Kenapa Citayam Fashion Week Harus Tetap Menjadi Milik Publik
Kegemaran kelompok elit mengkapitalisasi kebudayaan komunitas marjinal kembali tercermin dalam pengklaiman jenama Citayam Fashion Week.
Teks: Ghina Prameswari
Foto: Katadata
Baim Wong bersama dengan perusahaannya PT Tiger Wong Entertainment mendaftarkan Citayam Fashion Week ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI). Tindakan ini menerima respon beragam, tapi pada dasarnya menggemakan ketidaksetujuan yang sama. Lantas kenapa upaya mengkapitalisasi Citayam Fashion Week dapat berakhir petaka bagi Bonge, Kurma, Jeje dkk?
Kapitalisasi terhadap kebudayaan masyarakat marjinal sebenarnya bukan hal baru. Sebut saja tren fesyen boho yang mencuri atribut suku Indian atau tempe yang dibanderol dengan harga mahal di restoran-restoran vegan–padahal tempe berawal sebagai substitusi daging bagi masyarakat kelas bawah. Meski begitu, fenomena Baim Wong dan Citayam Fashion Week paling mirip dengan gentrifikasi wilayah pemukiman di Amerika Serikat.
Singkatnya, pada tahun 1930-an sampai dengan akhir 60-an, pemerintah dan bank Amerika Serikat melabeli beberapa wilayah di negara mereka sebagai ‘berbahaya’ dan ‘tidak layak untuk investasi’. Wilayah-wilayah tersebut termasuk Harlem, Michigan, dan Ohio–di mana ketiganya didominasi oleh kelompok non-kulit putih. Baru ketika permintaan terhadap area perumahan yang terjangkau meningkat, perubahan besar-besaran pada daerah-daerah ini diberlakukan. Perombakan tersebut termasuk akses terhadap transportasi umum, layanan kesehatan, juga infrastruktur yang mumpuni.
Meski terdengar seperti sebuah kemajuan, penghuni asli terpaksa pindah dari lingkungan mereka sendiri. Ini karena biaya hidup di area tersebut melonjak drastis. Fasilitas kota disesuaikan dengan kemampuan ekonomi penghuni baru–mayoritas masyarakat kelas menengah dan menengah ke atas–dengan regulasi keamanan yang berbeda pula (berakibat pada tingginya kekerasan terhadap kelompok kulit berwarna). Apabila jenama Citayam Fashion Week diklaim oleh kelompok elit seperti Baim Wong, apa jaminan mereka tak akan menggusur remaja-remaja suburban yang sedari awal mempopulerkan subkultur itu?
Sejak awal, stasiun Dukuh Atas menjadi alternatif tempat nongkrong bagi para remaja tersebut karena mereka tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk dapat bersenang-senang. Kesenangan terjangkau itu tak akan lagi bisa dinikmati jika kelompok elit mengklaim Citayam Fashion Week. Pun Baim Wong dan perusahaannya berniat untuk mengikutsertakan Bonge dan Roy dalam kiat-kiat pemasaran mereka, bukannya tak mungkin remaja asal Citayam dan sekitarnya ini akan berakhir dieksploitasi.
Citayam Fashion Week tak hanya hadir sebagai bentuk pemberontakan terhadap status quo yang ada; bahwa fesyen dan SCBD adalah milik kalangan atas, namun juga sebagai ruang aman bagi para remaja tersebut untuk menjadi siapapun yang mereka inginkan. Mengkapitalisasi Citayam Fashion Week adalah upaya membungkam pergerakan itu.
Citayam Fashion Week tak seharusnya rapi dan terkurasi. Mengutip dari Ridwan Kamil, budaya akar rumput haruslah tumbuh secara organik dan alami. Justru dalam kedinamisan dan karakteristiknya yang tak terduga, subkultur tersebut dapat membuka kesempatan bagi ruang publik yang lebih inklusif dan tak bersekat.