeru keadilan serta anti-diskriminasi dalam konteks hidup bersama sebagai warga-bangsa.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Daya paksa yang dimiliki agama tapi tidak dimiliki oleh sumber nilai lain seperti filsafat, sains dan kesenian adalah agama memiliki produk pahala dan dosa, surga dan neraka. Daya paksa tersebut yang membuat para pemeluk agama dengan nalar kritis yang minim seringkali jadi tidak punya kontrol terhadap kepercayaan agamanya.
Saya no comment soal hasrat pribadi seseorang, ya. Hahaha. Itu hak mereka sebagaimana risiko juga ada di tangan mereka masing-masing. Masalahnya, gara-gara ambisi seseorang yang tampilannya dilengkapi oleh jenggot, sorban, atau kerudung dan sedikit kemampuan ceramah, jadi banyak yang tertipu. Orang awam yang ingin belajar agama mengira mereka adalah ahli agama, ternyata tak lebih dari penyebar berita palsu dan pemecah belah masyarakat. Itu merepotkan sekali.
Sebagai warga negara, kita punya hak untuk berpikir dan berekspresi, termasuk bersikap terhadap propaganda-propaganda berbungkus agama yang mengarahkan kepada kebodohan, kesesatan berpikir, polarisasi dan lain-lain. Sudah banyak kanal untuk fact checking serta melaporkan propaganda semacam itu seperti misalnya kabarkan.org.
Akan tetapi, harus jadi evaluasi bersama bahwa pemerintah perlu lebih tegas dalam melawan narasi-narasi jahat itu. Pondasi sebuah civil society adalah ilmu pengetahuan dan supremasi hukum. Dua hal ini hari ini sedang goyah di era yang kita sebut post-truth. Negara-negara chaos dimanapun selalu berawal dari runtuhnya legitimasi sumber-sumber ilmu pengetahuan dan tidak adanya kekuatan hukum.
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Ini yang sebetulnya keliru ya. Ketika ada narasi buruk, lalu yang terpikir oleh kita adalah bagaimana melawan narasi itu. Tak jarang, kita berpartisipasi dalam mengamplifikasi gelombang narasi itu jadi lebih luas, dan yang sudah pasti dampaknya adalah polarisasi dan semakin tajamnya potensi dendam dan kebencian di masing-masing kubu. Misalnya, ketika ada narasi NKRI Bersyariah yang poin-poinnya jelas tidak sesuai dengan konstitusi kita yang menjamin persamaan hak dan tanggung jawab warga negara. Semua orang reaksioner. Link berita palsu dan konten video provokatif justru terviralkan.
Dalam situasi serba salah sekarang ini, yang perlu masyarakat lakukan adalah menahan diri untuk tidak terpancing narasi kebencian itu. Selanjutnya, adalah memperkuat narasi keIndonesiaan dengan berbagi cerita bermasyarakat dan berbagi cerita beragama yang sesuai realitas sehari-hari. Ketika menulis, saya kerap kali bercerita soal tukang ojek yang baik hati, imam masjid yang menyapa para musafir dan memberi tempat berteduh, juga tetangga Cina yang berbagi makanan ketika Natal maupun Idul Fitri. Kebaikan itu universal sifatnya, bukan milik agama tertentu atau identitas tertentu. Narasi ini yang mesti kita rebut kembali. Kata Gus Dur, kalau kita bisa berbuat hal baik buat semua orang, orang tidak akan pernah bertanya siapa kamu dan apa agamamu.
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Cara beragama saya tidak berubah. Memang apa yang harus berubah? Islam mengajarkan keutamaan ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad mengajarkan umatnya untuk menuntut ilmu sejak kita masih bermain ayunan hingga kelak dikuburkan. Di era informasi sekarang ini, tantangan kita justru mencari sumber informasi yang benar. Saya seperti kebanyakan orang yang senang menyimak ceramah via YouTube, tapi saya selektif pada ulama yang saya dengar. Ulama selain harus menguasai betul persoalan yang ia sampaikan, juga harus menjadi pusat hikmah. Saya senang mendengarkan Prof Quraish Shihab atau Gus Mus, misalnya, sebab dalam ceramah selalu menghadirkan banyak pendapat dari ulama lainnya lalu membiarkan jamaah untuk menyimpulkan mana yang ingin mereka aplikasikan. Prof Quraish juga sering mengucapkan kata “bisa jadi”, konteksnya adalah pendapat beliau bisa jadi benar, tapi bisa jadi tidak benar juga. Bayangkan saja, seorang pakar tafsir Al-Quran kelas dunia, namun sangat rendah hati.
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Love-hate relationship ya, (tertawa). Saya kenal banyak tokoh muslim Indonesia yang dapat berjalan beriringan dengan demokrasi dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Dr Faqihuddin Abdul Qadir, misalnya, menjadi intelektual muslim yang disegani karena diskursus Mubadalah atau kesetaraan gender dalam Islam. Habib Muh Luthfi Bin Yahya menjadi pemimpin Kongres Ulama Sufi Dunia di Pekalongan karena ulama-ulama Indonesia dianggap jauh lebih baik dalam menjaga harmoni dan perdamaian di Indonesia ketika ulama-ulama Timur Tengah kelimpungan melihat apa yang terjadi di negara mereka. Pesantren-pesantren di Indonesia juga sudah bicara teknologi tepat guna, konservasi dan kedaulatan pangan, anak-anak muda muslim progresif seperti NU sudah melampaui wacana politik semata dengan membentuk komunitas yang peduli dengan ketahanan Sumber Daya Alam dan perubahan iklim. Ada banyak perubahan yang sangat menarik sebetulnya.
Yang bikin sedih, tentunya ekstrimis dan teroris beragama, ya. Meski terorisme tak punya agama, tapi sebagai muslim kita tak bisa lepas dari tanggung jawab dan harus mengakui bahwa doktrin kekerasan atas nama agama memang nyata dan eksis.
Haikal Azizi
Musisi – Bin Idris
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Hijrah itu sejatinya kan berpindah dan meninggalkan sesuatu dengan tujuan untuk menjadi lebih baik, jadi seharusnya ini merupakan sesuatu yang baik. Saya penasaran juga sih apa orang-orang baru ramai hijrah akhir-akhir ini atau memang dari dulu sudah terjadi tapi karena sekarang ada sosial media jadi lebih terlihat saja.
Kalau memang baru ramai hari-hari ini penyebabnya apa ya kira-kira? Saya pernah mendapati teman saya yang non muslim juga cerita kalau teman-teman dia (non-muslim) juga ada beberapa yang “hijrah”, tren ini menarik untuk ditinjau lebih jauh. Apa society sudah begitu dekadennya ya? Tetapi kembali lagi ke awal ya selama tidak bergesekan dengan hak orang lain saya rasa tidak ada masalah jika ada yang berhijrah.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Ya kita harus lebih bijak saja sih dalam memilih guru. Belakangan status “da’i” dan “ustadz” sepertinya bertebaran, kita perlu cek dulu riwayatnya, sanad-nya bener gak? Jangan mudah terjual sama kemasannya dan selalu ingat kalau orang alim pun pada akhirnya manusia juga jadi sudah pasti ada salah-salahnya, benar di satu hal belum tentu benar juga di hal lainnya. Saya pribadi lebih suka cari yang tengah-tengah, tidak terlalu kanan, tidak terlalu kiri.
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Pertanyaan seperti ini seharusnya ditanyakan kepada ulama-ulama bukan ke saya (tertawa).
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Saya pribadi masih jauh dari kategori muslim baik, masih harus banyak belajar. Zaman sekarang lebih mudah sih untuk belajar agama, sumber informasi bertebaran di mana-mana (mungkin ini juga yang membuat hijrah jadi “tren”) jadi tidak alasan buat tidak belajar. Tetapi belajar pun harus hati-hati. Percepatan informasi di satu sisi mempermudah kita mendapatkan pengetahuan tetapi, di sisi lain juga jadi mengaburkan kita dari apa yang benar dan salah dari begitu banyak pilihan. Intinya kalau sudah belajar sesuatu jangan terburu-buru merasa paling benar dan langsung menyalahkan yang lain.
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Tentu bangga.
Muhammad Fahri
Ruci Art Space/Kelelawar Malam
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Bagus jika hasilnya positif bagi orang yang berhijrah dan sekelilingnya. Semoga bukan hanya gelombang tren, karena tren bisa naik, turun, atau hilang sama sekali.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Agama, keyakinan, dan banyak jenis pemahaman sudah sangat lama dipakai sebagai alat politik. Menurut saya, selama cara penggunaan dan tujuan akhirnya baik serta berpengaruh baik dan nyata pada banyak orang, ya tidak masalah. Jika pada prosesnya menimbulkan perpecahan dan hasil akhirnya merugikan orang banyak, berarti keyakinan tersebut telah disalahgunakan dan penyalahgunanya bisa kita tinggalkan.
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Muslim memiliki cara untuk mengetahui kebenaran suatu hadits. Dengan analogi tersebut saya pikir kita bisa menggunakan cara serupa untuk menyaring narasi yang sifatnya destruktif. Ketika menerima suatu informasi, kredibilitas tiap penyampaiannya harus bisa dipertanggungjawabkan hingga sumber paling awal. Satu mata rantai informasi cacat bisa membuat informasi tersebut dipertanyakan. Jika kita konsisten menggunakan cara ini dengan memanfaatkan teknologi yang ada, saya rasa narasi tersebut setidaknya bisa dibendung.
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Hal yang bersifat personal diyakini dan dikerjakan secara personal. Hal-hal bersifat sosial bahasanya diganti dengan menanggalkan identitas-identitas terlalu spesifik, karena pada akhirnya tujuannya pasti sama: adil, baik, sejahtera, atau apapun itu.
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Keyakinan bukan merupakan suatu pencapaian atau tujuan dalam sebuah kompetisi, jadi saya rasa tidak ada manfaatnya untuk dibanggakan.
Giovanni Rahmadeva
Polka Wars/Marsh Kids
Bagaimana Anda melihat gelombang tren hijrah yang semakin populer di antara anak muda?
Cukup bisa diprediksi sejujurnya, seiring berkembangnya teknologi informasi, terutama media sosial. Tapi jujur saya agak sedikit ‘gemas’ melihat ‘pola’ dari ‘atas’ yang cukup terstruktur, terlepas dari paham apapun yang dibawa.
Dan kadang saya prihatin, karena yang banyak bicara soal hijrah ‘di bawah’ ilmunya kadang belum seberapa. Tong kosong nyaring bunyinya terasa nyata bagi sebagian dari kita yang gemar ‘membenarkan’. Lebih baik disimpan saja dalam hati saja kalau boleh beri saran.
Tidak hanya selama musim kampanye, agama kerap digunakan oleh tokoh agama dan politik Indonesia sebagai alat propaganda atau untuk mendorong agenda pribadi. Bagaimana Anda menyikapi kondisi tersebut?
Kalau saya jadi politikus di rantai piramida yang paling atas, jelas saya akan ambil cara pragmatis tersebut, sesuai bisikan yang berdasar pada fakta dan angka. Sebagai rakyat biasa, saya hanya mencoba untuk menghibur diri saja dengan ‘gorengan’ yang sudah terlampau ‘kotor’ di bawah sejak sekian tahun lalu. Jadikan umpatan sarkas saja sudah lebih cukup, tidak usah ambil pusing apalagi dibawa ke dalam perasaan.
Menurut Anda, sebagai muslim, cara-cara apa saja yang dapat kita gunakan sebagai masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan narasi tersebut?
Beruntung saya ada di generasi ‘tengah’ yang tidak ‘take it for granted’ untuk soal wawasan sejarah dan teknologi. Kalau kepada orang tua pencinta WAG sih saya ‘no comment’ saja.
Maklum bangsa ini sejak dulu terlalu terbiasa dengan konsep ‘oral’ dan enggan untuk mendokumentasikan banyak hal. Saya harap secara jangka panjang kita dan atau pemerintah bisa meningkatkan mutu pendidikan, lebih spesifiknya pengembangan minat baca / literasi sedini mungkin. Semoga generasi selanjutnya tidak gagap alias bisa mengeliminir sendiri, mana informasi yang baik dan mana yang buruk.
Dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah dan berkembang, bagaimana Anda menjalankan beragama hari ini?
Bagi saya pribadi, yang utama ialah saya beruntung sekali karena puji syukur sampai detik ini saya masih bertuhan. Saya percaya iman merupakan kesunyian dalam diri kita masing-masing. Iman bukan ‘kata pak guru’ atau ‘kata pak ustadz’, melainkan pengalaman kita sendiri. Dan pengalaman kita dengan orang lain pasti berbeda, sehingga ‘dosis’ praktek beragama (menjalankan agama) di antara kita juga berbeda.
Yang terpenting kita semua mengarah menjadi manusia yang lebih baik, tidak perlu saling curiga dan tidak perlu juga saling membenarkan. Karena yang benar belum tentu baik, sedangkan yang baik sudah pasti benar.
Apakah Anda bangga menjadi seorang muslim sekarang ini?
Sebagai mayoritas di Indonesia, jujur biasa saja rasanya.