Belajar Toleransi Lewat Filosofi Bubur Ayam ala Ayu Kartika Dewi
Menemui perbedaan untuk memulai bertoleransi.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Menajamnya hubungan antara umat beragama, ras, dan perbedaan pandangan politik, membuat masyarakat perlu kembali mempraktekkan budaya toleransi. Lewat berbagai gerakan seperti SabangMerauke, Toleransi.id dan Milenial Islami, sepak terjang Ayu Kartika Dewi membuktikan perlunya isu ini untuk diangkat lagi dan lagi demi kebhinekaan Nusantara – salah satunya dengan filosofi bubur ayam diaduk atau tidak diaduk. Kami berbincang dengan Ayu mengenai pentingnya edukasi toleransi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Apa turning point yang membuat Anda tertarik dengan isu toleransi di Indonesia?
Jadi waktu itu, saya lama tinggal di Singapura, pernah exchange, kemudian kerja di sana. Lalu saya pulang ke Indonesia untuk jadi guru SD. Waktu itu sempat ditempatkannya di Maluku Utara, di Halmahera Selatan tahun 2010-2011. Sebelumnya, saya tidak melakukan riset tentang daerah penempatan saya. Sampai sana, saya baru tahu bahwa ternyata ada provinsi yang bernama Maluku Utara. Saya kira hanya provinsi Maluku. Oh, ada provinsi baru! Lalu baru tahu juga, ternyata daerah itu dulu terkena dampak kerusuhan. Jadi kerusuhan Ambon yang tahun 1998-1999 itu ternyata menyebar sampai ke Halmahera Selatan, lokasi tempat saya tinggal. Waktu sampai sana, saya lihat sepanjang jalan itu ternyata banyak reruntuhan gereja-gereja, puing-puing bekas dibakar saat kerusuhan. Dan masih ada sampai sekarang. Padahal kejadian kerusuhan sudah lama sekali, tapi yang ada di sana saat itu dibiarkan begitu saja, tidak dibangun lagi sama warga.
Ketika sampai di sana kemudian tinggal di desanya, baru tahu ternyata setelah kerusuhan, banyak desa yang disekat-sekat. Jadi ada desanya orang Kristen, ada desanya orang Islam. Tujuannya waktu itu supaya tidak terjadi gesekan. Nah, jadi kebetulan saya ditempatkan di desa yang 100% Muslim, jadi murid-murid saya itu seumur hidup tidak pernah bertemu orang Kristen. Karena mereka sejak lahir di situ dan tumbuh besar juga di situ. Mereka tidak berinteraksi dengan orang dari desa sebelah. Lalu saya pikir, waduh, ini sayang sekali.
Suatu sore, ada isu bahwa akan ada kerusuhan. Kemudian, anak-anak jadi panik dan datang ke rumah teriak-teriak “Ibu Ayu, kita harus hati-hati Ibu! Kerusuhan su dekat!” katanya. Terus saya bertanya, “Kerusuhan ada di mana?” “Ada di Ambon, Ibu.” “Kamu tahu tidak nak, Ambon itu jauh sekali dari sini.” Nah jadi dari Ambon, ke desa tempat saya tinggal, kalau naik kapal itu dua hari. Jadi saya bilang “Nak, itu jauh sekali dari sini. Kalau naik kapal itu butuh dua hari.” Terus mereka jawab “Ibu, kalau naik kapal jauh, nanti mereka datang naik pesawat, Ibu.” Oke, berarti logika mereka jalan. Kalau naik kapal jauh, berarti naik pesawat itu lebih cepat. Tapi juga artinya mereka tidak paham bagaimana konsep kerusuhan, mereka membayangkannya kerusuhan itu seperti sesuatu yang bisa datang, naik pesawat kemudian datang ke tempat kita. Kemudian mereka juga bilang seperti ini, “Ibu Ayu, kita to harus hati-hati deng orang Kristen, karena orang Kristen bisa bakar-bakar kita pe rumah.”
Nah dari situ saya berpikir, ini gila ya, anak-anak ini tidak pernah ketemu orang Kristen seumur hidupnya, bisa-bisanya mereka punya begitu banyak kebencian, ketakutan, punya bayangan yang menakutkan seperti itu. Orang Kristen itu pokoknya menakutkan, mungkin dalam bayangan mereka itu orang Kristen seperti monster, datang lalu bakar-bakar rumah, dan ini seram sekali. Saya berpikir, wah ini tidak bisa didiamkan, harus ada sesuatu yang diubah. Karena, bayangkan saja kalau misalkan anak-anak ini tumbuh besar dengan mindset seperti itu, nanti mereka dewasanya pasti juga akan punya begitu banyak kebencian dan ketakutan terhadap orang yang berbeda. Juga orang di desa sebelah, anak-anak di desa Kristen di desa sebelah juga pasti punya persepsi yang sama tentang orang Islam. Yang di sini bilang hati-hati dengan orang Kristen, yang di sana juga pasti bilang seperti itu, karena sama-sama tidak pernah bertemu. Dan pasti sama-sama pernah mengalami, mereka memang benar pernah mengalami peperangan, jadi riot itu benar nyata bagi mereka. Waktu itu di Ambon dan sekitarnya saja ada ribuan orang meninggal. Itu kan banyak sekali ya? Kita kalau ada pesawat jatuh, 100 sekian orang saja sedihnya lama sekali, sementara ini ribuan orang.
Waktu mereka lahir, memang masih ada kerusuhan itu?
Nah, murid-murid saya lahir setelah kerusuhan. Jadi mereka benar-benar tidak pernah bertemu dengan orang yang beda agamanya. Walau tidak pernah mengalami kerusuhan, tapi cerita-ceritanya turun-temurun jadi pasti ketakutan-ketakutan ini ada terus. Jadi waktu itu saya berpikir ini tidak bisa didiamkan. Kalau seperti ini terus, Indonesia tidak akan bisa damai. Indonesia akan terus-menerus punya persepsi yang mengerikan terhadap orang yang berbeda agama, berbeda etnis. Tidak bisa damai, disulut sedikit langsung perang lagi. Jadi waktu itu saya berpikir harus ada sesuatu, jadi saya buat SabangMerauke. Itu kan 6-7 tahun lalu. Jadi, SabangMerauke itu pertukaran pelajar antara daerah lalu anak-anaknya ditaruh di keluarga yang beda agama dan etnis.
Jika biasanya program pertukaran pelajar mengirim siswa SMA ke luar negeri, SabangMerauke justru mengirim siswa SMP ke berbagai daerah di Indonesia. Bisa diceritakan tentang pemilihan target usia peserta dan daerah di mana mereka dikirimkan?
Yang pertama tentang filosofinya dulu ya. Kami ingin mengajarkan perdamaian. Jadi, sulit sekali mengajari perdamaian kalau hanya lewat buku PPKn. Kita harus damai, kita saling mengasihi, itu agak susah. Jadi kalau seperti teman saya bilang, Kang Ai namanya, 50% dari permasalahan perdamaian itu bisa selesai kalau kita sudah ketemu. Karena ketika sudah ketemu itu pasti kemudian menjadi, “Oh, ternyata orang ini seperti ini, ternyata tidak semenakutkan yang aku bayangkan, oh ternyata orangnya baik ya.” Jadi cerita-cerita yang selama ini ada, cerita-cerita yang selama ini menyebar yang biasanya cerita-cerita yang tidak baik, itu biasanya terklarifikasi dan kemudian prasangka-prasangka jadi runtuh. Jadi secara filosofi, kami ingin mempertemukan anak-anak. Bertemu dengan orang yang berbeda-beda, mereka harus berinteraksi secara nyata dan secara positif.
Intoleransi masih ada di banyak tempat di Indonesia sulit sekali mengajari perdamaian kalau hanya lewat buku PPKn.
Kemudian yang kedua, kami ingin mengajarkan semuda mungkin. Nilai perdamaian itu ya memang harus dididik sejak kecil, sejak muda dan terus-menerus sampai dewasa, tidak bisa hanya one and done lalu setelah itu selesai, dan diasumsikan orangnya begitu diajari perdamaian sekali dia akan menjadi damai seumur hidup. Manusia kan pasti bisa digeser-geser pemikirannya. Nah, kita inginnya semuda mungkin, tapi semuda apa? Dari bentuknya tadi kan ingin bertemu, artinya kami ingin membuat pertukaran pelajar. Kemudian ingin anak-anak ini traveling sendirian, karena kalau diantar itu sudah pasti rumit. Satu, biaya membengkak, yang kedua anaknya akan attach dengan pengantarnya, mereka menjadi lebih susah untuk memulai hubungan baru dengan keluarga barunya dan teman-teman barunya. Jadi kami ingin anak-anaknya traveling sendirian. Kalau begitu kira-kira anak seperti apa, umur berapa, yang semuda mungkin tapi sudah bisa traveling sendirian, dan kira-kira kalau ikut aktivitas ini dia tidak akan takut. Karena akan selalu ada comfort zone, ada circle of comfort, circle of learning, dan circle of anxiety. Kalau misalnya terlalu besar perbedaannya, dia akan takut. Jadi kalau anak SD, mungkin akan takut ya kalau traveling sendirian, jadi kita ambil usia anak SMP. Kalau SMA mungkin malah sudah terlalu terlambat, karena mungkin mindset-nya sudah terlalu terbentuk. Jadi itu mengapa memilih anak SMP.
Tentang pemilihannya dari daerah mana, kami sebenarnya membuka seluas-luasnya dari daerah manapun di Indonesia. Jadi kami sebar informasinya ke seluruh Indonesia, kemudian anak-anak daftar, ada esainya kemudian kalau lolos akan ada seleksi wawancara lewat telepon kemudian baru setelah lolos, terpilihlah 20 anak yang berangkat. Itu sebenarnya dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi biasanya kita akan berusaha untuk ada beberapa yang berasal dari daerah konflik. Karena kami ingin anak-anaknya pulang untuk kemudian benar-benar jadi contoh, bayangkan saja kalau misalkan ada anak dari Maluku. Dia kami tempatkan di keluarga Cina Kristen. Bayangkan ketika dia pulang lagi, lalu nanti “Bagaimana kamu, tinggal di keluarga Kristen, kamu baik-baik saja? Kamu bisa shalat?” nanti ternyata dia bercerita, “Baik-baik aja kok. Aku diberikan tempat shalat, diantarkan ke masjid, puasa sahur ditemani, dan mereka baik sekali.” Tidak semengerikan yang kita bayangkan.
Bayangkan anak-anak punya cerita seperti ini, dan kalau misalnya setiap tahun kita punya semakin banyak anak-anak ini, terbayang akan banyak desa-desa damai di seluruh Indonesia. Maka dari itu kami ingin sekali anak-anak ini jadi semakin banyak di seluruh Indonesia. Kemudian, soal ditempatkannya di mana. SabangMerauke so far berlokasi di Jakarta, di Jabodetabek. Jadi penempatannya semua di Jabodetabek. Tapi mereka pasti akan ditempatkan di keluarga yang berbeda agama dan etnis, supaya mereka merasakan perbedaan.
Apakah memang belum ada rencana untuk pertukaran antar daerah itu sendiri?
Sebenarnya diskusi itu sudah berkali-kali terjadi, jadi ini agak berbeda dengan misalnya AFS (program pertukaran pelajar SMA ke luar negeri). Kalau AFS, kan kalian tinggal di rumah keluarga asuh kemudian kalian sekolah di sekolah umum. Artinya, tidak ada komunitas program tersebut secara spesifik di kota tersebut. Jadi aktivitasnya bukan dengan program, tapi dengan keluarga dan sekolah. Nah itu bedanya sama SabangMerauke. Kalau SabangMerauke, kami ada aktivitas khususnya. Jadi anak-anak itu diajak ke Jakarta kemudian setiap hari – ini programnya tiga minggu – selama tiga minggu itu mereka kunjungan ke mana-mana. Seperti hari ini, mereka kunjungan ke kantor keluarga asuhnya, kemudian minggu depannya mereka kunjungan ke berbagai rumah ibadah, lalu ke kantor KPK, jadi mengunjungi kemudian berinteraksi dan bertanya dan belajar banyak hal. Nah, jadi ini sangat berbeda kan, artinya sistemnya juga harus berbeda.
Dan ini pilihan, begitu, mau bentuk (pertukaran) yang seperti apa. Mau bentuk seperti AFS yang anak-anaknya ditaruh, dicemplungkan ke sekolah setempatnya kemudian good luck, dilepas. Sementara kalau di SabangMerauke ada programnya, nah jadi kalau misalnya kami memikirkan anak ini mau ditaruh di sana; selain Jakarta, tidak bisa hanya anaknya sendirian. Artinya harus ada sekian puluh anak lainnya juga ditempatkan di sana, sekian puluh keluarga juga harus dicari di sana. Kemudian juga acaranya, programnya, kurikulumnya, harus didesain di kota tersebut. Ini menjadi tidak hanya memindahkan anak, tapi memindah sistem juga. Jadi itu bedanya, kenapa kok SabangMerauke masih di Jakarta saja, karena this is the system that we have, dan kita inginnya seperti ini.
Ini yang selalu saya bilang, SabangMerauke itu memang program pertukarannya, memang tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan intoleransi di Indonesia yang terlalu banyak, terlalu luas. SabangMerauke ada berapa puluh anak sih setiap tahunnya. Tapi yang mungkin akan bisa membantu adalah cerita yang terjadi lewat pengalaman-pengalaman ini. Makanya kemarin saya senang sekali ketika dikontak untuk wawancara ini. Karena artinya teman-teman akan membantu menyebarkan cerita perdamaian ke lebih banyak orang. Jadi yang mengalami cerita perdamaian tidak hanya 20 anak SabangMerauke saja, tapi banyak orang yang membaca cerita kalian, melihat fotonya, dan lain sebagainya. Jadi itu yang kami inginkan, untuk SabangMerauke buat kerja sama dengan macam-macam. Intinya kami ingin membesarkan cerita dari si SabangMerauke ini.
Selain itu Anda turut membuat Toleransi.id. Sebenarnya apa alasan dan untuk siapakah platform ini dibuat?
Jadi kalau SabangMerauke tadi itu adalah organisasi yang sudah saya dirikan tujuh tahun lalu bersama beberapa teman, sudah ada yang menjalankan full-time, jadi sekarang saya sudah tidak terlibat dalam pelaksanaan sehari-harinya. Sekarang saya bekerja di Indika Foundation, di dalam Indika Foundation kami mendirikan platform Toleransi.id, karena Indika Foundation memang bidangnya konseling di character building dan pendidikan perdamaian. Jadi makanya kita mendirikan Toleransi.id, saya kebetulan inisiatif itu. Nah, kalau target audience kebetulan cukup banyak, age range-nya memang berbeda-beda. Misalkan di Toleransi.id kita membuat buku cerita untuk anak-anak, buku dongeng. Ini kan untuk anak-anak Pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai SD kelas 1, 2, 3, kemudian masih di dalam payung Toleransi.id, Indika Foundation juga membantu berbagai organisasi yang bergerak di bidang perdamaian, seperti misalnya SabangMerauke.
Toleransi.id itu Indika Foundation, membantu SabangMerauke, itu kan artinya masuknya ke ranah SMP. Kemudian Toleransi.id dan Indika Foundation juga membantu SMK Bakti Karya, SMK kebhinekaan yang ada di Pangandaran, itu sudah masuk ke anak SMA. Kemudian kami juga membantu Indo Relawan, itu masuknya ke kuliah dan umum. Jadi kalau berbicara target market, it’s pretty much everyone karena di setiap target market ini sebenarnya pasti ada yang bisa disentuh. Nah jadi kami ingin ada dan masuk ke dalam setiap segmen yang berbeda-beda ini.
Apa upaya Anda dengan platform ini dalam mengedukasi publik secara merata tentang isu yang Anda pedulikan?
Macam-macam – aspeknya macam-macam sekali. Jadi misalnya kami terbitkan buku cerita anak, kemudian gelar acara melatih mendongeng di berbagai tempat dan dongeng ini cerita dengan moral berupa pesan-pesan perdamaian untuk anak-anak. Tetapi tentu saja ketika orang tua, guru membacakan ini mereka juga dapat belajar untuk dirinya sendiri, ini adalah salah satu yang kami kerjakan.
Kemudian ada hal lain yang kami kerjakan berkolaborasi dengan organisasi lain. Seperti dengan SabangMerauke, Indo Relawan, SMK Bhakti Karya atau berbagai organisasi lain di Toleransi.id. Kemudian kami juga bisa dari sisi storytelling-nya, jadi misalnya seperti kerja sama dengan Whiteboard Journal, atau Proud Project, VosFoyer. Intinya aktivitas-aktivitasnya kami ingin menceritakan tentang perdamaian di media sosial, di YouTube, di podcast, dan lain sebagainya ke dalam storytelling. Ada macam-macam yang kami kerjakan, tapi intinya – karena kan sebenarnya proses merawat toleransi di Indonesia itu sangat luas. Nah apapun yang kami bisa lakukan, mari dicoba. Intoleransi masih ada di banyak tempat di Indonesia, artinya no one has really cracked it yet. Karena masih ada, upaya-upaya ini masih terus-menerus perlu dilakukan. So we do what we can do, kami bisa melakukan ini di sini, kami bisa kerja sama dengan organisasi ini.
Gerakan Toleransi.id mendapatkan momentumnya dari media sosial, salah satu tempat dimana interaksi masyarakat bisa menjadi sesuatu yang menyeramkan. Namun menurut Anda sendiri, apakah kondisi yang sebenarnya sesuai dengan yang tergambar di sosial media?
Menurut saya memang lebih menyeramkan ya di media sosial. Karena media sosial itu merefleksikan apa yang orang pikirkan. Jadi artinya kalau misalnya ada orang bisa menjelek-jelekkan di media sosial yang mungkin orang itu di dalam interaksi secara nyata dia tidak akan berani mencemooh, tapi kemudian dia berani di media sosial itu kan artinya sebenarnya di dalam alam pikirannya dia memang ingin menjelek-jelekkan. Kebetulan saja karena norma sosial, norma hukum, kemudian dia tidak mau. Tapi kalau sebenarnya dia sudah ada intensi tapi kemudian dia kebetulan dibatasi norma-norma ini jadi dia tidak melakukan hal ini. Tapi kemudian sosial media menjadi saluran dia untuk melakukan – untuk menjelek-jelekkan, menghakimi orang, pokoknya bersikap intoleran di media sosial.
Jadi artinya media sosial ini adalah refleksi yang nyata, atau misalnya seperti – salah satu bentuk media sosial bisa lewat messaging ya, seperti WhatsApp. Grup WhatsApp itu sekarang menjadi sebuah kelompok sosial, kalau misalnya kita keluar dari grup WhatsApp itu bisa menjadi a big deal, karena itu sudah menjadi kelompok sosial yang bahkan mungkin sama pentingnya dengan kehidupan nyata. Kalau orang keluar dari grup WhatsApp tidak secara baik-baik kan akan menjadi bahan pembicaraan, ini kan sama saja kalau misalkan kita keluar dari kelompok di lingkungan, kalau misalkan kemudian kita melakukan sesuatu, juga akan menjadi bahan pembicaraan.
Nah, yang menyeramkan adalah hubungan keluarga itu seharusnya adalah hubungan yang paling dekat, yang paling tidak terpisahkan. Tapi faktanya bahwa orang bisa keluar dari grup Whatsapp keluarga karena berbeda pendapat, yang artinya dia secara sadar memutus tali silaturahmi keluarga, itu menyeramkan. Dan ini terjadi – kalau misalkan memutus tali silaturahmi pertemanan ya sudahlah ya, meskipun seram juga sebenarnya. Tetapi ternyata ini sudah sampai pada tahap orang memutus tali silaturahmi keluarga karena berbeda pendapat, dan ini menurut saya seram. Jadi menurut saya apa yang terjadi di media sosial adalah refleksi apa yang terjadi di masyarakat.
Mungkin juga yang terjadi adalah refleksi yang lebih amplified?
Bisa jadi. Dan semua hasil memang menunjukkan bahwa kita sedang dalam kondisi intoleransi yang menyeramkan. Untuk angka tentu saja perlu dicek, misalnya waktu itu riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menyatakan sekitar 30 sekian persen bilang tidak boleh mendirikan rumah ibadah agama lain di tempat ini, itu kalau tidak salah angkanya lebih tinggi mungkin sekitar 50%, saya lupa itu angkanya untuk muridnya atau angka gurunya, intinya menyatakan tidak boleh mendirikan rumah ibadah lain di sini. Kemudian sekitar 30 sekian persen anak muda mengatakan bahwa tindak kekerasan pada orang yang berbeda itu boleh. Itu kan seram sekali ya? Sekarang itu artinya kenapa 30% orang di Indonesia tidak melakukan kekerasan, ya karena ada norma hukum saja, karena dia tidak mau masuk penjara. Tapi seandainya tidak ada norma hukum, mereka akan melakukan itu. Berarti ini seram kan. Atau misalnya seperti ini, barusan kemarin ada pelarangan pendirian pura. Why? Takut apa? Takut anak-anak ketularan Hindu? Kan ini menurut saya aneh, dan dalam kondisi-kondisi seperti ini yang akan selalu berkuasa yang mayoritas kalau kita tidak hati-hati, kalau pemerintah tidak take action, kalau masyarakat tidak memperjuangkan yang minoritas.
Apa yang terjadi di media sosial adalah refleksi apa yang terjadi di masyarakat.
Nah jadi kalau teman saya, Kang Ai mengatakan toleransi itu ada empat tingkatan. Jadi toleransi level yang paling bawah, adalah selama, “Lo gak nyenggol gue, tidak apa-apa.” Itu toleransi level yang paling bawah, “Saya toleran kok, saya membiarkan dia beribadah di rumah ibadahnya masing-masing.” Itu namanya toleransi level bawah sekali. Namanya beribadah itu hak, itu bukan – itu toleransi level selemah-lemahnya toleransi. Kemudian kalau toleransi level kedua adalah dia senang dengan perbedaan. Level ketiga adalah ikut merayakan perbedaan. Nah yang level keempat, yang menurut saya kita masih jauh sekali dari sini, kita harus strive ke sini adalah kita melindungi perbedaan, melindungi yang minoritas, melindungi orang yang disakiti. Ini yang menurut saya kita masih jauh sekali.
Kalau ada orang yang di-bully kita stand up tidak? Ada teman di-bully dalam kelas, sekelas ada 30 anak. Ada satu anak di-bully, ada lima anak mem-bully, yang salah siapa? Yang salah adalah 24 anak yang tidak berbuat apa-apa. Ini kan artinya mereka sebenarnya diam saja, yang seharusnya mereka bisa menghentikan bullying itu terjadi. Yang paling penting adalah dihentikan saja dahulu. Setelah kekerasan itu berhenti, baru kemudian tentu saja setelah itu kita berusaha memahami, mencari tahu, dan mencegah. Tapi ketika itu terjadi, berapa banyak yang berani stand-up, menghentikan bullying? Tidak banyak. Ketika ada aksi intoleransi terjadi, berapa banyak warga Indonesia yang berani stand-up, mengatakan bahwa itu intoleran, itu tidak boleh terjadi? Tidak banyak. Jadi, ya memang harus kita semua ikut aktif melindungi itu. Melindungi toleransi, melindungi perbedaan, melindungi orang yang didiskriminasi.
Iklim sosial dan politik di dunia saat ini sepertinya sedang berada di titik-titik paling ekstrim, seperti diskusi yang kian terbuka mengenai isu-isu yang dulunya tabu, namun juga gerakan konservatif ekstrim yang makin marak. Menurut Anda, bagaimanakah posisi Indonesia di tengah situasi ini?
Intoleransi itu sebenarnya adalah ketidakadilan sosial. Dan intoleransi itu terjadi ketika biasanya mayoritas melakukan sesuatu yang membuat minoritas tidak bisa mendapatkan haknya. Biasanya kejadiannya seperti itu, bentuknya macam-macam. Itu adalah hal pertama yang harus disadari dan dihentikan, karena kadang-kadang kita bahkan tidak tahu bahwa itu sedang terjadi. Bisa terjadi biasanya ketika ada dinamika antara mayoritas dan minoritas. Mayoritas memang biasanya akan punya kecenderungan yang kadang-kadang tidak sadar, menjadi melakukan hal-hal yang intoleran. Jadi unconscious bias saja, unconsciously saja dia melakukan tindakan-tindakan ini. Menurut saya, ini adalah sesuatu yang sebenarnya sudah terjadi lama sekali di berbagai tempat di Indonesia, atau di berbagai tempat di dunia. Cuma terkadang namanya beda-beda saja, kalau di US mungkin namanya antara konservatif dengan liberal, tentu saja ada dikotomi politik karena di sana hanya ada dua partai. Kemudian kalau di UK, misalnya ada yang pro-Brexit dan tidak. Kemudian kalau di Indonesia misalnya konteksnya juga bisa macam-macam.
Sebenarnya apapun yang terjadi, itu pasti karena dinamika yang terjadi di sosial masyarakat. Kemudian, apakah saya melihat adanya aktivitas-aktivitas, adanya berbagai gerakan tertentu yang muncul, apakah itu intoleran? Menurut saya kadang-kadang kita tidak benar-benar melihat sebenarnya apa yang sedang diperjuangkan. Kadang-kadang kita gampang sekali untuk terbawa emosi, menghakimi tanpa belum sepenuhnya tahu apa yang sedang dikatakan atau apa yang sedang diperjuangkan. Contoh misalnya beberapa gerakan tertentu, kalau saya melihat narasi-narasi seperti misalnya kita tidak perlu feminisme karena sebenarnya – kadang-kadang ada yang membawa contoh Ibu Kartini sedari dulu juga melakukan ini, dulu juga sudah ada hal ini. Kemudian biasanya counter-narrative dari pro-feminisme adalah seperti exactly, that’s why we need feminism! Tapi at the same time, kadang-kadang dari sisi yang sebelahnya, yang pro-feminisme atau apapun istilahnya kadang kemudian juga melihat narasi yang ada di sini juga kadang-kadang tidak berusaha mencari tahu, kenapa sebenarnya mereka kontra-feminisme. Apakah ada sesuatu yang sedang diperjuangkan, yang jangan-jangan kita luput untuk melihatnya.
Jadi menurut saya toleransi itu goes both ways, dan kadang-kadang kita mengaku-aku sok toleran, tapi sebenarnya kita toleran hanya pada orang-orang yang pandangannya mungkin mirip dengan pandangan kita. Selektif, begitu. Yang sulit itu adalah bagaimana caranya kita bisa toleran pada – yang kemudian menurut saya ini harus diajarkan untuk semua orang adalah bisa berbeda pendapat dengan respectful dan logis. Yang sekarang seringkali terjadi adalah kita itu berbeda pendapat, tapi sudah tidak respectful dan tidak logis. “Pokoknya begini, kalau kamu tidak seperti aku kamu salah.” Padahal sebenarnya bisa jadi kebenaran itu ada macam-macam, dan tentunya aspeknya luas sekali. Kalau saya sering mengumpamakan filosofi bubur ayam, mau diaduk atau mau tidak diaduk. Anda makan bubur gimana? Diaduknya radikal tidak?
Iya, saya diaduk makannya, sampai kerupuknya juga diaduk. (tertawa)
Nah kalau menurut saya yang tim tidak diaduk, yang seperti ini itu aneh. Karena kerupuk secara kodratnya adalah harus renyah, kalau tidak renyah untuk apa ada kerupuk? The point is, ini untuk apapun, personally saya menganggap Anda aneh (tertawa), Anda akan menganggap saya aneh, but that’s perfectly fine. Kita tetap bisa mengobrol semeja dan tetap bisa membicarakan ini sambil tertawa-tawa. Kalau misalnya nanti setelah ini kita mau pergi makan bubur bersama masih bisa – kalau misalkan Anda berjualan bubur ayam, lalu perlu bertanya dulu ke pembeli, “kamu buburnya diaduk atau tidak?” kalau tidak diaduk tidak mau berjualan, itu kan namanya diskriminasi. Jadi menurut saya, lalu batasannya apa? Batasannya menurut saya adalah kemanusiaan.
Jadi ketika misalnya Anda buburnya diaduk atau tidak, terserah yang penting buburnya panas mau saya berikan ke muka seseorang untuk menyakiti dia, nah itu salah. Jadi ada batasannya, di situ. Mau memberikan bubur kemudian diberi racun supaya dia mati, nah itu salah. Atau Anda punya gerobak bubur kemudian tidak mau berjualan kepada orang yang tidak diaduk, itu salah. Tapi ketika kita punya perbedaan pendapat, itu tidak masalah. Dan itu yang kadang-kadang orang-orang lupa. Kita harus sebatas apa toleran atau intoleran? Cukup ingat filosofi bubur ayam saja. Itu menurut saya sudah paling gampang, paling simpel. Terus nanti ada yang bilang, “Tapi aku gak makan bubur”. Ya sudah, kalau sudah begitu terserah. (tertawa)
Sejauh ini, bagaimana efek riil secara offline dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Toleransi.id?
Salah satu filosofi kami di Toleransi.id adalah ingin mengajari perdamaian tanpa menimbulkan kontroversi yang terlalu banyak. Jadi caranya beda dengan SabangMerauke. Kalau SabangMerauke kan memang dibenturkan, jadi memang pasti kontroversial. Ada anak ditaruh di keluarga beda agama, itu saya pernah dicaci-maki segala macam. Nah kalau di Toleransi.id kami nuansanya agak berbeda, jadi pokoknya kami bisa merangkul orang-orang berbeda, berusaha memahami perbedaan-perbedaan yang ada, kenapa seperti ini kenapa seperti itu. Jadi makanya filosofi bubur ayam tadi itu such a big thing.
Media sosial itu kan hanya salah satu cara, we need to be there. Karena kalau tidak ada di media sosial, in this world we do not exist. Jadi media sosial is a way. Dan saya setuju sekali, bahwa kita harus menemukan cara supaya bisa ‘menyebrang’. Bagaimana caranya kita berbicara soal toleransi pada orang-orang yang belum toleran, pada orang yang berbeda pendapat dengan kita. Makanya, social media is one way. Another way we try to do it, adalah kami kerja sama dengan begitu banyak organisasi, supaya make sure ini jangkauannya banyak di offline dan online. Seperti ada Proud Project, yang basically menjangkau semua orang, kemudian misalnya kerja sama dengan Indo Relawan yang basically menjangkau semua anak muda. Di dalam Indo Relawan, ketika orang sudah ikut kerelawanan pasti bercampur kan, semua agama semua etnis kerja membersihkan jalanan itu bersama-sama.
Interaksi-interaksi seperti ini itu meaningful, jangan dikira karena hanya kebetulan membersihkan jalan bersama-sama sama orang yang beda agama kemudian itu tidak akan berbekas, it will. Orang akan ketemu dan melihat, kemudian mereka akan tahu bahwa ternyata orang ini tidak semenyeramkan yang dibayangkan or anything like that. Atau misalnya seperti dengan SabangMerauke, dengan SMA Bhakti Karya, jadi basically there are a lot of things that we’re trying to do that is exactly seperti yang dibilang, bagaimana caranya kami ingin ‘menyebrang’. Karena jangan sampai; istilahnya, kami ‘menggarami lautan’, preaching to the choir, berbicara soal perdamaian ke orang yang memang sudah damai.
Banyak data menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang memiliki pendapat keras yang kerap kali bertentangan ini ternyata kebanyakan datang dari generasi muda. Menurut Anda, bagaimanakah generasi muda ini sendiri melihat isu intoleransi?
Menurut saya ada beberapa hal. Datanya macam-macam, ada juga data yang mengatakan bahwa generasi yang lebih tua itu lebih gampang termakan hoax, karena generasi muda terbiasa melihat media sosial, terbiasa melihat, terbiasa tahu bahwa media itu tidak selalu benar. Sementara generasi tua melihatnya biasanya informasi itu satu arah, TVRI, RRI, seperti itu adalah pasti benar. Jadi ketika ada informasi yang masuk ke WhatsApp, dianggap pasti benar dan langsung disebar. Jadi secara data, apakah yang generasi muda intoleran atau lebih toleran, I don’t know. Tapi pertanyaannya tetap valid, bagaimana caranya agar generasi muda toleran, terlepas dari data yang mana menunjukkan generasi muda lebih toleran atau lebih intoleran.
Intoleransi masih ada di banyak tempat di Indonesia.
Menurut saya, karena di media sosial itu kan kita tidak bisa menyeleksi, tidak bisa menghalang-halangi orang membuat konten, baik orang baik maupun orang jahat. Orang yang ingin menyebarkan toleransi, maupun orang yang ingin menyebarkan intoleransi for whatever reason. Kita tidak akan bisa menyensor konten. Artinya, di kepala setiap anak muda, di setiap manusia itu perlu ada sensor, perlu ada filter. Ketika kita melihat sesuatu di sosial media, kita akan langsung berpikir, apakah memang benar? Memang benar seperti ini ya? Ini informasinya dari mana, apakah benar seperti ini, apakah ini valid, apakah ini masuk akal. Jadi filter-filter itu sudah harus ada di kepalanya tiap-tiap manusia. Itu seharusnya menjadi prinsip dasar ketika kita siap bermain media sosial, maka seharusnya literasinya seperti itu, kita sudah bisa menyeleksi informasi. Cuma sayangnya kemajuan media dan kemajuan digital kita, jadi orang punya ponsel, punya akses ke internet itu belum tentu dibarengi dengan kedewasaan literasi digital. Sehingga hoax di mana-mana.
Makanya ada intoleransi dimana-mana. Makanya ketika ada perbedaan pendapat di media sosial orang bisa berkelahi, padahal sebenarnya itu kan biasa sekali. Tidak usah diapa-apakan juga tidak apa-apa. Dan itu berefek both ways, kalau ada yang mengomel di media sosial, kita sebenarnya in real life juga akan kesal, dan begitu sebaliknya. Jadi kita kemudian tidak bisa menganggap itu hanya media sosial saja, saya seperti itu hanya di media sosial, saya in real life baik-baik saja. I don’t believe that you’re two separate person, in social media and in person. Menurut saya itu pasti tersambung, kalau Anda intoleran di sosial media most likely you are also intolerant in real life.
Jadi apa yang harus dilakukan oleh generasi muda, dan sebenarnya siapapun yang menggunakan internet adalah satu, harus bisa punya critical thinking. Jadi punya filter-filter yang ada di kepala kita yang bisa membuat kita memilah informasi, karena informasi itu banyak sekali. Siapa yang berbicara, benar atau tidak, dan ini kan sudah kejadian berkali-kali. Orang termakan hoax itu sudah terjadi berkali-kali. Ini mulai dari kita sendiri, tetangga, bapak ibu, sampai petinggi, orang itu termakan hoax. Artinya it is real and anyone can be victim, anyone can be a hoax spreader. Jadi harus punya filter.
Kemudian yang kedua, menurut saya harus belajar empati. Nah ini yang kadang-kadang kita lupa dan beranggapan bahwa karena kita hanya berhadapan dengan layar, kita merasa boleh, berhak melakukan apapun dan mengatakan apapun karena toh ini hanya layar. Misalnya saya tidak akan bilang Anda jelek, tapi mungkin di online saya akan bilang Anda jelek. Tapi sebenarnya di sisi lain, itu kan manusia juga yang menerima, dan itu sering sekali kita lupa. Kita sering sekali lupa bahwa orang yang di seberang yang akan membaca, itu juga manusia dan juga punya perasaan. Bisa jadi apa yang kita katakan itu melukai as much as kalau kita menyampaikannya in person. Atau misalkan jangankan soal toleransi, soal mengirim email saja. Kalau kita mengirim surat lamaran, itu ada surat pengantarnya, kemudian kita taruh di amplop yang bagus, kemudian kita mengantarnya ke kantor ini, kita akan mengetuk baik-baik, “Selamat siang bapak, ibu, saya mau mengantar surat lamaran, ini lamarannya, ada pertanyaan atau tidak? Kalau ada silahkan kontak ke sini, terima kasih ya, saya pamit dulu.”
Tapi kalau di email, unfortunately sering sekali, kita terima tiba-tiba ada email yang ada attachment, surat lamaran, CV, setelah itu tidak ada apa-apanya. Ini kalau misalkan kita analogikan di dunia nyata, orang ini datang tiba-tiba, tanpa permisi, lalu memberi surat lamaran lalu langsung pergi. Hal-hal seperti ini, ini jadi tidak usah sampai pada level Anda berempati atau tidak. Tapi Anda itu interaksinya logis atau tidak, terhadap sesama manusia? Ketika jika begitu itu sudah tidak logis, artinya ada yang tidak benar dengan kalibrasi cara kita berempati di dunia nyata dan di dunia digital. Dan sekarang ini kita tidak sama kalibrasinya, kalau di dunia nyata kita bisa lebih sopan, tapi kalau di dunia digital kita tidak sopan, itu artinya ada yang salah dengan cara kita berkehidupan sosial, cara kita berinteraksi. Kenapa harus berbeda? Kenapa kemudian kita bisa jadi lebih tidak sopan di online dibandingkan dengan di offline, harus lebih manis di sini daripada di sini, it’s all the same. It’s all human to human. Hanya bedanya ini ada udara ini ada media sosial.
Media sosial kini jadi mayoritas pintu komunikasi. Menurut Anda, seberapa efektif kampanye dalam media sosial, dalam membangun iklim bertoleransi di Indonesia?
Kalau ditanya seberapa efektif, misalkan berapa persen, I don’t know. Tapi menurut saya ini kembali lagi seperti yang tadi saya bilang, we don’t know how effective it’s going to be. This is all a work in progress, all trial and error, dan bahkan jangankan membicarakan soal merawat toleransi. Kita mengelola negara ini, it’s all trial and error. Belum pernah ada orang yang mengelola negara sebesar Indonesia, yang namanya Indonesia dengan semua permasalahan yang ada, it’s all a process. Jadi menurut saya secara luas, kita harus lebih non-judgemental terhadap upaya-upaya perbaikan. Karena saya percaya ini pasti ada dampaknya, tidak mungkin tidak berdampak. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya kita memperbaiki prosesnya, agar dampaknya bisa jadi lebih positif, jadi lebih besar, impact-nya bisa jadi berlipat ganda. Jadi mindset itu dulu, pasti ada dampaknya. Dampaknya seberapa besar? Itu yang tadi saya bilang, media sosial saja tidak cukup. We realize that. Makanya kita melakukan banyak hal di offline, kerjasama dengan organisasi-organisasi lain.
Tetapi we need to be there in social media, we need to be there di platform-platform yang di dunia digital juga. Karena kalau tidak, apapun yang kita berusaha lakukan offline, itu tidak akan bisa sebesar dan secepat kalau kita punya platform online-nya. Jadi misalnya ada talkshow tentang toleransi, berapa yang datang? 100, 200, 300 orang, tapi misal di Instagram atau media sosial reach-nya bisa menjadi puluhan ribu atau bahkan jutaan, tergantung platform apa yang kita pakai dan kanal apa yang kita ajak kerja sama. Jadi, ya memang harus ada di online, tapi tidak bisa itu sendirian, tidak bisa berdiri sendiri. Dan ini juga tersambung dengan yang tadi saya bilang, kita harus bisa menyensor konten-konten yang intoleran, atau konten hoax yang ada di sosial media.
Yang bisa kita lakukan adalah satu, memasang filter di orang, dan yang kedua adalah membanjiri saja. Banjiri dengan konten-konten positif, banjiri dengan konten baik. Bagi orang-orang yang mungkin malas mencari, yang akan pasrah menerima saja apa yang ada, menjadi akan menerimanya 80% of the time adalah berita-berita baik, adalah ajaran-ajaran kebaikan. Jadi mereka akan less likely terkena hoax, karena nanti tinggal 20%, 10%, instead of sekarang mungkin masih 70% hoax-nya.
Memainkan dalam jumlah kontennya ya, berarti.
Bermain kuantitas saja, banjiri saja.
Anda juga punya satu platform lagi, yaitu Milenial Islami. Boleh diceritakan tentang gerakannya?
Jadi Milenial Islami itu saya dirikan dua tahun lalu bersama beberapa teman juga. Ini adalah untuk mengajari Islam yang – untuk mengajari nilai-nilai perdamaian dalam Islam kepada anak-anak millennial. Mengapa? I don’t know about you, but I personally melihat narasinya yang ada sekarang agak seram. Islam yang tampak sekarang adalah lebih hitam putih, lebih ‘galak’ kalau misalkan ada orang yang salah. Saya personally agak seram, dan saya ingin ada narasi alternatif. Jadi narasi-narasi tentang perdamaian lewat sudut pandang Islam.
Milenial Islami ini proyeknya macam-macam sekali. Kita ada di media sosial, kemudian kami juga punya pesantren kilat, membuat kompetisi online. Selain itu anak-anak muda bisa membuat meme, bisa video, esai, dan lain sebagainya. Intinya kami ingin mendorong anak-anak muda supaya mereka membuat konten positif, dan ingin mengajari mereka dengan nilai-nilai perdamaian. Jadi finalis-finalisnya kita ajak ke Jakarta, kita beri workshop nilai-nilai perdamaian dan cara membuat konten positif. Sekarang jaringannya sudah ada di seluruh Indonesia. Kami ingin seharusnya ada lebih banyak aktivitas-aktivitas seperti ini. Kami tidak bisa mengerjakan ini sendirian, inginnya anak muda juga lebih banyak yang mengerjakan aktivitas positif dengan konten positif buat perdamaian.
Kebetulan sekarang juga sedang ada podcast bekerja sama dengan Inspigo, topiknya seputar keIslaman, Ramadhan dan teman-temannya. Bersama Ustadz Irfan dan Ustadz Irfan, kebetulan saya juga hosting di situ. Kami ada selama bulan puasa, kita inginnya seperti ini, jadi ada lebih banyak tempat bagi kami untuk belajar tentang narasi perdamaian dalam Islam. Narasi-narasi yang mengajak belajar Islam lagi dari dasar, mengapa harus puasa, mengapa harus shalat, mengapa harus syahadat, dan lain-lain. Mulai dari sedasar itu, tapi sebenarnya ada elemen filosofinya. Misalnya mengapa shalat, kalau setelah shalat itu diakhiri dengan salam, menoleh ke kanan dan menoleh ke kiri. Salam itu kan artinya damai. Islam itu kan agama yang penuh dengan simbol-simbol, kenapa harus menoleh ke kanan dan ke kiri, kenapa tidak diam saja atau melihat ke depan? Salah satu tebakannya tentu saja adalah karena kita diperintahkan untuk menyebarkan salam ke seluruh penjuru dunia, menyebarkan perdamaian. Jadi kalau misalkan ada orang Islam yang tidak damai, yang tidak menyebarkan perdamaian, barangkali ada yang missing in how do they understand Islam. Nah, jadi kami ingin mengajari itu.
Bicara soal belajar Islam dari dasar, jadi teringat pelajaran agama masa kecil yang seringkali terdengar seperti menakut-nakuti. Menurut Anda mengapa itu bisa terjadi?
Mengapa cara mengajar agama seperti itu? Di podcast tadi dijelaskan, itu memang salah satu cara. It’s not the only way, but unfortunately it is the easiest way. Dan kadang-kadang orang-orang yang mengajari agama mungkin juga tidak tahu cara lain, mungkin dahulu diajarinya juga dengan cara seperti itu, jadi terbawa sampai sekarang. Padahal sebenarnya tidak selalu seperti itu, dan sebaiknya tidak seperti itu juga.
Jika boleh mengevaluasi dari kondisi negara saat ini, menurut Anda apa solusi riil yang bisa dilakukan agar Indonesia bisa kembali mengingat kebhinekaannya dan mengaplikasikannya dalam hidup bermasyarakat?
Menurut saya ini memang harus effort-nya semesta Indonesia. Kadang-kadang ada yang, “Pemerintah sih, tidak melakukan ini,” itu saya tidak setuju. Anda sendiri sudah berbuat apa? Anda sebagai warga sudah memberitahu pemerintah apa, sudah mengadvokasi apa ke pemerintah, sudah memperjuangkan apa, memberi contoh apa sehingga misalnya ketika pemerintah mau mereplikasi apa yang kita kerjakan, itu bisa. Jadi menurut saya, it has to be a universal effort, anak-anak harus diajari, orang tua harus bisa mengajari toleransi ke anak-anaknya, guru harus bisa mengajari toleransi ke murid-muridnya, pemerintah harus bisa punya kurikulum yang mengajarkan toleransi di sekolah secara nyata, tidak hanya teori saja.
Seluruh aspek masyarakat harus bisa melakukan hal ini, jadi misalnya seperti di kantor, apa caranya untuk mengajarkan toleransi ini, apa caranya untuk mengajarkan toleransi di mall, there has to be a way. Media mengangkat lebih banyak pesan-pesan positif dan perdamaian, film-film, cerita-cerita atau pesan-pesan lebih positif. Jadi menurut saya banyak sekali yang harus dilakukan dan tidak semua dari kita sudah tahu apa yang harus dikatakan. Misalkan ada pembuat film yang bilang dia peduli dengan toleransi, sebaiknya membuat apa? I don’t know, we need to figure it out, it is a process. Banyak sekali hal yang harus dipecahkan bersama-sama dan harus dipikirkan bersama-sama. Tapi yang saya pasti tahu adalah semua orang harus ikut serta.
Satu kata yang bisa menggambarkan upaya bertoleransi?
Bertemu. Kalau dua kata, jadinya bertemu dan berpikir. Empathy and critical thinking, pertama orang harus bertemu. Kalau sudah bertemu pasti empatinya akan terbangun. Kalau tidak terbangun, artinya ada yang salah dengan pertemuannya, atau bertemunya dengan orang yang salah. Tapi in general, pertemuan itu membangun empati. Kedua, berpikir kritis. Unfortunately kita sekarang, di sekolah pelajarannya lebih banyak menghafal, bukan pelajaran bernalar, berpikir. Dan itu terbawa hingga kita dewasa.