Darurat Kekerasan Seksual dan Kenapa Kita Butuh Regulasinya
Berbincang dengan para pemerhati isu perempuan hingga seniman mengenai pendapat mereka mengenai diskursus seputar RUU-PKS.
Words by Ghina Sabrina
Sejak tahun 2014 lalu, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia ada dalam kondisi darurat kekerasan seksual dan maka dari itu, langkah-langkah tegas telah diajukan untuk meminimalisir maupun mengakomodir hak-hak penyintas secara komprehensif. Walau regulasi-regulasi yang menyentuh topik kekerasan seksual sudah ada, hukum yang tertera di dalamnya dianggap kurang menyeluruh dan masih memiliki celah yang dapat merugikan pihak penyintas. Penyusunan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun ditujukan untuk mengisi celah-celah tersebut dan memberi perhatian lebih kepada para korban dari segi hak-hak yang dimiliki oleh mereka, yakni hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Di tengah banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang terpaksa berhenti sebelum perjuangannya selesai, seperti kasus Agni di UGM, karena satu dan lain hal, melalui RUU ini, diharapkan bahwa para korban akan lebih diperhatikan dan sistem penanganan kasus akan berjalan lebih baik. Oleh karena itu, kami berbincang dengan berbagai macam persona dari latar belakang yang berbeda mengenai posisi mereka dalam diskursus ini. Dari Hera Diani hingga Ika Vantiani, berikut adalah pendapat mereka.
Hera Diani
Co-Founder & Managing Editor Magdalene
Telah muncul sebuah petisi yang menolak keras RUU PKS dengan anggapan bahwa undang-undang tersebut mendukung zina. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang menyetujui argumen tersebut?
Agar dibaca baik-baik draft RUU-nya karena yang dimaksud, yaitu mendukung zina, itu tidak ada di sana. Agar tidak berburuk sangka dulu dan mencari informasi yang benar mengenai latar belakang adanya RUU ini, yakni situasi kekerasan seksual yang genting. Data ada, statistik juga dan semuanya konsisten menunjukkan tingginya angka kekerasan seksual dan aturan perundangan yang ada terbatas dan tidak memadai untuk kasus-kasus ini. Ini soal kriminalitas bukan moralitas.
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik atas pentingnya perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual jika respons negatif yang muncul ternyata masih memberi perhatian khusus seputar hal-hal agama dan selangkangan semata?
Jangankan perlindungan dan rehabilitasi korban, kekerasan seksual masih tidak dianggap penting dan dinormalisasi. Jika terjadi dianggap salah korban. Untuk itu penting adanya UU PKS ini untuk lebih melindungi korban.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah persepsi negatif terhadap RUU PKS?
Mensosialisasikan RUU ini, melakukan dialog publik, diseminasi informasi, jangan tunduk pada populisme agama dan pemakaian politik identitas yang kemudian mengesampingkan isu yang lebih mendesak dan mengesampingkan kepentingan korban.
Penolakan atas RUU PKS terlihat sebagai suatu kemunduran jika dibandingkan dengan naiknya kesadaran publik atas isu-isu perempuan dengan adanya Women’s March. Menurut Anda, apa alasan di balik hal ini?
Ya ini seiring dengan menguatnya gerakan populisme agama yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Gerakan ini menggunakan interpretasi agama yang literal, patriarkal dan tidak kontekstual.
Media sosial memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi opini publik, apa saran Anda agar publik dapat berpikir kritis dalam menghadapi situasi seperti ini?
Agar publik lebih keras dan aktif bersuara melawan suara-suara dari kelompok konservatif agama yang patriarkal.
Kate Walton
Jakarta Feminist Discussion Group Founder
Telah muncul sebuah petisi yang menolak keras RUU PKS dengan anggapan bahwa undang-undang tersebut mendukung zina. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang menyetujui argumen tersebut?
Sebaiknya membaca versi RUU PKS terbaru – yang ada di website DPR adalah versi tahun 2017, padahal yang dicontohkan oleh yang kontra RUU ini adalah versi tahun 2016. Versi tahun 2017 bisa diunduh di sini dan sudah sangat berubah sesudah banyak konsultasi oleh Komnas Perempuan (sebagai penyusun RUU) dengan kelompok-kelompok lain, termasuk kelompok Islam.
Saya ingin sampaikan bahwa RUU PKS sangat penting sekali karena melindungi kita semua dari kekerasan seksual yang sejauh ini belum cukup diatur dalam KUHP atau peraturan lain. Banyak kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan pemaksaan lain belum bisa ditindaklanjuti secara hukum karena belum ada dasar hukum yang kuat. Dengan RUU PKS ini, korban dan penyintas kekerasan seksual menjadi berdaya untuk melapor dan menuntut keadilan. Seperti yang dikatakan KH Husein Muhammad, “Menolak RUU PKS sama dengan menyetujui kekerasan seksual”.
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik atas pentingnya perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual jika respons negatif yang muncul ternyata masih memberi perhatian khusus seputar hal-hal agama dan selangkangan semata?
Sejauh ini, belum ada banyak yang membahas pasal-pasal di RUU PKS terkait perlindungan dan rehabilitasi korban, padahal sangat penting sekali karena mewajibkan penyedia layanan untuk melayani, membantu, dan mendampingi penyintas supaya mereka bisa pulih dari trauma serta menuntut keadilan di pengadilan (kalau diinginkan). Jadi banyak yang belum sadar atas pasal-pasal ini karena perhatian dan debat berfokus khusus terkait agama dan norma.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah persepsi negatif terhadap RUU PKS?
Pemerintah perlu menjelaskan pentingnya RUU PKS, dan bagaimana peraturan yang sudah ada belum cukup untuk melindungi orang dari kekerasan seksual. Sebaiknya dijelaskan juga bahwa sama sekali tidak ada hubungan antara RUU PKS dan hal-hal yang dikhawatirkan kelompok konservatif, seperti legalisasi aborsi, zina, atau aktivitas seksual sesama jenis. Aborsi tetap ilegal di Indonesia, di bawah UU Kesehatan tahun 2009, kecuali untuk korban pemerkosaan, dan zina sudah diatur di KUHP untuk pasangan yang sudah menikah.
Penolakan atas RUU PKS terlihat sebagai suatu kemunduran jika dibandingkan dengan naiknya kesadaran publik atas isu-isu perempuan dengan adanya Women’s March. Menurut Anda, apa alasan di balik hal ini?
Kelompok konservatif seperti AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) dan GiGa (Penggiat Keluarga) memang kuat dalam kampanye medsos. Jadi walaupun sangat lebih banyak orang mengatakan bahwa mereka peduli atas isu-isu perempuan sekarang, banyak juga terbawa arus dengan kampanye medsos kelompok konservatif yang sudah ada di semua jalur – Instagram, Facebook, Twitter, Line, Whatsapp, dll. Kelompok progresif mungkin kalah di sini karena kelompok progresif lebih bersifat relawan, dibandingkan kelompok konservatif yang bisa mempekerjakan orang untuk membuat kampanye. Ini hanya menurut saya ya; mungkin teman lain punya perspektif lain.
Media sosial memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi opini publik, apa saran Anda agar publik dapat berpikir kritis dalam menghadapi situasi seperti ini?
Berusaha untuk tidak terbawa arus. Jangan langsung percaya apa yang tayang di medsos, walaupun mungkin desainnya kece atau berupa dari sumber resmi. Misalnya selama beberapa hari terakhir, ada yang memalsukan informasi, dengan mengunggah screen capture visi-misi sebuah organisasi lalu menyebutkannya sebagai draft RUU PKS, padahal isinya jauh beda. Maka harus hati-hati. Mending cek sumber lain dulu, dan selalu membaca atau menonton hal yang sedang dibahas, misalnya draft RUU PKS – jangan langsung percaya apa yang dikatakan orang lain. Sayang sekali, ada banyak penipuan.
Ika Vantiani
Seniman & Aktivis
Telah muncul sebuah petisi yang menolak keras RUU PKS dengan anggapan bahwa undang-undang tersebut mendukung zina. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang menyetujui argumen tersebut?
Menurut saya, yang jauh lebih penting daripada menghakimi seseorang berzina atau tidak adalah memastikan orang tersebut mendapatkan bantuan, dukungan dan pendampingan secara hukum oleh negara saat mereka menjadi korban kekerasan seksual. Masalah orang itu berzina atau tidak itu urusan dia dan Tuhannya. Urusan kita sebagai sesama manusia adalah saling tolong menolong dan mendukung manusia lain yang butuh bantuan agar kita semua bisa hidup bebas, sehat dan berharga sebagai manusia terlepas dari apapun agama dan keyakinannya.
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik atas pentingnya perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual jika respons negatif yang muncul ternyata masih memberi perhatian khusus seputar hal-hal agama dan selangkangan semata?
Menarik ya. Agama dan selangkangan. Seolah hidup cuman tentang dua hal itu saja. Masak kita jadi manusia diciptakan untuk sembahyang dan bersenggama saja setiap hari?
Saya juga bingung kalau ada orang hanya mengurusi dua hal itu saja tapi saya juga sadar ini berkaitan erat dengan banyak hal seperti pendidikan, budaya, lingkungan dan bagaimana pengalaman hidup manusia tersebut untuk bisa memiliki kesadaran bahwa dirinya hidup juga untuk menciptakan bentuk kehidupan yang tidak hanya nyaman dan aman untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain. Apakah mesti mengalami sendiri kekerasan seksual baru bisa memahami pentingnya RUU PKS ini segera disahkan?
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah persepsi negatif terhadap RUU PKS?
Yang harus dilakukan pemerintah sekarang hanya satu: Sahkan RUU PKS hari ini juga! Nanti setelah disahkan baru mulai mengedukasi publik tentang pentingnya RUU tersebut bagi semua orang di Indonesia yang bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan seksual.
Penolakan atas RUU PKS terlihat sebagai suatu kemunduran jika dibandingkan dengan naiknya kesadaran publik atas isu-isu perempuan dengan adanya Women’s March. Menurut Anda, apa alasan di balik hal ini?
Saya tidak melihat kemajuan dan kemunduran dari kedua poin tersebut. Karena saya merasa setiap kali ada satu langkah maju yang dilakukan maka ada seribu langkah baru lainnya untuk memaksanya mundur. Bicara tentang hak-hak perempuan harus dimulai dengan melihat perempuan sebagai manusia, bukan objek, bukan subjek. Hak-hak perempuan adalah juga hak-hak asasinya sebagai manusia. Manusia yang merdeka, dengan ataupun tanpa agama yang dianutnya. Kita mesti berhenti melihat kemanusiaan seseorang dari agama atau keyakinan yang dianutnya, karena itu sekarang menurut saya yang terjadi di Indonesia.
Media sosial memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi opini publik, apa saran Anda agar publik dapat berpikir kritis dalam menghadapi situasi seperti ini?
Cari tahu dan kumpulkan informasi dari berbagai sumber agar bisa melihat segala sesuatu tidak melulu dari satu sudut pandang saja. Berdiskusi dengan objektif, jangan subjektifitas saja. Pengetahuan, bukan ketakutan.
Lini Zurlia
Queer Feminist Activist
Telah muncul sebuah petisi yang menolak keras RUU PKS dengan anggapan bahwa undang-undang tersebut mendukung zina. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang menyetujui argumen tersebut?
Zina dan kekerasan seksual tentu saja berbeda. Terminologi zina biasanya dikaitkan dengan norma agama (bukan hanya Islam), aktivitas seksual konsensual di luar perkawinan bagi norma dalam Islam adalah zina, namun bisa berbeda dengan norma agama lain, dalam Katolik kawin poligami atau kawin lagi di luar perkawinan pertama yang disahkan oleh gereja, adalah zina. Jadi zina sangat dekat dengan konteks norma agama, sementara kekerasan seksual tidak demikian.
Kekerasan seksual adalah ketika ada aktivitas seksual tidak konsensual baik berupa fisik offline maupun online. Kekerasan seksual biasanya terjadi ketika ada relasi kuasa yang mencekam, bisa terjadi dalam ikatan perkawinan maupun tidak, sepanjang ia adalah aktivitas seksual tidak konsensual maka ia masuk kategori kekerasan seksual. Kekerasan seksual bisa berwujud pada perkosaan yang berujung pada pembunuhan.
Tak terhitung berapa jumlah kasus yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ayah kandung/tiri memperkosa anak, suami memperkosa istri, orang tak dikenal melakukan kekerasan seksual pada perempuan ketika pulang kerja, saat bekerja, pulang kuliah, dan seterusnya seterusnya. Nah, di sinilah peran RUU PKS hadir. Ia berupaya dengan tegas untuk mencegah, menangani dan memulihkan. Jadi yang menganggap RUU PKS adalah mendukung zina sungguhlah keterlaluan, ke mana mata batinnya saat melihat banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual?
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik atas pentingnya perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual jika respons negatif yang muncul ternyata masih memberi perhatian khusus seputar hal-hal agama dan selangkangan semata?
Publik masih melihat bahwa tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi adalah salah korban, salah pakaian korban, mengapa korban keluar malam, sendirian dan seterusnya. Victim blaming yang datang mulai dari keluarga hingga institusi pendidikan seperti yang dilakukan UGM ketika malah melaporkan jurnalis yang meliput kasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi UGM adalah bentuk dari betapa buruknya cara pandang masyarakat kita yang masih terus menerus menyalahkan korban. Jadi bagi saya, ini memang kerja berat untuk terus membukakan mata hati publik bahwa kekerasan seksual apapun bentuknya adalah budaya dimana masih memberi ruang bebas bagi pelaku sementara korban dipermalukan.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah persepsi negatif terhadap RUU PKS?
Pemerintah harus tegas bersuara dan berpihak pada naskah Rancangan UU ini. Pemerintah punya kewajiban juga untuk mengedukasi publik bahwa sudah saatnya negara ini menyatakan perang pada kekerasan seksual dan regulasi yang mengatur adalah wajib! Bukan malah ikutan memainkan sentimen norma agama tertentu.
Penolakan atas RUU PKS terlihat sebagai suatu kemunduran jika dibandingkan dengan naiknya kesadaran publik atas isu-isu perempuan dengan adanya Women’s March. Menurut Anda, apa alasan di balik hal ini?
Women’s March adalah salah satu event untuk mengajak partisipasi publik pada pentingnya kesetaraan gender, tapi apakah marching ini sudah menjadi political movement yang membuat negara membuka diri untuk membuat regulasi untuk memerangi kekerasan seksual, itu juga penting!
Mari membuat marching-marching lainnya, turun ke jalan, turun ke kampus, rebut ruang-ruang yang selama ini digunakan oleh pihak yang menolak RUU PKS bahwa perang pada kekerasan seksual adalah menyelamatkan keutuhan dan ketahanan keluarga yang seutuhnya.
Media sosial memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi opini publik, apa saran Anda agar publik dapat berpikir kritis dalam menghadapi situasi seperti ini?
Pengguna media sosial terbesar ada di ibu kota, menyusul kota kota besar lainnya, media sosial penting direbut, penting membangun counter narasi tapi media sosial tidak satu-satunya.
Sudah saatnya ruang-ruang edukasi yang tidak menggunakan media sosial juga dilakukan. Jutaan penduduk indonesia tidak menggunakan media sosial, bagaimana dengan mereka? Bagian dari pendukung RUU ini atau malah ikutan menolak?
Yuk organisir diri, kampanyekan dan suarakan bahwa RUU PKS ini penting untung segera diwujudkan. Pemerintah harus didorong untuk berpihak, bukan saatnya diam.
Citra Benazir
Young Activist – Founder Tis The Lyfe
Telah muncul sebuah petisi yang menolak keras RUU PKS dengan anggapan bahwa undang-undang tersebut mendukung zina. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang menyetujui argumen tersebut?
Sebenarnya, sedikit sekali rasa ingin menyampaikan sesuatu terhadap mereka, ‘cause it’ll be like igniting the fire, tapi yang ingin saya sampaikan adalah saran, saran untuk tidak hanya fokus terhadap kata-kata zina, yang ingin diselamatkan adalah para penyintas, para penyintas yang juga manusia yang memiliki hak dan suara untuk mendapatkan keadilan, and so with this RUU PKS they, nay, we can all have exactly that.
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik atas pentingnya perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual jika respons negatif yang muncul ternyata masih memberi perhatian khusus seputar hal-hal agama dan selangkangan semata?
Sampai kapanpun isu-isu seperti ini akan susah dipisahkan dengan agama, karena let’s face it we are a religious country, and it’s okay, yang menjadikannya tidak oke adalah ketika yang dipakai untuk menghujat atau menghukum or at least judge para penyintas atau aktivis adalah interpretasi atau point of view dari orang-orang yang only want us to be gone in the first place, people who would do anything to keep us hidden, remain silent and simply aim to destroy us. That’s not fair right? We didn’t have a chance and a fair start to begin with. Jadi walaupun sudah banyak dari masyarakat yang woke, the bigger group of people (dan yang punya suara dan those who could actually do something and make a change) are not.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah persepsi negatif terhadap RUU PKS?
Memang sepertinya sulit sekali bagi pemerintah, pemerintah manapun untuk memisahkan persoalan tubuh seseorang, seringnya tubuh perempuan dengan embel-embel aturan, tata tertib, norma, hukum negara maupun agama, dan kata-kata seperti “tidak seharusnya” dan “perempuan itu harus dijaga sekali ketertibannya dalam berbicara dan berpakaian“, dan “keanggunannya agar terus dipandang cantik“. Pada akhirnya, yang harus pemerintah sadari adalah tubuh seseorang adalah urusan orang itu sendiri bukan urusan semua orang. Tidak boleh ada kata normal yang diasosiasikan dengan bagaimana “seharusnya” orang hidup semata dikarenakan gendernya. So as soon as the government start taking equal actions, releasing public statements taking a strong positive stance on justice and equality, I am sure it’ll shook the rest of these dependant citizens.
Penolakan atas RUU PKS terlihat sebagai suatu kemunduran jika dibandingkan dengan naiknya kesadaran publik atas isu-isu perempuan dengan adanya Women’s March. Menurut Anda, apa alasan di balik hal ini?
Sayangnya, itulah Indonesia. Isu-isu seperti ini hanya “hits” di media sosial saja, ramai dan menjadi viral karena “mengikut zaman” di mana sebenarnya masih sedikit sekali yang benar-benar peduli hingga melakukan sesuatu. Karena bagi sebagian besar, the mainstream crowd hasn’t been exposed the correctly and well-educated enough on the issue to take a stance, hal ini dikarenakan media mainstream (TV) bagi saya belum menjadi woke seperti media lain (contohnya, sinetron, dan program-program talkshow atau gameshow yang masih merendahkan perempuan mengikuti budaya patriarki negara sejak lama, masih jika cantik seakan bisa dapat segalanya, konsep cantik itu hanya rambut panjang, kulit putih, kurus, tinggi, campuran bule, perempuan yang tidak seperti itu dipertontonkan sebagai pembantu, atau olokan dan ejekan, dibandingkan dengan perempuan yang cantik), sebagian besar lainnya terlalu fokus melihat dari kacamata agama dan pemerintahan
Media sosial memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi opini publik, apa saran Anda agar publik dapat berpikir kritis dalam menghadapi situasi seperti ini?
Ikhlaskan dulu untuk membuka mata dan pikiran sendiri, diam dahulu, pelajari dahulu isunya, amati dahulu percakapan atau perdebatan yang terjadi, pahami betul mengapa kedua belah pihak berpikir atau mengatakan opini masing-masing. Jika belum juga paham atau setuju dengan sisi yang benar, lihat ibu, nenek, bibi, saudari perempuan, anak perempuan, cucu perempuan atau siapapun di hidup anda yang bisa terancam adanya hal-hal buruk yang terjadi padanya, apakah anda mau itu terjadi? Pasti anda tidak mau dan akan membela untuk keselamatan mereka semua kan? RUU PKS ini bisa menyelamatkan banyak orang dan membantu lebih banyak orang lagi.