Harapan Pada Generasi Muda dan Kritik pada Aktivisme bersama Ananda Badudu
Berbincang bersama Ananda Badudu kepedulian anak muda, aktivisme sosial media hingga proyek musik solonya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Avicena Farkhan Dharma
Foto: Muhammad Hilmi
Nama Ananda Badudu mengemuka melalui musik Banda Neira. Ananda kemudian dikenal lebih jauh melalui aktivitasnya sebagai penulis dan jurnalis. Satu hal yang menggarisbawahi kiprahnya adalah kepeduliannya pada isu-isu sosial. Kami bertemu dengan Ananda untuk berbicara tentang bagaimana anak muda sekarang memiliki kepedulian lebih pada isu sosial, konsistensi pada gerakan aktivisme, hingga pengalaman saat ia terkena kasus di demonstrasi September lalu.
Bagaimana awal Ananda menemukan kepedulian pada isu-isu sosial, politik, dan kemanusiaan?
A: Awalnya sih dari kuliah, dulu ikutan pers mahasiswa, “Media Parahyangan” namanya. Gue kuliah di Unpar angkatan 2006, dan di tahun 2006 itu pula gue masuk pers mahasiswa. Dari situ dimulai mentalitas untuk berusaha menerima segala sesuatu dengan sikap kritis. Pers mahasiswa zaman dulu itu kan ada yang ngomongin kampus doang, ada yang sok-sok nasional dan membahas isu-isu nasional, dan biasanya yang pembahasan isu nasional itu jadi produk yang paling prestige lah dari sebuah pers mahasiswa di kota manapun. Karena berusaha menulis soal isu-isu nasional itu, lambat laun membawa kita terjun dan terlibat juga dalam aksi-aksi jalanan. Ya sebenarnya aksinya itu aksi-aksi sepi gitu. Kayak kalau ada isu apa gitu, terus mahasiswanya demonstrasi di depan, paling kayak 10-15 orang. Dari awal kuliah sampai lulus tahun 2010 terus di pers mahasiswa, jadi kehidupan kampus ya lebih banyak diwarnai oleh kehidupan pers mahasiswa ketimbang kuliah benerannya.
Akhirnya keaktifan di persma itu juga yang membuka jalan untuk masuk ke dunia jurnalistik mainstream. Karena pas di kampus itu suka mengadakan pelatihan dan biasanya untuk pengisi pelatihannya kita suka mengundang wartawan beneran. Dulu wartawan yang baik-baik, gampang diajaknya, dan ngga birokratis gitu ya orang-orang Tempo, Pikiran Rakyat, dan lain-lain. Akhirnya dari jaman mahasiswa sudah kenal sama orang-orang Tempo dan begitu lulus mereka nanyain, “Ada yang mau ngisi (posisi) ini ngga?”. Ya sudah akhirnya masuk (Tempo) tanpa ada susah-susah lagi.
Bagaimana kepedulian ini kemudian berjalan seiring dengan aktivitas Ananda sebagai musisi? Bagaimana pula Anda melihat signifikansi peran seniman dalam menyuarakan isu sosial?
A: Gue sih percaya bahwa semua orang – apapun bidang keseniannya – mula-mulanya adalah seorang manusia. Pada dasarnya dia adalah seorang manusia yang kemudian jadi seniman. Jadi soal isu-isu sosial atau dunia aktivisme, menurut gue permasalahan sosial dan politik itu adalah permasalahan kita sebagai manusia yang hidup bersama-sama di dalam sebuah tempat yang kemudian entitasnya diberi nama negara. Kita sebagai manusia di manapun kita berada tidak bisa menghindari itu. Jadi mula-mulanya itu adalah kepentingan kita bersama, terlepas apapun profesi dia, entah itu seniman, musisi, atau bankir.
Gue sih bukan yang kayak, “Lo seniman, lo harus kayak gini gini gini”, nggak. Gue sih terserah tiap-tiap orang. Tapi bagi gue sendiri, gue ngga bisa melepas diri dan melepas kesenian yang gue kerjain dari posisi gue sebagai manusia. Jadi kalau misalnya ada istilah “seni untuk seni” segala macam — ya kalau ada orang punya pandangan seperti itu silahkan — tapi kalo gue sendiri lebih percaya dan yakin bahwa seni itu pencabangan diri lo sebagai manusia.
Dulu musisi cukup aktif dalam menyuarakan penolakan di RUU Permusikan, dan berhasil menunda penetapan RUU itu. Tapi di situasi yang sekarang seperti Omnibus Law yang sebenarnya lebih penting, justru mereka cenderung adem ayem, bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Musisi nggak bisa egois dan bergerak ketika ada isu yang berkenaan dengan kepentingan dia doang.
A: Kemarin soal RUU permusikan gue memilih untuk nggak ikutan sama sekali, dan itu adalah keputusan yang gue ambil secara sadar. Karena gue ngerasa karena semua musisi udah koar-koar, sudah cukup lah. Gue mau ikutan atau nggak, juga sudah ramai. Menurut gue, musisi nggak bisa egois dan bergerak ketika ada isu yang berkenaan dengan kepentingan dia doang. Karena musisi-musisi itu ‘kan punya privilege ya, apalagi yang laku-laku. Mereka punya platform, mereka punya popularity yang udah ngga harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka dapat attention yang besar. Mereka ngga harus berusaha macam LSM-LSM yang kalau mau kampanye harus susah payah, karena popularitas mereka dibanding musisi-musisi jelas berbeda. Akan sangat egois kalau misalnya privilege popularitas itu cuma dimanfaatkan buat kepentingan sendiri. Mengapa platform dan privilege itu tidak dimanfaatkan buat kebaikan bersama, buat hal-hal yang lebih besar, untuk sesuatu yang bahkan kalian bicarakan di lagu-lagu kalian. Maksudnya privilege yang kita punya harus dimanfaatkan lebih luas untuk kebaikan bersama, bukan cuma urusan piring kita doang. Jangan egois lah, apalagi kalau mainnya lagu-lagu sosial (tertawa).
Anda mengambil berperan sebagai pengumpul dan penyalur dana serta logistik pada demonstrasi penolakan RUU KPK, September 2019 lalu. Kenapa mengambil posisi ini?
A: Sebenarnya insidentil saja gue kemarin mengambil peran itu, karena itu sebenarnya hasil rapat konsolidasi. Biasanya, sebelum aksi, memang lumrah ada yang namanya konsolidasi, untuk bahas teknis di lapangan ke mana, jam berapa, seramai apa, hal-hal semacam itu. Waktu di rapat konsolidasi, ada mahasiswa UI yang ikutan, dan dia cerita bahwa sebelum tanggal-tanggal aksi gede itu mereka sudah ada beberapa aksi. Mereka bilang kalau aksi-aksi tersebut memang membutuhkan dana. Mereka bilang kalau kas mereka nggak segitu besarnya untuk bisa bikin aksi yang gede. Nah, dari omongan yang disampaikan di rapat itu, gue jadi melihat sebuah masalah yang ngga bisa dipungkiri, yaitu masalah dana, untuk mobilisasi, logistik, medis dan lain-lain, yang memang belum disiapkan untuk massa ribuan orang.
Terus ya sudah, sekarang kan crowdfunding lagi rame banget. Orang-orang sedikit-sedikit crowdfunding, mau kawin crowdfunding, ulang tahun crowdfunding. Terus kepikiran di tengah obrolan itu, kenapa kita nggak bikin crowdfunding aja? Toh ini kan isu publik, tuntutan kita jelas, kalau mereka sepakat, mereka bisa ikut kontribusi. Itu disampaikan di rapat, dan disetujui. Terus dilemparlah pertanyaan untuk forum, siapa nih yang mau bikin crowdfunding-nya, dan atas nama siapa? Karena kalau kitabisa.com itu harus ada orangnya kan. Saat itu pilihannya dua, antara Efek Rumah Kaca atau gue. Mungkin karena di antara peserta rapat, yang namanya emang udah dikenal publik di antara dua itu. Setelah dibahas-bahas, akhirnya pilihannya ke gue, sesimpel itu saja.
Menurut gue crowdfunding itu udah melampaui aktivisme Twitter yang paling kerennya adalah retweet.
Dua hari setelah rapat itu, gue bikin page-nya dan di-publish, dan ternyata animonya gede banget. Nggak ada alasan filosofis apa-apa, karena sebenarnya itu hasil rapat konsolidasi. Gue pikir (crowdfunding) itu juga bagus karena dari situ kita bisa secara nggak langsung mengukur animo publik. Karena menurut gue crowdfunding itu udah melampaui aktivisme Twitter yang paling kerennya adalah retweet. Kalau ini kan orang ngasih duit, itu kayak udah melampaui aktivisme Twitter. Mereka ngasih duit dan kalau dikelola dengan benar, bisa punya impact positif yang langsung ke aksinya. Jadi sekali pukul, dua tiga target tercapai.
Bagaimana untuk pengelolaan dan penyaluran dana logistiknya?
A: Nggak mungkin gue bisa ngelola itu sendirian, apalagi duitnya gede banget ternyata. Tadinya target awal cuma 50 juta, kalau segitu, masih tahu cara mengelolanya gimana. Tapi, ternyata sampai 170 juta, jadinya bingung (tertawa). Tapi untungnya pada saat itu ada banyak orang-orang tergerak yang mau mengeluarkan energi dan waktu mereka untuk mendukung aksi lewat penyaluran logistik dan lain-lain. Ada banyak banget sih anonymous di belakang, mereka memilih anonymous karena faktor keamanan. Mereka sifatnya relawan insidentil aja, bukan dari organisasi atau apapun.
Di aksi itu, Anda sempat ditangkap dan ditahan selama beberapa jam. Pasca kejadian itu, bagaimana Ananda mengumpulkan keberanian untuk tetap bersuara?
A: Sebelum ditangkap dan mengumumkan crowdfunding, gue sebelumnya mikir juga soal resiko dan kira-kira apa dampak negatifnya. Dalam pemikiran gue di awal, gue yakin betul untuk maju terus karena gue yakin nggak melanggar hukum apapun. Pendanaan untuk aksi itu kan hal yang lumrah, dan hampir semua aksi itu pasti ada pendanaannya. Masalahnya, selama ini kita terbiasa dengan gaya politik di mana pendanaan-pendanaan itu tuh nggak pernah terang benderang. Kita nggak pernah tahu dananya dari mana, tapi pokoknya ada aksinya.
Nah, praktik semacam itu perlu dikritik juga, kita perlu membuktikan bahwa cara yang lebih ideal itu bisa dilakukan di lapangan. Menurut gue, crowdfunding adalah kritik dan sekaligus contoh secara langsung, bahwa konsep pendanaan aksi yang ideal itu bisa diterapkan di lapangan.
Selama ini kita terbiasa dengan gaya politik di mana pendanaan-pendanaan itu tuh nggak pernah terang benderang.
September kemarin, kita memutuskan untuk mempraktikkan pendanaan yang transparan, yang kita kasih tahu duitnya berapa, peruntukannya apa, juga sumbernya dari mana. Walaupun di kitabisa.com itu kan banyak anonymous, tapi seenggaknya orang bisa lihat jumlah-jumlah donaturnya. Di situ, yang nyumbang ada yang lima ribu, ada yang sepuluh ribu, ada yang dua puluh ribu, jadi keliatan banget kalau itu adalah orang-orang jelata, nggak ada yang ngasih seratus juta atau berapa gitu kan. Kalau mainan cukong politik udah pasti seratus juta keatas ya. Setelah dilihat-lihat, gue yakin betul nggak ada hukum yang dilanggar, jadi gue merasa aman aja gitu.
Setelah publish crowdfunding itu, gue sempat telepon nyokap gue, dia bilang, “Selama kamu yakin apa yang kamu lakukan benar, maju terus.” Ya sudah, gue jadi merasa semakin tancap gas karena keluarga gue udah tahu dan mereka juga support. Terus akhirnya jalan crowdfunding-nya, sampai ngelebihin ekspektasi dan sampai jadi ramai di luar hitungan. Beredar di banyak grup Whatsapp, padahal tadinya gue kira bakal beredar di kalangan temen-temen aktivis doang. Sampai teman-teman lama yang udah nggak pernah ngobrol juga japri.
Baru ngerasa ini akan jadi resiko sampai bisa ditangkap segala macem sih setelah tanggal 25 September. Setelah demo STM banyak mahasiswa ditangkap di kampus, nah itu salah satu penerima dananya ada yang ditangkap. Gue baru panik setelah itu, kayak “A****, ini salah satu orang yang ditransfer, pasti dia sudah dicek handphone-nya, pasti dia udah dicek rekeningnya.” Setelah itu baru dimulai hari-hari pelarian, mungkin bukan pelarian sih, lebih ngamanin aja, bikin mitigasi resikonya.
Yang kita nggak expect, pada hari itu subuh-subuh ditangkap. Awalnya ngebayangin akan ada surat panggilan gitu, ya sudah, kalau ada surat panggilan datang saja, nggak usah takut. Tapi ternyata langsung ditangkap dan lumayan dramatis juga. Di dalam, juga gue sempet dipukuli, gue nggak expect sampai kayak gitu, maksudnya kalo udah tahu gue bakal digituan gue nyiapin mental dulu lah (tertawa).
Karena begitu ditangkap, gue dimasukin ke ruang penyidikan, dipukuli.
Begitu masuk ke dalam, gue mikirnya masih kayak di film-film gitu, yang si polisinya bakal ngomong, “You have the right to remain silent …” gue kira kayak gitu. Dalam bayangan gue, nanti kalau ditangkap gue bisa bilang ke polisinya bahwa saya sudah ada pengacara, pengacara saya sedang menuju kesini, dan dia bakal ngasih waktu gitu. Ternyata di lapangan nggak kayak gitu, di lapangan semua itu bullshit, setidaknya di pengalaman gue ya. Karena begitu ditangkap, gue dimasukin ke ruang penyidikan, dipukuli. Dipukuli, dibikin jiper biar mental nge-drop, dan begitu mental kita drop, di situlah proses lo nulis BAP (Berita Acara Perkara). Jadi begitu sudah bingung sama situasi, nggak bisa mikir, kita disuruh melengkapi BAP. Tapi pada saat itu gue nggak mau jawab BAP, jadi begitu mereka nanya apapun, gue bilang, “Saya nggak mau ngomong apapun sebelum ada pengacara,” Karena gue yakin pengacara-pengacara tuh udah pada di bawah, cuma nggak dikasih akses saja.
Di dalam, gue sempet mengira, “Aduh gue kena nih satu setengah tahun, kayak Ahmad Dhani,” (tertawa). Di dalam, gue udah mikir gitu karena gue gak tahu di luar kayak apa, nggak tahu di luar viral, di luar banyak pengacara, sama sekali nggak tahu. Tapi tahunya gara-gara viral, perlakuan polisi-polisi di dalam semakin siang jadi semakin baik. Terus akhirnya sebelum sholat Jum’at kasus gue dibilang clear.
Setelah ditangkap, itu gue dua minggu hilang, kabur aja gitu berusaha menenangkan diri (tertawa). Tapi begitu itu sudah lewat, gue jadi, “Ini ya yang namanya kesewenang-wenangan. Ternyata itu nyata. Gue nggak salah apa-apa, lagi tidur ditangkap, dipukuli, gue salah apa, orang kata polisinya juga gue clear nggak ada pasal”. Maksudnya gue kesal gitu, dendam. Gue bukan orang yang pendendam, sebelum ini, gue nggak tahu rasanya dendam itu gimana. Gue baru tahu saat itu, “Oh ini yang namanya dendam”. Secara personal, bikin gue makin kesal, dan kekesalan serta dendam ini gue bikin gue makin ngerasa, “Ya ini harus dikencengin sih, gue jangan mundur setelah ini”. Karena gue yakin sampai saat ini gue nggak melakukan kesalahan apapun yang melanggar hukum, kenapa gue harus takut?
Ya itu tadi, nyambung ke yang soal pembelajaran dan pengalaman. Justru pengalaman kemarin semakin memperkaya pengalaman gue. Walaupun gue jadi dendam gitu, kayaknya itu negatif, tapi justru itu kayak jadi suatu motivasi. Karena gue mikir kesewenang-wenangan ini nggak banar, itu harusnya nggak terjadi, dan jangan sampai ada orang lain mengalami hal serupa. Keinginan pribadinya sih sesimpel itu saja. Hal itu kemudian ngebuat gue jadi ingin terlibat lebih jauh lagi dalam dunia aktivisme. Yang lebih parahnya, yang gue alami itu kan cuma teaser doang, banyak banget orang yang mengalami hal yang lebih parah. Di Papua gitu, mungkin sehari-hari situasinya seperti itu. Gue nggak bisa ngebayangin. Gue cuma enam jam saja dendamnya parah banget, apalagi orang-orang yang sampai orang tuanya meninggal, itu pasti dampaknya lebih gila lagi. Anak-anak mahasiswa yang kemarin dipukuli di kantor polisi misalnya, apa dampaknya ke mereka? Pasti jadi trauma. Dan apakah mereka kemudian jadi lebih berani atau lebih getol lagi? Atau malah mundur dan mikir, “Ah gua udah deh ngga ikut-ikutan lagi”, kan bisa aja.
Gue mikir kesewenang-wenangan ini nggak benar, itu harusnya nggak terjadi, dan jangan sampai ada orang lain mengalami hal serupa.
Berarti memang ada pembungkaman ya?
A: Oh iya, bukan cuma pembungkaman. Pemukulan, penyiksaan.
Tadi Ananda menyinggung soal aktivisme Twitter, kalau menurut Ananda, bagaimana signifikansi aktivisme di media sosial?
A: Media sosial tetap saja adalah tools, bukan tujuan. Dia bisa jadi alat untuk memancing orang agar terlibat, tapi apakah media sosial sejatinya alat utama untuk perubahan? Ya jelas nggak. Yang mendasari orang bergerak itu kan ideologi tiap-tiap orang, atau bahasa halusnya pemikiran, atau lebih sederhananya lagi nurani. Ya yang akan merubah adalah hal-hal itu. Peran social media dalam hal itu ya sebagai tools aja. Untuk menyebarkan informasi, untuk berkoordinasi, tapi bukan tujuan akhir. Aktivisme nggak akan cukup cuma di social media doang.
Banyak yang bilang anak-anak muda sekarang apatis, bagaimana pendapat Anda soal pergerakan anak muda di Indonesia hari ini?
A: Gue mungkin sebelumnya punya kekhawatiran yang sama. Apakah sekarang persoalan-persoalan politik itu sudah bukan jadi concern-nya orang-orang, bukan concern-nya anak muda? Tapi dari peristiwa September (Aksi Penolakan RUU KPK) kemarin, kekhawatirannya itu terbantahkan. Kalau orang-orang masih ngomong kayak, “Wah mahasiswa zaman dulu lebih kritis, bisa bawa perubahan, segala macam”, yang September kemarin itu aksi besar Indonesia, itu besar banget. Jadi peristiwa itu seperti membantah dengan mudah pernyataan-pernyataan seperti itu. Pernyataan bahwa anak muda apatis, nggak peduli politik, nggak peduli urusan negara, dan cuma peduli soal start-up, Youtube, Instagram, ternyata nggak. Ternyata keresahan itu ada, hanya mungkin sebelumnya belum ketemu kanal untuk mengekspresikannya. Bukan cuma nggak menemukan kanal, tapi juga kanal-kanal itu dibikin mandek. Jadi seberapapun hebat usaha lo untuk menyampaikan opini atau aspirasi, itu kayak ngga ada pengaruhnya ke atas, membuat orang-orang pada umumnya jadi pesimis duluan. Menurut gue aksi September kemarin ngasih statement yang bold ke seluruh Indonesia, bahwa anggapan-anggapan yang kayak gitu tuh nggak bener, justru sebaliknya.
Dalam menggapai perubahan yang dicita-citakan bersama, aktivisme membutuhkan konsistensi. Menurut Anda, bagaimana kita bisa mengajak anak muda agar tak hanya memiliki kesadaran, tetapi turut andil secara konsisten?
A: Sebenarnya kalau soal konsistensi itu banyak faktor. Misalnya kayak September kemarin, kenapa kok aksinya nggak jadi klimaks kayak di Hong Kong gitu misalnya. Atau kenapa aksinya berhenti di tanggal 30? Ada banyak banget faktornya. Nggak hanya bicara internal dari tiap-tiap orang yang menggerakkan aksi, tapi juga bicara soal faktor-faktor eksternal yang justru banyak berpengaruh. Misalnya, habis aksi saat itu, kehadiran aparat secara fisik di kampus-kampus jadi semakin kencang. Ada yang mengadakan diskusi di kampus, baru diskusi saja padahal, sudah dibubarin. Baru mau rapat antar kampus, sudah ada intel yang menyatroni ke dalam kampus. Padahal sebelumnya kita punya semacam kesepakatan bersama bahwa kampus itu steril dari aparat. Kita mau se-chaos apapun, yang namanya tentara atau polisi itu ngga bisa masuk kampus, itu aturan yang nggak tertulis. Tapi itu sudah nggak berlaku lagi sejak September kemarin. Banyak operasi-operasi penggembosan yang real di lapangan, yang ceritanya nggak keangkat di media-media. Orang kan tahunya cuma, “Loh, kenapa ini kok udah surut lagi aksinya?”. Di lapangan kerasa intrik-intriknya, yang pada akhirnya bikin gerakannya seolah-olah nggak konsisten.
Kalau bicara soal konsistensi dalam lingkup pribadi, gue mikirnya yang namanya aktivisme itu ditunjang oleh dua hal, yang pertama pembelajaran, dan yang kedua pengalaman. Pembelajaran maksudnya begini, kadang ada orang yang ketika kuliah belajar soal Marxisme, baca buku-buku Marx, dan ketika dia menghadapkan diri pada realita, dia menilai bahwa realita tersebut berjalan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Marx. Sehingga dia memutuskan untuk turun di lapangan, karena ingin melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan agar sejalan dengan nilai-nilai ideal yang dia percaya. Nah itu aktivisme yang didasari oleh pembelajaran, dia membaca buku kemudian tergerak.
Ada juga aktivisme yang didasari oleh pengalaman. Misalnya ada seseorang yang memiliki trauma sama tentara karena pernah mengikuti demonstrasi dan dia ditendang sampai pingsan oleh aparat. Kemudian semenjak hari itu, dia punya trauma dan dia berpikir bahwa seharusnya situasi seperti itu nggak pernah terjadi kalau negara ini menghargai HAM. Mungkin setelah peristiwa itu, dia tergerak untuk terjun dan terlibat lebih jauh untuk buat perubahan-perubahan, entah misalnya kerja di LSM, mengadvokasi orang-orang korban kekerasan, atau dia menggerakkan unjuk rasa kayak kamisan, itu aktivisme yang digerakkan oleh pengalaman.
Nah ngomongin konsistensi, ya itu kuncinya. Pembelajaran dan pengalaman. Misalnya kita mau memastikan bahwa kita konsisten, kita juga harus pastikan bahwa kita terus belajar dan terus memperkaya pengalaman. Kalau dua hal itu nggak dikuatkan, ya sudah, nggak heran kalau misalnya aktivismenya berhenti di situ. Atau misalnya di tengah jalan merasakan kenikmatan-kenikmatan lain dari aktivisme – yaitu kekuasaan dan uang – kemudian berbelok, ya beda cerita. Ini di tataran individu ya, bukan di tataran massa sebagai massa aksi. Semakin banyak kita memperkaya pengetahuan dan pengalaman, kita akan dengan sendirinya menjadi konsisten.
Aktivisme nggak akan cukup cuma di social media doang.
Sebagai salah satu pihak yang terlibat langsung dalam beberapa kegiatan aktivisme, bagaimana kritik Anda terhadap pola-pola aktivisme di Indonesia hari ini?
A: Salah satu hal yang diprotes sama aktivis itu kan soal transparansi pemerintah. Katakanlah dalam penyusunan Omnibus Law, nggak ada yang tahu secara persis di dalamnya seperti apa, siapa saja yang diajak bicara, deal-deal di balik itu apa. Sayangnya, terkadang aktivis juga mengulang pola itu. Katakanlah pada tahap konsolidasi, belum tentu undangan itu terbuka untuk banyak orang. Kayak gue sendiri kadang suka merasa dilibatkan di akhir-akhir aja gitu, begitu udah ada kesepakatan. Gue dilibatkan sebagai Banda Neira atau sebagai singer-songwriter, untuk menggaungkan pesan lebih luas. Tapi nggak pernah dilibatkan dalam proses penggodokan pesan atau konsolidasi, jadi cuma diajak begitu sudah beres. Gue nggak pernah tahu diskusinya, siapa saja yang terlibat, lalu agendanya apa saja. Seharusnya kalau lo memprotes hal itu (transparansi), harusnya bisa dimulai di lingkaran kita sendiri kan? Bikin konsolidasi terbuka, atau kalau ada deal-deal-an ya diomongin saja, nggak usah sembunyi-sembunyi. Terus lo di depan ngomongnya apa, di belakang ngapain, hal seperti ini umum terjadi di dunia aktivisme.
Itu adalah pola-pola lama yang sebaiknya kita tinggalkan untuk aktivisme sekarang. Tapi ninggalinnya gimana caranya? Gue justru tertariknya sama pola kerja Border Rakyat (BORAK), mereka bisa jadi eksponen liar dalam aksi karena dia nggak nurut sama otoritas manapun, baik dari BEM atau dari apapun. Mereka jadi entitas liar yang bakal meramaikan aksi dan punya power di lapangan. Yang kayak gitu terasa lebih jujur karena mereka “nggak bisa dipegang”. Kalau misalnya sama BEM Nusantara, BEM SI, BEM UI atau BEM UNJ, cara ngegembosinnya kan gampang. Tinggal diundang saja ke istana, digembosi di situ. Cara lama seperti ini gampang runtuh kalau kita masih terbatas pada cara-cara lama. Nah menurut gue, justru yang entitas-entitas liar ini yang harus lebih dikencengin. Kalau ngomong strategi aksi yang paling efektif dan efisien di hari-hari ini ya yang penting aksi saja dulu, konsolidasi belakangan. Habis itu, kita lihat siapa saja kemarin yang meramaikan aksi, terus peran tiap-tiap entitas itu apa, agendanya apa, baru ngumpul dan obrolin, “Setelah aksi kemarin, apa lagi nih?”. Bukan konsolidasi-konsolidasi terus tapi aksinya nggak jadi-jadi, malah adanya penggembosan-penggembosan, dan itu yang terjadi di hari-hari ini.
Kayaknya sekarang untuk bergerak, nggak perlu nunggu patron organisasi, patron politik ngomong apa, tapi berdasarkan nurani saja.
Kayaknya sekarang untuk bergerak, nggak perlu nunggu patron organisasi, patron politik ngomong apa, tapi berdasarkan nurani saja. Kalau nurani lo bilang lo harus terlibat, ya sudah. Nggak usah hiraukan patron politik lo ngomong apa, karena kita nggak pernah tahu patron politik itu seberapa tulus atau seberapa jujur, atau apakah dia benar-benar bebas dari kepentingan. Kalau terpatok sama gaya politik lama yang selalu ngikutin patron, malah lebih riskan untuk digembosi sejak awal. Tapi kalau kita tinggalin itu dan gerak berdasarkan nurani dan perkuat entitas liar, akan lebih jujur dan lebih ramai mungkin.
Pola-pola lama seperti itu masih mendominasi sampai sekarang?
A: Dominan sejak era Jokowi sih terutama. Pas 2014, Jokowi dilihat sebagai satu harapan masyarakat sipil, karena ngga punya latar belakang militer, nggak orba-orba amat, nggak masuk dalam lingkaran kroni orba, latar belakangnya sederhana, keluarganya sederhana, narasinya begitu. Jadi dari kalangan masyarakat sipil atau NGO kemudian banyak memilih untuk, “Oh ini satu bahtera, satu kapal yang pantas dan ideal untuk kita ikut nimbrung di dalamnya, karena kayaknya orang ini akan banyak mendengarkan aspirasi dari kita-kita”. Karena sejak awal aja dia udah ngomongin mau menuntaskan kasus Munir, Wiji Thukul harus dicari, dulu statement-nya sangat bombastis gitu, dan bisa dibilang kita terbeli, sehingga banyak yang memilih bergabung masuk. Tapi pada akhirnya setelah hampir lima tahun, ya kita bisa lihat ternyata pas sudah di dalam sekalipun juga nggak bisa bikin apa-apa. Karena ternyata di sana mereka lebih sensitif sama aspirasi oligarki dan aspirasi elit politik ketimbang civil society.
Ternyata di sana mereka lebih sensitif sama aspirasi oligarki dan aspirasi elit politik ketimbang civil society.
Masalahnya, sekarang masih banyak orang yang memegang harapan itu. Harapan bahwa dengan orang masuk ke sistem, mereka bisa membuat perubahan. Terkadang harapan seperti ini punya preseden buruk di dunia pergerakan, karena banyak orang-orang yang terus menerus kompromi dan tidak tegas sama dirinya sendiri. Misalnya salah satu aktivis transparansi internasional, dia sekarang punya posisi yang sangat dekat dengan Presiden, bagaimana dia bersikap terhadap revisi undang-undang KPK? Mungkin dia sebagai pribadi nggak setuju, tapi kalau nggak setuju, kenapa masih ada di dalam lingkaran itu? Ini contoh bagaimana kita tidak tegas sama diri kita sendiri. Apakah kita bergabung dengan rezim karena sesuai dengan prinsip-prinsip kita? Ketika rezim itu nggak sesuai lagi sama prinsip kita, lalu apa yang bakal kita lakukan? Tetap bergabung karena enak di dalam, atau menarik garis? Kasus ini banyak terjadi, dan sikap tak tegas seperti inilah yang gampang menggembosi gerakan.
Menurut Anda, apakah diperlukan diversifikasi pendekatan kampanye aktivisme agar mendapat hasil yang lebih signifikan?
A: Menurut gue, tiap-tiap isu menuntut strategi yang berbeda-beda. Reklamasi Bali strateginya tentu beda dengan Tamansari Melawan, Omnibus Law, RUU KPK, itu ada cara dan jalurnya sendiri-sendiri. Tapi begitu ada momen-momen di mana isu-isu itu saling ketemu di persimpangan, nah itulah momen-momen di mana kita harus bertemu dan bergerak bersama. Perbedaan paling kontras itu Omnibus Law sama RKUHP. Omnibus Law begitu drafnya keluar, 1000 halaman, itu respon publik agak delay, delay-nya jauh banget. Seminggu dua minggu bahkan belum ada ribut-ribut apa-apa. Itu bisa dipahami karena banyak banget aspek yang dibahas. Ada soal tambang, sumber daya alam, perburuhan, pers, sekali dikasih isunya super banyak, ngolahnya juga bingung. Tapi KUHP, nggak perlu nunggu dan delay segitu lama. Untuk memicu letupan-letupan respon dari publik nggak delay lama, karena publik paham bahwa ini isu selangkangan. Bagaimana negara ngurusin urusan rumah kita, kasur kita, perselingkuhan, bukan sesuatu yang sulit untuk menyadari bahwa itu berkaitan langsung sama hidup kita. Kalau urusan kampanye, peran media dan jurnalisme di situ, untuk menjembatani bahasa-bahasa perundang-undangan yang rumit dengan dampaknya ke kehidupan kita, agar kalau dibaca mudah dimengerti. Kampanye (aktivisme) harus dibikin dengan bahasa-bahasa yang sederhana.
Anda sendiri masihkah percaya pada sistem kenegaraan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa di masa lalu, sekarang dan masa depan?
A: Ya gue sih percaya yang namanya entitas negara itu dibikin untuk kesejahteraan publik, untuk kebaikan publik. Gua percaya dengan kanal-kanal demokratik, hal-hal itu tuh bisa tercapai. Cuma sekarang masalahnya kanal-kanal demokratiknya mandek semua. Kita mau demo satu Indonesia sekalipun, nggak ada tuntutan yang dipenuhi dari Reformasi Dikorupsi. Jadi masih belum selesai, masih jauh dari selesai (aksi) kemarin itu. Sekarang tinggal gimana meneruskannya saja. Ini orang-orang — ya sejauh obrolan-obrolan japri — masih banyak yang ingin bergerak, tapi mungkin belum ketemu momennya.
Di mana harapan kita sebagai bangsa bisa digantungkan di masa-masa seperti ini?
A: Kalau misalkan itu dijawab pakai perspektif elektoral dalam arti pergantian rezim dan lain-lain, kita mesti bertumpu pada orang yang tidak kompromis pada situasi yang ada. Ada kok orangnya, Novel Baswedan salah satunya. Dia memilih untuk tidak kompromi pada sistem, ya hasilnya memang dia dilempar air keras. Kampanye (aktivisme) harus dibikin dengan bahasa-bahasa yang sederhana.
Tapi nyatanya sampai sekarang dia masih berani dan konsisten. Orang-orangnya ada kok, dan kalau misalnya mau dijawab dari perspektif elektoral, kita harus bertumpu pada orang-orang yang non kompromistis, kalau kita mengharapkan perubahan pada figur. Karena kalau kita mau mengubah sistem dulu untuk bisa menghasilkan figur yang baik, sistemnya sudah dibikin deadlock. Mau bikin partai baru, kita harus kerja sama dengan cukong politik. Sekarang memang alternatif pilihannya nggak banyak, kalau kita mau bermanuver di ruang-ruang yang sempit ini, salah satu caranya adalah berharap pada tokoh yang non kompromistis, walaupun sayangnya sosok seperti itu tidak masuk di peta elektabilitas. Cuma masalahnya orang-orang kayak gitu cenderung nggak populer. Dia nggak populer sampai level lo disiram air keras. Bukan cuma nggak populer, tapi dibikin sedemikian rupa agar tidak populer. Sistemnya memang tidak memberi tempat untuk orang-orang macam begitu. Kita melihat semua tokoh-tokoh yang ada di polling itu adalah tokoh-tokoh yang kompromistis. Susah mengharapkan perubahan total pada tokoh-tokoh itu.
Konsekuensi yang sudah bisa kita prediksi, kalau mau mencapai perubahan ke arah yang lebih baik, kita harus realistis bahwa gerakannya harus siap untuk jangka panjang. Bukan cuma level bikin aksi gede saja, tapi jangka panjang, sampai berapa kali pemilu lagi. Apakah sampai 2024? 2024 kayaknya masih suram pemilunya. Tapi setelah itu apa? Mungkin bisa disiapkan dari sekarang. Kalau misalnya pertanyaan tadi dijawab pakai perspektif individual, kita percaya pada siapa? Ya percaya sama nurani saja. Jangan bergantung pada orang. Jangan terlalu berharap sama aktivis yang terkenal. Jangan terlalu berharap sama pentolan aktivis, pentolan partai. Karena memang situasi lagi ngehe banget. Ini mungkin klise, tapi sekarang ini, yang kita bisa lakukan dalah percaya sama nurani. Memang politik itu dunia yang ribet. Maksudnya masuk ke politik dengan pikiran polos juga punya kecenderungan besar untuk dimanfaatkan, jadi harus punya pengetahuan yang mumpuni tentang peta politik yang ada, itu penting. Membaca kepentingan, agenda, dan lain-lain, sehingga begitu memilih untuk terjun dan bergerak itu tidak sebegitu mudahnya dimanfaatkan (tertawa).
Apa rencana Ananda Badudu untuk tahun 2020 ini?
A: Gue kemarin baru beres rekaman, rencananya mau rilis album solo. Mungkin nggak langsung ngeluarin album, tapi dicicil, karena belum jadi 100 persen juga lagu-lagunya. Yang sudah jadi 100 persen tuh cuma beberapa lagu, sisanya masih proses. Ini setelah sekian lama gue absen dari nulis lagu, udah tiga tahun mungkin, ya gue seneng sih.
Ada bocoran konsep untuk album terbaru nanti?
A: Mungkin orang-orang selama ini kan tau gue dari Banda Neira gitu kan, dan Banda Neira pakai gitar kopong. Setahun dua tahun belakangan ini tuh gua mengalami kebosanan main gitar kopong. Kebosanan itu muncul karena begitu gue main gitar, nada yang keluar gitu-gitu lagi. Akhirnya gua secara impulsif beli piano digital tahun lalu, dan gua memutuskan agar itu jadi instrumen utama gua dalam songwriting. Ternyata bisa ngasih ide-ide baru, yang selama ini nggak keluar dari gitar kopong. Gue nggak bisa main piano tadinya. Gue impulsif aja beli, gue belajar sambil bikin lagu, dan ternyata menyenangkan. Walaupun jadi lama banget, tapi ya sudah biarin saja (tertawa). Karena ternyata seru juga, jadi balik ke era-era awal di mana kita bisa bikin lagu dengan cara yang sangat naif. Naif maksudnya kayak kita nggak mikir ribet, karena dalam hal main piano, gue nggak bisa-bisa amat, tapi harus bikin lagu. Ya sudah dengan permainan yang seadanya gitu, harus dijadiin, dan itu kayak balik ke masa-masa awal bermusik, ketika lu masih polos dan naif, dan itu menyenangkan.
Target untuk rilis kapan?
A: Ini yang baru direkam sih seharusnya jadi lah dalam satu bulanan, ya lagi proses mixing dan lain-lain sih, mungkin bulan depan kali, nggak tau, mudah-mudahan! (tertawa).