Antara Kopi Susu atau Investasi, Membedah Financial Planning Anak Muda bersama Jouska
Berbincang dengan Farah Dini, Vice CEO dari Jouska, soal pentingnya financial literacy, upaya untuk tidak terperangkap dalam middle income trap serta hal-hal yang perlu diperhatikan ketika ingin mulai berinvestasi.
Words by Ghina Sabrina
Bagi kebanyakan orang, uang merupakan subjek yang sensitif dan bahkan tergolong tabu untuk dibicarakan. Padahal, keengganan untuk membicarakan soal uang dapat menjauhkan kita dalam menemukan strategi yang baik untuk perencanaan keuangan secara pribadi. Pemahaman ini pun yang ingin diubah oleh Jouska, independent financial adviser yang didirikan oleh Aakar Abyasa Fidzuno, Farah Dini, dan Indah Hapsari Arifaty. Berawal dari concern mereka terhadap rendahnya financial literacy di Indonesia, mereka pun menggunakan approach menarik lewat media sosial untuk mengedukasi masyarakat soal pentingnya memiliki pengetahuan finansial. Kami berbincang dengan Farah Dini, Vice CEO dari Jouska, soal strategi mereka dalam menyampaikan konten finance, pentingnya mengubah mindset, hingga perubahan perilaku keuangan akibat pandemi.
Bagaimana awal mula Anda mendirikan Jouska?
Mulanya itu Mas Aakar Abyasa Fidzuno dulu. Jadi Mas Aakar itu dari Malang, terus dia pindah ke Jakarta dan di saat itu dia sebenarnya sudah menjadi semacam financial advisor di Malang untuk kalangan high-net-worth individuals. Cuma waktu itu he doesn’t have any idea profesi ini sebenarnya namanya apa. Jadi, waktu itu cuma dipercaya aja sama circle di Malang untuk membantu mereka misalnya, “Tolong dong cariin KPR yang bagus itu gimana sih? Portofolio investasi yang oke itu seperti apa?”. Waktu itu dia sendiri belum tahu definisi pekerjaannya itu seperti apa. Akhirnya ketika dia pindah ke Jakarta, dia mulai menyadari bahwa ternyata ada profesi namanya independent financial advisor. Di situlah dia mulai mencari tahu tentang profesi ini.
Lalu, ia pun sadar bahwa financial advisory, atau yang dulu lebih dikenal sebagai financial planner, itu sebenarnya sudah lama ada sejak tahun 2000. Cuma dia merasa, kok profesinya gitu-gitu saja, tidak booming dan tidak banyak juga orang yang tahu. Dari sana dia melihat bahwa memang banyak information gap di masyarakat. Juga persepsi orang terhadap financial planner itu mungkin buat orang kaya saja. Belum lagi, approach orang-orang di industri finance itu lumayan kaku, sangat-sangat menunjukkan profesionalisme yang tidak dekat ke masyarakat. Sehingga akhirnya orang-orang menganggap kalau financial planning itu khusus untuk orang kaya sama orang yang mengerti finance. Padahal kan sebenarnya kita tahu kalau ini hal penting untuk semua kalangan despite apapun backgroundnya, namanya juga soal uang.
Lalu, dia pun mulai mencari partner dan bertemu saya serta satu orang lagi, Indah Hapsari Arifaty. Singkat cerita, pokoknya kami ternyata cocok. Kami pun sama-sama muda, kami semua bertemu waktu masih berusia di bawah 30 tahun. Kami juga sama-sama merasa bahwa ada yang harus diubah dari approach orang-orang di industri finance ke publik. Jadi pada dua tahun pertama Jouska, kami lebih memilih untuk men-develop produk kami. Men-develop SOP (Standard Operating Procedure) kami, bagaimana caranya kami mau approach publik itu seperti apa, pokoknya kami pikirkan produknya dulu. Pada saat itu memang target market kami rata-rata masih high-net-worth individuals, jadi bukan yang middle class. Yang middle class-nya pun yang upper. Jadi bukan untuk masyarakat umum.
Pada tahun 2015, awalnya nama kami Janus. Kemudian di tahun 2017 kita di-sue sama perusahaan investment di Amerika Serikat yang ternyata mendaftarkan nama “Janus” di Indonesia walaupun mereka tidak pernah operate di sini. Jadi akhirnya kami memilih nama lain yang sama-sama dimulai dari huruf ‘J’. Kalau ditanya “Jouska” itu artinya apa, kami pun tidak tahu karena dalam waktu singkat kami juga harus come-up dengan nama lain (tertawa).
Masih di tahun 2017, di situ kan mulai muncul fitur-fitur baru di Instagram yaitu salah satunya Instagram Stories dan di situlah kami mulai mencoba mengeksplorasi fitur itu. Kami juga memulai akun Instagram tidak lama setelah kemunculan fitur itu, cuma kami juga masih meraba-raba. Kami tahu kalau kami harus mencoba sesuatu yang beda. Kalau diperhatikan, di akun Jouska, jarang banget kami memajang logo perusahaan di setiap postingan. Beda sama sosok-sosok lain di industri keuangan yang di setiap foto ada logo. Itu adalah salah satu strategi juga buat kami, bagaimana caranya ketika orang-orang masuk ke akun kami, mereka akan mengenal Minjou. Jadi kami juga sampai memikirkan karakter Minjou ini seperti apa, cara penyampaiannya bagaimana. Walapun admin Minjou ada 10-12 orang tapi cara kami berkomunikasi itu sama semua. Jadi sudah ada SOP cara kami berkomunikasi seperti apa, terus bagaimana caranya kami menyampaikan topik-topik yang relatable dengan banyak orang, serta membuat finance itu – bukan oversimplified juga ya karena ini konteksnya tetap serius, cuma penyampaiannya itu lebih bisa diterima oleh banyak orang.
Jadi awal mulanya memang kami adalah kumpulan anak muda yang concerned banget soal financial literacy di Indonesia dan tahu bahwa kami harus membuat gebrakan yang membuat teman-teman di industri keuangan itu akhirnya sadar. “Eh kalian kalau kaku-kaku gak akan kemana-mana lho.” Itu sih yang membuat platform kita growing.
Lalu bagaimana sampai akhirnya Anda memilih untuk menggunakan approach seperti sekarang dalam menyampaikan konten Anda? Memangnya, apakah Anda merasakan adanya knowledge gap soal manajemen keuangan antar generasi?
Sebenarnya financial literacy itu tidak melihat dari tingkat akademik, tidak juga melihat dari usia. Ini a matter of “Lo mau belajar apa gak?” Soalnya, kalau kita lihat banyak banget yang kena kasus investasi bodong itu orang-orang yang tingkat akademiknya tinggi. Kalau melihat laporan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), yang katanya lulusan S2 ternyata tertipu juga. Jadi bukan soal usia ataupun soal tingkat akademik, tapi soal kemauan kita untuk meng-equip diri dengan financial literacy atau tidak.
Financial knowledge itu kenapa ada gap-nya? Kalau dulu mungkin karena informasi itu tidak semua orang bisa peroleh dengan mudah. Tapi sekarang kita sudah tidak bisa memakai excuse itu ketika teknologi mulai masuk, ketika kita sudah ada di era sosial media dengan arus informasi yang lebih tinggi dan mudah didapatkan. Berarti kalau misalnya informasi itu sudah mulai tersebar, tapi knowledge untuk financial literacy-nya begitu saja, berarti dari kita sendiri yang tidak mau belajar. Jadi kita harus mengecek di bagian sana.
Jujur, savings ratio di Indonesia itu relatif masih rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Itu baru dari segi savings di bank, belum kita membahas soal investing di pasar modal. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga, kita masih beda jauh. Gap-nya masih jauh. Ini dia makanya jadi tugas kita bersama, yang di industri keuangan termasuk dari kami di Jouska, untuk punya urgensi bahwa kalau misalnya kita tidak membereskan masalah ini, kalau semua orang Indonesia berpikiran yang sama, negara kita tidak akan kemana-mana. Soalnya, financial literacy mempengaruhi aspek itu.
Kalau orang Indonesia tidak banyak yang saving di bank, bank memutarkan uangnya ke mana? Bank meminjamkan modal ke pengusaha-pengusaha memakai uang apa? Kalau misalnya pemerintah Indonesia pada saat mereka mengeluarkan obligasi pemerintah terus tidak ada yang beli, terus nanti kalau misalnya pemerintah kita pinjam ke asing, yang disalahkan siapa? Pemerintah. Padahal kitanya sendiri tidak ada yang mau meminjamkan uang. Ini juga karena financial literacy kita terhadap investment dan bond belum sampai sana. Belum lagi kalau misalnya ada banyak pertanyaan, “Kenapa banyak perusahaan Indonesia diakuisisi sama asing?” Ya karena investor Indonesia tidak ada yang mau beli saham dari perusahaan Indonesia. Kalau misalnya sampai negara lain melirik ke sini terus mereka mau invest, jangan disalahkan juga karena kitanya sendiri tidak mau invest di situ. Kita lebih senang jadi konsumennya.
Online presence kalian dalam media sosial bisa dibilang sangat kuat, serta memiliki engagement tinggi, boleh ceritakan strategi bagaimana Jouska bisa membangun platform Anda hingga kini?
Sebenarnya kan namanya juga media sosial, kita seharusnya bersosialisasi. Yang namanya bersosialisasi, makanya kita harus memperlakukan selayaknya kita lagi berbicara dengan manusia dan bukan sama robot. Dari definisi itu saja kita seharusnya, tidak cuma Jouska tapi brand-brand lain, paham bahwa yang melihat kita itu semuanya manusia. Masa kita memakai bahasa yang robotik, yang bukan sehari-hari? Berarti kita tidak bersosialisasi layaknya manusia pada umumnya dong. Makanya dari awal kita decide untuk melakukan itu. Memang ini corporate account, tapi mau bagaimana pun yang melihat account kami itu manusia. Orang-orang yang ingin belanja. Kalau misalnya, let’s say, kami masih memakai gaya jadul, “Saham itu adalah ….” atau ala-ala akademisi kayak kita belajar di sekolah, kira-kira bakalan banyak tidak yang mem-follow atau relate dengan apa yang kami sampaikan? Percuma kalau kami memakai bahasa yang sophisticated, yang bakal membuat kami terlihat jago banget, tapi kalau tidak sampai ke otak manusia. Kalau akhirnya malah membuat orang semakin pusing terus tidak mengerjakan yang kami sampaikan, buat apa?
Orang-orang suka berpikiran bahwa, “Ah gue masih mudah, nanti saja lah”, pokoknya pasti di-postpone keputusan finansial itu, padahal apa yang kita lakukan sekarang itu berdampak dalam jangka panjang.
Dari konten-konten edukatif yang ternyata relatable, Anda bisa menyadarkan publik bahwa financial planning merupakan hal yang diperlukan. Namun, apa yang dapat Anda sampaikan bagi mereka yang baru ingin memulainya?
Kita bisa mulai dari mindset dulu. Mindset-nya itu harus dibenarkan. Percuma kita dari awal bilang, “Gue pengen invest yang banyak” tapi mindset kita belum benar dan ujung-ujungnya di tengah jalan kita akan stop. Financial planning itu kan bukan soal banyak-banyakan kamu invest, banyak-banyakan duit, tapi konsistensi kamu dalam berproses supaya sampai tujuan. Caranya ada banyak, dari investasi sendiri ada banyak macamnya tapi mereka ini kan tools saja untuk mencapai tujuan. Cuman, semua berawal dari kita sendiri. Seberapa disiplinnya kita dan konsistensi kita bagaimana.
Orang-orang kan kadang takut melihat angka, jadi misalnya kalau ditanya pengeluarannya berapa mereka sering tidak mau tahu soal itu. Kalau kamu saja masih in denial, tidak mau face the numbers, ya tidak akan kemana-mana juga. Jadi kalau saya bisa bilang, yang pertama kali dilakukan sebelum melakukan financial planning, sebelum kamu mau sok-sokan belajar investasi yang lebih sophisticated, benahi dulu mindset tentang uangnya. Pahami dulu bahwa setiap keputusan keuangan yang dibuat pasti akan berdampak tidak cuma pada saat ini, tapi juga pada jangka panjang. Terus berdampaknya tidak cuma sama kamu tapi juga orang-orang terdekat. Kalau misalnya kamu berhutang, terus tiba-tiba terjadi risiko terhadap kamu, utang ini bisa diwariskan. Lalu yang kena siapa? Keluarga kamu juga. Kalau misalnya kamu tidak mengatur keuangan kamu dengan baik, terus pas pensiun kamu jadi parasite, ujung-ujungnya anak-anak kamu malah jadi sandwich generation. Nah, itu yang harus dipikirkan mindset-nya. Orang-orang suka berpikiran bahwa, “Ah gue masih mudah, nanti saja lah”, pokoknya pasti di-postpone keputusan finansial itu, padahal apa yang kita lakukan sekarang itu berdampak dalam jangka panjang.
Jouska juga pasti menerima banyak cerita dan keluhan dari orang-orang yang ingin mulai mengatur keuangannya, apakah ada benang merah yang bisa diambil dari cerita-cerita mereka?
Banyak masalah datang dari gengsi. Secara psikologi ada banyak alasan kenapa orang itu bisa menjadi sangat boros, begitu juga bagaimana seseorang bisa menjadi sangat hemat. Itu kan bisa kita lihat lagi ke belakang, sebenarnya masalah mereka itu apa dan kenapa lifestyle saat ini menjadi yang lebih diutamakan ketimbang nanti di masa depan. Itu ternyata berakar dari banyak hal, salah satunya peer pressure. Belum lagi di era social media ini orang-orang saling memamerkan apa yang dia punya, padahal kan tidak tahu mereka itu berhutang atau tidak. Atau misalnya mereka malah masih dibiayai oleh orang tuanya, atau ketika mereka sering travelling ternyata itu business trip yang dibayarkan oleh kantornya. Yang kita lihat adalah yang terlihat di feed, yang terlihat keren dan kita mau menjadi seperti itu.
Lifestyle ini yang menjadikan kita jatuh di situasi middle income trap. Jebakan kelas menengah di mana seiring dengan kenaikan gaji, ternyata yang ditingkatkan terlebih dahulu adalah lifestyle sehingga tidak proporsional dengan kenaikan aset dalam bentuk tabungan dan investasi. Itu yang menjadi masalah karena kita tidak usah membahas punya aset ini-itu kalau setiap bulan kita masih minus, lalu bagaimana caranya kita menabung?
Selain mindset, kita harus melihat kembali pada lifestyle kita. Godaan di luar itu pasti banyak, tapi bagaimana kita bisa mengatakan tidak pada sales? Apalagi semenjak work from home, tagihan untuk belanja online pasti melonjak. Jadi masalah utama itu overspending, yang secara perspektif ekonomi itu sebenarnya penting karena consumption menggerakan ekonomi. Cuman harus secara simultan dalam artian kita consume dan juga invest serta saving di saat yang bersamaan. Jangan malah kita consume saja tapi tidak invest dan saving. Istilahnya kita sejahtera sekarang tapi nanti malah sengsara di masa depan, kan tidak lucu juga.
Dari yang awalnya masih dianggap tabu, bahasan soal manajemen keuangan pun sekarang akhirnya sampai pada para anak muda yang keuangannya sendiri pun belum seberapa, apa yang bisa disimpulkan soal meningkatnya minat mereka terhadap topik ini?
Mungkin sekarang, apalagi melihat pandemi ini, orang-orang akan mulai sadar betapa pentingnya dana darurat. Orang mulai sadar ternyata “Oh iya, benar ya inflasi itu nyata.” Belum lagi banyak campaign dari pemerintah tentang pentingnya investasi di pasar modal dan investasi saham obligasi. Teman-teman di industri finance juga mulai banyak membuat gebrakan baru untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya merencanakan keuangan karena kalau tidak efeknya kemana-mana. Jadi minatnya mulai tumbuh, tinggal bagaimana caranya informasi ini tidak cuma ada di kota-kota besar saja tapi juga di pelosok-pelosok. Memang tantangannya itu, tapi mungkin sekarang di era social media ini teman-teman yang punya akses internet bisa lebih mudah mendapat informasi, apalagi sekarang sudah banyak webinar.
Kalau secara minat, memang sudah ada peningkatan, tapi kita harus tetap make sure berapa jumlah orang yang menabung di bank dan invest di pasar modal. Dicek juga korban investasi bodong atau yang terkena masalah pinjaman online dan hutang kartu kredit itu meningkat atau mengalami penurunan. Itu kan semua harus kita perhatikan. Mungkin di social media itu memang terlihat mengalami peningkatan, tapi yang mengeksekusi belum semuanya. “Oh iya, udah ngerti pentingnya dana darurat,” tapi ternyata belum juga mulai menabung. Jadi tetap saja kita kembali ke data. Kita bisa terus mengedukasi tapi ketika kembali ke data kita juga bisa melihat seberapa berpengaruhnya.
Mungkin banyak juga orang yang merasa ingin mengumpulkan knowledge terlebih dahulu sebelum mempraktekannya.
Iya. Sebenarnya yang salah adalah ketika mereka berpikir, “Tunggu ada duitnya dulu.” Kalau menunggu uangnya terkumpul banyak terlebih dahulu ya mereka juga tidak akan mulai. Malah seharusnya dengan uang sekecil apapun, bangun dulu habit-nya.
Lifestyle ini yang menjadikan kita jatuh di situasi middle income trap.
Atau bahkan mereka menabung, cuma lebih sering menarik tabungannya.
Betul, generasi mantap katanya. Generasi makan tabungan.
Di saat-saat seperti ini banyak orang sudah berpikir pentingnya memiliki dana darurat, namun ada juga yang berpikir untuk mulai invest. Apakah Anda memiliki tips untuk orang-orang yang baru pertama memasuki ranah tersebut?
Pertama, sebelum kita membahas investment, kita harus cek dulu fondasi keuangan kita seberapa kuat. Jangan sampai ketika kita ingin membangun rumah, yang kita pikirkan atapnya dulu tapi sebenarnya kerangka rumahnya belum kokoh. Jadi, yang harus dilakukan itu make sure dana darurat kita sudah ada apa belum. Percuma juga punya investasi yang banyak kalau misalnya, let’s say kita punya investasi di properti dan saham, terus ketika pandemi seperti sekarang bisa apa? Kalau misalnya lagi turun terus propertinya tidak bisa dijual. Yang lagi dibutuhkan saat ini apa? Cash. Cash is king. Tabungan kita yang menyelamatkan kita di posisi saat ini. Apalagi yang mana teman-teman juga memiliki risiko kehilangan penghasilan atau pemotongan gaji. Jadi dana darurat itu penting di situ. Jangan cuma memikirkan investasi karena yang namanya investasi itu lebih baik buat jangka panjang, kita tidak akan pakai dalam waktu dekat.
Setelah dana darurat, kita lihat lagi utang kita. Jangan sampai kita punya utang yang ternyata sudah termasuk tidak sehat. Misalnya kita punya penghasilan 10 juta, dan dari sana 6 juta habis buat cicilan. Berarti kan itu sudah lebih dari 50% sendiri. Itu yang harus diperhatikan, karena itu kan salah satu kaki yang mengokohkan juga. Kalau utangnya tidak sehat, utang kan kalau tidak dibayar ujungnya-ujungnya dapat berimbas ke penyitaan aset kita. Jadi kalaupun mau berutang, make sure utangnya sehat dan tidak terlalu memakan gaji kita sehingga masih ada yang bisa kita investasikan.
Kemudian asuransi. Asuransi itu basically untuk proteksi kita dan keluarga. Kalau misalnya terjadi risiko sama kita, berarti ada uang dari asuransi yang akan keluar untuk orang-orang yang kita tinggalkan. Atau misalnya kalau kita sakit, ada asuransi yang membantu saat kita di rumah sakit. Kalau misalnya kita tidak memiliki asuransi, akan terpakai juga dana darurat kita.
Sebelum investasi, ada juga cash flow management. Karena kalau cash flow tidak benar, maka bisa minus sehingga tidak bisa invest. Baru saat keempat kaki ini sudah kokoh, baru kita bisa membahas soal investasi. Investasi ini pun dilihat dulu, kita mau investasi untuk tujuan apa? Tujuan itu kan ada yang wajib, ada yang additional. Kalau yang wajib, kita memang akan pasti keluarkan. Misalnya dana pendidikan anak. Kalau kamu sama sekali tidak berencana untuk punya anak, baru tidak usah memikirkan itu, tapi kalau suatu saat nanti akan punya anak berarti dana tersebut itu wajib. Dana pendidikan itu akan mengambil portion paling besar dari setiap orang tua.
Kemudian juga ada dana pensiun, karena suatu saat kita pasti akan pensiun dan kita juga tidak mau nanti menjadi beban buat anak-anak. Bahkan kalau bisa kita yang nanti mewariskan sesuatu. Berarti dana pendidikan dan dana pensiun itu sudah pasti wajib. Untuk client-client Jouska sendiri kami selalu mewajibkan mereka untuk mempersiapkan kedua dana tersebut.
Sedangkan untuk tujuan lainnya, boleh dibilang istilahnya kita tidak perlu memaksakan. Misalnya membeli rumah. Kalau kamu beli rumah sekarang bisa saja cicilannya besar, karena ternyata DP-nya kecil. Kedua, setelah membayar cicilan KPR (Kredit Pemilikan Rumah), kamu jadi tidak bisa menabung sama sekali. Memang tujuan hidup kamu cuma punya rumah saja? Jadi kalau masih bisa ngekos atau mengontrak rumah dulu, menabung dulu saja dan invest sebanyak-banyaknya supaya DP-nya jadi lebih besar di kemudian hari terus cicilannya jadi mengecil. Atau misalnya beli mobil. Kalau bisa memakai public transportation dulu, kenapa harus memaksa membeli mobil? Karena kita tahu kalau mobil keluar dari showroom pun harganya bakalan turun.
Jadi kalau misalnya kita masih bisa menemukan alternatif lain untuk sementara waktu, jangan dipaksakan. Tapi dana pendidikan dan dana pensiun itu dua tujuan yang pasti kamu akan keluarkan nantinya. Itu yang menentukan produk investasinya apa. Kamu butuh jangka waktunya berapa lama. Kalau misalnya, “Tujuan saya menikah satu tahun lagi,” ya jangan dimasukin ke saham. Sudah tahu saham itu naik-turun, kalau misalnya nanti tiba-tiba uang nikah kamu sedang turun, masa tidak jadi? Itu yang harus kita lihat. Jadi kita lihat tujuan keuangan kita itu untuk berapa lama supaya dapat menentukan produk investasinya. Jangan langsung loncat.
Namun, bagaimana Anda bisa melihat perubahan perilaku orang-orang akibat pandemi ini?
Financial behaviour mudah-mudahan berubah sehabis pandemi ini, sehingga kita bisa mulai aware dalam perencanaan keuangan.
Berharapnya seperti itu. Ini kan semacam tamparan buat yang kemarin-kemarin malas menabung. Memangnya di akhir tahun lalu kita kepikiran bakal WFH? Tidak kan. Memang tahun lalu kita tahu bakal ada Corona? Tidak juga. Cuman kan kadang kita suka under estimate kebutuhan kita akan dana darurat. Kita selalu berpikir kalau posisi kita ke depannya itu aman, padahal risiko bisa datang in any form. Jadi makanya untuk behaviour secara finansial, yang pertama, mudah-mudahan dari pandemi ini teman-teman bisa akhirnya aware akan pentingnya dana darurat dan juga mulai menabung untuk itu. Kedua, kita bisa membuat pengeluaran kita lebih efisien, misalnya dengan menyadari bahwa kita bisa bekerja di rumah dan bukan di kafe. Dari sini kita bisa belajar untuk lebih efisien. Jadi secara financial behaviour mudah-mudahan berubah sehabis pandemi ini, sehingga kita bisa mulai aware dalam perencanaan keuangan.
Dengan Jouska sendiri, apa rencana kalian untuk ke depannya?
Sebenarnya sebelum wabah ini terjadi, dari bulan Januari kami memindahkan semua event kita jadi online. Kami membuat “Jouska Talks” online, karena kami merasa bahwa kalau kami membuat acara talks offline-only berarti kota-kota besar saja yang bisa kami datangi. Kalau masuk ke kota-kota kecil itu lumayan juga, dari perjalanan hingga tiketnya, sedangkan yang butuh ilmu pengetahuan soal finance itu tidak cuma di kota besar saja. Teman-teman di kota kecil itu banyak banget risiko untuk terkena investasi bodong. Dengan adanya “Jouska Talks” online, akhirnya kami ada satu platform di mana banyak teman-teman dari berbagai kota bahkan di luar negeri yang bisa belajar untuk ilmu finansial. Untuk kedepannya lagi, pasti kami ada event-event besar, seperti tahun lalu ada event “Forward”, tapi mungkin di tahun ini ada juga semacam itu tapi lebih ke online.