Guillermo Del Toro Bergabung dalam Perjuangan Kesetaraan Gender di Venice Film Festival
Diskursus publik tentang ketimpangan gender seperti ini dibutuhkan untuk memberikan pengaruh, besar ataupun kecil, kepada keputusan dari Venice Film Festival.
Teks: Winona Amabel
Foto: Vittorio Zunino Celotto/Getty
Meski film-film yang ia garap kebanyakan mengandung elemen fantasi, sutradara Guillermo del Toro nyaris selalu mengangkat realitas sosio-politis dalam filmnya terutama mengenai kaum marjinal. Salah satu contohnya adalah film dengan 13 nominasi Oscar “The Shape Of Water” menonjolkan tokoh-tokoh muted group atau yang suaranya seringkali terbungkam seperti kaum difabel, perempuan kulit hitam, dan LGBTQ+. Tidak terbatas pada film yang ia garap, del Toro juga angkat bicara secara langsung mengenai representasi suara perempuan dalam lanskap film.
Sebagai salah satu juri di Venice Film Festival 2018, pada pembukaan rangkaian festival del Toro menyuarakan tentang urgensi untuk kesetaraan gender di dunia film, terutama dengan ketidaksetaraan sutradara perempuan di dalam Venice Film Festival itu sendiri. Kurangnya representasi sutradara perempuan di kompetisi tersebut merupakan topik yang sedang hangat-hangatnya, mengingat bahwa sutradara perempuan hanya mengisi satu dari total 21 judul film di kompetisi ini.
Paolo Baratta yang memimpin jalannya festival ini memberikan argumen bahwa angka tersebut muncul karena submisi film dari sutradara perempuan sangat sedikit, hanya di bawah 21%. Tentu ini masih perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali seperti yang Baratta katakan akan segera ia lakukan, terutama untuk dibandingkan dengan data dari festival-festival lain. Kalau dipikirkan kembali, bagaimana dari angka 21% itu, yang meskipun sedikit, hanya menghasilkan 1 film dari total 21 film yang berarti sekitar 5%. Namun Baratta juga tetap bersikeras bahwa penggunaan kuota perempuan itu bukanlah solusi.
Del Toro menekankan bahwa ketidakseimbangan ini menjadi masalah terutama jika dilihat dari perspektif budaya, karena banyak suara dari para muted groups tersebut yang seharusnya didengar malah menjadi bungkam. Untuk del Toro, membuat kuota khusus untuk perempuan mungkin tidak harus menjadi solusi, namun tentu isu ini harus dibawa ke permukaan. Venice Film Festival sendiri juga sedang dalam tekanan untuk menandatangani perjanjian tentang keseimbangan gender, mengikuti jejak pendahulu-pendahulunya seperti festival Cannes, Locarno, dan Sarajevo, maka diskursus publik tentang ketimpangan gender seperti ini dibutuhkan untuk memberikan pengaruh, besar ataupun kecil, kepada keputusan dari Venice Film Festival.