Doa dan Perjuangan HAM di Indonesia bersama Ibu Sumarsih
Berbincang dengan Ibu Sumarsih, sosok di balik Aksi Kamisan, mengenai sedikitnya perhatian pemerintah terhadap HAM dan perjuangannya untuk demokrasi dan reformasi yang masih panjang.
Words by Whiteboard Journal
Maria Catarina Sumarsih, atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Sumarsih, adalah martir untuk reformasi dan demokrasi di negeri ini. Sebagai satu dari banyaknya keluarga korban dari tragedi pelanggaran HAM berat di Indonesia, ia telah lama berjuang untuk mendapatkan keadilan atas kepergian anak pertamanya Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) yang tewas tertembak saat Tragedi Semanggi I lalu. Bersama Suciwati dan beberapa sosok lain, ia memulai Aksi Kamisan yang telah berkembang dan tumbuh menjadi salah satu ruang publik yang dapat menjadi platform untuk membawa permasalahan masyarakat ke atas permukaan.
Oleh karena itu, di sela-sela peringatan dua tahun kasus Novel Baswedan yang tidak kunjung terselesaikan dan Aksi Kamisan ke 581, kami menemui Ibu Sumarsih untuk memahami lebih lanjut mengenai perjalanan dibalik Aksi Kamisan, diperlukannya dukungan untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM, hingga perjuangannya yang masih panjang.
Bagaimana dulu anak ibu, Almarhum Wawan mulai memiliki kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan?
Terbentuk dari lingkungan. Ketika Wawan sekolah SMA, ia bersekolah di SMA Van Lith di Muntilan, dan itu tinggalnya di asrama. Setiap siswa itu dicoba untuk jadi pemimpin. Di samping itu, Wawan sejak kecil sewaktu SD sudah ikut PMR (Palang Merah Remaja), terus kemudian dengan teman-temannya di lingkungan itu dia tidak membedakan antara teman-teman di komplek – saya tinggal di komplek pegawai Sekretariat Jenderal DPR, dan tidak membedakan dengan teman-temannya yang di luar komplek. Semuanya dianggap sama, diajak main di rumah, diajak main gitar dan lain sebagainya. Dan ketika Wawan mempunyai motor, sewaktu sudah kuliah di Jakarta, kalau ada anak SD yang jalan kaki untuk pergi atau pulang sekolah, akan diajak berboncengan. Orang tuanya pada cerita, “Si Koko senang tadi diboncengin Mas Wawan.”
Kemudian pada pertengahan tahun ‘96 Wawan sudah di Jakarta. Pada tahun ’97 itu situasi politik di Indonesia mulai memanas, kemudian ada peristiwa 27 Juli, ada peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, ada kerusuhan Mei, Wawan menjadi Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Menurut cerita Wawan dan menurut cerita teman-temannya, Wawan mempunyai program untuk mengajar baca tulis anak-anak jalanan dan juga ada keinginan untuk memikirkan bagaimana menangani banjir di Jakarta dan juga bagaimana meningkatkan keadaan sosial ekonomi dari anak-anak jalanan itu.
Saat tragedi, ibu bekerja di gedung DPR, sedangkan Wawan berjuang di luar gedung tersebut. Apakah ada diskusi antara ibu dan Wawan tentang kondisi masing-masing ketika itu?
Kami ini setiap malam selalu makan bersama, jam berapapun. Kemudian di meja makan, kami bercerita keseharian masing-masing. Wawan di Atma Jaya ada apa, Irma (anak kedua Ibu Sumarsih) di SMA ada apa, saya di kantor saya yaitu Sekretariat Jenderal DPR ada kejadian apa, kemudian Bapaknya Wawan di kantor CSIS (Centre for Strategic and International Studies) juga sama, apa yang terjadi kami ceritakan. Kami berlangganan Kompas, Wawan selalu diperbolehkan untuk membaca duluan, lalu korannya akan dibawa ke kantor Bapaknya Wawan. Kalau saya di kantor sudah banyak koran – saya sarapannya setiap hari juga koran. Kemudian, saya tahu persis apa yang dilakukan Wawan, kami serumah tahu masing-masing apa yang dikerjakan. Di meja makan kami mendiskusikan 6 agenda reformasi. Wawan hobinya membaca, ketika hobinya membaca dia tahu kalau di Setjen DPR itu ada perpustakaan yang besar, setiap libur semester dia minta dipinjamkan buku dan setelah selesai membaca pasti ada artikel yang baru – salah satu artikel yang berkesan di dalam diri saya adalah yang judulnya “Negara Kesatuan Republik Alengka” yang isinya adalah pemerintahan Pak Harto yang otoriter, militeristik, dan korup.
Ketika Wawan hobinya membaca, otomatis tahu perkembangan situasi politik dari hari ke hari, akhirnya masalah politik itu berkembang di dalam diskusi di rumah. Bahkan pada saat peristiwa Trisakti terjadi penembakan, kami ketakutan. Saat itu, Wawan kami beri nasehat, “Tidak usah ikut demo, penembakan mahasiswa di Trisakti menakutkan bagi Bapak Ibu.” Dan kemudian ketika Wawan bertanya, “Terus membentuk bagaimana Wawan membentuk jati diri?” Kami bilang, “Sekarang Wawan tidak usah demo, bikin ruang dialog supaya kekerasan aparat tidak terulang lagi karena di sekitar kantor Ibu, di sekitar kampus Wawan, Ibu setiap hari mendengar suara tembakan. Ibu tidak tahu itu tembakan peluru tajam, peluru karet, peluru hampa, atau gas air mata. Tetapi, yang jelas, polisi dan tentara ada di sekitar kantor Ibu, di Atma Jaya juga. Dan polisi maupun tentara itu dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang.”
Dalam sebuah kesempatan, alih-alih mengutuk pelaku penembakan Wawan, ibu justru mendoakan agar penembak dibukakan hatinya, tapi juga tidak menyatakan ikhlas akan kepergian Wawan, apa yang ibu akan lakukan jika suatu saat bertemu dengan penembaknya?
Kalau dia minta maaf, akan saya maafkan. Kalau dia kemudian memperkenalkan diri saya juga akan memperkenalkan diri tapi saya akan tanya, “Benarkan kamu yang menembak?” Karena semuanya serba bisa direkayasa. Contohnya penembakan di Trisakti, mereka yang dikenakan hukuman itu dia bilang dengan keluarga korban Trisakti, “Kami ini dikorbankan karena kalau kami menolak keputusan pengadilan militer ini, taruhannya tidak hanya nyawa saya dan isteri saya, tetapi juga nyawa orang tua saya.” Akhirnya dia mengikuti, dia masuk ke tahanan. Ketika saya datang dan ketemu pejabat di Mabes Polri, dia juga mengatakan, “Teman saya jadi korban, bu.” Yang mengorbankan siapa? “Yang baju hijau.”
Masyarakat – terutama mereka yang tidak paham dengan hak asasi manusia – takut jika tragedi 98 dibuka kembali, akan memicu konflik lagi. Dalam interview kami bersama Suciwati, beliau berkata bahwa sebenarnya yang dikejar dalam perjuangan ini adalah pertanggungjawaban pemerintah, seperti saat Jepang meminta maaf atas kejadian Jugu Ianfu, apakah Ibu Sumarsih sepakat dengan ini, atau ada resolusi lain yang diharapkan?
Jadi pada saat pembentukan Pansus (Panitia Khusus) Trisakti, Semanggi I dan II, Pak Priyo Budi Santoso – pasti dia lupa, ia dulu orang Golkar, sekarang di Partai Berkarya, saya juga ditempatkan di sekretariat fraksi Golkar, dalam satu pembicaraan Pak Priyo mengatakan, “Kalau Golkar menyatakan bahwa penembakan anak Ibu dan kawan-kawannya terjadi pelanggaran HAM berat, maka tentara akan marah. Kalau tentara marah, korbannya akan semakin banyak.” Saya menjawab, “Sekarang Golkar mau pilih yang mana, Golkar menyatakan memang benar terjadi pelanggaran HAM berat terhadap penembakan para mahasiswa dalam tragedi Semanggi I-II dan Trisakti, atau akan tidak mengakui kemudian nanti kekerasan negara itu akan terus terjadi? Mau pilih yang mana?” Nah, ketika kemudian Golkar dan 6 fraksi lainnya di DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat, akhirnya kan dari peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan Munir, ada Wasior Wamena, di Aceh itu ada berapa kali sampai sekarang, bagaimana kita mendengar kekerasan yang terjadi di Papua?
Kekerasan itu ternyata berubah bentuk. Kalau dalam peristiwa Semanggi I, pemerintah menghadapi para demonstran tidak hanya dengan mengerahkan tentara dan polisi yang dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang tetapi juga mengerahkan Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa). Maksudnya Kivlan Zen yang ditugasi Wiranto untuk mengerahkan Pam Swakarsa itu adalah agar peristiwa di Trisakti tidak terulang lagi, di mana yang terjadi adalah kekerasan horizontal; tentara aparat negara, mahasiswa, masyarakat. Tapi kalau di Semanggi I, Pam Swakarsa dikerahkan, supaya kalau ada korban, itu karena konflik horizontal antara mahasiswa dengan Pam Swakarsa, masyarakat sipil yang dipersenjatai dengan peralatan bambu runcing.
Yang namanya penguasa itu adalah seharusnya menjadi panutan, menjadi teladan.
Jadi kalau menurut saya, negara akan menyelesaikan atau tidak, yang namanya penguasa itu adalah seharusnya menjadi panutan, menjadi teladan. Sekarang kita bisa melihat bagaimana anak-anak kecil, anak-anak SMA yang mem-bully temannya, melakukan kekerasan dengan temannya ini menunjukan bahwa hukum di negara Indonesia itu tidak ada artinya. Melakukan kesalahan apapun, ya tidak ada yang dihukum. Baik para pelanggar HAM maupun koruptor, hukumannya mana? Tidak ada ‘kan hukuman yang sampai membuat jera? Nah ini yang menjadi perhatian pemerintah supaya masalah kekerasan negara ini benar-benar diselesaikan sesuai undang-undang yang berlaku, UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan juga mengacu pada UUD 45 pasal 28I Ayat 4 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia ada di tangan negara terutama pemerintah.
Telah dua dekade lebih sejak reformasi, namun sepertinya tidak terlalu banyak yang kita pelajari. Calon presiden bisa datang dari pelanggar HAM berat, sedangkan incumbent pun dikelilingi oleh pelanggar HAM. Apakah Ibu Sumarsih masih percaya dengan sistem pemilu di negeri ini?
Saya golput di pemilu tahun 2004, kenapa begitu? Karena DPR pada saat membentuk Pansus itu, 3 fraksi menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat, 7 fraksi menyatakan tidak. Itu kan arogan. Yang suaranya besar, itu yang menang. Kemudian pada pemilu 2004, kami mendeklarasikan “Politisi Busuk”. Kami membuat daftar para politisi busuk terutama anggota Pansus yang fraksinya menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.
Tahun 2009, saya masih golput. Saat itu, hasil penyelidikan Komnas HAM untuk Semanggi I-II dan Trisakti dikirim ke DPR dan Pimpinan Dewan memberi tugas kepada Komisi III DPR untuk melakukan kajian. Di Komisi III, komisi hukum DPR, suaranya bulat, bahwa pada tragedi tersebut terjadi pelanggaran HAM berat dan mengusulkan kepada dewan untuk membuat surat kepada presiden agar menerbitkan Keppres (Keputusan Presiden Indonesia) Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Tetapi kenyataannya apa? Diputar, diping-pong, dibuat alot. Akhirnya, hanya 4 fraksi yang setuju hasil kajian Komisi III itu dibawa ke sidang paripurna, 6 fraksi tidak setuju. Saya sempat membuat tulisan panjang di sepanjang police line untuk Aksi Kamisan, untuk pemilu 2009, jangan pilih partai Golkar, jangan pilih partai Demokrat, sementara presidennya Pak SBY adalah orang Demokrat.
Kemudian pemilu 2014, di visi, misi dan program aksi Jokowi-JK sebelum menjadi presiden itu tertulis, “Kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu” termasuk ditulis juga kasus Semanggi I-II dan Trisakti. Butir lainnya mengatakan, “Kami berkomitmen menghapus impunitas”. Spanduk Aksi Kamisan pertama kali bunyinya, “Aksi Kamisan melawan impunitas”. Siapa yang tidak percaya dengan Pak Jokowi? Akhirnya saya sendiri dan Aksi Kamisan, bikin celemek dukung Pak Jokowi.
Oleh karena itu, untuk pemilu 2019 ini, ketika capresnya kembali dua pasang, kalau dulu Pak Jokowi itu visi, misi dan program aksinya sempurna, sekarang visi, misinya Jokowi-Ma’Ruf Amin tidak sempurna ketika kata “penegakan hukum” yang diambil dari UUD 45 Pasal 28I Ayat 4 “penegakannya” dihilangkan. Kemudian, pada pemerintahan Pak Jokowi ternyata di pertengahan pemerintahannya mengangkat Menhankam/Pangab (Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima ABRI) ’98 Pak Wiranto menjadi Menkopolhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan). Ini yang menjawab visi, misi dan program aksi bahwa komitmen Pak Jokowi untuk menghapus impunitas dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya untuk meraup suara.
Komitmen Pak Jokowi untuk menghapus impunitas dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya untuk meraup suara.
Bagaimana dengan Pak Prabowo? Pak Prabowo jelas dia dalang pelaku pelanggar HAM berat. Kalau kemudian sekarang calonnya mereka lagi, berarti Pak Jokowi adalah pelindung para pelanggar HAM berat, dan Pak Prabowo adalah dalang pelaku pelanggar HAM berat. Di pemerintahannya Pak Jokowi, di samping ada Menhankam/Pangab tahun ’98, ada Pak Try Sutrisno yang sudah melakukan islah dengan korban Tanjung Priok, ini ‘kan membuktikan bahwa memang Pak Try Sutrisno selaku jenderal pada saat itu, dia bersalah. Hendropriyono melakukan islah dengan orang Talangsari sampai dua kali. Sutiyoso yang terlibat dan bertanggungjawab untuk tragedi 27 Juli diberi jabatan Ketua BIN (Badan Intelijen Negara). Banyak jenderal yang ditampung di Dewan Pertimbangan Presiden.
Sosok seperti apa yang Ibu lihat bisa menjadi pemimpin negeri ini?
Seorang yang negarawan. Negarawan itu artinya apa? Negarawan itu artinya adalah orang yang benar-benar memikirkan masa depan bangsa dan negara. Seorang yang benar-benar mewujudkan terwujudnya masyarakat adil, makmur dan sejahtera, yang ditulis di dalam pembukaan UUD 45. Yang kita lihat sekarang, negarawan berubah menjadi penguasa.
Beberapa waktu lalu, sempat ada gagasan untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI, sebuah hal yang mengakari banyak masalah pelanggaran HAM di masa lalu. Bagaimana ibu melihat perkembangan politik yang demikian?
Di Aksi Kamisan, banyak surat yang kami kirim kepada Presiden Jokowi menolak tentara terlibat di dalam kehidupan masyarakat. Tentara itu kan sudah melakukan banyak MoU dengan BUMN, lembaga-lembaga negara, bahkan di bidang pertanian, dari pengadaan pupuk sampai ke pemasaran hasil pertanian. Ini kan merupakan proses, proses kembalinya tentara masuk ke dalam pemerintahan. Kalau di jalan kita melihat Kapolri dan Pangab berdua katanya akan menjaga pemilu supaya aman, itu tidak usah dijadikan spanduk. Kan tugasnya sudah jelas. Tentara tugasnya menjaga kedaulatan negara sementara polisi menjaga ketertiban masyarakat. Kenapa sekarang mau disatukan lagi? Kalau dulu namanya ABRI, sekarang TNI Polri, sekarang mau disatukan lagi, tentara tugasnya mengurusi ketertiban masyarakat, yang mengurusi masalah kehidupan masyarakat di berbagai bidang, ini kan berarti sama saja akan mengembalikan tentara ke masalah politik. Akan kembali menangani masalah pemerintahan yang seharusnya ditangani oleh lembaga-lembaga sipil.
Keluarga Ibu Sumarsih adalah martir untuk reformasi dan demokrasi negeri ini, bagaimana melihat perkembangan demokrasi kita sekarang ini?
Yang kita lihat sekarang, negarawan berubah menjadi penguasa.
Demokrasi di Indonesia semakin merosot. Secara kasat mata ukurannya sangat mudah, dari pemilu ke pemilu, demokrasi menghasilkan para politisi yang sangat tidak berkualitas. Kita sebagai masyarakat dipertontonkan dengan anak-anak muda yang korupsi di DPR maupun yang menjadi kepala daerah dan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Masyarakat juga bisa melihat bagaimana para pelanggar HAM berat yang diberi jabatan strategis di dalam kabinet kerja Jokowi. Banyak orang mengatakan bahwa HAM adalah jantung demokrasi, demokrasi dan HAM itu satu paket, tetapi kenyataannya di Indonesia tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kalau menurut saya, indeks demokrasi di Indonesia ini semakin menurun.
Belakangan, Aksi Kamisan menjadi titik temu untuk berbagai masalah HAM di luar tragedi 98, bagaimana ibu melihat perkembangan ini? Apa yang paling banyak berubah dari Aksi Kamisan sendiri semenjak dimulai?
Kenyataannya di Indonesia tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Perubahan di Aksi Kamisan kalau pada awal aksi yang datang itu korban-korban yang sudah tua. Mereka sudah banyak yang mati. Sekarang kita bisa melihat yang datang di sini anak-anak muda. Aksi Kamisan akhirnya berlipat ganda di berbagai kota. Kalau saya bilang, Aksi Kamisan bersemi di musim kering. Aksi Kamisan sendiri ini dipakai sebagai ruang publik, bagaimana semua permasalahan rakyat yang belum diselesaikan akan menggunakan Aksi Kamisan ini dipersilahkan. Kemudian, Aksi Kamisan ini dijadikan tempat penelitian pada saat mereka membuat skripsi, tesis, disertasi, dan untuk anak-anak SMA, dia bisa menggunakannya untuk membuat karya tulis ketika syarat ujian itu harus membuat karya tulis. Akhirnya ada beberapa orang yang melakukan penelitian untuk Aksi Kamisan. Banyak guru-guru SMA yang memberikan tugas pada muridnya untuk melakukan penelitian juga, ada yang kemudian dijadikan praktek sebagai jurnalis, video maker, dan juga sebagai fotografer baik oleh anak-anak SMA maupun mahasiswa.
Tahun ini, Aksi Kamisan hampir mencapai episode ke 600, secara pribadi, apa yang Ibu pelajari/dapatkan dari perjalanan Kamisan sejauh ini? Dan dari mana Ibu Sumarsih mendapatkan energi untuk terus menjadi bagian setelah sekian lama?
Ketika Aksi Kamisan ini berlipat ganda, ada di berbagai kota, yang datang ke sini dari berbagai kota dari seluruh Indonesia walaupun silih berganti, juga dihadiri orang-orang dari mancanegara, ini membuktikan bahwa apa yang kami lakukan ini bermanfaat untuk masa depan bangsa dan negara. Banyak anak-anak muda yang ketika datang kemari memberi komentar, pemerintahan sekarang banyak mengangkat orang-orang yang sudah lansia di mana akan ada regenerasi? Tapi di Aksi Kamisan, proses regenerasi itu ada.
Bulan Mei nanti, Wawan harusnya merayakan ulang tahun ke 41. Apa yang ibu paling rindukan dari sosok Wawan sekarang ini?
Saya sadar Wawan sudah meninggal, dan saya percaya Wawan menjadi pendoa bagi ibunya sekeluarga dan juga untuk masyarakat bangsa dan negara. Karena di puisi Wawan tertulis, “Perjuangan kami belum selesai, banyak teman-teman yang sudah meninggalkan perjuangan, semoga orang tua saya tabah.” Dan ternyata memang perjuangan untuk perubahan, untuk demokrasi dan reformasi belum selesai, dan melalui ibunya, ditemani dengan anak-anak muda bersama-sama melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawannya yang belum selesai yaitu untuk mewujudkan reformasi dan demokrasi yang benar-benar bisa menyejahterakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Ada puisi Wawan yang ditutup dengan kata-kata itu. Walaupun dia tidak bisa menikmati, tetapi semoga rakyat Indonesia menikmati masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dan itu yang menyemangati saya sampai sekarang saya menjaga asa dan semangat.