Bagaimana Epidemiolog Melihat Penanganan Pandemi Kita?
Kami berbincang dengan seorang Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, mengenai penanganan pandemi di Indonesia mulai dari proses vaksinasi hingga bagaimana kita dapat menghentikan wabah secara holistik.
Words by Whiteboard Journal
Sudah hampir mencapai satu tahun kita menghadapi pandemi dan akhir dari masa yang berat ini nampaknya belum terlihat juga. Ketika vaksinasi mulai digaungkan sejak akhir tahun lalu, sebagian orang mungkin bermimpi bahwa ini adalah sebuah tiket untuk menuju akhir dari pandemi. Meskipun begitu, lambatnya penanganan, kurangnya komunikasi antar pihak, dan menurunnya kepercayaan masyarakat akibat berita yang simpang siur justru membuat proses vaksinasi tidak seindah yang diharapkan. Mungkin, kejadian bisa dijadikan sebuah momen dimana seharusnya kita mempertanyakan kembali apakah benar vaksin merupakan senjata pamungkas untuk melenyapkan Covid-19. Selain itu, kita pun harus berpikir mengenai apa yang bisa dilakukan untuk memerangi permasalahan jangka panjang dalam kurun waktu singkat. Melihat hal ini, kami berkenalan dan berbincang dengan seorang epidemiolog yang aktif menyuarakan opininya melalui Twitter, dr. Pandu Riono, mengenai pemikiran beliau akan penanganan pandemi dan lika-liku proses vaksinasi di Indonesia serta bagaimana menghadapi pandemi di masa depan.
Bagaimana bidang epidemiologi lahir?
Dari awal sejarah peradaban manusia sering terjadi wabah. Saat manusia berusaha mengatasi hal tersebut, akhirnya lahir dan berkembang ilmu yang mempelajari wabah. Orang pertama yang terkenal dan berjasa memberikan kontribusi itu adalah John Snow yang merupakan dokter anestesi di Inggris. Ketika itu, terjadi wabah Kolera dan belum ada yang tahu soal Kolera. Dia pelajari di kota London dari pemetaan dan riset lapangan akhirnya dia tahu bahwa sumbernya itu terpola pada pompa sumber air minum yang merupakan sumber kebutuhan untuk keluarga. Untuk mengatasinya, pompa yang bermasalah itu dicabut. Dari situ, kita mulai mempelajari adanya sebab akibat, hubungan kausal, apa yang menyebabkan.
Jadi, dasarnya adalah logika berpikir, berusaha melakukan pengumpulan data, mempelajari pola-polanya, dan mencari solusi. Begitu ada wabah, dicari sebab akibatnya. Lagipula, pengetahuan jaman sekarang lebih cepat mengetahui kuman atau virusnya seperti apa. Sekarang, epidemiologi tidak hanya mempelajari manusia tapi sudah sampai ke tingkat genom. Genom itu materi genetika.
Orang yang mempelajari epidemiologi itu tidak pernah percaya bahwa penyakit itu karena kutukan atau karena hukuman Tuhan. Kita harus berpikir scientific, juga harus berani mengatakan bahwa ini sebabnya apa dan bagaimana solusinya. Jadi, tanpa solusi atau tanpa data itu seorang ahli epidemiologi tidak punya kekuatan apa-apa. Seorang epidemiologi itu harus punya data.
Kita telah mengalami beberapa pandemi di masa lalu. Apakah ada catatan/panduan yang diwariskan di kajian medis/pemerintahan tentang what to do & what not to do?
Yang kita lakukan sekarang itu mengacu pada spanish flu. Menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker, dan isolasi diri. Sebenarnya, flu itu terjadi di tahun 1918 akibat Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia I selesai langsung terjadi wabah di Amerika lalu menyebar ke seluruh dunia. Itu banyak catatan-catatannya, sejarahnya, bukunya ada. Kalau kita pelajari lagi sejarah kosakata yang terkait dengan wabah juga ada. Ada yang mencantumkan bahasa Bugis untuk cara mengatasi wabah. Jadi, Indonesia juga mengalami. Makanya kalau “Oh Indonesia tuh negara tropis tidak mungkin mengalami wabah kan itu dari negara dingin”, tidak kok. Kita sudah mempelajari ini dari sejak ancaman flu burung.
Sejak awal deklarasi kedaruratan kesehatan, tingkat penularan sudah lokal dan masyarakat. Sekarang api pandemi penetrasi nya meluas ke masyarakat yg tadinya dianggap tak berisiko. Kasus Covid no 1, 2 & 3 itu klaster keluarga, kini separuh lebih kasus adalah klaster keluarga. pic.twitter.com/C4uDq41TY9
— Juru Wabah (@drpriono1) December 29, 2020
Dalam beropini mengenai COVID-19, Anda aktif menggunakan media sosial Twitter. Apa alasannya memilih platform tersebut?
Nggak sengaja. Dulu, saya menggunakan Twitter follower-nya cuma mahasiswa saya aja. Pertama kali pakai Twitter itu kalau saya sudah selesai mengajar, mereka masih mendengarkan kuliah dan pikiran-pikiran saya. Jadi, begitu ada wabah saya sebetulnya tadinya mau mengajak mahasiswa saya untuk memahami ini. Kemudian, hal ini meluas tanpa sengaja. Murid saya jadi lebih banyak.
Bagaimana Anda melihat penanganan pandemi kita sejauh ini? Mana yang ceroboh, pemerintah yang tidak tegas atau warga yang abai protokol?
Amburadul. Mereka gak punya perencanaan. Dari awal, Menteri Kesehatan itu memang incompetent dan mempunyai perilaku yang menurut saya sangat buruk. Dia yang punya perintah, sehingga harus bertanggung jawab. Dipercaya Presiden untuk mengatasi kesehatan publik, tetapi dia tidak mau melakukan itu dengan baik. Menghindar atau bahkan mengelabui orang walaupun sudah ada banyak penasehat. Itu kesalahan dia yang tidak bisa dimaafkan oleh bangsa Indonesia.
Sekarang, kita belum punya plan yang bagus meskipun sudah ganti menteri kesehatan. Kematian sudah terlalu banyak, pandemi juga sudah meluas.
Sekarang, kita belum punya plan yang bagus meskipun sudah ganti Menteri Kesehatan. Kematian sudah terlalu banyak, pandemi juga sudah meluas. Memangnya, protokol siapa yang bikin? Yang tidak becus itu penyelenggara negara. Kita memilih presiden atas kepercayaan selama lima tahun sekali. Partai-partai pendukung itu ikut bersalah dalam penanganan ini karena tidak ada kompetisi dan tidak ada yang saling koreksi. Seperti tidak ada dialog nasional yang menentukan harusnya bagaimana langkah yang diambil negara. Saya kira, pemerintah ini terlalu banyak konflik kepentingannya. Rakyat itu di “nina bobo” kan. Setiap ada suara yang berbeda itu dianggap musuh.
Banyak yang bilang bahwa penanganan yang buruk memperpanjang masa pandemi. Belakangan ini, di negara-negara seperti Jerman dan Jepang yang dianggap lebih bagus dalam penanganan situasi ternyata belum menghentikan pandemi dan justru terjadi lagi. Bagaimana komentar Anda tentang ini?
Siapa bilang? Kan kita sendiri tidak bisa menghentikan pandemi. Kalau tujuannya itu, maka kita salah. Vaksin itu mungkin salah satu cara untuk membantu kita mengatasi pandemi. Nanti dalam jangka panjang kita harus bisa menghilangkan penyakit ini. Karena perjalanannya panjang, maka perjalanan jangka pendek itu harus benar.
Indonesia belum punya plan untuk bagaimana mengatasi pandemi karena semuanya dibuat darurat. Karena darurat, jadi masalah apa saja dianggap boleh. Semua dirugikan. Padahal, kita punya aturan-aturan bagus. Pandemi ini sudah didorong lama, udah di-predict oleh lembaga internasional. Kita bersiap-siapnya cuma main upacara aja, sehingga mengenai pandemi itu tergagap-gagap. Apalagi, tidak dibangun sistem. Ini sebenarnya kesempatan emas bagi pemerintah sekarang itu membangun sistem yang akan menjadi suatu bagian dari penanganan pandemi nanti kalau akan datang lagi. Konflik kecil, konflik besar, pandemi, itu pasti akan ada karena kita kan gak hidup sendiri. Kita kan kelompok. Kita merusak alam, kita serakah. Jasad renik itu akan menyerang kita dan harus survive. Ini kan teori Darwin. Jadi, hanya mereka yang beradaptasi yang survive.
Perihal vaksin, pada awalnya banyak yang pesimis melihat Sinovac karena angka efikasinya yang rendah (65,3%). Di sisi lain, muncul counter yang menyatakan bahwa vaksin dari Pfizer dan Moderna dengan klaim efikasi lebih tinggi (94-95%) ternyata tidak valid. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa bisa saja Sinovac lebih bagus dari Pfizer dan Moderna. Apakah efikasi yang tinggi pada uji klinik selalu menghasilkan efektivitas yang sama setelah digunakan di dunia nyata?
Kalau kita melakukan riset uji coba atau uji klinik itu kan tergantung subjek yang kita pilih siapa. Kelompok yang mendapat vaksin diharapkan kemungkinan terserang penyakit jauh lebih rendah dari kita yang gak mendapat vaksin. Inilah yang kita sebut dengan fase tiga. Fase satu dan dua itu kita tahu bahwa dengan pemberian kandidat vaksin ini, ternyata tubuh kita membentuk antibodi dengan keadaan tertentu. Kemudian, kita di fase dua mencari dosisnya berapa dan berapa kali harus pemberian supaya antibodinya cukup optimal. Ketiga, walaupun sudah ada antibodi apakah mampu mencegah untuk terjadinya penyakit, apakah melindungi, apakah efikasinya ada.
Melihat bahwa studi di Brazil itu semua subjeknya nakes, maka kita perlu lihat lebih lanjut. Kenapa nakes? Karena mereka yang sehari-hari akan terekspos sama virus karena pekerjaannya. Kalau gitu artinya kita akan bisa melihat efek yang jauh lebih baik. Kalau di Turki, sampelnya cuma 1300 lebih rendah dari Indonesia. Itu gabungan dari nakes sama penduduk yang dianggap beresiko. Di Indonesia, nah ini tidak jelas karena populasinya dianggap populasi umum. Jadi, efikasi yang dihasilkan dari sampel yang berbeda dan jenis orang yang direkrut untuk membandingkan itu tidak sama makanya itu hasilnya bervariasi. Itu tidak apa-apa. Itu biasa. Kalau semua studi menghasilkan hal yang sama wah ini saya gak percaya, ini rekayasa. Variasi itu adalah bagian yang biasa dari hasil riset.
Kemudian, dua kelompok itu diharapkan setara, sebanding, comparable karena itu benar-benar kelompok artificial. Nah, ketika kita tahu bahwa efikasinya misal 60%, kemudian kita setujui, bahwa walaupun angka efikasinya 60% itu bagus karena menurunkan yang divaksin itu 60% lebih rendah resikonya. Lalu, ini dilempar ke masyarakat. Masyarakat kelompoknya macem-macem dan beda-beda. Ada yang nakes, non nakes, gaya hidupnya seperti ini, ada yang ngerokok. Biasanya akan lebih rendah. Jadi, tapi tetap melindungi individu yang divaksinasi.
Orang nggak usah ngurusin saya mau vaksin ini vaksin itu, itu tidak penting. Sebagai individu, itu tidak penting.
Meskipun begitu, untuk mencapai kekebalan kelompok itu akan lebih sulit kalau daya perlindungannya lebih rendah. Bisa saja sebenarnya. Jadi, orang nggak usah ngurusin saya mau vaksin ini vaksin itu, itu tidak penting. Sebagai individu, itu tidak penting. Tapi, sebagai epidemiologist atau sebagai orang yang bener-bener ingin menghilangkan penyakit ini di tingkat masyarakat, itu menjadi penting karena itu akan memengaruhi sudah berapa banyak yang akan dicapai penduduk dan angka efikasinya tidak perlu 100%. Cukup sebagian dari mereka yang akan membentengi orang-orang yang tidak sempat divaksin atau tidak bisa divaksin karena kondisi kesehatan. Itu bisa membuat virusnya susah mencari korban terbaru. Kuncinya di sana sebenarnya, nanti akan makin sulit, makin sulit, akhirnya virus itu hilang.
Sebenarnya, apa yang paling menentukan keberhasilan vaksin di antara satu merek dan yang lainnya?
Kalau vaksin itu bisa melindungi bisa membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup, maka vaksin tersebut sukses mencegahnya menjadi penyakit berat. Meski begitu, vaksin ini kan tidak mencegah infeksi. Mungkin saja setelah minum vaksin, saya tiba-tiba terinfeksi demam, penciuman saya berkurang, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, saya tidak harus masuk rumah sakit karena tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan saya harus dirawat, butuh bantuan dokter, atau butuh alat respirator. Ya, yang dicegah itu supaya tidak masuk rumah sakit, dan yang paling penting bisa mencegah kematian. Di situlah efektivitas vaksin dilihat.
Banyaknya berita simpang siur mengenai vaksin akhirnya menuju pada rendahnya kepercayaan masyarakat. Menurut Anda apakah ini salah satu dampak dari pemerintah yang tidak melibatkan ahli medis dan kurangnya transparansi di awal pemilihan vaksin?
Itu satu. Banyak faktornya. Sejak pandemi awal itu, pemerintah itu tidak pernah mengajak masyarakat. Partisipasi masyarakat itu penting. Bagaimana membangun kepercayaan masyarakat? Mereka harus diajak. Semua orang di masyarakat itu anggaplah perlu diajak. Jangan bikin musuh baru, lupakan semua problem politik.
Bagaimana membangun kepercayaan masyarakat? Mereka harus diajak.
Bayangkan, undang-undang karantina yang ditandatangani oleh presiden tahun 2018 sampai terjadi tahun 2020 belum ada peraturan pemerintahnya. Malah, peraturan pemerintah dibuat hanya dalam tiga hari, dua hari. Ini disebut sebagai Peraturan Pemerintah PSBB yang diturunkan dari peraturan karantina. Peraturan sangat tidak sempurna karena dibuat dengan terburu-buru. Saya sudah mengingatkan dari dulu, ini kenapa sosialisasi-sosialisasi melulu. Tetapkan Peraturan Pemerintah, karena susah nanti kalau sudah ada pandemi.
Salah satu pandangan miring soal vaksin dengan anggapan bahwa vaksin adalah upaya brand medis untuk cashing money dari situasi seperti pandemi ini. Bagaimana pandangan Anda terkait ini?
Karena komunikasi publik yang kurang baik, maka beredarlah informasi-informasi yang tidak akurat. Info yang tidak akurat adalah yang kita sebut dengan infodemi. Infodemi itu peningkatan informasi yang luar biasa. Malahan, hal ini lebih berbahaya daripada virus itu sendiri karena akan mengabaikan virus. Sampai ada pejabat yang mengatakan “Oh ini dokternya bikin gara-gara aja. Yang gak COVID, di COVID-kan dan sebaliknya. Memangnya mereka mau bikin COVID-COVID-an? Mana ada yang mau sekarang kayak gitu, semuanya capek, semuanya kena COVID yang masuk rumah sakit. Masalahnya kita bukan hanya terdistract oleh infodemi, tetapi malah jadi percaya. Bahkan orang yang paling pintar pun bisa percaya. Orang yang harusnya berpikir rasional juga bisa percaya. Memangnya teman-teman saya yang dokter atau yang levelnya profesor berpikirnya gak ngaco? Sama saja, ada yang ngaco karena infodemi. Jadi, sudah tidak rasional lagi dunia kita ini.
Apalagi, pemerintahan ini tidak menangani langsung pandemi. Problemnya semakin ruwet lagi ketika di antara menteri-menteri tidak ada yang mengerti. Seharusnya hal ini ditangani langsung oleh presiden. Dia harus bertanggung jawab untuk mengkoordinasi semua aktivitas penanggulangan ini. Beliaulah yang kita pilih sebagai presiden. Mau ada menteri yang paling hebat yang paling galak ya tidak gunanya juga. Begitu ada 3M ternyata gak dipakai sama masyarakat. Masyarakat lalu disalahkan. Ini bukan waktunya saling menyalah-nyalahkan, tapi mereka punya tugas dan tanggung jawab. Masyarakat kan seringkali tidak tahu. Tidak semuanya mengerti apa gunanya pakai masker dan apa gunanya harus tinggal di rumah.
Sampai ada vaksinasi juga komunikasi kita masih amburadul. Di daerah-daerah dimana dulu Pak Jokowi tidak mendapat suara yang banyak, seperti Aceh atau Sulawesi, itu angka hesitancy atau ragu-ragu untuk mau divaksinasi lebih tinggi dibanding wilayah-wilayah lainnya. Jadi, suasana luka waktu pilpres itu masih dipelihara. Seperti dihembus terus dan menurut saya ini tidak bijak.
Menurut Anda, bagaimana cara untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat sehingga ada keinginan untuk divaksin terutama untuk orang-orang yang tinggal di daerah?
Bangun komunikasi publik yang jujur yang jelas dan terbuka. Hanya itu kok modalnya. Komunikasi. Bagaimana saya percaya sama kamu kalau saya gak pernah ngomong sama kamu? Bagaimana kamu bisa mengetahui saya kalau kamu gak pernah denger saya ngomong? Kalau kamu hanya baca dari suatu tulisan yang menceritakan saya begini, begini, begini, ya, yang di pandangan kamu hanya itu. Kalau memang ada informasi yang salah langsung dilakukan klarifikasi. Banjiri informasi-informasi di masyarakat yang mudah dipahami. Menggunakan tokoh masyarakat yang benar-benar dipandang, seperti tokoh agama atau tokoh adat yang menyampaikan dengan bahasa mereka.
Vaksin itu bukan solusi tunggal, bukan senjata pamungkas.
Banyak yang menganggap bahwa vaksin adalah panacea yang akan menghentikan pandemi, padahal tidak begitu. Apa sebenarnya yang benar-benar akan menghentikan pandemi?
Yang bisa menghentikan ini semua adalah niat kita. Vaksin itu bukan solusi tunggal, bukan senjata pamungkas. Vaksin memang berpengaruh signifikan tetapi itu tidak cukup. Semua harus dilakukan agar kita bisa menekan pandemi semaksimal mungkin.
Kita tidak bisa mencegah virus untuk bermutasi dan bisa saja proses ini terjadi secara cepat. Hal ini pun mengakibatkan proses vaksinasi yang terlihat terburu-buru dengan tujuan untuk mencapai “herd immunity”. Apakah “herd immunity” adalah tujuan yang tepat untuk kita sekarang?
Menurut saya itu ilusi dan tidak realistis. Herd immunity jangan jadi tujuan jangka pendek. Itu tujuan untuk lima, sepuluh, atau dua puluh tahun. Kita harus menekan pandemi, sehingga tidak banyak lagi orang yang tertular. Itu istilahnya angka reproduktif efektif. Jadi, kalau angka reproduktifnya satu, satu orang akan menular ke satu orang. Di Indonesia, manusianya juga cenderung tidak disiplin karena mungkin informasi yang disampaikan tidak jelas.
Di awal pandemi, angka reproduktifnya kita itu empat. Jadi, satu orang bisa menularkan kira-kira ke empat, lima, bahkan sepuluh orang. Rata-rata, setiap orang menularkan ke empat orang. Kita harus turunkan. Kalau masih di atas satu itu ya harus 0,7 atau 0,4, sehingga lama-lama akan hilang. Inilah yang nantinya kita sebut sebagai “herd immunity”. Ini merupakan jangka panjang karena virus sudah beredar luas ke seluruh Indonesia dan terus bermutasi.
Di Indonesia, manusianya juga cenderung tidak disiplin karena mungkin informasi yang disampaikan tidak jelas dan mungkin juga pemerintah tidak konsisten untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan. Jadi, di Indonesia ini surga bagi virus. Kalau Indonesia tidak bisa mengatasi pandemi dan negara lain sudah bisa mengatasi pandemi, orang luar tidak mau bergaul dengan Indonesia.
Apabila bukan “herd immunity”, menurut Anda apa ultimate goal yang harus dicapai bersama dalam target waktu yang singkat sebelum virus semakin berbahaya?
Pengendalian pandemi dengan mengendalikan angka reproduktif efektif. Hal ini tidak usah diceritakan ke masyarakat. Hal ini seharusnya jadi pemikiran penyelenggara pemerintah dan harus punya strategi. Kalau masyarakat dibebankan cerita yang sangat teknis itu akan sangat membingungkan. Orang pejabat-pejabat Kemenkes aja tidak mengerti, bagaimana masyarakat.
Jika masyarakat adalah garda terdepan dalam kasus ini, apa saja langkah yang harus dilakukan sehingga impian untuk mengendalikan pandemi dan zero case tercapai?
Penanganannya harus multiple intervention. Jadi, tidak ada satu cara tunggal yang sempurna, seperti konsep keju berlapis yang pernah saya jelaskan.
Kalau kita berlapis-lapis, maka resikonya akan bisa kita tekan semaksimal mungkin. Di saat itulah kita bisa mengendalikan pandemi. Masyarakat jangan dibebankan, tetapi diajak. Mereka itu subjek. Kalau dalam buku-buku penanggulangan pandemi ada kutipan satu statement bilangnya begini, “The community is the front line for every spots.” Jadi, masyarakat itu garda terdepan. Makanya saya suka marah kalau teman-teman saya yang dokter itu bilang kalau mereka garda depan, tidak begitu, mereka itu garda belakang. Kalau kalian garda depan itu kalian mati bunuh diri. Masyarakat itu harus diajak agar berjuang karena keluarnya di antara mereka, kan? Bagaimana masyarakat melindungi mereka sendiri? Ya diajak. Kalau mereka kesulitan ya dibantu. Dengan demikian, jadi lebih mudah. Kita tugasnya membantu dan mengusahakan itu terjadi.
Kalau pandemi ini kita selesaikan, itu kita masih menghadapi ancaman yang jauh lebih besar, yaitu adalah global climate change.
Banyak yang memprediksi bahwa ini tidak akan menjadi pandemi terakhir yang akan kita hadapi. Dari pandangan Anda, seperti apa pandemi yang akan datang di masa depan? Bagaimana kita bisa bersiap untuk menghadapinya?
Kira-kira dua puluh tahun lalu, saya membaca tulisan bahwa kita sedang mengalami namanya the new emerging infectious disease. Penyakit infeksi baru yang tadinya tidak dikenal karena sumbernya bukan dari kita. Sumbernya adalah dari sahabat kita yang diperlakukan secara sangat tidak adil, seperti hewan dan alam semesta ini. Mereka tidak punya tempat tinggal, dibunuh, dimakan, dan diburu. Kalau pandemi ini kita selesaikan, itu kita masih menghadapi ancaman yang jauh lebih besar, yaitu adalah global climate change.
Bayangkan waktu saya muda, Sumatera dan Kalimantan itu hutannya banyak, tetapi sekarang hilang, semua dieksploitasi habis-habisan. Laut pun juga sama. Pandemi itu adalah suatu peringatan yang sangat jelas akan ketamakan dan kelalaian manusia. Mungkin Tuhan sudah lelah mengirim Nabi. Akhirnya, yang dikirim adalah korona. Tuhan mengirim korona agar manusia itu mawas diri. Kita harus merenung kita itu siapa sebenarnya, apakah kita perusak atau khalifah di alam semesta ini.