Agama di Tengah Pandemi dan Tentang Menyebarkan Kebaikan bersama Alissa Wahid
Kami berbincang dengan putri sulung Gus Dur tentang peran agama dalam penegakkan demokrasi di Indonesia hingga bagaimana berpuasa yang minim ritual dan tradisi di tengah pandemi
Words by Hana A. Devarianti
Sulit rasanya memisahkan Alissa Wahid dari figur ayahnya, Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur. Sebagai anak pertama dari tokoh sosial politik serta tokoh Islam yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia tersebut, Alissa melihat langsung sepak terjang ayahnya dalam menegakkan demokrasi, toleransi, kemanusiaan dan keadilan di Indonesia. Perempuan dengan nama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid ini juga menjadi motor dalam Jaringan Gusdurian Indonesia, sebuah jaringan yang memelihara keteladanan Gus Dur dan mewadahi aktivis yang berada di grass roots. Kini, Alissa telah meneruskan langkah ayahnya sebagai penggerak di sektor sosial Indonesia terutama dalam hal multikulturalisme, demokrasi dan hak asasi manusia dan gerakan Islam moderat. Pada kesempatan kali ini, bersama Alissa, kami membahas tentang seluk-beluk Islam dan kehidupan beragama di Indonesia serta peran dan posisinya dalam masyarakat kita. Tentang bagaimana agama membangun masyarakat sipil yang kuat hingga makna menjadi seorang umat beragama di tengah kondisi pandemi.
Sebagai anak dari sulung dari Gus Dur, tokoh sosial politik serta tokoh Islam yang besar di Indonesia, bagaimana sosok beliau memengaruhi Anda saat ini?
Tentu berpengaruh besar ya, karena saya melihat sepak terjang beliau secara langsung. Jadi, saya paham sekali apa yang melatarbelakangi tindakan-tindakan beliau. Tapi, sebetulnya pengaruh beliau benar-benar terasa justru setelah beliau wafat. Memang setelah beliau wafat banyak sekali kelompok minoritas yang waktu itu datang ke tempat kami dan mereka menanyakan hal yang sama, “Sekarang kalau kami ada apa-apa, kami bisa datang ke siapa?”. Itu benar-benar sebuah pertanyaan yang menohok sekali buat saya, bahwa ternyata peran Gus Dur itu real banget. Bukan hanya wacana, bukan hanya gagasan, tapi beliau benar-benar menjadi tempat sambat (Jawa: mengeluh) dan berlindung.
Lalu, suatu hari di tahun 2010, beberapa bulan setelah Gus Dur wafat, saya sedang santai-santai di coffee shop waktu itu di Yogyakarta. Tahu-tahu saya mendapat kabar bahwa kampung Ahmadiyah di Manislor, Kuningan diserang lewat pelemparan batu. Lalu, saya langsung kontak teman-teman Gusdurian yang memang ada di sekitaran Kuningan dan mereka bisa sampai ke lokasi. Saya juga kontak orang Ahmadiyah yang ada di dalam kampung tersebut. Proses itu berlangsung sampai sore, dan saat sore hari itu Mubaligh Ahmadiyah menangis dan mengatakan, “Kalau, seperti ini saya itu sedih Gus Dur sudah tidak ada. Saya yakin kalau ada Gus Dur, pasti wartawan-wartawan sudah dikumpulkan untuk meramaikan (memberitakan hal ini). Besok pagi mungkin beliau sudah di depan gerbang untuk membela kami.” Pada saat itu saya tersadar kalau Gus Dur itu sumber rasa aman bagi banyak orang. Itulah titik saya mengambil keputusan untuk merawat apa yang dulu diperjuangkan oleh Gus Dur.
Karena dekat dengan akar rumput, kami sangat terekspos dengan kondisi di akar rumput.
Apakah hal itu juga yang mendorong Anda mendirikan Jaringan Gusdurian Indonesia?
Iya, karena Gus Dur kan figur yang berpengaruh sangat besar. Sementara, saya sebetulnya bukan orang yang awalnya berkecimpung di urusan publik. Sebelumnya, saya adalah seorang psikolog keluarga yang sibuk dengan kegiatan profesional: mengelola pendidikan anak usia dini, mengurus rumah dan manajemen keluarga besar di rumah kami dan pesantren di Ciganjur. Jadi, saya sadar betul bahwa pengaruh saya tidak sebesar Gus Dur. Lantas, harus bagaimana? Saya kemudian menerapkan filosofi sapu lidi. Ibaratnya, Gus Dur itu seperti kayu jati–besar, kuat, keras. Sementara, para murid-murid Gus Dur ini adalah sapu lidi. Jaringan Gusdurian ini adalah sapu lidi tersebut. Satu orang Gusdurian, murid dan mereka yang meneladani Gus Dur, adalah satu lidi tersebut. Seorang Gusdurian memang bisa dipatahkan kalau dia bergerak sendirian, tapi kalau dia berhimpun dengan “lidi” yang lain untuk menjadi satu “sapu lidi” yang besar dan diikat oleh inspirasi dan keteladanan Gus Dur, maka “sapu lidi” ini menjadi susah dipatahkan. Kan kita sulit mematahkan sapu lidi. Jadi, agar nilai, pemikiran, dan prinsip nilai Gus Dur tetap dapat terus hidup, kami menggunakan filosofi tersebut.
Jaringan Gusdurian Indonesia ini sebenarnya jaringan kerja, sebuah arena, yang ingin mengambil inspirasi dari Gus Dur dan ingin meneruskan apa yang diperjuangan oleh Gus Dur: kemanusiaan, keadilan serta kesetaraan. Ini adalah jaringan terbuka, tidak ada keanggotaan khusus apalagi menyumbang. Yang paling penting adalah melalui jaringan ini, kita bisa bekerja bersama-sama dalam wadah Jaringan Gusdurian Indonesia ini. Saat ini kita memiliki komunitas di 130 kota, dari Sabang sampai Merauke dan ada juga yang di luar negeri seperti Kuala Lumpur, Thailand, Jeddah, Teheran, juga ada teman-teman studi di UK. Alhamdulillah, ini diluar perkiraan kami juga sebenarnya, untuk sebuah komunitas yang baru dibangun pada tahun 2011. Tapi, yang menarik adalah karena kita bukan sebuah jaringan top down, sehingga memang dalam pembentukannya harus berangkat dari lokal daerah tersebut. Saya juga tidak bisa memilih orang-orangnya siapa saja sebenarnya. Jadi memang tidak terbatas.
Lalu, untuk program-program yang ada di Jaringan Gusdurian Indonesia ini intinya adalah mewujudkan kemanusiaan dan keadilan. Itu adalah inti isu yang kami tekuni. Nah, kemudian dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara itu ada beberapa hal. Satu, demokrasi. Jadi, teman-teman Gusdurian yang ingin membangun keadilan sosial, wadahnya adalah dengan memperkuat demokrasi di Indonesia yang termasuk di dalamnya adalah hak asasi manusia (HAM). Misalnya, dalam konteks petani versus perusahaan tambang, para Gusdurian bisa terlibat di sana. Selain itu, dalam konteks multikulturalisme dan terutama lintas iman juga kita rawat karena bagaimanapun Gus Dur adalah motor gerakan lintas iman di Indonesia. Dalam multikulturalisme ini, mungkin Gusdurian ini adalah salah satu yang paling aktif. Jadi, misalnya, kunjungan antar kelompok beragama kemudian kerjasama antar kelompok beragama banyak sekali dilakukan Gusdurian di berbagai tempat. Hampir semua komunitas Gusdurian punya program lintas iman. Walaupun, ada beberapa daerah yang sebenarnya mungkin hal ini tidak terlalu terlihat. Contohnya, Gusdurian Sumenep di mana 99% dari masyarakat Sumenep itu beragama Islam jadi mungkin tidak terlalu terlihat program lintas imannya. Tapi, kelompok minoritas di daerah tersebut dekat dan menjadi bagian dari Gusdurian Sumenep. Yang terakhir, dalam hal kemanusiaan, programnya bisa berbagai bentuk. Dalam konteks sekarang di tengah COVID-19, kami punya sayap namanya Gusdurian Peduli dengan posko di 72 kota. Kalau yang lalu-lalu, bencana itu kejadiannya hanya di kota tertentu dan kota-kota yang lain bisa menyumbang. Kalau sekarang ini kan dampaknya terkena ke semua orang. Jadi, semua Gusdurian akhirnya membuka posko.
Gusdurian dari dulu memang punya program kemanusiaan. Waktu terjadi bencana di Palu dan Lombok atau saat ada pengungsi Rohingya di Aceh, kami juga mengirimkan bantuan. Kami juga sering sekali diminta tolong oleh influencer yang sedang mengumpulkan dana untuk sebuah kejadian tertentu, tapi tidak tahu bagaimana menyalurkannya. Contohnya, tahun lalu saat ada banyak petugas pemilu yang meninggal, banyak orang yang mengumpulkan dana lewat platform online, tapi kemudian setelah itu bingung (menyalurkannya) karena keluarga korban menyebar di seluruh indonesia. Nah, itu kemudian meminta tolong ke Gusdurian untuk mengantarkan dan menyampaikan sumbangan atau santunan tersebut.
Untuk COVID-19 ini, kamu fokus ke pembagian sembako ke rakyat karena memang Gusdurian ini sangat dekat dengan akar rumput. Karena dekat dengan akar rumput, kami sangat terekspos dengan kondisi di akar rumput.
Seperti yang Anda katakan, Jaringan Gusdurian Indonesia dekat dengan akar rumput dan bahkan mewadahi aktivis yang ada di akar rumput. Pada profil media sosial jaringan, dikatakan bahwa jaringan ini tidak berpolitik praktis. Apa yang melatarbelakangi keputusan tersebut?
Gus Dur itu adalah figur yang sepak terjangnya dari ujung ke ujung. Beliau tokoh agama, tokoh HAM, tokoh gerakan masyarakat sipil, negarawan, dan beliau juga berpolitik praktis. Ketika di awal kami memikirkan cara merawat perjuangan Gus Dur, muncul pertanyaan: mana yang mau kita rawat? Kami, anak-anak beliau, sepakat untuk merawat semuanya. Tapi, kami memahami bahwa hal itu adalah sesuatu yang berat karena cara berpikir dan kerja di politik praktis itu berbeda dengan yang non-politik praktis. Jadi, akhirnya kami membagi dua, yang politik praktis dipegang oleh Yenny dan yang non-politik praktis dipegang oleh anak-anak beliau yang lain: saya, Anita, dan Inaya.
Yang kami pegang adalah salah satu perspektif dari Gus Dur bahwa masyarakat sipil yang kuat akan membuat negara bekerja dengan lebih baik. Kenapa? Karena ada check and balance.
Khusus untuk Jaringan Gusdurian Indonesia, karena kami ingin gerakan ini menjadi gerakan masyarakat sipil yang murni, kami memutuskan hal-hal politik praktis harus dibuang dalam pergerakan jaringan. Kebayang tidak, kalau misal ada pilkada di sebuah kota dan Gusduriannya boleh berpolitik praktis, maka bisa saja calon-calon yang ada approaching Gusdurian untuk meminta dukungan. Sementara Gusdurian di kota lain, bisa saja mendukung calon yang tergabung dari partai yang berseteru dengan kota sebelumnya. Hal-hal seperti itu yang membuat jaringan menjadi rumit. Kami tidak ingin terjebak dalam politik kekuasaan karena kami posisinya berada bersama rakyat. Istilahnya, ini jaringan dari rakyat dan untuk rakyat. Karena, yang kami pegang adalah salah satu perspektif dari Gus Dur bahwa masyarakat sipil yang kuat akan membuat negara bekerja dengan lebih baik. Kenapa? Karena ada check and balance.
Melalui Jaringan Gusdurian Indonesia, Anda secara langsung melihat pergerakan aktivisme di akar rumput. Menurut Anda, seperti apa pergerakan aktivisme di Indonesia saat ini, terutama di kalangan anak muda?
Jadi, saya melihat ada dua fenomena yang menarik. Tapi, kalau kita membacanya dengan kurva gaussian atau kurva normal, fenomena ini jadi mudah untuk dilihat. Pertama, ada kelompok anak muda yang sangat cuek dengan urusan politis. Mereka benar-benar fokus dengan anggapan bahwa dunia memang sudah seperti ini, jadi mereka memikirkan karier. Toh akhirnya mereka beranggapan akan menyumbang ke institusi atau organisasi tertentu kok, sehingga masih terlibat dalam kegiatan sosial. Namun, karier tetap yang menjadi utama dan yang paling menggoda mungkin digital world, jadi mereka berpikir ke arah sama. Itu konsekuensi logis dari sistem pendidikan kita yang memang mendorong orang untuk menjadi pekerja dan nalar kritis yang tidak terlalu dilatih. Jadi, akhirnya banyak nih anak-anak muda yang cuek dan apatis. Banyak yang merasa bahwa apa yang bisa diharapkan dari negara dan tatanan supra, jadi buat apa bergerak ke arah sana. Yang mereka pegang akhirnya adalah bagaimana mencari kehidupan yang baik untuk diri mereka dan keluarganya. Itu memang ada yang seperti itu. Yang kedua, ada orang-orang yang concern dengan lingkungan tapi mereka juga tidak mau memilih jalur pendampingan rakyat. Jadi, mereka melakukannya melalui kantong-kantong karir mereka. Mereka tidak apatis, tapi juga tidak mau bekerja di ruang aktivisme.
Nah, kemudian, ada kelompok-kelompok anak muda, yang ternyata jumlahnya cukup besar, yang secara all out mereka mencari sendiri informasi dan bergerak sendiri. Sebetulnya kasus demo Reformasi Dikorupsi tahun lalu di DPR, itu kan banyak sekali anak mudanya dan mereka mengorganisir diri dengan baik. Anak muda yang seperti itu juga ada dan jumlahnya cukup besar. Saya diceritakan oleh Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), ada teman-teman muda yang mereka benar-benar mencari data soal Munir: seperti apa, penyidikannya bagaimana, pelanggaran HAMnya seperti apa. Mereka mencari informasi sendiri, bekerja sendiri, bergerak sendiri, tanpa melibatkan aktivis-aktivis senior atau organisasi-organisasi yang sudah mapan.
Yang saya lihat juga menonjol sebetulnya adalah sense of justice itu menguat pada anak muda. Kecenderungan untuk reaktif terhadap ketidakadilan itu juga tinggi.
Jadi, menurut saya, sebetulnya pergerakan aktivisme anak muda itu spektrumnya luas dan ada banyak yang niche seperti itu. Sehingga, kita tidak bisa langsung mengatakan kalau anak muda itu tidak tertarik dengan aktivisme karena ternyata ada anak muda yang benar-benar melakukannya. Yang saya lihat juga menonjol sebetulnya adalah sense of justice itu menguat pada anak muda. Kecenderungan untuk reaktif terhadap ketidakadilan itu juga tinggi. Ini adalah fenomena yang menarik banget.
Saat ini gerakan aktivisme anak muda banyak bernaung di media sosial, terutama Twitter. Beberapa aktivis senior, seperti Anda, juga kini aktif di media sosial. Apakah media sosial saat ini menjadi ruang yang tepat dalam gerakan aktivisme? Karena dalam beberapa kasus, media sosial dapat menghilangkan makna dari gerakan itu sendiri?
Betul, memang itu juga dapat terjadi. Kita harus melihatnya dalam beberapa dimensi, tidak bisa dalam satu dimensi saja. Saya melihat bahwa Indonesia adalah salah satu contoh baik dalam aktivisme di media sosial. Kenapa? Karena ada banyak kasus-kasus yang dipengaruhi oleh reaksi publik melalui media sosial, misalnya kasus gugatan renovasi gereja di Karimun, Kepulauan Riau. Kalau bukan karena media sosial, kasus tersebut mungkin tidak tertangkap dan sampai di publik. Pada waktu itu upaya untuk “memberikan tekanan sosial” kepada gereja juga sebetulnya besar, tapi karena suara di sosial media kencang lalu media mengangkatnya, mendapatkan advokasi dari kementerian terkait hingga Jokowi turun tangan dan menyatakan renovasi harus jalan terus. Akhirnya, renovasi pun tetap berjalan. Namun, di beberapa rumah ibadah lain yang exposure media sosialnya tidak setinggi gereja di Karimun tadi, ya tekanan ke pemerintahnya juga tidak besar dan tidak menjadi fokus. Mereka ini jadi terkatung-katung. Bagi saya, itu menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi kanal yang sangat penting. Mungkin karena pemerintah mendengar. Karena yang namanya netizen Indonesia memang “berisik” istilahnya, beda dengan negara-negara lainnya karena tidak seheboh di Indonesia.
Media sosial bisa dilihat juga sebagai pintu dan penyambung jalan bagi teman-teman gerakan masyarakat sipil agar lebih peka untuk menyesuaikan gaya bahasa mereka dan tidak memaksakan jargon-jargon yang berat karena publik secara umum tidak paham.
Saya pernah ada penjurian inisiatif demokrasi dan human rights online seluruh dunia di Jerman, itu kami bisa menjadi trending topic di Jerman [tertawa]. Artinya apa, artinya publik Jerman tidak terlalu talkative di media sosial, tidak seperti di Indonesia. Makanya akhirnya Indonesia bisa dan sering juga menjadi worldwide trending topic, karena kita super talkative. Kemudian, ada poin juga bahwa demokrasi di Indonesia itu kan belum substantif di mana memang substansi demokrasinya belum cukup kuat. Kalau prosedurnya sudah, tapi substansinya belum seperti pendapat masyarakat itu disampaikan ke mana kan belum ada kanalnya. Berbeda dengan model di Amerika Serikat yang senatornya memang benar-benar harus membuat town hall meeting dan bertemu dengan konstituennya langsung, Indonesia kan tidak. Para wakil rakyat ya berkunjung ke konstituennya, tapi lebih ke hal-hal yang seremonial seperti bikin baksos atau yang semacamnya. Sebetulnya demokrasi Indonesia menemukan celahnya di Musrenbang Desa (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa) karena memutuskan dana desa itu mau digunakan untuk apa kan harus melewati Musrenbang Desa terlebih dahulu. Tapi, kalau di tingkat at large Indonesia, tidak ada mekanisme itu. Makanya kalau kita, sebagai masyarakat, sudah kesal banget dengan situasi negara kita akan lari ke media sosial. Media sosial bisa menjalankan fungsi itu. Hanya, problemnya mereka yang punya kepentingan juga menggunakan buzzer di media sosial untuk agenda mereka sendiri, entah itu bisnis, politik atau pemerintahan. Jadi, propaganda juga berjalan sangat kuat di media sosial meskipun secara interface atau tampak luarnya tidak terlihat ada propaganda tersebut. Tapi, sebetulnya hal itu terjadi lho.
Aktivisme media sosial itu saat ini dibilang adalah “corong”, dia bisa jadi kencang sekali, tapi advokasi di tingkat lapangan terus terang masih tidak selaras dengan keramaian yang terjadi di tingkat media sosial. Jadi gerakan-gerakan advokasi tetap akhirnya masih dipegang oleh teman-teman gerakan masyarakat sipil. Media sosial bisa dilihat juga sebagai pintu dan penyambung jalan bagi teman-teman gerakan masyarakat sipil agar lebih peka untuk menyesuaikan gaya bahasa mereka dan tidak memaksakan jargon-jargon yang berat karena publik secara umum tidak paham. Dalam arti, tetap balance antara apa yang diperjuangkan dengan gaya yang lebih engaging.
Dalam perjalanan demokrasi Indonesia sejak tahun perjuangan kemerdekaan hingga kini, agama punya peran yang besar. Menurut Anda, dewasa ini seperti apa peran dan posisi agama dalam pergerakan demokrasi kita, terlebih saat ini banyak kritik soal agama yang dimanfaatkan dalam politik praktis?
Itu sebetulnya keluar dari mayoritarianisme dan efek dari globalisasi di mana semangat kelompok primordial itu menguat. Karena semua orang bergerak dari semua tempat ke semua tempat, perasaan bahwa saya seorang pribumi dan rasa terancam akan pendatang meningkat. Itu yang membuat semangat primordial jadi muncul lagi. Apa sih yang paling gampang menimbulkan semangat itu? Satu, ideologi. Dua, Tuhan dan agama. Itu dilihat dari konflik-konflik di dunia, kalau tidak karena ideologi, ya karena agama.Di Indonesia, tentu yang lebih menonjol adalah agama karena ternyata rasa purity atau “keaslian” itu di masyarakat kita bergantung juga dengan agama. Lalu, yang terjadi demokrasi disederhanakan menjadi mayoritarianisme, yang mayoritas yang menang. Karena diasosiasikan dengan jargon-jargon yang biasa kita temui saat pemilu di mana suara rakyat adalah suara Tuhan, suara rakyat yang mana? Yang mayoritas. Nah, karena itulah kemudian agama jadi faktor yang sangat penting dalam demokrasi karena organisasi-organisasi yang berbasis agama kuat di Indonesia dan masyarakatnya memang sangat melihat agama sebagai faktor yang menentukan.
Dulu dan sekarang peran agama itu tetap besar di Indonesia. Namun, saat ini peran yang besar dari agama di negara kita lebih dikuasai oleh kelompok-kelompok yang eksklusif legal formalistik.
Yang kemudian menjadi kunci dan pivot point-nya adalah praktik beragama yang mana nih yang sedang berkembang di Indonesia. Kalau praktik beragama yang dulu, tahun-tahun perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang berkembang adalah praktik beragama yang substantif dan inklusif karena landasannya adalah nilai-nilai sehingga tidak hanya bergantung pada ritual saja. Sementara, menariknya saat ini yang berkembang adalah yang konservatif, bahkan cenderung ultra konservatif. Itu yang menyebabkan agama perannya besar dalam demokrasi. Dulu dan sekarang peran agama itu tetap besar di Indonesia. Namun, saat ini peran yang besar dari agama di negara kita lebih dikuasai oleh kelompok-kelompok yang eksklusif legal formalistik.
Beberapa tahun terakhir memang banyak riset yang mengatakan kalau Indonesia semakin konservatif. Apakah Anda juga melihat adanya kecenderungan ini?
Iya, kalau saya melihat arah konservatisme agama sangat terasa di Indonesia. Kita tahu dengan perkembangan Wahabisme di seluruh dunia, misalnya, itu kan sangat ortodoks ya, dan itu berkembang juga di Indonesia. Jadi, ada juga masyarakat kita yang konservatif dan ultra konservatif. Dalam hal memandang perempuan, misalnya, itu kan jadi konservatif sekarang. Promosi habis-habisan untuk poligami, perempuan tidak bekerja dan lain-lain. Itu salah satu contohnya.
Apakah kondisi konservatisme ini juga dipengaruhi karena Indonesia saat ini belum ada figur agama yang lebih “santai” dan moderat, layaknya Gus Dur misalnya?
Menurut saya ada pengaruhnya, karena Indonesia kan social centric society sehingga tokoh sosial itu sangat besar pengaruhnya. Menariknya, yang dari masyarakat muslim yang moderat apalagi yang progresif itu memang tokohnya kurang menonjol kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh populis yang feeding the egotistical needs of the people. Jadi, pesan-pesan yang dipakai dan framing-framing yang dipakai juga sebetulnya mempromosikan eksklusivisme beragama, tentunya dengan cara yang sangat populis. Kalau praktiknya sebenarnya masih banyak orang-orang atau tokoh-tokoh seperti Gus Dur, yang beragama dengan esensinya dan lebih santai memandang hidup, tapi tidak se-influential Gus Dur. Itu memang tantangannya saat ini, menurut saya.
Anda sempat mention soal perempuan. Dalam narasi-narasi agama seringkali peran perempuan dikecilkan, tapi menurut Anda sendiri seperti apa peran perempuan dan kesetaraan gender dalam lanskap agama?
Sebetulnya di dalam agama Islam, kalau mau mempelajari Al-Quran, hadis serta sunah Rasul dengan perspektif keadilan, itu clear banget bahwa perspektifnya ya keadilan. Hanya memang harus dipahami bahwa konteks pada saat masa Nabi Muhammad itu adalah masa transformasi sehingga mungkin praktiknya itu belum sepenuhnya terinstitusionalkan. Tapi, kita bisa melihatnya seperti ini dari sebelum zaman Nabi yang mana perempuan tidak ada harganya, bahkan menjadi barang milik laki-laki sehingga bisa dijual beli, diwariskan, dan segala macam lainnya, kemudian diubah menjadi punya hak waris dan hak bersuara. Ketika ada perempuan yang mengadu ke Nabi Muhammad bahwa dia tidak mau dinikahkan begitu saja oleh keluarganya dan dia mau menolak, boleh tidak menolak? Boleh! Lalu, sampai ke masuk ke dalam perkawinan sebenarnya juga banyak ayat yang diperintahkan kepada laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan musyawarah, menjaga kesalingan, saling berlaku baik.
Itu semuanya banyak sekali perubahan yang terjadi. Dalam konteks poligami, misalnya, dari yang tadinya tidak terbatas lalu dibatasi dan itu pun dengan klausul bahwa harus bisa berlaku adil dan ada ayat penerangnya yang mengatakan bahwa manusia itu tidak akan bisa berlaku adil. Jadi, banyak banget ayatnya dan clear banget. Itu sebetulnya sesuai dengan kerangka besar kehidupan manusia di dalam Islam, di mana ayat-ayatnya berbunyi bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak dibedakan kecuali dalam hal ketakwaannya.
Kalau mainstream paradigmanya adalah keadilan dan substansi ajaran agama, sehingga ia menjadi inklusif, maka mudah untuk melihat bahwa agama itu mencerahkan dan mengadilkan.
Menurut saya, misalnya, ayat yang diperdebatkan adalah ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki itu pemimpin bagi perempuan, itu kan dalam konteks apa. Tidak semua laki-laki kemudian memimpin semua perempuan. Dan, konteksnya ini kan sebenarnya dalam konteks kontrak, artinya dalam hal tertentu laki-laki memimpin perempuan sementara di hadis yang lain juga dikatakan kalau perempuan itu adalah pemimpin dalam keluarga. Berarti kalau di dalam rumah pemimpinnya perempuan dong bukan laki-laki, lalu bagaimana dengan ayat tadi? Jadi tabrakan dong kalau ayatnya hanya dibacanya dengan semua laki-laki adalah pemimpin bagi semua perempuan. Itu tidak bisa begitu dalam memahami Islam.
Hal-hal seperti ini yang menurut saya sangat dipengaruhi oleh mainstream paradigma yang dipakai yang mana. Kalau mainstream paradigmanya adalah keadilan dan substansi ajaran agama, sehingga ia menjadi inklusif, maka mudah untuk melihat bahwa agama itu mencerahkan dan mengadilkan. Tapi, kalau paradigma yang digunakan adalah paradigma yang eksklusif dan legal formalistik, maka kemudian segala hal dilegalkan untuk justru melanggengkan ketidakadilan. Eksklusivisme beragama tidak hanya kepada antara agama saya dan agama lain, antara laki-laki terhadap perempuan dalam agama yang sama itu juga ada eksklusivisme itu.
Apakah ini juga berpengaruh dengan kecenderungan praktik beragama di Indonesia yang terkadang hanya fokus pada ritual-ritualnya saja, tanpa ada kedalaman substansinya?
Iya, saya rasa itu ada pengaruhnya. Juga, soal sistem pendidikan kita itu tadi yang memang bermasalah. Orang diajarkan skill, tanpa diajarkan cara berpikir. Ibaratnya, orang diajarkan memancing tanpa diajak melihat ekosistem pemancingan. Kenapa kamu perlu memancing? Apa dampaknya kamu memancing di tempat ini? Nah, itu dijelaskan dan tidak ada di sistem pendidikan kita. Sama halnya dengan agama, hanya diajarkan cara beraktivitas sehari-hari, hanya ritualnya saja. Akan tetapi, justru tidak diajarkan dasar-dasar pemikiran beragamanya itu sendiri.
Salah satu fenomena yang marak akhir-akhir ini adalah fenomena hijrah. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Jadi, memang itu kecanggihannya teman-teman yang mempromosikan hijrah ini. Bisa dibilang as a gimmick itu kuat sekali, kata hijrah itu sendiri ya. Hijrah itu kan artinya pindah dari suatu kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Dalam hal ini potretnya adalah dari kondisi yang kurang baik menjadi kondisi yang lebih baik. Hanya saja, kondisi yang lebih baik yang ditawarkan itu kecenderungannya eksklusivisme beragama. Jadi, contohnya, yang kita tahu beberapa waktu yang lalu ada public figure yang menangis di depan publik karena percaya bahwa orang tuanya akan menanggung dosa jika dia tidak berhijab. Itu menurut saya dalam konteks ajaran hijrah ini dipotret sebagai sesuatu yang lebih baik, tapi caranya seperti itu, tidak tepat banget. Kalau seperti itu caranya, KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Utama) menanggung dosa anak-anaknya dong karena mereka banyak yang tidak berjilbab. Kyai zaman dulu kan banyak yang anak-anaknya tidak berjilbab. Padahal kurang ilmu agama apa lagi mereka.
Hijrahnya sendiri, menurut saya, adalah sesuatu yang secara konsep yang sangat baik karena memang kan dia bergerak dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Pertanyaannya adalah yang lebih baik itu yang mengandung substansi agama atau yang menurut paham eksklusivisme beragama. Kalau hijrahnya dari menolak poligami jadi menerima poligami, ya itu bertentangan dengan konsep keadilan dan hijrah itu sendiri. Bagaimana mungkin dari menjaga mitsaqon gholidzo (perjanjian yang kuat) atau berkomitmen, lalu jadi pemakluman atas hasrat laki-laki. Itu kalau dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik, ya tidak bisa dong.
Fenomena hijrah ini sebenarnya banyak terjadi di kalangan figur publik, terutama mereka yang berkecimpung di ranah dunia hiburan. Hal ini sepertinya menjadi ketertarikan sendiri dari fenomena ini. Di satu sisi, seperti yang Anda sampaikan fenomena ini banyak juga yang mengarah ke eksklusivisme. Lalu, bagaimana seharusnya figur publik bersikap?
Tiba-tiba mereka diajak untuk membangun hidup yang lebih baik, ya siapa yang tidak mau? Tapi, kemudian proses pengajaran agama yang masuk adalah proses pengajaran agama yang sifatnya eksklusif dan konservatif, sehingga jatuhnya seperti apa yang kita lihat sekarang.
Figur publik ada dua macam ya, ada yang lebih ke entertainment dan ada yang lebih sifatnya hal-hal kehidupan kebangsaan. Nah, figur publik yang entertainment itulah yang menurut saya, banyak ter-engage dalam fenomena hijrah itu. Saya juga tidak bisa menyalahkan mereka, karena mereka dimulai dari kondisi tidak paham dasar-dasar kehidupan beragama itu seperti apa. Tiba-tiba mereka diajak untuk membangun hidup yang lebih baik, ya siapa yang tidak mau? Tapi, kemudian proses pengajaran agama yang masuk adalah proses pengajaran agama yang sifatnya eksklusif dan konservatif, sehingga jatuhnya seperti apa yang kita lihat sekarang. Sementara posisi mereka karena sebagai entertainer, figur publik yang sangat dekat dengan rakyat, influence mereka juga jadi sangat besar. Jadi, dalam konteks agama, masyarakat mengikuti public figure, public figure-nya awam agama. Lantas, bagaimana?
Sehingga, menurut saya, penting juga untuk berbicara bagaimana membangun gerakan dakwah di kalangan public figure yang entertainment industry juga. Yang itu teman-teman Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) melakukan itu sekarang. Tapi, memang ini masih menjadi tantangan. Karena orang-orang seperti saya, yang urusannya kebangsaan, memang jangkauan kepada masyarakat mainstream lebih sedikit dan kecil.
Memenangi keluarga itu penting. Karena dari situlah segala hal bisa didorong ke gerakan yang lebih besar.
Bicara soal dakwah, sering disebutkan dalam Islam bahwa dakwah bisa dimulai dari lingkup yang kecil seperti keluarga. Kemudian, Islam sendiri melihat keluarga memiliki posisi penting dalam kehidupan. Bagaimana membangun pemahaman beragama yang toleran, moderat dan progresif dalam berkeluarga?
Nah, itu dia. Kalau ini saya bicara bukan sebagai Gusdurian, tetapi sebagai Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga di Nahdlatul Ulama (NU) dan dari saya sebagai seorang psikolog. Kita tentu paham bahwa kondisinya saat ini ada kontestasi antara eksklusivisme beragama dengan beragama yang moderat, atau biasa disebutnya moderasi beragama, dalam masyarakat. Keluarga itu jadi fokus penting dan paling sentral sebenarnya, tapi keluarga juga diserbu oleh pesan-pesan eksklusivisme beragama bukan moderasi beragama. Kita tahu ya, dalam penanaman nilai itu kan dimulai ketika seseorang masih anak-anak. Kondisi di sekolah dan di rumah akan memengaruhi bagaimana dia melihat dunia. Jadi, itu yang kita perlu untuk menangi juga pertarungannya. Karena kalau kita kalah pertarungan di situ, at the end of the day kita juga kalah di masyarakatnya.
Salah satu inisiatif yang saya terlibat adalah program persiapan calon pengantin (bimbingan pranikah) yang punyanya Kementerian Agama. Yang meminta saya untuk ikut waktu itu adalah Menteri Agama pada kala itu, Lukman Hakim Saifuddin. Clear sekali permintaan beliau pada waktu itu, saya diminta untuk membuat program bimbingan perkawinan calon pengantin yang bisa mengatasi KDRT, bias gender, kemiskinan. Yang namanya pengantin kan kalau mau menikah memang harus lewat KUA dan kursus pernikahan yang sudah ada selama bertahun-tahun itu ternyata masih bias gender dan metodenya masih sangat lemah. Makanya waktu itu saya dan tim dari Kementerian Agama membangun sebuah konsep yang kita pandang lebih memberdayakan, sehingga calon pengantin bisa mendapatkan perspektif yang lebih adil dan berdaya. Tapi, untuk melakukan itu perlu training orang-orang KUA dan kementrian agama sehingga kerjanya bertingkat memang.
Intinya, memenangi kepala-kepala di dalam keluarga itu penting. Memenangi keluarga itu penting. Karena dari situlah segala hal bisa didorong ke gerakan yang lebih besar.
Sebenarnya menarik juga melihat bahwa sudah ada program-program dari pemerintah yang memang ingin mengatasi masalah konservatisme ini secara substansi.
Iya, sebenarnya pemerintah memang sudah punya programnya. Tapi, harus diakui yang namanya pemerintah dan birokrasinya tidak se-agile kita yang ada di gerakan masyarakat sipil. Pemerintah kan harus melihatnya dalam scoop yang besar. Perubahannya juga harus berkaitan dengan perubahan di berbagai tempat. Saya beruntung karena di program tersebut, mentri agamanya sangat progresif sehingga dibuat mudah prosesnya. Hanya dalam pelaksanaannya, ketika turun ke provisi atau saat ke kabupaten, tetap akan ketemu dengan birokrasi. Apalagi kalau dalam saat saya bekerja dengan kementrian-kementrian lain, wah akan sangat terasa banget bahwa acak kadul dan bahwa birokrasi itu sangat berjarak dari masyarakat dan tidak benar-benar responsif terhadap kondisi masyarakat. Dan, lebih kepada activity oriented bukan result dan public oriented. Berubah atau tidaknya masyarakat, kadang ya tidak tahu juga. Akhirnya perubahan yang kita harapkan terjadi di masyarakat, ya tidak terjadi. Itu tantangan birokrasi memang.
Di lingkungan kampus dan universitas, ada fenomena di mana anak-anak yang datang dari luar kota yang merasa kesepian karena jauh dari kampung halaman kemudian dirangkul oleh kelompok agama yang memiliki pandangan eksklusif. Sebenarnya, anak-anak muda bisa pergi ke mana ketika ingin mendapatkan rasa kebersamaan ketika menjadi bagian dari kelompok beragama tanpa harus terbawa arus konservatisme?
Kalau di kalangan universitas itu pengorganisasian gerakannya, khusus bagi kelompok-kelompok Islam yang moderat itu cenderung tidak berjalan. Mereka tidak mengorganisir diri. Jadi, akhirnya tidak ada ruang bagi kelompok Islam moderat.
Tapi, kalau menurut saya, persoalan ini bisa didekati dari beberapa dimensi. Pertama, dimensi kondisi seseorang yang tidak memiliki teman, berarti kan dia membutuhkan sosok teman dan itu tidak membutuhkan agama sebetulnya. Kita bisa saja membuat gerakan solidaritas yang secara sengaja memang mendorong dan membuatkan ruang bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, sehingga orang tidak merasa sendirian. Dengan demikian, mereka tidak begitu mudah terpengaruh dengan apapun yang lain. Kedua, dari dimensi organisasi agama. Saya sering sekali mendorong teman-teman NU di berbagai universitas untuk mendirikan keluarga mahasiswa NU. Supaya kalau ada anak-anak muda NU, mereka langsung tahu ke mana mereka harus pergi. Dulu memang orang NU sedikit di universitas negeri, karena kebanyakan orang NU sekolah di Madrasah dan dulu lulusan Madrasah kan tidak bisa nyebrang masuk ke universitas negeri. Bisanya masuk ke Univeritas Islam Negeri (UIN). Jadi, ketika ada anak NU yang masuk universitas negeri ya memang dia tidak punya teman karena jumlahnya sedikit. Tapi kan sekarang sudah tidak begitu. Nah, kita mendorong untuk teman-teman NU yang ada di universitas negeri untuk membuat keluarga mahasiswa NU. Tujuannya orang-orang NU yang dari daerah bisa menemukan teman. Misal, ada mahasiswa baru NU yang datang dari Tual, Maluku ke Jakarta, nah dia bisa langsung connect dengan teman-temannya.
Perlu diingat juga kalau isu eksklusivisme beragama tidak hanya isu Islam saja. Sebetulnya itu juga mengapa saya sering mengadakan dialog dan diskusi antar beragama, untuk sama-sama melihat isu-isu dan masalah yang dialami oleh umat beragama.
Kehadiran kelompok mahasiswa NU ini juga penting untuk menunjukkan bahwa di lingkungan universitas ada alternatif wajah kelompok muslim. Jadi, tidak hanya salah satu saja. Kalau misalnya teman-teman Muhammadiyah melakukan hal yang sama juga kan sebenarnya bagus banget. Karena potret Islam di lingkungan universitas jadi lebih beragam, mahasiswa juga jadi lebih terbuka karena warna yang juga muncul jadi macam-macam. Tidak hanya satu. Tentunya sesama kelompok ini juga harus sering berdialog untuk memperlihatkan bahwa spektrum beragama tidak hanya satu. Karena kalau hanya ada satu saja, nantinya akan menjadi benar melawan salah. Menganggap bahwa kehidupan beragama hanya ada satu saja caranya, tidak ada yang lain. Nah, itu kan juga berbahaya. Orang yang kemudian tidak setuju atau dianggap berbeda dengan cara yang dibawa oleh satu kelompok tersebut, mereka akan dianggap sesat atau tidak beragama.
Perlu diingat juga kalau isu eksklusivisme beragama tidak hanya isu Islam saja. Sebetulnya itu juga mengapa saya sering mengadakan dialog dan diskusi antar beragama, untuk sama-sama melihat isu-isu dan masalah yang dialami oleh umat beragama. Contoh, kasus yang ada di Minahasa itu kan mayoritarianisme juga, tapi mayoritasnya bukan orang Islam. Atau kalau kita bicara soal Hidutva di India, itu yang mayoritas masyarakat Hindu. Atau Ma Ba Tha di Myanmar, itu mayoritas Budha. Sehingga, memang hal ini bukan hanya terjadi Indonesia, bukan hanya pada umat Islam, dan tentunya bukan hanya pada Islam di Indonesia.
Bulan Ramadan dan, kemungkinan besar, Idul Fitri di tahun ini akan terasa berbeda karena situasi pandemi. Sedangkan, dalam masyarakat muslim di Indonesia Ramadan dan Idul Fitri menjadi momen yang penuh akan ritual beragama dan tradisi. Bagaimana masyarakat muslim tetap bisa memaknai Ramadan dan Idul Fitri meskipun ada keterbatasan untuk melaksanakan ritual beragama dan tradisi yang ada?
Memang benar sekali, kalau masyarakat Indonesia itu punya tradisi saat bulan puasa dan lebaran. Lebaran itu khas Indonesia karena negara-negara lain yang lebih ramai itu Idul Adha. Tapi, kan untuk bulan puasa mirip-mirip dengan negara lainnya di mana ada tradisi buka bersama, salat tarawih di masjid bersama-sama. Jadi, memang tradisi bulan puasa itu tradisi komunal. Padahal, inti dari puasa itu self restraint, karena apa yang ada dalam ritual ibadah puasa itu semuanya soal self restraint. Dan, sebenarnya ada juga tentang solidaritas sosial sih ketika berpuasa. Atau mungkin kita selama ini mengartikan solidaritas sosial dengan hal-hal komunal ya? [tertawa]
COVID-19 secara umum itu menjadi ruang untuk organisasi Islam untuk memikirkan tata cara yang berbeda dalam praktik beragama.
Kalau saat ini menurut saya hanya dibutuhkan keikhlasan saja. Dan, ini bukan sesuatu yang baru. Wong dalam ajaran Ramadan itu memang kita menahan diri kok, dengan lebih banyak beribadah, menahan makan dan minum, menahan ghibah, menahan emosi, menahan perilaku. Semua itu apa bedanya dengan yang tahun lalu, sebenarnya tidak ada. Inti dari Ramadan itu sendiri tidak berubah. Yang berubah itu festivities. Nah, kalau yang festivities itu kan bukan sesuatu yang esensial dan substansial dari Ramadan. Jadi, harusnya kita tidak mempersoalkan itu. Hanya yang mungkin terdampak langsung itu yang menjual makanan takjil, misalnya, mereka yang memang terkena langsung efek dari pandemi ini. Tapi, dari sisi ritualnya menurut saya tidak memengaruhi Ramdan. Dan, COVID-19 secara umum itu menjadi ruang untuk organisasi Islam untuk memikirkan tata cara yang berbeda dalam praktik beragama. Misal, dalam Islam tidak melakukan salat Jumat atau harus jaga jarak, itu kan sesuatu yang sekarang hingga sampai kita bisa melakukan vaksinasi massal di seluruh dunia pasti harus kita lakukan.
Menurut saya, ketika memang di Indonesia kondisinya sudah melandai kurva penyebaran virusnya, tetap ada protokol yang harus berubah dari kehidupan atau praktik beragama itu. Kondisi ini kan hanya benar-benar dipastikan kembali dalam tanda kutip “normal”, ketika sudah ada vaksin. Sebelum vaksin itu ada, menurut saya, risikonya masih sangat tinggi. Mau herd immunity? Ya, kalau herd immunity, kita mau melihat berapa korban.
Saya sebenarnya salah satu yang menikmati work from home, karena saya sebenarnya jarang di rumah. Anak saya paling bertemu saya sebulan, ya cuma tiga sampai empat hari totalnya. Tapi, orang lain kan tidak punya privilese seperti itu. Sebenarnya, sekarang yang perlu menjadi perhatian kita adalah merangkul mereka-mereka yang tidak punya privilese untuk tetap bisa “menikmati” kondisi pandemi. Saya rasa momen bulan puasa ini justru jadi momen yang tepat juga untuk kita saling membantu dan berbagi dengan sesama.
Kondisi pandemi ini sebenarnya juga membuat orang mempertanyakan posisi agama dalam hidup. Seperti apa peran agama di situasi pandemi ini?
Menurut saya, salah satu tantangannya memang pandemi ini mengubah banyak hal dalam agama. Salah satu yang paling terkena dampak dari situasi pandemi ini juga sebenarnya agama, karena ritualnya berubah, peran pemuka agama jadi berubah, dan kelompok beragama sebenarnya paling sulit beradaptasi dalam situasi ini. Kita bisa lihat di Korea Selatan, Singapura, kemudian di Amerika ada juga pendeta yang mengatakan bahwa God is bigger than coronavirus lalu beliau meninggal karena virus COVID-19. Itu kan semua agama dan pemuka agama harus menata ulang cara berpikirnya, baik dalam praktik agama maupun bagaimana hubungannya dengan sains dan konteks yang di luar agama. Menurut saya, wajar kalau tokoh-tokoh agama agak grappling, kebingungan bagaimana cara menempatkannya karena mereka terkena dampak langsung. Padahal justru organisasi agama, terutama dalam konteks Indonesia, yang paling mampu dalam menggerakkan dan menanamkan nilai-nilai baru dalam masyarakat. Misalnya, protokol pencegahan COVID-19. Kalau pemuka agamanya yang berbicara, pasti lebih didengarkan.
Waktu awal-awal ramai COVID-19 di Indonesia, ketika penularannya belum besar kan banyak pondok pesantren tidak mau memulangkan muridnya karena mereka merasa ini bukan hal yang besar. Begitu kemudian, pondok-pondok pesantren ini untuk memulangkan santrinya malah jadi langsung berubah dengan cepat pandangan terhadap situasi pandemi dan santri-santri pun mengikutinya. Pondok-pondok pesantren ini punya kekuatan besar untuk mengajarkan kepada santri-santri bagaimana mereka harus mencegah COVID-19, baik buat dirinya atau lingkungan.
Jadi, peran agama itu besar. Sayangnya, lamban dan kurang progresif, dan saya bisa memahami hal tersebut. Karena satu keimanan terlalu kuat, melihat bahwa kematian itu bagian dari takdir. Kedua, karena mereka terdampak langsung dari pandemi. Sekarang, pertanyaannya bagaimana menggeser dan memperkuat pemuka agama supaya mereka bisa lebih menjalankan peran sebagai pemimpin. Nah, karena itulah saya dan teman-teman organisasi agama dan lintas agama bersinergi dalam jaringan lintas iman tanggap COVID-19. Itu salah satunya harapan kita adalah mendorong pemuka agama untuk mengambil peran yang lebih besar.
Kalau bagi saya, orang muslim sebagai hamba Allah di muka bumi itu adalah menjadi pengelola bumi.
Menurut Anda, saat ini apa makna menjadi seorang muslim di Indonesia, terutama dengan adanya kondisi pandemi ini?
Kalau bagi saya, orang muslim sebagai hamba Allah di muka bumi itu adalah menjadi pengelola bumi. Menjalankan peran mengelola bumi untuk kemaslahatan, kebaikan bersama. Nah, karena itu dalam kondisi seperti apapun, seorang muslim itu kalau istilah bahasa Arabnya, muslih dan muslihah, membawa kebaikan. Saleh itu kan artinya baik, tapi muslih atau muslihah itu orang yang membawa kebaikan. Kan berbeda ya, satu hanya untuk dirinya sendiri dan yang satu lagi untuk banyak orang. Seorang muslim seharusnya adalah seorang muslih dan muslihah, apalagi di kondisi sekarang. Dia harus bisa meletakkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Di kondisi bencana yang masif seperti ini, seorang muslih harus berlaku lebih. Kebaikannya bisa macam-macam dan dia bisa mengukur sendiri kebaikan seperti apa yang ingin dia wujudkan. Di dalam rumah saja, membangun rumah yang membawa kebaikan bagi seluruh anggota keluarga itu sudah muslih. Kenapa? Karena hidup berkeluarga di tengah pandemi adalah tantangan yang luar biasa. Biasanya kita punya ruang pribadi di luar rumah, sekarang tidak ada. Kita harus menghadapi orang yang sama dari pagi sampai pagi lagi. Kita harus berbagi ruang fisik dengan orang tersebut. Makanya KDRT meningkat, kekerasan orang tua kepada anak meningkat, pertikaian meningkat, bahkan di Korea Selatan begitu selesai pembatasan berskala besar perceraian meningkat. Jadi, di kondisi ini menjadi muslim yang bisa muslih di keluarga saja sudah membawa kebaikan. Apalagi kalau bisa berkontribusi dengan berbagi cara untuk kebaikan bersama. Misalnya, tidak bisa keluar dan tidak bisa ngapa-ngapain, bisa menyumbang uang. Atau kalau tidak bisa menyumbang uang, bisa menyumbang energi dan pikiran untuk campaign pencegahan virus di social media. Yang bisa sumbang gambar, sumbang gambar. Yang bisa desain grafis, sumbang desain grafis. Yang bisa bikin video, bikin video. Apa saja, banyak caranya. Tapi, semangatnya itu adalah beribadah bagi kemaslahatan bersama.
Seperti apa potret Islam di Indonesia saat ini dari kaca mata Anda?
Kalau saya melihatnya, yang pertama kalau potret Islam di Indonesia hari ini jika dibandingkan dengan tempat-tempat lain, kita harus bersyukur. Karena Islam di Indonesia itu tetap menjadi kabar baik lho bagi dunia. Orang Islam di Indonesia itu moderat, damai, anti kekerasan, bisa hidup dalam lingkungan yang sangat plural tanpa gesekan yang berdarah-darah. Jadi, kita bisa bangga nih menjadi orang Islam di Indonesia. Saya terakhir ke luar negeri sebelum COVID-19 ini adalah ke acara British Islamic Conference, di mana di sana kelompok muslim di Inggris mendorong pembahasan tentang berbagai aspek orang Islam di Inggris karena mereka memang sedang mencari karakter. Di situ, jelas banget bahwa Muslim di Indonesia itu adalah beacon, model, untuk komunitas Islam di dunia. Moazzam Malik, mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, bercerita bagaimana dia kaget ketika mengikuti acara Nuzulul Quran di Istana Negara lalu melihat yang membacakan Al-Quran itu perempuan. Di negara-negara Islam yang lain, tidak ada perempuan yang boleh tampil di acara sebesar itu. Kemudian yang kedua dia melihat perempuan memakai jilbab lalu menyetir motor di jalanan, itu menurut dia di tempat lain banyak sekali perempuan muslim yang “dikekep” dan tidak boleh punya ruang publik. Banyak orang luar yang kalau belajar gerakan perempuan muslim di Indonesia, ternyata lebih progresif dibandingkan dengan gerakan gender bahkan di Amerika.
Kita bangga, tapi memang harus waspada. Supaya Islam yang kita banggakan ini tetap menjadi Islam yang kita banggakan. Jangan sampai suatu ketika nanti kita menyesal.
Jadi, muslim Indonesia patut berbangga dengan umat Islam yang ada di Indonesia karena umat Islam Indonesia sekarang jadi teladan dunia. Gus Dur dulu menyampaikan bahwa di masa depan peradaban umat Islam di dunia ini akan disokong oleh dua pilar: pertama, Islam di Timur Tengah karena di sanalah lahirnya Islam; kedua, Islam di Asia Tenggara terutama Indonesia karena di sinilah wajah Islam yang hidup bersama dengan masyarakat plural itu muncul. Tapi, sekarang kita juga perlu melihat Islam di Indonesia yang sekarang dengan awal kemerdekaan. Kalau kita melihat itu, kita patut waspada. Jadi, kita bangga tapi juga waspada. Kenapa? Karena ada decline nih. Ada penurunan sikap, penurunan moderatisme beragama, Islam substansif dan inklusifnya juga sekarang lebih terdesak. Kita bangga, tapi memang harus waspada. Supaya Islam yang kita banggakan ini tetap menjadi Islam yang kita banggakan. Jangan sampai suatu ketika nanti kita menyesal. Karena, Nigeria dan Sudan, Islamnya dulu juga santai lho seperti yang ada di Indonesia, tapi kan sekarang sudah sangat berbeda.
Anda sendiri apakah ada rencana tertentu atau ada hal-hal yang menjadi fokus di masa depan?
Kalau yang sekarang jadi fokus saya tetap dalam hal demokrasi, multikulturalisme, gerakan kebangsaan. Nah, kalau kita bicara demokrasi kan kita bicara bangunan strukturnya. Jadi di sisi lain, untuk memperkuat manusia-manusianya, saya ingin bekerja di ruang keluarga. Lebih kepada penguatan di keluarga dalam hal membangun keluarga yang berdaya, adil, dan memfasilitasi munculnya semua potensi anggota keluarga itu. Sehingga, terciptalah kemaslahatan bersama.