Media Sosial Sebagai Alat Aktivisme Modern
Melihat peran sosial media sebagai masa depan aktivisme bersama jurnalis, aktivis, juga penulis.
Words by Emma Primastiwi
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
Black Lives Matter. Papuan Lives Matter. Save Yemen From Extinction. Berikut adalah beberapa isu-isu penting yang ramai dibicarakan offline dan juga online. Dengan keadaan dunia yang cukup kacau, dengan banyaknya demonstrasi dalam menuntut keadilan di tengah pandemi, sulit melihat situasi ini sebagai hal yang membawa dampak positif. Tetapi, jika kita melihat jalannya sejarah, dunia selalu terlihat berantakan saat di ambang revolusi, dan perubahan perlu terjadi. Tidak hanya di jalan, gerakan di media sosial pun juga terus gencar. Tahun 2020 ini, kita melihat semakin banyak anak muda maju untuk memperjuangkan kebenaran, semakin banyak juga yang sekedar “ikut-ikutan”. Mengupas peran media sosial dalam perkembangan aktivisme modern, kami berbincang dengan beberapa aktivis, jurnalis juga penulis tentang kegunaan media sosial dalam sebuah pergerakan, konotasi negatif dari “Social Justice Warrior”, fenomena performative activism, sampai cara-cara menghindari konten provokasi.
Anindya Restuviani
Aktivis – Jakarta Feminist
Aktivis media sosial modern sering diberikan sebutan “SJW” atau “Social Justice Warrior” yang terkadang digunakan dalam konteks negatif. Apa perspektif Anda terhadap term itu sendiri?
Saya sendiri, sebagai seorang aktivis yang sering menggunakan media sosial dalam mengkampanyekan isu feminisme tidak jarang mendapatkan sebutan SJW. Sering kali memang, saat sudah dilabeli SJW, pendapat kita dianggap remeh dan tidak penting. Contohnya, seperti disaat banyak teman – teman yang mengkritik perilaku abusive dalam pacaran yang viral di media sosial, banyak masyarakat yang mengkerdilkan pendapat kita dengan berucap “halah kamu SJW” atau “awas diserang SJW” yang akhirnya setiap kali kita melihat ada hal yang keliru dan ingin memberikan pendapat dan dukungan menjadi enggan karena takut disebut SJW. Maka dari itu, menurut saya sebutan SJW ini adalah salah satu cara untuk meremehkan dan mengecilkan suara teman – teman yang lantang.
Kalau saya pribadi sih, sekarang sudah berada di posisi “owning” the label, ya kalo memang SJW terus kenapa? Daripada diam saja melihat hal yang seharusnya tidak dapat dibenarkan, saya lebih baik dilabeli SJW.
Banyak sekali anak-anak muda sekarang yang melihat pergerakan sosial di media sosial sebagai tren atau kesempatan untuk mencari popularitas. Menurut Anda, apakah sikap ini berdampak negatif pada sebuah isu/gerakan?
Memang tidak bisa dipungkiri, dengan tren media sosial sekarang, belum lagi tren label influencer banyak yang menggunakan isu sosial sebagai cara mereka mendapatkan clout atau popularitas di media sosial. Mengganggu atau tidak: akan mengganggu apabila yang disampaikan blunder, sok tahu tanpa mengedukasi diri mereka terhadap isu yang mereka suarakan. Ini bahayanya dengan mereka yang mengampanyekan sebuah isu karena sedang ngetren saja.
Dilain sisi, teman – teman aktivis juga melihat sosial media berperan besar dalam sebuah gerakan. Seperti layaknya ruang publik pada umumnya, media sosial merupakan sarana publik yang dapat digunakan untuk memberi dan mengakses informasi. Layaknya ruang publik lain, ruang-ruang percakapan juga terjadi di media sosial. Seperti kampanye #MeToo , #GerakBersama, #ReformasiDikorupsi, #BlackLivesMatter dan #PapuanLivesMatter contohnya yang berhasil merebut ruang percakapan di media sosial, saya melihat tidak seharusnya kita mengkerdilkan peran media sosial, karena coba bayangkan saja jika kampanye HAM tidak terjadi di media sosial, maka ruang percakapan akan didominasi oleh pihak yang rasis, diskriminatif dan juga opresif. Maka dari itu, merebut kembali ruang percakapan di media sosial juga sebetulnya membantu advokasi teman-teman aktivis.
Untuk orang-orang yang ingin mendukung sebuah isu tetapi tidak tahu mau mulai dimana, bagaimana media sosial dapat menciptakan jembatan tersebut untuk mereka?
Ini sih yang aku maksud dari bagaimana media sosial membantu teman-teman yang ingin tahu mengenai sebuah isu tapi sulit mendapatkan informasi, sayangnya memang kita harus hati-hati dalam memilah-milah informasi yang ada di media sosial.
Yang bisa lakukan tentunya mencari informasi dari akun/profil teman-teman yang memang paham dan juga terdampak isu tersebut. Alih-alih berbicara sendiri tapi sok tahu, ada baiknya menggunakan platform kita untuk amplify suara-suara mereka yang memang mengalami diskriminasi dan opresi.
Bagaimana kita bisa membedakan informasi akurat dari hoax dan menghindari konten-konten provokasi?
Selalu kritis dalam membaca sebuah informasi, banyak teman-teman yang terprovokasi berita yang mereka temukan di media sosial dengan hanya membaca judul tanpa membaca konten misalkan. Usahakan juga selalu cari second opinion untuk verifikasi informasi yang didapatkan.
Menurut Anda, apakah aktif dalam media sosial sudah cukup untuk mendukung sebuah gerakan? Atau masih harus turut mendukung lewat aksi-aksi lain seperti unjuk rasa?
Saya sangat menghargai teman-teman yang mau dan bisa turun ke jalan untuk ikut unjuk rasa, namun jika saya bilang HARUS ikut aksi unjuk rasa saya rasa kok terkesan ableist sekali. Banyak dari mereka yang peduli dengan isu namun tidak bisa ikut turun ke jalan, khususnya banyak aksi unjuk rasa yang belum ramah dengan teman-teman disabilitas, atau mungkin mereka bekerja di industri yang sulit keluar dari tempat kerja seperti teman-teman buruh pabrik atau pekerja rumah tangga. Saya rasa kita semua punya peran masing-masing juga dalam gerakan.
Tapi apakah aktif di media sosial saja cukup? Saya rasa tidak, yang penting malah bagaimana kita mengimplementasikan nilai tersebut di kehidupan kita sehari-hari, percuma kita teriak-teriak di media sosial tentang “jangan melecehkan perempuan” tapi kenyataannya ternyata malah pelaku pelecehan.
Bhagavad Sambadha
Jurnalis
Aktivis media sosial modern sering diberikan sebutan “SJW” atau “Social Justice Warrior” yang terkadang digunakan dalam konteks negatif. Apa perspektif Anda terhadap term itu sendiri?
Semenjak istilah SJW mengalami peyorasi di kultur internet, saya melihatnya sebagai (1) usaha sistematis untuk melabeli dan menggembosi orang-orang/gerakan progresif, dan sebagai (2) kritik terhadap slacktivism/slacktivist yang seringkali tidak mempunyai pijakan ideologis yang jelas dan menjadikan isu/gerakan sosial sebagai batu lompatan untuk mencapai hal lain (misalnya seperti popularitas atau engagement di media sosial).
Banyak sekali anak-anak muda sekarang yang melihat pergerakan sosial di media sosial sebagai tren atau kesempatan untuk mencari popularitas. Menurut Anda, apakah sikap ini berdampak negatif pada sebuah isu/gerakan?
Sifat media sosial yang memungkinkan untuk sebuah isu sosial mencuri perhatian (dan dilupakan) dengan cepat memang menggiurkan dipakai untuk meraih popularitas. Saya percaya bahwa savior complex dan pengkultusan individu pada akhirnya akan selalu merugikan gerakan sosial yang idealnya dikampanyekan dengan egaliter melalui kesadaran kolektif.
Untuk orang-orang yang ingin mendukung sebuah isu tetapi tidak tahu mau mulai dimana, bagaimana media sosial dapat menciptakan jembatan tersebut untuk mereka?
Sebagai platform dua arah, media sosial sangat strategis untuk mengamplifikasi dan mengorganisir isu/gerakan sosial. Sepengalaman saya, cara terbaik untuk mulai peduli dan terlibat adalah dengan mengidentifikasi isu/gerakan sosial yang paling sejalan dengan principle/value yang kita yakini dan dekat/relate, dilanjutkan dengan mencari informasi dan referensi sebanyak mungkin tentang isu/gerakan tersebut, dan mulai berjejaring dengan orang-orang yang punya kepedulian sama.
Bagaimana kita bisa membedakan informasi akurat dari hoax dan menghindari konten-konten provokasi?
Informasi hoax biasanya mempunyai beberapa ciri yang bisa diidentifikasi; judul/narasi yang bombastis, penyajian data yang tidak lengkap, cenderung menyederhanakan masalah dll. Kebiasaan baik yang perlu dipelihara adalah kemauan untuk mencari tahu lebih banyak.
Menurut Anda, apakah aktif dalam media sosial sudah cukup untuk mendukung sebuah gerakan? Atau masih harus turut mendukung lewat aksi-aksi lain seperti unjuk rasa?Singkatnya; seperti jawaban di atas, ada banyak cara untuk mendukung, mengamplifikasi dan terlibat dalam sebuah gerakan sosial, termasuk di internet/media sosial, tapi saya percaya aksi langsung (seperti simpul offline, demonstrasi, sabotase dll.) masih dan akan selalu menjadi cara terbaik untuk mendorong perubahan. Pada akhirnya aktivisme internet tidak bisa memberikan gambaran dan pengalaman utuh akan konteks sosial untuk mencapai kesadaran kolektif dalam sebuah gerakan/perubahan sosial.
Dhyta Caturani
Aktivis
Aktivis media sosial modern sering diberikan sebutan “SJW” atau “Social Justice Warrior” yang terkadang digunakan dalam konteks negatif. Apa perspektif Anda terhadap term itu sendiri?
SJW memang merupakan terma peyoratif yang diciptakan untuk mengolok-olok orang-orang yang dianggap menggunakan isu sosial dan politik dan pandangan progresif demi kepentingan personal yang seringkali terkait dengan pengakuan dan validasi personal di mata publik. Istilah gampangnya cari ketenaran. Bahwa mungkin benar ada orang-orang seperti itu, namun penyematan status SJW kini digeneralisir kepada semua orang yang mempromosikan keadilan sosial (dalam isu dan pandangan progresif apapun) tanpa melihat latar belakang kerja-kerja serius yang dilakukan orang-orang tersebut. Yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah istilah SJW ini justru sekarang banyak dilemparkan oleh mantan-mantan aktivis kepada orang-orang yang masih melakukan kritik terhadap kekeliruan pengelolaan negara yang dilakukan pemerintah dan elit-elit politik dan/atau bahkan kepada orang-orang yang bekerja di akar rumput untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Buat saya, terma SJW ini hanyalah satu dari sekian banyak narasi lain yang digunakan untuk membungkam semua upaya kritik dan kerja-kerja yang ditujukan untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial dan perubahan. Maka dari itu tak perlu digubris.
Banyak sekali anak-anak muda sekarang yang melihat pergerakan sosial di media sosial sebagai tren atau kesempatan untuk mencari popularitas. Menurut Anda, apakah sikap ini berdampak negatif pada sebuah isu/gerakan?
Mungkin benar ada anak-anak muda seperti itu tapi yang ingin saya klarifikasi adalah prilaku-prilaku seperti itu (bila ada) bukan hanya di kalangan anak muda, yang tua-tua juga ada pastinya. Dan saya selalu berupaya untuk tidak melakukan asumsi-asumsi negatif seperti itu until otherwise proven. Saya memilih untuk berpikir bahwa semua orang punya peran dalam membuat perubahan. Banyak orang (nah ini memang seringkali terjadi di kalangan anak muda) memilih untuk menyuarakan isu-isu gerakan sosial dan tidak terlibat lebih dari itu. Tidak apa juga, meskipun akan lebih baik bila terlibat lebih dalam advokasi isu-isu yang mereka suarakan di media sosial. Di era digital ini, kita harus bisa lebih fleksibel dalam melihat dan mengakui adanya aktor-aktor baru dalam gerakan. Salah satu tipe aktor baru dalam gerakan ya mereka yang hanya mau atau bisa terlibat sebatas bersuara di media sosial. Yang terpenting bagi mereka adalah untuk benar-benar mencari tahu dan memahami isu yang ingin diperjuangkan. Dan apabila isu yang diperjuangkan di media sosial adalah terkait sekolompok komunitas atau masyarakat yang mengalami represi, maka penting untuk mengamplikasi suara-suara anggota komunitas atau masyarakat tersebut dan bukannya bicara atas nama mereka (on behalf of). Buat saya selama isu dipahami dengan baik, informasi yang dimiliki akurat dan etika dalam menyuarakan peristiwa yang menimpa orang lain dipenuhi, maka gerakan tidak dirugikan namun justru diuntungkan dengan semakin banyaknya orang bersuara. Jadi penting buat kita untuk menghilangkan asumsi buruk atas keterlibatan mereka dan justru berupaya untuk menjangkau mereka sebagai sekutu untuk membantu amplikasi isu yang tengah kita perjuangkan.
Untuk orang-orang yang ingin mendukung sebuah isu tetapi tidak tahu mau mulai dimana, bagaimana media sosial dapat menciptakan jembatan tersebut untuk mereka?
Justru disinilah peran media sosial. Buat saya, media sosial dengan naturnya yang menghilangkan batas-batas geografis, waktu dan sampai level tertentu kelas sosial, menjadi tempat yang tepat untuk menyebarkan informasi yang tepat terkait isu-isu yang kita perjuangkan dan semua aspeknya. Media sosial menjadi ruang bagi kita untuk mengorganisir pemahaman orang, lalu memobilisir opini, dan bila memungkinkan akan lebih bagus bila bisa mengaktivasi orang untuk terlibat secara onground (istilah yang lebih suka saya gunakan untuk menggantikan istilah offline). Tapi bukan berarti kemudian tidak ada tantangannya. Karena sekarang semua orang berada di media sosial dan menyuarakan segala macam isu dan mengunggah segala jenis konten, maka kita harus seringkali berebut perhatian. Dan hiruk pikuk media sosial ini juga berakibat pada pendeknya attention time-span orang terhadap isu tertentu. Ini pentingnya, dalam menyebarkan informasi dan mengkampanyekan isu, kita perlu memikirkan strategi yang jitu agar bisa menarik perhatian orang dan mendapatkan empati dan simpati orang untuk terlibat.
Bagaimana kita bisa membedakan informasi akurat dari hoax dan menghindari konten-konten provokasi?
Sebenarnya bukan hal sulit untuk membedakan informasi akurat dari hoax (fake news, misinformasi dan disinformasi). Yang terpenting bagi kita adalah pertama, bagaimana kita selalu meyediakan ruang kritis di otak kita untuk selalu mempertanyakan kebenaran informasi yang kita dapat, baik informasi yang sepaham dengan kita maupun yang tidak, bahkan bila berita itu nampak masuk di nalar. Kedua, selalu menyediakan waktu untuk jeda sejenak seketika kita selesai membaca sebuah ini sebelum membagikan ulang berita tersebut. Cari tahu sumber informasinya, kredibel atau tidak. Cari tahu siapa yang pertama membagikan informasi tersebut (yang seringkali bisa berbeda dengan sumber informasinya). Cari tahu keabsahan data dan fakta yang dimuat dalam informasi tersebut. Semua pencarian itu tidak sulit. Semua ada di ujung jari-jari kita. Mesin pencari (search engine) dan bahkan media sosial bisa membantu kita memverifikasi semua itu.
Menurut Anda, apakah aktif dalam media sosial sudah cukup untuk mendukung sebuah gerakan? Atau masih harus turut mendukung lewat aksi-aksi lain seperti unjuk rasa?
Jawabannya ya dan tidak, karena selalu ada ruang abu-abu yang bisa diisi dan dimanfaatkan dalam setiap peristiwa dan gerakan. Kita sudah melihat banyak gerakan di media sosial yang cukup berhasil memberikan dampak pada situasi sosial, ekonomi dan politik di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Ada aturan hukum yang tidak jadi disahkan atau disahkan karena desakan yang kencang di internet (media sosial maupun petisi online), ada upaya-upaya pelemahan lembaga penting yang berhasil dihadang, ada isu-isu yang diangkat secara masif dan berhasil mengubah perspektif banyak orang. Namun tentu, seringkali juga gerakan di media sosial harus diikuti dengan gerakan di wilayah onground tadi. Ada lobby, audiensi, advokasi, kerja-kerja di akar rumput, dan lain-lain. Dan tentu saja aksi unjuk rasa menjadi satu yang terpenting untuk menunjukkan kekuatan dalam bentuk jumlah massa. Di era digital, kita tidak lagi bisa bicara ideal atau tidak ideal. Kita harus bicara ideal dan lebih ideal. Ideal bila banyak orang bisa ikut aktif memperjuangkan isu-isu keadilan sosial di media sosial, lebih ideal bila orang-orang tersebut bisa teraktivasi ke gerakan onground.
Raka Ibrahim
Penulis – Bagaimana Tuhan Menciptakan Cahaya
Aktivis media sosial modern sering diberikan sebutan “SJW” atau “Social Justice Warrior” yang terkadang digunakan dalam konteks negatif. Apa perspektif Anda terhadap term itu sendiri?
Ketika disampaikan dalam konteks yang kita kenali di pergaulan daring, saya menganggapnya candaan saja—macam kita melempar istilah Wibu, Tankies, atau Incel. Yang penting, kita paham bahwa ada persoalan nyata di luar sana yang jauh melampaui obrolan kita di media sosial.
Banyak sekali orang yang sungguh-sungguh “bertarung untuk keadilan sosial” yang tidak garang di dunia maya. Kartini Kendeng tidak merangkap jadi selebtweet, Mama Yosepha Alomang tidak punya 2 juta followers di Instagram, Paduan Suara Dialita tidak pernah twitwar dengan buzzer.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa dunia maya adalah salah satu lahan pertarungan yang penting. Tapi dia hanya cuplikan kecil jadi persoalan yang jauh lebih besar.
Banyak sekali anak-anak muda sekarang yang melihat pergerakan sosial di media sosial sebagai tren atau kesempatan untuk mencari popularitas. Menurut Anda, apakah sikap ini berdampak negatif pada sebuah isu/gerakan?
Mungkin seseorang mulai tertarik pada suatu isu karena isu tersebut sedang keren, dan itu tidak masalah. Bila dikelilingi kawan yang tepat, siapa saja bisa berevolusi jadi ally yang efektif.
Saya percaya pada seleksi alam. Kita bisa melihat dengan mudah siapa yang berkembang dan bertumbuh dalam suatu gerakan. Dan siapa yang ujung-ujungnya cuma ingin menguasai panggung, menaikkan profil pribadi, atau…jadi tukang endorse brand.
Ulat bisa berubah jadi kupu-kupu. Tapi kecoa akan selamanya jadi kecoa. Bakal ketahuan dengan cepat, kok.
Untuk orang-orang yang ingin mendukung sebuah isu tetapi tidak tahu mau mulai dimana, bagaimana media sosial dapat menciptakan jembatan tersebut untuk mereka?
Kamu bisa mulai dengan menahan hasrat untuk langsung berkomentar. Memang beropini itu bebas, tapi kamu tidak tahu dampak opini kamu. Masih mending kalau sekadar ngawur. Gimana kalau opinimu di suatu isu sensitif—misalnya rasisme atau kekerasan seksual—justru menyakiti korban dan malah memberi trauma secara tidak langsung?
Dengarkan suara orang yang sungguh-sungguh terdampak. Dalam isu Papua, mau tidak mau dengarkan perasaan Orang Asli Papua. Dalam isu kekerasan seksual, mau tidak mau kamu harus mendengarkan suara penyintas kekerasan seksual. Itu non-negotiable.
Kemudian, pahami perananmu sendiri dalam isu tersebut. Apakah kamu mesti turun langsung dan menyuarakan secara keras? Atau kamu cukup melantangkan suara orang-orang yang selama ini dibungkam? Apakah mereka butuh bantuan kamu, atau mereka cuma butuh panggung yang selama ini dikuasai oleh kamu?
Memikirkan hal seperti ini bisa mengasah empati kamu. Perlahan-lahan, kamu mulai berpikir soal bagaimana setiap isu saling terkait, dan bagaimana kamu bisa berperan secara proporsional di situ.
Bagaimana kita bisa membedakan informasi akurat dari hoax dan menghindari konten-konten provokasi?
Cari sumber yang tepercaya—periset, jurnalis, aktivis, ahli hukum, siapapun yang kompeten dan punya tanggung jawab ke publik, bukan akun anonim. Lalu mulai pelajari isu tersebut secara menyeluruh.
Menurut Anda, apakah aktif dalam media sosial sudah cukup untuk mendukung sebuah gerakan? Atau masih harus turut mendukung lewat aksi-aksi lain seperti unjuk rasa?
Tentu saja tidak. Tapi, berperan memang tidak harus dengan membakar ban atau menghadapi gas air mata.
Pertimbangkan bagaimana cara kamu berperan sesuai dengan kapasitasmu. Kalau kamu tidak nyaman turun ke jalan, nggak usah. Mungkin kamu bisa membantu dengan menyumbang ke penggalangan dana, memproduksi konten yang mengedukasi teman-teman kamu, membagikan sembako ke orang yang terdampak.
Cari cara yang sesuai dengan kapasitasmu, dan kerjakan dengan sebaik-baiknya. Kalau kamu nyaman menggalang dana, jadilah penggalang yang baik. Kalau kamu senang menulis, jadilah penulis yang baik. Perananmu bisa fleksibel. Itu nggak salah. Yang salah adalah ketika ketidakadilan terjadi, dan kamu diam saja. Apalagi bila kamu turut berpartisipasi dalam merawat ketidakadilan tersebut.
Pada akhirnya, kita perlu saling menjaga dan saling peduli. Saya bukan orang yang taat, tapi semasa kecil saya ingat pernah diajarkan Hadits yang bilang, “Orang beriman tidak akan membiarkan tetangganya kelaparan.” Lalu saya berpikir, kalau semua orang di dunia menjaga dan merawat tetangganya, kita tidak perlu khawatir-khawatir amat menjalani hidup.
Saya percaya, pijakan dari segalanya adalah kepedulian dan cinta kasih. Kalau kamu pernah merasakan sengsara, kamu nggak akan tega melihat orang lain sengsara juga.
Rika Rosvianti Neqy
Aktivis – Founder of perEMPUan
Aktivis media sosial modern sering diberikan sebutan “SJW” atau “Social Justice Warrior” yang terkadang digunakan dalam konteks negatif. Apa perspektif Anda terhadap term itu sendiri?
Menurutku, akan selalu ada sebutan dan panggilan “miring” untuk kegiatan apapun, termasuk juga aktivis yang belakangan ini dianggap “keren” dan menjadi tren. Ga masalah juga disebut sebagai SJW, walaupun menurutku kesannya seolah represif ya. Tapi ya, yang terpenting adalah tentang peran apa yang secara nyata dilakukan, bukan semata sebutannya. Tanpa julukan nama dan istilah sekalipun, selama ini juga sudah ada begitu banyak orang yang sudah puluhan tahun berjuang secara nyata membantu kelompok yang termarjinalkan memperjuangkan haknya.
Banyak sekali anak-anak muda sekarang yang melihat pergerakan sosial di media sosial sebagai tren atau kesempatan untuk mencari popularitas. Menurut Anda, apakah sikap ini berdampak negatif pada sebuah isu/gerakan?
Disadari atau tidak, selalu ada orang yang “mencari panggung” baik secara offline maupun online. Dalam konteks online biasanya disebut juga dengan “pansos: panjat sosial”. Apapun sebutannya dan di manapun ranah mereka berada (online atau offline), karakternya sama: mereka yang ikut “berkontribusi” dalam gerakan untuk mendongkrak popularitasnya. Di satu sisi, menurutku baik, kalau berkontribusi dalam kegiatan sosial kemudian menjadi tren yang menarik minat anak muda, karena ini cukup banyak berkontribusi pada lahirnya modifikasi gerakan sosial yang menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi sekaligus juga menjadi lebih melibatkan anak muda sebagai sumber energi yang besar untuk menjaga gerakan ini terus berjalan.
Di sisi lain, menurutku, para “pemanjat sosial” ini memang problematik, karena cukup memodifikasi kegiatan dan gerakan sosial untuk kepentingannya yang tidak jarang justru memiliki semangat, prinsip bahkan nilai yang berbeda dari perjuangan yang dilakukan melalui gerakan sosial tersebut. Karenanya, untuk mencegah komodifikasi gerakan sosial ini terus berlanjut, menurutku perlu ada klarifikasi nilai bagi siapapun yang ikut aktif memperjuangkan suatu isu untuk memastikan bahwa hal yang dilakukan dan diserukan sesuai dengan nilai yang diperjuangkan; serta perlu melakukan “call out” bagi mereka yang justru memiliki nilai dan menjalani kehidupan yang bertolak belakang dengan itu.
Misalnya, untuk isu kekerasan seksual yang kini menjadi tren dalam bentuk utas di bermacam media sosial, penting untuk melakukan “call out” bagi siapapun yang menyebut dirinya sebagai SJW atau bagian dari orang yang memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual, namun ternyata dalam kesehariannya melakukan kekerasan seksual, entah dalam bentuk catcalling ataupun hingga perkosaan.
Untuk orang-orang yang ingin mendukung sebuah isu tetapi tidak tahu mau mulai dimana, bagaimana media sosial dapat menciptakan jembatan tersebut untuk mereka?
Media sosial adalah tempat yang baik bagi siapapun yang mau belajar. Dengan segala update yang dengan mudah ditemui dari linimasa bermacam media sosial, kita bisa dengan mudah mencari tahu latar belakang suatu gerakan di belahan dunia manapun dengan mencari hashtag-nya. Untuk isu kekerasan seksual sendiri, bisa mencari hashtag #MeToo untuk gerakan internasional atau #GerakBersama untuk gerakan nasional. Selain itu, kita juga bisa dengan mudah mengumpulkan informasi dari bermacam sumber dan sudut pandang mengenai satu isu, melalui media sosial.
Hal paling sederhana yang bisa dengan mudah dan segera dilakukan adalah dengan membagi bermacam media informasi atas isu sosial yang kita gemari: reposting posternya, mencantumkan tautan mengenai donasi atau pendaftaran kegiatan dan diskusi di media sosial kita, atau juga dengan ikut berkontribusi dalam kegiatan kampanye yang dilakukan baik dengan menyumbangkan dana. Hari ini, kontribusi netizen atas gerakan sosial bisa hadir dalam bentuk menyumbangkan tenaga, dana maupun kuota.
Bagaimana kita bisa membedakan informasi akurat dari hoax dan menghindari konten-konten provokasi?
Saring sebelum sharing. Baca sebelum bagikan.
1. Baca dulu keseluruhan informasinya. Apakah ada informasi yang janggal? Tidak jelas rujukan datanya.
2. Mencari tahu sumber informasi. Apakah informasi yang kita terima ada rujukan sumbernya, baik dari nama tokoh maupun tautan yang bisa dilacak balik? Bila hanya mencantumkan nama tokoh, googling dulu, apakah betul ada nama itu dengan gelar seperti yang dikutip?
3. Bila informasi yang kita terima tidak mencakup kedua hal tadi: JANGAN DIBAGIKAN ataupun DITERUSKAN.
Kalaupun kita belum bisa membantu menggalang dukungan atas gerakan sosial apapun, setidaknya kita bisa berkontribusi dengan menghentikan gelombang kebencian yang disebarkan melalui misinformasi dan disinformasi.
Menurut Anda, apakah aktif dalam media sosial sudah cukup untuk mendukung sebuah gerakan? Atau masih harus turut mendukung lewat aksi-aksi lain seperti unjuk rasa?
Aku sendiri percaya bahwa kehadiran secara fisik akan tetap memberikan pengalaman yang berbeda bagi siapapun di kegiatan apapun, apalagi dalam konteks gerakan yang semangatnya menggalang kekuatan bersama. Ada energi tersendiri yang baru bisa kita rasakan saat bertemu langsung dengan orang-orang yang selama ini kita perjuangkan haknya melalui media sosial, maupun dengan teman-teman lain yang memperjuangkan isu yang sama dengan cara yang berbeda.
Aktif dalam aktivisme digital menurutku adalah langkah yang baik untuk memulai kontribusi dalam aktivisme dan membangun gerakan yang tetap perlu dilanjutkan dengan terlibat pada aktivisme secara fisik. Karena bagaimanapun juga, kita perlu mengasah empati kita melalui interaksi langsung dengan orang-orang yang kesulitan mengakses hak dasarnya sebagai warga negara, supaya kita bisa tetap memahami kebutuhan mereka yang nantinya akan kita bantu perjuangkan baik di ranah online maupun offline.
–
Berikut adalah link informasi dan petisi untuk beberapa isu yang kami bahas dalam artikel ini.
Kudeta Mag – We Need to Talk About Papua