Bicara Bahaya Miskonsepsi Seputar Kesehatan Mental
Berbincang bersama media, musisi sampai seniman tentang bahaya dari miskonsepsi seputar kesehatan mental
Words by Whiteboard Journal
Beberapa tahun ini, diskusi mengenai kesehatan mental sudah semakin tersebar luas dan ditanggapi sebagai masalah kesehatan yang serius oleh masyarakat. Mulai dari kemunculan organisasi-organisasi kesehatan mental yang semakin menjamur sampai figur publik, semakin banyak yang menekankan kepentingannya. Tetapi, walau pembicaraan tentang hal ini sudah tersebar dan mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih terbuka, mayoritas orang masih memiliki pemikiran yang salah terhadap isu tersebut. Oleh karena itu, kami berbincang dengan beberapa figur, mulai dari musisi, seniman sampai media, untuk berdiskusi mengenai bahaya dari miskonsepsi seputar kesehatan mental sampai bagaimana kita bisa merubahnya.
Baskara Putra
Musisi – .Feast / Hindia
Pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar. Namun, masih banyak orang yang bingung dalam membedakan perasaan gugup dengan anxiety dan kesedihan dengan depresi. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Yang pasti, jangan pernah self-diagnose. Mawas diri dengan kondisi mental adalah hal yang baik, namun gangguan kesehatan mental (terutama yang berada di tingkat klinis) bukanlah sesuatu yang mudah diidentifikasi tanpa bantuan dari tenaga profesional. Jika tidak atau belum yakin, terutama jika tidak dengan bantuan identifikasi dari tenaga profesional, jangan terlalu mudah mengumbar bahwa diri memiliki gangguan kesehatan mental – karena dampak buruknya untuk diri sendiri dan orang sekitar bisa jadi lebih banyak lagi.
Sebaliknya, apa pendapat Anda tentang gagasan bahwa orang yang terbuka dengan kesehatan mentalnya itu “manja” atau “mencari perhatian”?
Saya rasa kawan-kawan sesama penyandang gangguan kesehatan mental sama-sama tahu jika memang ada pihak-pihak tertentu (biasa di internet) yang hanya mencari perhatian saja. Kebanyakan sih tidak, biasa sentimen ini justru datang dari orang yang 100% sehat. Tapi saya tak bisa memungkiri bahwa sesekali baik di dunia nyata maupun di media sosial saya bertemu dengan orang-orang yang benar memiliki gangguan kesehatan mental, namun menyikapinya dengan kurang bijak seperti misalnya menggunakan fakta tersebut untuk selalu menjadi alasan dirinya harus dimaklumi dalam kelalaiannya di pekerjaan, atau kesalahannya di lingkungan pertemanan.
Menurut Anda, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman atau keluarga yang sedang bergulat dengan kesehatan mentalnya?
Menjadi pendengar yang baik. Mungkin kalimat ini terkesan sederhana, tapi mendengarkan yang sebenar-benarnya, tanpa menjadi judgmental, tanpa interupsi di titik-titik yang kurang tepat, tanpa memiliki prasangka buruk dalam hati, itu sangat sulit. Pada kebanyakan waktu, kami hanya ingin didengarkan. Pastikan bahwa kamu selalu ada untuk orang-orang terdekat yang berjuang tiap hari melawan dirinya sendiri. Jika mereka mulai memperlihatkan gejala, saat masih belum parah (atau justru setelah mulai mereda), coba arahkan pembicaraan ke hal-hal kecil lain yang dapat membuat mereka lupa akan energi dan emosi ekstrim yang baru saja mereka miliki terhadap beberapa hal.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Tiap orang memiliki perjuangannya sendiri, dan tidak seluruh masalah serta tantangan dalam bentuk gangguan kesehatan mental dapat diselesaikan dengan ‘berdoa’ atau dibawa ke ritual-ritual keagamaan tertentu. Juga, di titik ini kita semua sering melihat bahwa terkadang, sekarang gangguan kesehatan mental (kurang lebih) dianggap menjadi ‘tren fashion’ oleh anak muda agar terlihat keren dan edgy, padahal tidak sama sekali. Mungkin ini mereka lakukan tanpa mereka sadar mereka sedang mengglorifikasi hal-hal tersebut melalui pemahaman atau literasinya yang rendah terhadap kesehatan mental. Ini masih merupakan hal yang jarang saya lihat di angkat oleh media, komunitas, maupun organisasi apapun – bahwa mengglorifikasi gangguan kesehatan mental adalah hal yang berbahaya.
Rhaka Ghanisatria
Co- Founder Menjadi Manusia
Pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar. Namun, masih banyak orang yang bingung dalam membedakan perasaan gugup dengan anxiety dan kesedihan dengan depresi. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Melihat layer kesehatan mental di Indonesia sekarang sebenarnya lucu, di satu sisi banyak yang belum aware dan masih awam akan kesehatan mental itu sendiri, di satu sisi banyak yang sudah aware akan tetapi justru menggunakan ini sebagai ajang keren-kerenan tanpa ada diagnosa dari profesional, kalau merasa tidak baik-baik saja akan diri kita, jangan mendiagnosa sendiri, pergi ke psikolog atau pun psikiater untuk tau apakah kita hanya sedih saja atau beneran depresi.
Sebaliknya, apa pendapat Anda tentang gagasan bahwa orang yang terbuka dengan kesehatan mentalnya itu “manja” atau “mencari perhatian”?
Nggak lah, orang yang terbuka dengan dirinya sendiri nggak manja dan caper, justru mereka adalah orang orang yang aware akan kondisi dirinya, menjadi tidak baik-baik saja adalah bagian dari menjadi manusia, menceritakan keluh kesah tentang masalah yang dihadapi adalah bagian dan juga proses dari berdamai dengan diri sendiri.
Menurut Anda, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman atau keluarga yang sedang bergulat dengan kesehatan mentalnya?
Jadilah pendengar bukan pengadil, ketika mereka bercerita ya didengarkan jangan dihakimi. Kadang orang hanya butuh didengar saja ketika punya masalah untuk sedikit meringankan beban mereka. Yang kedua kalau ada teman yang punya pikiran atau tindakan yang membahayakan diri sendiri sarankan mereka untuk pergi ke profesional, pergi ke psikolog dan psikiater tidak berarti kita gila.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Jangan hakimi dan terus edukasi, WHO (World Health Organization) sudah mengeluarkan statement di tahun 2020 penyakit mental akan jauh lebih berbahaya dibanding penyakit fisik, bagi saya ini adalah sebuah peringatan untuk kita semakin giat menyuarakan tentang isu kesehatan mental, jangan terus-terusan jadikan kesehatan mental hal yang tabu untuk dibahas. Sekarang mental health di Indonesia kekurangan figur, bukan jadi satu hal yang di admit dan dibicarakan banyak orang, perlu lebih banyak lagi komunitas ataupun figur-figur yang gencar menyuarakan isu ini sehingga gaungnya semakin besar.
Fathia Izzati
Musisi / Content Creator
Pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar. Namun, masih banyak orang yang bingung dalam membedakan perasaan gugup dengan anxiety dan kesedihan dengan depresi. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Keadaan seperti ini sebenarnya berbahaya, karena mendapatkan penanganan sejak dini akan jauh lebih baik. Menurut saya semuanya kembali ke edukasi. Apabila edukasi mengenai kesehatan mental itu ditingkatkan, kita semua bisa lebih mengenal masing-masing gangguan mental dan tau apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan atau mengurangi penderita. Ini berguna untuk yang mengidap, maupun orang sekitarnya, dikarenakan kesehatan mental sangat bergantungan dengan environment-nya juga. Orang yang mengidap bisa lebih mengenal dirinya, dan sekitarnya bisa lebih aware dan tidak menyepelekan.
Sebaliknya, apa pendapat Anda tentang gagasan bahwa orang yang terbuka dengan kesehatan mentalnya itu “manja” atau “mencari perhatian”?
Saya nggak setuju sama pernyataan ini. Memiliki isu kesehatan mental itu sama sekali tidak menyenangkan. Terkadang mereka memang perlu dukungan dan bergantung terhadap kepedulian orang lain. Mending kalau kita lihat teman kita yang terlihatnya ‘caper’ kita langsung ajak ngomong secara pribadi aja. Dari situ kita bisa tahu sebenarnya apa yang ia rasakan, dan bisa bantu kasih saran juga untuk mendapatkan pertolongan yang profesional.
Menurut Anda, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman atau keluarga yang sedang bergulat dengan kesehatan mentalnya?
Menurut saya, paling nggak kita bisa mengerti. Mengerti dan selalu bantu untuk menyemangati teman, keluarga, bahkan siapapun itu yang sedang berjuang. Kita nggak pernah tau apa yang mereka rasakan. Di sisi lain, seharusnya kita juga tidak terlalu membedakan karena mereka juga manusia, sama seperti kita. Hanya mungkin perjuangan mereka lebih sulit karena dipengaruhi hal-hal yang bukan dalam kontrol mereka.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Memulai pembicaraannya. Itu yang saya rasakan ketika mewawancarai salah satu seniman yang memiliki gangguan bipolar. Kita kalau flu, demam atau batuk saja bilang dan suka mengeluh. Jadi kenapa mereka nggak bisa mengeluh dan mulai pembicaraan tentang kesehatan mental? Itu pasti lebih kompleks daripada batuk.
Sal Priadi
Musisi
Pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar. Namun, masih banyak orang yang bingung dalam membedakan perasaan gugup dengan anxiety dan kesedihan dengan depresi. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Hal ini wajar terjadi di masyarakat kita, karena kebiasaan orang-orang kita yang self-diagnose. Setiap ada gangguan sedikit, symptom sedikit, otomatis langsung googling. Lewat 3 artikel mereka bisa menduga dan seolah memastikan apa yang terjadi dalam tubuh mereka, padahal mungkin salah besar – tanpa datang langsung untuk bantuan profesional mereka memilih untuk melakukan itu, sehingga kebingungan itu sering muncul. Ditambah juga, karena pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar di media sosial, dengan informasi sebanyak itu ya, yang simpang siur, yang mungkin akunnya tidak kredibel atau mungkin salah membedakan, akhirnya informasi itu diserap oleh masyarakat dan akhirnya mereka juga sulit membedakan. Alangkah baiknya jika semua orang tahu kalau hal ini harus disikapi dengan benar, harus ditanggapi dengan serius. Mulai lah untuk datang ke profesional, berhenti self-diagnose. Kalau memang gejalanya parah, beranikan diri untuk datang, hilangkan pikiran bahwa hal ini masih tabu.
Sebaliknya, apa pendapat Anda tentang gagasan bahwa orang yang terbuka dengan kesehatan mentalnya itu “manja” atau “mencari perhatian”?
5 – 10 tahun yang lalu hal ini masih tabu. Begitu ada media sosial dan orang-orang mulai membicarakan kesehatan mental, the good thing is pembicaraan ini sudah diterima oleh masyarakat luas. Hal ini sudah disorot menjadi sebuah masalah yang harus diperhatikan. Namun ada juga orang-orang, yang mungkin karena akibat self-diagnose itu, merasa bahwa dia mengidap sesuatu dan langsung merasa bisa curhat di media sosial, setiap hari post hal-hal yang depresif, yang “emo”, melihat bahwa depresi ini merupakan sesuatu yang harus dikasihani. Daripada mencari bantuan, mereka malah mencari perhatian – sesuatu yang lucu. Ini membahayakan sebenarnya, karena bisa menjadi trigger bagi orang lain untuk melakukan hal yang serupa. Jadi teman-teman benar-benar harus berhati-hati.
Yang bahaya lagi adalah, ketika fenomena ini muncul orang-orang yang mempunyai mental health issues akhirnya dianggap sebagai orang-orang manja dan mencari perhatian. Kasihan orang-orang yang benar-benar sakit, menghadapi itu setiap hari, depresi akut lalu misalkan menuangkan di media sosial dan dianggap seperti itu, hal ini akhirnya menjadi bias. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Jadi kita harus sangat bijak melihat hal-hal seperti ini. Mungkin caranya adalah, kalau ada orang-orang dengan konten yang terlihat mencari perhatian, bisa kita arahkan ke akun profesional, mulai diberikan informasi tentang rumah konseling, atau metode TAT (Tapas Acupressure Technique) dan sebagainya.
Menurut Anda, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman atau keluarga yang sedang bergulat dengan kesehatan mentalnya?
Metode sudah banyak sekali, mulai dari holistik sampai teknologis sampai yang campur-campur, sampai gerakan senam sekalipun. Sebenarnya kita harus tahu dulu, paling tidak kita tahu apa yang diidap oleh orang ini setelah berdiskusi dengan profesional. Kemudian mencari langkah tepat dan metode yang sesuai, karena kalau tidak nyaman kasihan juga orangnya. Depresi contohnya, itu penyakit yang tidak kasat mata tapi keras terasa kehadirannya, jadi harus berhati-hati sekali menghadapinya. Harus sabar.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Bermacam-macam ya, aku rasa harus disesuaikan dengan bahasanya, tone-nya, jangan malah nggak sesuai. Niatnya membantu menyampaikan mental health awareness, tapi malah cenderung “sok tahu” atau tidak sesuai porsinya. Jadi komunitas harus mengetahui terlebih dahulu DNA mereka, lalu menyesuaikan dengan kapasitas untuk menyampaikan pesannya. Kalau dirasa tidak mengerti ya jangan mengambil resiko untuk membahas itu, atau punya beban untuk menyampaikan hal itu. Penyampaian pesan itu dapat dilakukan dengan cara masing-masing, aku yakin tiap komunitas mempunyai suara yang unik, dan sangat bijak jika digunakan untuk mental health awareness, tapi yang lebih baik adalah tahu kapasitasnya, tahu bagaimana bahasanya, tidak kemudian menjadi malah salah dalam menyampaikan, karena ini benar-benar masalah yang serius.
Hana Madness
Artist
Pembicaraan tentang kesehatan mental semakin gencar. Namun, masih banyak orang yang bingung dalam membedakan perasaan gugup dengan anxiety dan kesedihan dengan depresi. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Bagi saya, semua orang memiliki sisi ‘kegilaan’ dalam dirinya masing-masing. Yang membedakan adalah persentasenya. Jika gangguan-gangguan seperti kecemasan, depresi, hingga waham seperti yang disebutkan diatas dirasa cukup mengganggu seperti; berkurangnya fungsi diri serta sosial ada baiknya kita tidak ragu untuk mendapatkan pertolongan profesional baik itu psikolog ataupun psikiater guna mendapatkan diagnosa yang tepat. Karena dengan diagnosa yang tepat, kita akan mengetahui treatment seperti apa yang cocok bagi gangguan tersebut.
Sebaliknya, apa pendapat Anda tentang gagasan bahwa orang yang terbuka dengan kesehatan mentalnya itu “manja” atau “mencari perhatian”?
Tidak selalu. Tergantung seberapa jauh kita terbuka akan kondisi tersebut. Jika berbicara dari sudut pandang penyintas, keterbukaan itu bisa juga bersifat untuk mengedukasi orang-orang terdekat. Karena sekali lagi, kesehatan mental bukanlah gangguan yang dengan mudah dikenali hanya dengan melihat fisik seseorang sehingga tidak mudah untuk mengkomunikasikannya. Jadi, saya pribadi sangat mengapresiasi seseorang yang mampu terbuka akan kondisi tersebut. Karena mungkin saja seseorang yang sedang berusaha terbuka tersebut belum menemukan support systemnya, sehingga keterbukaan tersebut merupakan sebuah upaya bagi dirinya, namun bisa juga sebaliknya yakni keterbukaan itu merupakan sebuah upaya untuk mengapresiasi diri.
Menurut Anda, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman atau keluarga yang sedang bergulat dengan kesehatan mentalnya?
Banyak sekali cara. Yang paling mudah adalah dengan menjadi pendengar yang baik, yang tidak mudah menghakimi seperti menanyakan apa yang sedang mereka butuhkan untuk membuat kondisi mereka menjadi lebih baik. Menjadi support system yang selalu berada pada sisi mereka. Dan jika terlihat gejala-gejala seperti mulai menarik diri dari lingkungan sosial atau bahkan menyakiti diri, tawarkan mereka untuk mendapatkan pertolongan profesional dan yakinkan bahwa keadaan tersebut bukanlah salah mereka, dan dengan mendapatkan pertolongan medis akan menjadi salah satu upaya untuk memperjuangkan diri mereka.
Apa yang dapat kita lakukan sebagai komunitas untuk membantu mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma-stigma negatif yang mengitari pembicaraan kesehatan mental?
Lakukan edukasi ke lingkup terkecil, seperti keluarga, teman, dan orang-orang disekitar kita; bisa dengan membagikan artikel-artikel terpercaya melalui sosial media (saat ini sudah cukup banyak support group di sosial media yang rutin membagikan informasi seputar kesehatan jiwa), mengikuti seminar/diskusi seputar kesehatn jiwa dll. Mulai ciptakan lingkungan yang supportive baik dalam keluarga hingga tempat kerja. Karena seringkali masalah kesehatan mental timbul dari permasalahan dalam lingkup tersebut. Melakukan edukasi baik melalui diskusi/seminar, screening, hingga pameran yang melibatkan tak hanya profesional namun juga penyintas guna mendapatkan sudut pandang yang beragam. Saya percaya bahwa pemulihan orang dengan kesehatan mental melibatkan banyak faktor. Baik dari lingkungan, terapi, serta gaya hidup. Hal-hal tersebut saling berkontribusi satu sama lain. Tak jauh berbeda dengan stigma, banyak pihak yang juga harus berkontribusi dalam perannya masing-masing untuk dapat bersama-sama menghapus stigma terhadap kesehatan jiwa. Karena sekali lagi, kesehatan jiwa sama berharganya dengan kesehatan fisik.
–
Membahas kesehatan mental, Whiteboard Journal membuka submisi untuk berbagi cerita terkait isu kesehatan mental pada rilisan buku kedua Whiteboard Journal Open Column. Untuk info lebih lanjut baca selengkapnya di sini.