Antara Fundamentalis dan Liberal bersama Haidar Bagir
Kami berbincang dengan pendiri Mizan, Haidar Bagir, tentang kecenderungan psikologis orang Indonesia yang moderat hingga optimismenya terhadap anak muda tanah air.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Mizan
Ketika kita melihat kembali pada industri penerbitan di Indonesia, salah satu nama yang pasti tidak pernah terlewat adalah Mizan. Pada awalnya dikenal sebagai penerbit buku-buku Islam, Mizan telah berkembang menjadi perusahaan yang lebih dari sekadar itu saja. Kini berkecimpung dalam penerbitan buku sastra, pendidikan, hingga produksi perfilman, tujuan utama Mizan sebenarnya didasari oleh keinginan sang pendiri untuk berdakwah. Kami pun berkenalan dan berbincang dengan Haidar Bagir, sosok visioner di balik Mizan, dan mempelajari lebih lanjut soal pemikirannya terhadap sikap toleransi di Indonesia, upayanya untuk terus berdakwah lewat karya-karya yang diterbitkan, dan optimismenya terhadap anak muda di tanah air.
Anda dikenal sebagai penulis serta entrepreneur yang fokus pada ajaran Islam. Bagaimana ketertarikan Anda terhadap ilmu tersebut muncul?
Saya sendiri mungkin tidak bisa memastikan kecuali bahwa Ayah saya itu, di tempat saya tinggal dulu di Solo, dianggap sebagai salah seorang ahli agama dan juga punya perpustakaan berisi buku-buku agama. Sekolah saya dulu sekolah Islam, kadang-kadang punya berbagai kegiatan keislaman. Saya waktu SMP jadi ketua OSIS, ikut mengelola kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, termasuk zakat fitrah setiap tahun dan kuliah minggu. Mungkin dari semua itu ada ketertarikan terhadap agama.
Dulu meskipun buku masih jarang, sesekali Ayah saya kalau keluar kota pulangnya membawa buku. Kadang-kadang buku cerita seperti “Anak Tani”, kemudian “Little House on the Prairie” yang ditulis oleh Laura Ingalls Wilder. Kadang juga membawa buku kisah-kisah hikmah Islam, cerita pendek yang penuh inspirasi. Nah, mungkin karena itu. Ayah saya juga punya pengajian. Bahkan Ayah saya juga merilis buku, menerjemahkan buku, mungkin itu berpengaruh. Mungkin minat ke sana itu bawaan dari lahir, lingkungannya pun mendukung ke arah situ.
Waktu saya kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung), saya aktif di Masjid Salman. Setelah sampai lulus pun, saya membantu satu lembaga di sana namanya Lembaga Pengkajian Islam dan menjadi pengelola sehari-hari. Terus, saya juga menjadi redaktur majalah Islam yang waktu itu cukup terkenal, namanya majalah Pustaka. Jadi mungkin karena itu minat saya makin lama makin besar di bidang itu.
Saya juga baca dan tertarik dengan buku-buku agama. Saya berpikir saya ini kebetulan juga mewarisi semangat wiraswasta dari Ayah saya, Ayah saya itu meskipun ustad tapi juga pengusaha batik. Jadi saya juga mungkin mewarisi itu, sehingga akhirnya waktu mau lulus, saya berpikir kalau saya tidak mau kerja kantoran. Saya ingin kerja sendiri.
Saya juga suka menulis sejak SMP-SMA, saya pernah ikut kejuaran menulis di provinsi Jawa Tengah. Jadi saya suka menulis, membaca, juga baca buku agama, serta punya semangat dakwah yang dipupuk oleh Ayah, ditambah juga dengan aktivitas di Salman. Jadi empat hal itu berkumpul jadi satu, bahkan melahirkan gagasan untuk punya perusahaan sendiri alias berwiraswasta. Perusahaan itu punya tujuan dakwah dan pada saat yang sama menjadi wadah untuk menyalurkan kesenangan membaca dan menulis. Jadi keluarlah penerbit Mizan yang mulai dengan buku-buku Islam.
Kalau dilihat dari sisi lain, tentu sebagai bisnis saya mencari celah juga. Pasar yang belum tergarap. Waktu itu penerbit buku-buku Islam itu masih tradisional, kertas dan desainnya tidak bagus, jilidnya mudah lepas, berbagai kelengkapan buku belum ada, daftar isi kadang di belakang, ringkasan di cover belakang tidak ada, hingga indeks tidak ada. Sementara itu di scene lain saya melihat ketika saya aktif di Salman, selama saya di ITB tahun 1976 sampai awal 80-an, itu saya melihat dengan mata kepala saya sendiri terbentuknya kelas menengah baru Islam. Orang-orang Islam yang bukan di kampung-kampung dan di desa, orang-orang yang umumnya berpendapatan rendah, tapi mereka ini adalah sarjana-sarjana dari keluarga muslim santri yang sudah masuk pekerjaan dan sudah berhasil.
Anak-anak dari keluarga santri itu baru bisa masuk pendidikan modern di awal tahun 50-an, karena waktu di zaman Belanda itu jarang. Biasanya yang bisa sekolah itu priyayi. Kalaupun anak muslim pun sedikit, dan hampir tidak ada dari keluarga santri. Tapi mulai tahun 50-an, seperti katanya almarhum Nurcholish Madjid, mereka mulai masuk pendidikan modern dan lulus mungkin di tahun akhir 60-an, masuk pekerjaan, berbisnis, dan sukses. Di pertengahan tahun 70-an itu mulai muncul kelas menengah baru. Dan kelas menengah baru ini kan seleranya lain. Mereka tidak suka baca buku desainnya jelek, cetakannya miring-miring, jilidannya juga lepas, tidak ada indeksnya. Nah, saya waktu itu belajar di Pustaka Salman dan kemudian membuat bisnis sendiri yaitu membuat buku Islam yang menampung minat saya di bidang dakwah, keinginan saya berwiraswasta, kesenangan menulis dan membaca. Lalu saya melihat ada celah, yaitu segmen pasar kelas menengah baru muslim yang ingin membaca buku Islam yang dari segi isinya berkualitas, dari segi penampilannya juga memenuhi selera mereka.
Kira-kira begitu, itu yang menyebabkan saya kemudian mulai dengan Mizan yang lebih dari 10 tahun hanya menerbitkan buku Islam. Sampai akhirnya ketika kita sudah mapan di pasar, saya berpikir untuk mulai masuk ke buku-buku non-Islam tapi arahnya masih sama, yaitu di pendidikan keluarga dan pendidikan di sekolah. Mungkin novel-novel yang mendidik dan lain sebagainya. Waktu Mizan masuk dunia film kan juga begitu, kita masuk ke film-film pendidikan juga.
Anda juga memiliki latar belakang pendidikan yang panjang, dari meraih sarjana di ITB, master’s di Harvard University, hingga gelar doktor dari Universitas Indonesia. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang didapatkan hingga kemudian membentuk pemikiran Anda sekarang dalam berbisnis?
Jadi Mizan itu selalu saya definisikan sejak awal sebagai intellectual enterprise. Enterprise itu bisa berarti upaya, effort, meskipun dalam skala lebih besar itu bisa juga berarti perusahaan bisnis. Tapi perusahaan kita itu saya bilang ‘intellectual’, jadi prinsipnya itu berbisnis tapi bersamaan dengan itu kita memberikan kontribusi kepada masyarakat di bidang pemikiran dan pendidikan.
Kalaupun kita menerbitkan buku yang isinya hiburan, tetapi hiburannya itu kita upayakan yang bisa punya manfaat transformatif kepada masyarakat. Salah satu novel kita yang paling laku itu misalnya “Laskar Pelangi”. Luar biasa dampaknya pada masyarakat. Atau kalau yang buku terjemahan, mungkin “Dunia Sophie”. Itu sampai ratusan ribu dan dampaknya ke pemikiran luar biasa. Kalau buku-buku agama, ada beberapa yang lakunya sampai di atas 200.000, tapi buku agama yang serius mungkin ada 20.000-40.000.
Buku-buku yang menghibur itu harus punya fungsi menjadikan pembacanya lebih baik.
Buku-buku bagus yang kita terbitkan sekarang ada Emha Ainun Najib, Gus Nadirsyah Hosen, Pak Quraish Shihab, ada banyaklah tokoh-tokoh agama yang bukunya kita terbitkan. Jadi kita selalu punya garis, hiburan harus berkualitas, jadi kita menerbitkan pemikiran, pendidikan, dan ilmu, tapi kita tidak menolak untuk masuk ke buku-buku yang menghibur, tapi buku-buku yang menghibur itu harus punya fungsi menjadikan pembacanya lebih baik.
Pengaruhnya apa? Saya ini memang dari awal sudah niatnya ingin dakwah, mengajarkan kebaikan, kedua, saya ini juga senang belajar orangnya. Makanya sebelum ke Harvard saya dua tahun kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri) dulu. Saya belum menulis thesis, tapi saya dapat beasiswa ke Amerika Serikat, saya research di sana, saya mengajar, setelah itu saya menjadi dosen. Sampai sekarang saya masih mengajar dan juga membuat ceramah serta artikel-artikel di Kompas dan lain sebagainya. Itu yang membentuk juga arah Mizan sebagai penerbit buku yang mendidik, tidak menutupi terhadap buku yang menghibur tapi juga tidak kehilangan aspeknya sebagai alat mendidik pembacanya. Tapi kalau mau, saling belajar bersama pembaca.
Kini menjadi salah satu penerbit terbesar di Indonesia, Mizan Group sendiri terdiri dari beberapa lini mulai dari percetakan hingga new media. Bagaimana akhirnya Anda memutuskan untuk expand ke ranah baru dalam pengembangan bisnis ini?
Sebagai perusahaan kita ingin mengembangkan diri. Kalau tadinya hanya buku Islam, ya akan maju tapi artinya maju di jalur yang sama. Kita ingin menambah kemajuan kita, makanya kita masuk ke buku anak Islam dulu. Buku anak Islam waktu itu tidak ada yang bagus. Kita lah yang mulai membuat buku anak Islam yang bagus. Nah, sales kita secara otomatis naik karena pasarnya kita expand. Setelah itu, kemana lagi? Ke buku-buku umum, novel-novel, hingga buku pendidikan, supaya sales kita berlipat terus kan? Jadi masing-masing jalur kita usahakan sales-nya naik, tapi dengan membuka segmen-segmen pasar baru otomatis opportunity melipatgandakan sales akan lebih besar.
Di samping itu, kita dari segi dakwah pun ingin menjangkau orang lebih luas. Kalau tadinya kita menjangkau orang muslim, kenapa tidak lebih banyak? Dakwah itu kan tidak hanya mengajarkan ajaran Islam, dakwah itu mengajak orang kepada kebaikan. “Dakwah” dalam bahasa Arab itu artinya ‘memanggil’ atau ‘menyeru’. Jadi kita ingin bisa menyeru pada kebaikan kepada lebih banyak orang. Tidak hanya segmen pasar muslim tapi kita masuk ke remaja, pendidikan, ke novel-novel berkualitas dan seterusnya.
Dakwah itu kan tidak hanya mengajarkan ajaran Islam, dakwah itu mengajak orang kepada kebaikan.
Anda sendiri sudah lama bergelut di industri penerbitan, bagaimana Anda melihat perkembangan kondisi sastra Indonesia di kalangan anak muda?
Menurut saya cukup baik dan saya kira harapannya cukup besar. Dulu Bentang Pustaka itu bukan punya Mizan, jadi dulu mereka mengalami kesulitan, penerbitnya dalam keadaan rugi, kemudian saya mendorong pemiliknya untuk datang. Saya sangat antusias waktu itu karena Bentang banyak menerbitkan buku-buku di bidang sastra dan budaya. Pada waktu itu, ada dua dorongan, saya ini tidak pernah mempertentangkan dorongan bisnis dan dorongan dakwah atau intelektual. Saya yakin, kalau mau jual misalnya buku seks, akan cepat laku. Atau mau menerbitkan buku intelektual tapi tidak laku, gampang. Saya punya keyakinan bahwa buku intelektual mendidik itu bisa laku kalau digarap dengan baik.
Akhirnya saya mendorong untuk mengambil alih Bentang. Saya yakin kalau itu digarap dengan baik, pasti akan laku. Misalnya janganlah terlalu puritan dalam membuat buku, sudah isinya berat cover-nya berat. Repot. Jadi bikin isinya berat, tapi cover-nya dibikin nge-pop meskipun tidak kehilangan cita rasa artistik. Saya pun masuk dan waktu itu bilang, “Percaya sama saya, in five years time, ini penerbit akan maju.” Alhamdulillah ternyata banyak peminat Bentang. Meskipun Bentang itu tidak 100% buku sastra yang berat-berat, tapi bukunya Dewi Dee Lestari terbit di situ, juga bukunya Andrea Hirata. Banyaklah buku-buku sastra yang terbit di situ. Termasuk buku puisi. Nanti tidak lama lagi, buku puisi saya tentang tasawuf juga akan terbit di Bentang.
Menurut saya, sebetulnya minat remaja kita terhadap buku sastra, apakah itu yang disebut sastra populer atau serius, itu bagus. Kalau digarap dengan betul, saya kira bagus. Problem dengan Balai Pustaka, misalnya, itu tidak bisa pindah dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan selera anak muda, sehingga akhirnya tidak bisa maju.
Tapi menurut Anda sendiri minat para anak muda ini besar ya ternyata?
Menurut saya, ada harapan cukup besar. Sekarang pun buku sastra, apalagi yang sastra populer seperti buku milik Dewi Dee Lestari itu laku puluhan ribu setiap judul. Jadi saya pikir ada harapan cukup besar. Bahkan penerbit Mizan yang lain, Noura, menerbitkan bukunya Iwan Simatupang, Budi Darma, hingga kumpulan cerpennya Kuntowijoyo. Belum lagi kita menerbitkan seri terjemahan buku-buku sastra seperti “To Kill A Mockingbird”. Ada banyak macam buku terjemahan sastra yang kita terbitkan dan cukup laku. Perkaranya dari saya, karena saya ini mengambil jurusan akademik di filsafat dan mistisisme, jadi tidak jauh lah dari sastra itu. Makanya, saya mengusulkan kenapa tidak menerbitkan bukunya Iwan Simatupang.
Anda dikenal sebagai tokoh yang menjunjung tinggi toleransi antar agama, sampai meraih Global Business & Interfaith Peace Awards pada tahun 2018 lalu. Namun melihat kondisi Indonesia hari ini, apa saja yang bisa dilakukan untuk terus meningkatkan kesadaran akan pentingnya toleransi di masyarakat kita?
Yang perlu kita sadari, toleransi itu tidak boleh bertepuk sebelah tangan. Misalnya, yang moderat minta yang keras toleran, tapi kadang-kadang yang moderat ini secara tidak sadar tidak toleran. Misalnya begini, orang-orang di Indonesia yang merasa dirinya bagian dari barisan new atheisme seperti Richard Dawkins itu juga sangat merendahkan orang-orang beragama. Saya pernah diundang dalam suatu diskusi, saya ini orang yang jarang meledak, tapi waktu itu saya meledak karena orang-orang yang mengaku dirinya ateis ini sangat memperolok-olok agama dan orang-orang beragama. Saya bukan tersinggung karena saya ini orang beragama diolok-olok. Saya sampai bilang sama mereka, “Kamu kalau mau bersaing sama saya boleh, apa aja coba? Urusan duit, saya punya lebih banyak duit dari kamu. Pinter-pinteran, saya sekolah di Harvard, kamu sekolah di mana? Saya dosen di Amerika, kamu pernah jadi dosen di mana?” Karena saya ini sudah tidak tahan sama orang-orang yang suka mengolok-olok agama itu. Jangan mengolok-olok agama karena kalau mengolok-olok agama dan pengikutnya, habis. Orang beragama kita suruh moderat mana bisa? Kita disuruh toleran, tapi mereka sendiri sombong-sombong dan tukang mengolok-olok. Jadi toleransi ini harus, yang keras toleran sama yang moderat, yang moderat juga tidak meremehkan, merendahkan, dan mengejek.
Nah sekarang di negeri kita ada sekelompok kecil orang, dan saya tidak keberatan lho, orang mau ateis tidak apa-apa. Bahkan saya punya tulisan tapi memakai nama samaran, judulnya “Orang Ateis Yang Tulus Akan Masuk Surga”. Tulus itu artinya apa? Dia memang merasa Tuhan itu tidak ada, dan dia setia dengan keyakinannya terus berbuat baik kepada manusia yang susah. Menurut saya itu masuk surga ketimbang orang beragama tapi sombong. Jadi toleransi saya ini bukan hanya antar agama, bahkan terhadap orang ateis. Tapi kalau ada orang sok ateis menjelek-jelekkan orang beragama, ini bikin kacau. Sama merusaknya seperti orang-orang beragama yang keras-keras itu. Jadi menurut saya ini penting untuk ditekankan kepada orang-orang ini.
Orang toleran itu gampang kok. Belajarlah segala hal sebanyak-banyaknya. Orang tidak toleran itu biasanya wawasannya sempit. Mungkin ilmunya banyak tapi pada bidang yang sempit. Orang Islam hanya belajar Islam mazhab tertentu dari pemikir tertentu. Meskipun sekolahnya di Saudi atau di Mesir, tapi dia tidak mau belajar yang lain. Jadi tidak toleran. Orang yang mengaku new atheist kemudian tidak mau belajar agama, cuma melihat agama dari social media, menyimpulkan bahwa agama itu seperti itu. Orang seperti ini akan jadi tidak toleran.
Resep untuk menjadi toleran itu gampang sekali, buka mata dan telinga kita terhadap berbagai aliran pemikiran yang ada di dunia. Dari mulai Islam atau agama yang paling keras sampai ateisme. Buka kuping dan mata kita, baru nanti bisa toleran. Kemudian, secara sosiologis, dia punya budi pekerti yang luhur. Jangan sombong, jangan meremehkan orang, jangan menganggap yang bisa mikir cuma kita sendiri. Jadi resepnya dua, bisa salah satu tapi lebih bagus kalau dua-duanya. Pertama, buka mata dan telinga untuk pemikiran jenis apapun, kedua, jaga akhlak atau budi pekerti dalam berinteraksi dengan orang lain. Jangan merendahkan, jangan merasa pintar sendiri, jangan menghina orang, jangan rasis. Kalau dua resep itu diterapkan, bisa ada toleransi.
Pada tulisan Anda di tahun 2008 yang juga merupakan renungan perayaan ke-25 Mizan, Anda menuliskan betapa sulitnya berada di tengah, di antara sisi fundamentalisme dan liberalisme. Satu dekade kemudian, apakah Anda masih merasa di posisi yang sama?
Masih, karena menurut saya untuk menjadi intelektual itu mesti di tengah. Islam yang saya pelajari itu posisinya di tengah. Jadi disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Kami jadikan kalian itu umat yang di tengah.” Jadi saya akan berusaha dan tentu saya ini bukan sendirian, banyak orang lain, berusaha ada di tengah. Jadi di satu sisi setia kepada ajaran agama, tapi di sisi lain terbuka dan percaya bahwa kebenaran itu ada di mana-mana.
Slogannya Mizan itu kalau tidak salah “exploring the universe of wisdom.” Dasarnya itu dari hadits nabi. Kebijaksanaan itu barang hilangnya orang beriman. Jadi kamu ketemu di manapun, mungut, ketemu di Kristen, mungut, ketemu orang Hindu, mungut, itu kita punya slogan. Di sisi lain, kita percaya pada ajaran agama Islam tapi kita tahu bahwa Islam mengajarkan kalau kebijaksanaan ada di mana-mana. Orang baik ada di mana-mana, bukan hanya di kalangan orang Islam. Orang jahat juga ada di mana-mana, termasuk di dalam kelompok orang yang disebut sebagai umat Islam itu. Jadi kita tidak berubah soal itu.
Resep untuk menjadi toleran itu gampang sekali, buka mata dan telinga kita terhadap berbagai aliran pemikiran yang ada di dunia.
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan konservatisme Islam di Indonesia. Apakah Anda juga melihat kecenderungan ini?
Kita pernah menerbitkan buku judulnya “Conservative Turn” yang kita terjemahkan dari kumpulan tulisan. Buku ini bicara tentang itu. Jadi kecenderungan itu ada, tapi menurut saya dalam segi jumlah masih lebih banyak yang moderat. Menurut saya, kecenderungan psikologis orang Indonesia itu moderat, jadi yang ekstrim-ekstrim itu numpang.
Ekstrimisme ini mendapatkan penguatan karena beberapa hal, satu, politisi-politisi brengsek yang suka memanfaatkan orang-orang keras untuk memperluas dukungannya dan karena sebagian orang-orang keras yang memakai premanisme ini disuruh mendukung mereka.
Psikologi orang Indonesia menurut saya itu psikologi beragama secara moderat. Tapi karena ada politisi oportunistik yang manas-manasin, kemudian ada sumbangan-sumbangan dari Saudi atau Timur Tengah yang menciptakan kelompok-kelompok seperti ini, terus juga masalah merasa diri menjadi korban seperti situasi Palestina ditindas, Irak dan Libya diserbu, Iran dimusuhi, perasaan-perasaan itu juga menjadi “Oh memang menghadapi orang-orang begini harus keras.” Jadi ada banyak faktor: ada psikologis, sosiologis, dan politis. When it comes to religious factor, sebetulnya orang Indonesia moderat. Kalau semua faktor non-religius ini dihilangkan, mungkin orang Indonesia mayoritas moderat.
Akhir-akhir ini tengah muncul tren untuk mengadopsi paham fundamentalis, atau biasa disebut fenomena hijrah, yang nampaknya cenderung terjebak pada simbol-simbol saja. Apa kritik Anda terhadap fenomena ini?
Buat saya, hijrah itu sesuatu yang awalnya bagus. Secara umum, makna dari hijrah itu berpindah dari satu lingkungan yang buruk kepada lingkungan yang baik. Itu bagus sekali. Kalau kita berada di lingkungan yang kurang bagus, ya kita sebaiknya pindah. Tapi semua itu karena niat kalau kata nabi. Sekarang persoalannya, orang-orang yang hijrah ini niatnya apa? Hijrah itu kan menjadi lebih baik, tapi kalau ternyata setelah pindah kelompok terus menganggap kelompok lamanya buruk, Islamnya lemah dan munafik, itu menurut saya bukan pindah dari keburukan ke kebaikan. Pindah dari keburukan kepada keburukan yang lain. Topengnya saja kelihatan bagus, tapi isinya tetap keburukan. Jadi tergantung itu saja.
Sekarang persoalannya, orang-orang yang hijrah ini niatnya apa?
Hijrah itu bagus, dianjurkan oleh agama, tapi harus dari suatu yang buruk kepada yang baik. Jangan dari sesuatu yang buruk kepada sesuatu yang topengnya baik tapi isinya sama buruknya, yang merendahkan dan merasa diri paling suci. Padahal Al-Qur’an mengatakan, “Jangan pernah menganggap dirinya suci, karena Tuhanlah yang tahu siapa di antara orang-orang ini yang bertakwa.” Ya sebagian orang ini hijrah terus merasa, “Saya lebih suci dari mereka. Saya lebih bertakwa dari mereka.” Itu melanggar ajaran Al-Qur’an yang katanya mereka mau hijrah ke situ.
Saya kira itu ada yang sifatnya sosiologis, ada yang sifatnya psikologis. Misalnya begini, dalam berbagai studi—saya ini tidak menyudutkan orang ya, saya sedang menganalisa dan ini bukan satu-satunya kemungkinan—di antara penyebab hijrah ke agama dengan sifat yang keras itu adalah orang-orang yang memiliki problem psikologis pribadi seperti kesepian, marginalized, tidak mendapatkan perhatian dan penghormatan selayaknya dari masyarakat. Saya tidak bilang satu-satunya ya, antara lain itu juga yang menjadikan sasaran empuk dari kelompok-kelompok keras itu. Ada memang persoalan seperti itu.
Makanya kalau tidak mau jumlah orang yang keras semakin banyak, jangan biarkan anggota masyarakat Indonesia marginalized secara sosial-ekonomi. Miskin, kemudian ditinggalkan, tidak diurus, itu bisa menjadi sarang semakin kuatnya kelompok-kelompok seperti ini. Meskipun saya tidak mengatakan semua orang ini seperti itu, ini salah satu sumbernya.
Lalu bagaimana Anda melihat perkembangan anak muda sekarang ini? Apakah Anda optimis bahwa mereka akan membuat Indonesia lebih terbuka dan open-minded?
Saya masih sangat optimis umumnya anak muda Indonesia itu terbuka, toleran, moderat dalam hal keberagaman serta kreatif. Di sisi lain, saya tidak percaya bahwa Indonesia ini akan dikuasai oleh orang-orang keras selama kita bisa menjaga perdamaian. Yang saya khawatirkan itu malah bukan itu, sekarang ini kalau dilihat, sejak 5-10 tahun lalu, kelompok keras ini menguat tanpa saingan dari kelompok moderat. Tapi sejak 5 tahunan yang lalu, kelompok moderat sudah bangkit dan mereka menurut saya sudah sangat tersaingi. Jadi selama kita masih bisa menjaga kedamaian ini, menurut saya Indonesia masih bisa dipelihara. Mayoritas warganya moderat.
Kalau sampai terjadi konflik terus kekuatan-kekuatan asing masuk, itu bahaya. Untunglah sekarang Saudi lagi kesusahan finansial, negara-negara Timur Tengah lagi susah, karena itu faktor yang menyebabkan kelompok keras itu. Seringkali dulu tiba-tiba ada seminar tentang Islam keras. Itu waktu pemasukan duitnya kencang. Nanti tiba-tiba hilang, itu berarti duitnya berhenti. Saya bukan bilang bahwa orang-orang ini mata duitan, tapi kan membuat kegiatan seperti ini butuh modal. Tapi sekarang Saudi sudah kesusahan, juga negeri-negeri lain seperti Qatar yang juga penyumbang besar. Mungkin juga kekuatannya tidak lagi seperti dulu. Ditambah lagi dengan kelompok moderat yang kini menggeliat.
Cuma, di Indonesia ini masih ada banyak politisi-politisi brengsek yang niatnya buruk dan bodoh. Kalau mau terus terang itu begitu. Wawasannya sempit, niatnya sempit, cuma menguntungkan diri sendiri, terus menggunakan dengan memberikan kelompok keras ini angin. Ada yang model begitu. Pemerintah pun kadang-kadang tidak paham betul psikologi dan sosiologinya kelompok keras ini sehingga tindakannya suka keliru-keliru. Saya sampai sekarang mempersoalkan kenapa HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dibubarkan. Jelas saya bukan simpatisan HTI, saya sama sekali tidak sejalan dengan pandangannya HTI, tapi kenapa kok dibubarkan? Sebagai background information, itu karena kadang-kadang, Presiden dan pemerintah mau menarik dukungan dari NU (Nahdlatul ‘Ulama). NU tidak suka dengan HTI, makanya dibubarkan. Dan menurut saya, kelompok seperti HTI mau mengubah dasar negara Pancasila, kalau dia tidak menggunakan kekerasan, tidak melanggar undang-undang, menurut saya seharusnya boleh saja. Kenapa tidak boleh? Memang Pancasila itu wahyu? Saya tidak setuju dengan HTI, tapi kalau ada orang berusaha secara damai memperjuangkan dasar negara yang berbeda, terus dia memang diterima oleh rakyat kenapa kok tidak boleh?
Di Indonesia ini masih ada banyak politisi-politisi brengsek yang niatnya buruk dan bodoh.
Sekali lagi saya ulangi, saya tidak setuju dengan HTI. Menurut saya ide khilafah itu sudah ide basi, tapi membubarkan ini belum tentu sesuatu yang baik. Jadi pemerintah ini sudah dalam keadaan bingung dan tidak mengerti. Orang-orang di sekitar mereka tidak paham gerakan-gerakan mereka ini. Siapa yang harusnya berbahaya, dan lain sebagainya. Karena mereka tidak mengerti, maka terjadilah problem.
Sebenarnya akhir-akhir ini yang sedang dibicarakan anak muda di media sosial kan juga soal mundurnya demokrasi di Indonesia, seperti kebebasan dalam mengkritik pemerintah. Bagaimana pandangan Anda soal hal ini, dan apa saran agar anak muda bisa membuat pergerakan?
Saya percaya perlunya strong government. Tapi strong dalam artian karena menegakkan undang-undang. Jadi dia berhasil merumuskan undang-undang yang baik dan kemudian tegas memperlakukan undang-undang tersebut. Bukannya undang-undangnya kendor atau law enforcement-nya kendor, terus diperlakukan secara acak. Jadi saya tidak percaya pada demokrasi tanpa strong government. Kalau kita melihat di Eropa dan Amerika Serikat, demokrasinya jalan tapi pemerintahnya kuat. Mau menggulingkan pemerintah di sana hampir mustahil, tapi undang-undangnya jelas, semua bergerak dengan undang-undang dan law enforcement yang kuat. Jadi pemerintah kita menurut saya perlu kuat. Demokrasi tidak boleh dipertentangkan dengan kekuatan pemerintah. Justru, semakin negara menjunjung demokrasi, pemerintah harus semakin kuat. Tapi kekuatannya pun bukan karena militer, kuatnya karena punya undang-undang yang bagus dan diterapkan dengan tegas. Itu yang nomor satu.
Kedua, soal anak-anak muda. Memang problem sekarang ini kan pemerintah kita yang tidak kuat. Akibatnya, meskipun kita percaya harusnya kritik itu dibuka seluas-luasnya, kadang-kadang saya ngeri juga. Kalau pemerintahnya kuat, itu kritik di masyarakat harus dibuka betul krannya seluas-luasnya. Sekarang ini problem-nya adalah pemerintah yang tidak kuat, kadang-kadang keliru, KPK diperlemah, Omnibus Law yang katanya banyak yang main di dalamnya – masuk vested interest banyak kelompok -, kemudian terakhir ini tentang UU Haluan Ideologi Pancasila. Ada lagi setelah KPK, waktu itu ada BPIP Pancasila yang dibuat oleh Yudi Latif, tahu-tahu masuk Megawati dan lain-lain sehingga Yudi Latif mundur, akhirnya tidak jalan. Jadi mengacak menurut saya. Jokowi ini niatnya baik, “Kerja, Kerja, Kerja,” tapi belakangan terlalu self-confident, akhirnya ngaco dan mengecewakan. Meskipun kalau Pemilu diulang, saya tetap tidak memilih Prabowo.
Kemarin yang sempat ramai juga soal penangkapan paksa para aktivis-aktivis. Menurut Anda memang yang paling penting dalam demokrasi itu pemerintahan yang kuat ya?
Itu kerja militer. Iya, strong government yang bekerja dengan hukum. Sekarang ini menurut saya, kadang-kadang polisi dan militer berada di luar jangkauan Jokowi juga kelihatannya.
Jadi Anda sekarang optimis melihat anak muda sekarang?
Sangat optimis. Saya dulu malah pernah berpikiran yang bukan seperti saya aslinya, yaitu potong satu generasi orang tua. Jadi kalau selama ini yang memimpin itu umurnya 50-70 tahun, potong saja, jadi yang memimpin di bawah 50 tahun semua. Mungkin akan mengobati. Tapi juga jangan terlalu muda. Jokowi ini kadang-kadang terlalu polos. Berbicara soal start-up dan unicorn, anak umur 20-sekian tahun, belum punya pengalaman, lalu diangkat.
Saya tidak kenal Nadiem Makarim, saya yakin orangnya baik dan pintar, saya tidak punya keraguan dalam dua hal itu, tapi apakah dia bisa jadi Menteri Pendidikan? Saya bertanya-tanya. Untuk melawan birokrasi, dia tidak bakal sanggup. Saya di bidang pendidikan sudah puluhan tahun, sudah tahu kekuatan birokrasi di Dikbud.
Jokowi ini kadang polos, dia menganggap orang pintar yang bisa bikin start-up pasti bisa menjadi menteri. Kita doakan kalau dia dapat dukungan dari orang-orang yang bagus, mudah-mudahan bisa sukses. Kita sendiri belum bisa menilai Nadiem Makarim karena belum apa-apa, terus ada COVID-19. Tapi saya sangat khawatir. Anak-anak muda itu penting, tapi ditaruh di posisi yang betul.
Jadi untuk umur yang terlalu tua saya tidak setuju, makanya lebih baik potong satu generasi. Tapi anak-anak terlalu muda yang ditaruh di posisi-posisi yang butuh pengalaman, ya keliru juga. Jadi masukkan anak muda berumur di bawah 30 dan 50 tahun, tapi di posisi yang cocok. Itu saya setuju.
Kondisi pandemi ini secara langsung sudah mengubah cara kita melakukan segala hal. Bagaimana Anda melihat dampak pandemi ini dalam aspek keagamaan dan apa peran agama dalam situasi seperti ini?
Saya menulis buku kecil yang saya bagikan gratis, kemarin didiskusikan di Litbang Departemen Agama. Menurut saya pandemi ini akan ada dampak yang cukup signifikan tapi dampaknya lebih berupa modal, bukan magically changes everything in no time. Jadi saya percaya dia akan meninggalkan residu yang menyebabkan ada sekelompok orang yang menyadari kekurangan-kekurangan dalam peradaban kita sebelum ini. Tapi saya kira mayoritas masyarakat mungkin masih akan terseret ke dalam old normal, karena yang bekerja di old normal ini kan hegemoni politik-ekonomi. Bahwa para pemegang hegemoni politik-ekonomi pasti tidak mau hilang kedudukan hegemoninya. Nah itu hegemoni bisnis, perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika Serikat dan Cina kan tetap ingin menancapkan pengaruh, sama pula halnya dengan penguasa politik dunia. Jadi mereka tidak mau kita masuk new normal yang di dalamnya mereka tidak lagi relevan dan kehilangan hegemoninya. Pandemi ini membawa perubahan, tapi akan ada perlawanan dari pemegang hegemoni. Saya berharap ada sekelompok orang di seluruh dunia yang keluar menjadi lebih baik karena pandemi ini dan kemudian menjadi kekuatan yang pelan-pelan bisa memperbaiki hal-hal yang tampak buruk setelah adanya pandemi ini.
Kalau dalam hal agama, saya punya tulisan yang bisa saya kirim. Ada satu tulisan judulnya, “Wabah Corona, Jembatan Menuju Peradaban Baru“, tapi approach-nya memang dari sudut pandang agama. Ada juga tulisan tentang “Agama dan Sains di Era Pandemi”, saya punya pointers yang menjelaskan pengaruh pandemi ini terhadap pandangan agama terhadap sains.
Masih ada orang yang akan bertahan (di old normal) karena mereka akan merasa dirugikan kalau kita pindah ke peradaban baru yang mungkin lebih baik. Karena sebagian pemegang hegemoni politik-ekonomi ini kan memanfaatkan keserakahan, kebodohan, segala macam itu. Kalau hal-hal itu ilang, mereka akan rugi. Hegemoninya lepas.
Apakah Anda memiliki rencana tertentu atau hal-hal yang menjadi fokus di masa depan?
Saya ini sebetulnya sudah punya beberapa gerakan. Pertama, selain Mizan, saya terlibat di dalam – yang mendirikan awalnya istri saya -, jaringan sekolah Lazuardi. Ada belasan di berbagai tempat di seluruh Indonesia: di paling Timur ada Banyuwangi, Makassar dan Kendari. Itu bergeraknya di bidang pendidikan dasar dan menengah dan kita sedang menyiapkan universitas tapi online. Kemudian, saya mendirikan Gerakan Islam Cinta.
Alhamdulillah awareness orang sudah cukup luas. Yang namanya ‘Islam Cinta’ ya mesti damai, toleran, terbuka, menghormati orang lain, mengapresiasi ajaran agama lain dan sebagainya. Kemudian saya ini juga member dari board internasional sebuah organisasi namanya “Compassionate Action International”, dan saya juga mendirikan di sini “Aksi Welas Asih Indonesia”. Kalau Gerakan Islam Cinta itu bergeraknya di grassroots, khususnya anak muda, “Compassionate Action” ini bergerak dari pemerintah daerah, membuat kota dan pendidikan berbasis welas asih. Kemudian, saya punya yayasan filantropi yang bergerak di bidang pendidikan kaum duafa. Terakhir, saya mendirikan pesantren tasawuf virtual Nur al-Wala yang membahas soal ajaran-ajaran Islam Sufistik yang menjadi dasar dari Islam Cinta, Aksi Welas Asih, organisasi filantropi, serta arah pendidikan yang kami kembangkan. Itu digodognya di dalam pesantren tasawuf virtual itu.
Kalau saya ditanya (tentang rencana personal), inginnya satu, memperbaiki diri terus menerus karena orang ini tidak boleh berhenti memperbaiki diri sampai dia mati masuk kubur. Walaupun tua dan punya banyak pengetahuan, lulus dari Harvard, itu tidak menjamin kita jadi orang yang baik. Jadi saya konsentrasi memperbaiki terus, tidak pernah berhenti untuk memperbaiki diri sampai mati. Kedua, mengembangkan organisasi-organisasi yang merupakan pilar-pilar dari apa yang hendak saya capai di dalam hidup saya ini sehingga menjadi lebih baik, kuat, besar, dan lebih bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Sisanya, saya ingin jalan-jalan, tapi gara-gara COVID-19 jadi tidak bisa jalan-jalan.
Pesan-pesan terakhir untuk anak muda di industri kreatif?
Anak muda itu jangan percaya kalau orang tua bilang, “Anak muda sekarang malas, semaunya sendiri, pindah-pindah kerjaan.” Jangan kecil hati. Didengarkan kalau ada yang baik, lalu diterima. Anggap ini orang tua tidak mengerti, terjebak sama masa lampaunya, senyum-senyum saja. Yang jelas, saya sangat percaya pada kreativitas dan idealisme anak-anak muda Indonesia. Sangat mengagumkan buat saya.
Tapi juga di sisi lain, jangan terjebak. Jadi saya bilang, kalau ada orang tua ngomong mereka malas, ini-itu, didengarkan saja, yang baik diterima, sisanya disenyumin aja, tapi juga jangan menutup kuping. “Ah ini orang ketinggalan zaman, saya sudah tahu semuanya.” Kalau gitu nanti tidak akan jadi lebih baik. Di satu sisi, jangan berkecil hati, tapi di sisi lain, jangan merasa diri sudah mencapai semuanya, tahu semuanya, karena nanti tidak tambah pintar. Anak-anak Indonesia ini kreatif, punya idealisme, mau bekerja keras, tapi pada saat yang sama, jangan pernah berhenti belajar. Jadi buka mata, buka telinga, belajar terus, kerja terus, pelihara idealisme dan kreativitas. Saya yakin masa depan Indonesia cerah, Insya Allah.