Goenawan Mohamad Berbicara Orde Baru dan Pergerakan Anak Muda
Livina Veneralda berbincang dengan Goenawan Mohamad.
Words by Whiteboard Journal
Nama Goenawan Mohamad menjadi salah satu pilar kebudayaan di Indonesia sejak zaman Orde Baru. Tulisan dan inisiatifnya bersama teman-teman telah menciptakan lembaran baru bagi publik untuk menyuarakan pendapat. Kami menemuinya di Komunitas Salihara untuk membahas latar belakang di balik sikap serta pandangan terhadap budaya terkini.
Mana yang datang terlebih dulu dalam kehidupan Anda, jurnalistik atau sastra? Dan bagaimana Anda menemukan jalan tengah di antaranya?
Sebenarnya saya mulai sebagai sastrawan. Sebelum saya masuk jurnalisme saya sudah menulis puisi, baru kemudian ke bidang jurnalisme, karena saya harus cari nafkah. Menulis puisi tidak pernah ada tempat, sampai sekarang. Melintasinya tidak sukar, karena puisi dan sastra adalah dunia tulis-menulis, jurnalisme juga demikian. Hanya saja yang berbeda adalah masalah pendekatan, sikap, dan mediumnya. Tidak ada persoalan besar. Mungkin bagi seorang wartawan yang tidak menulis sastra, masuk ke sastra sukar sekali. Tapi, bagi sastrawan untuk masuk ke dunia jurnalisme umumnya tidak punya masalah.
Anda memiliki sejarah yang cukup panjang dalam jurnalisme nasional, dari mana Anda mempelajari prinsip-prinsip yang Anda terapkan di kemudian hari? Apakah ada sosok yang menjadi mentor Anda?
Belajar jurnalisme itu; seperti yang saya alami, tidak perlu sekolah khusus. Kebanyakan di Majalah Tempo justru bukan dari jurusan jurnalistik, ada IPB, ITB, Kedokteran. Saya sendiri tidak dilatih di jurnalisme, saya dilatih di psikologi. Menjadi wartawan cukup dengan membaca koran, membandingkan, menelaah beberapa berita, dan mendengarkan atau membaca perdebatan mengenai jurnalisme, eksis, serta teknis. Prinsip-prinsip saya pun banyak saya dapat dari pengalaman.
Belakangan banyak muncul sentimen “kangen Orde Baru” yang mengangkat romantisme masa lalu. Sebagai pelaku sejarah, bagaimana sebenarnya konsep kebebasan hidup di era itu? Terutama dalam konteks kebebasan berpendapat.
Orde Baru, per definisi, tidak ada kebebasan.
Tidak ada kebebasan. Orde Baru, per definisi, tidak ada kebebasan. Sebab, pertama, untuk menerbitkan majalah, itu harus ada surat izin terbit, ada surat izin cetak yang bisa dicabut. Belum lagi ada penangkapan. Di masa Orde Baru banyak orang ditangkap, dipenjarakan, dibunuh, disingkirkan. Jadi tidak ada kebebasan. Kita harus negosiasi dengan keadaan sedapat mungkin. Tidak berarti kekuasaan itu mutlak, tidak ada kekuasaan mutlak. Bahkan di Rusia zaman komunis, itu juga ada cara untuk mencari ekspresi yang bebas. Tidak mudah. Tapi ya, harus ada pergulatan, bukan seperti sekarang. Sekarang orang bisa berpendapat. Orang yang mengatakan nostalgia Orde Baru itu adalah orang-orang yang tidak pernah mengalaminya dan karena mereka tidak belajar sejarah.
Jika dulu reformasi 1998 bisa digerakkan oleh pergerakan anak muda serta kawan kawan jurnalisme. Apakah Anda melihat di era sekarang ini mahasiswa dan media memiliki kekuatan yang sama dengan era Soeharto?
Menurut saya, adalah mitos bahwa pers dan mahasiswa itu mengubah sejarah. Itu agak dilebih-lebihkan. Penting, tapi bukan mereka satu-satunya, dan bukan berarti mereka efektif dalam suatu keadaan fatum, tentu ada krisis. Yang paling besar adalah krisis kepercayaan pada suatu rezim. Mahasiswa hanya cetusan saja, media hanya salah satu penggerak, tapi bukan satu-satunya. Unsurnya banyak sekali untuk reformasi. Saya juga ikut aktif dalam Utan Kayu, tapi saya tidak bisa mengklaim bahwa saya mengubah sejarah.
Saya tidak kenal media lagi sekarang. Saya lebih banyak di bidang kesenian. Sudah hampir 13 tahun tidak aktif, hanya Catatan Pinggir, yang menurut saya bukan kerja jurnalisme melainkan kerja sastra. Jadi komentar saya tidak begitu valid. Tapi sepintas, mahasiswa sekarang di kampus lebih banyak berkutat masalah agama. Banyak sekali diarahkan oleh tuntutan agama, pada saat yang sama juga tidak punya lagi daya kritis.
Daya kritis itu ditafsirkan hanya melawan pemerintah, atau melawan politik tertentu. Tetapi, tidak pernah melawan pikiran-pikiran beku yang justru penting di dalam kehidupan universitas. Saya dengar di sebuah universitas di Indonesia, orang langsung diterima kalau hafal Al-Quran. Tidak ada hubungannya hafal Al-Quran dengan keilmuan. Kalau Al-Quran ingin mengilhami semangat ilmu, boleh, tapi menghafal tidak ada hubungannya dengan mencari ilmu. Bagian menghafal adalah salah satu cara untuk mematikan pencarian ilmu. Nah, itu yang terjadi. Saya dengar lagi baru-baru ini, ada mahasiswa yang kalau menjawab ujian harus disertai ‘Insya Allah.’ Nanti kalau ditanya ibukota Polandia? Insya Allah Warsawa. Kan berat. Itu kan menunjukkan bagaimana terlalu banyaknya agama masuk ke dunia ilmu. Jangan terlalu banyaklah, semuanya kalau terlalu banyak akan menjadi racun.
Menurut saya, adalah mitos bahwa pers dan mahasiswa itu mengubah sejarah.
Nah, media-media sekarang itu begitu beragam karena begitu bebas, tanpa izin, tanpa disensor. Dulu tidak mungkin. Jadi kalau kalian melihat keadaan sekarang, bersyukurlah, bahwa ini diperjuangkan oleh banyak teman waktu itu supaya kalian bisa merdeka. Orang-orang yang mengharapkan kembali Orde Baru itu tidak tahu bagaimana beratnya merdeka. Berat sekali. Tidak tahu bahwa ada orang-orang yang diculik dan tidak pulang. Saya sedih kalau melihat orang mengatakan nostalgia Orde Baru. Apa yang dinostalgiakan? Ekonomi bagus, tapi ‘kan banyak dibagi-bagi oleh keluarga Soeharto. Banyak terjadi monopoli, jeruk dimonopoli, kayu dimonopoli, semuanya dimonopoli oleh keluarga Soeharto, lalu kaya raya sampai sekarang. Sekarang mereka mau kembali? Kita mau pilih kembali? Ya silahkan.
Media kita terpecah-pecah, dan itu tidak apa. Perkembangan terakhir adalah bahwa media cetak saya dengar merosot audiensnya karena orang lebih mudah tertarik dengan media digital. Saya lebih suka baca Twitter daripada koran. Saya kira kalian tidak baca koran. Media sosial menjadi dominan dan media cetak sudah menghilang. Itu sudah terjadi meskipun ada yang bertahan. Masalah yang sekarang harus dihadapi adalah, sosial media seperti Twitter, bukan tempat yang baik untuk bertukar pikiran. Untuk maki-makian boleh, kalau mau. Dengan hanya beberapa karakter, 140 lebih, bagaimana merumuskan pikiran secara menyeluruh dan mendalam?
Generasi sekarang kalau hanya bertopang pada itu, tidak berkembang. Tidak berkembangnya pendidikan di Indonesia itu sangat menakutkan. Kita punya kira-kira 4000 perguruan tinggi, tidak satu pun masuk ke dalam taraf internasional. Singapura ada, Korea ada, Jepang ada, Malaysia mungkin ada, kita tidak. Kalau peran sosial media dan kebekuan pikiran di universitas berkembang, seluruh dunia khasanah intelektual Indonesia akan mati dan kita kembali ke zaman abad pertengahan, kalau di Eropa, abad takhayul. Abad kebekuan, abad intoleransi.
Hoax menunjukkan bahwa orang bisa mudah menerima hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, ada 9 juta pekerja Cina masuk Indonesia. Tidak dipikirkan bahwa 9 juta itu hampir sebanyak penduduk Jakarta. Bagaimana mengangkutnya ke sini? Tinggalnya di mana? Tapi orang percaya karena tidak lagi bisa berpikir.
Media, melalui media sosial, sudah menimbulkan masalah. Tetapi, di saat yang sama, harus dikatakan bahwa dunia internet itu banyak mencerdaskan generasi muda. Saya lihat bahasa Inggris anak-anak sekarang sudah bagus tanpa harus ke luar negeri. Saya lihat banyak novel ditulis, banyak esai yang bagus, yang tidak akan didapat di sekolah. Untungnya, dunia internet itu membantu pengetahuan menjadi lebih lancar dan mudah-mudahan nanti banyak perguruan tinggi, lembaga pendidikan, atau media sendiri, yang masuk ke internet dengan mudah. Misalnya, saya tidak perlu lagi membeli majalah The Economist, itu saya akses online. Majalah itu bagus sekali untuk belajar, jurnalisme atau bukan, itu majalah penting. Kalau kita hanya mengandalkan Twitter, kita tidak akan menemukannya. Banyak di internet terdapat majalah-majalah yang bagus. Nah, itulah dua sisi dari dunia digital sekarang: sisi pembodohan dan sisi pencerdasan, tinggal kita yang memilih. Mudah-mudahan kalian, generasi muda, membentuk kelompok-kelompok yang memperdalam pencerdasan.
Anak-anak luar negeri itu tidak lebih pintar dari kita, sama saja. Sama-sama bodohnya, sama-sama pintarnya.
Saya sedang ingin mengusahakan berdirinya klub-klub ilmu pengetahuan di universitas, dan klub agama juga. Klub pengetahuan yang membuat orang mencari lebih banyak, yang selalu bertanya. Sekarang orang tidak mau lagi bertanya karena sudah ada jawaban, dari pemerintah, ustad, gereja. Tidak lagi bertanya. Itulah kematian dari pikiran. Stephen Hawking mengatakan alam semesta itu bagus karena memberikan kesempatan dan kemungkinan untuk bertanya – melahirkan makhluk yang bertanya. Di Indonesia, saya sedih kalau bertemu lulusan universitas negeri di Indonesia yang dulu adalah center of exellence – UI, ITB, IPB, UGM – tidak satupun lulusannya bisa menulis untuk majalah Kalam yang isinya adalah pemikiran, diskusi yang disertai riset, diskusi yang matang, yang menulis juga harus bisa mengolah itu dengan bagus. Jadi yang PhD, yang S3, omong kosong. Di Indonesia, S3 adalah omong kosong. Anak-anak luar negeri itu tidak lebih pintar dari kita, sama saja. Sama-sama bodohnya, sama-sama pintarnya. Tetapi fasilitas dan metodenya bagus, mencari sendiri.
Kalau di Singapura lebih restricted, menakutkan kadang. Saya kira mungkin Korea, Jepang, atau Cina – karena ia maju sekali dalam bidang ilmu pengetahuan, dalam bidang pemikiran juga masih takut-takut, karena mereka belum terlalu berdemokrasi. Dari 20% anggaran pendidikan, APBN, jumlah yang sangat besar itu tidak ada hasilnya. Sri Mulyani pernah mengeluhkan hal ini. Saya mengutip beberapa tulisan ilmiah atau presentasi dari universitas-universitas di Indonesia, maaf, memalukan. Nah, mudah-mudahan, kan Pak Jokowi membuka Indonesia bagi perguruan tinggi asing, itu bagus sekali. Kita biasanya takut asing, tapi kalau takut asing terus nanti, tidak bisa maju. Kita maju, misalnya, karena asing, seperti membaca Ramayana dari India, makanan juga, bakpau dari Cina.
Belakangan banyak yang menyebutkan bahwa pemerintahan sekarang ini mengingatkan pada era Soeharto yang mengedepankan pembangunan dan mulai mengontrol pendapat publik (terbukti dengan disahkannya UU MD3). Bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?
Pertama, harus dibedakan. Kembali ke Orde Baru? Tidak mungkinlah. Kalian mau mengkritik Jokowi seperti apa, tidak akan ditangkap, pasti dibiarkan. Kalau lihat bagaimana serangan pada presiden, sejak zaman SBY, itu berlebihan. Dulu SBY digambarkan sebagai kerbau, itu kan kurang ajar, tapi dibiarkan. Tetapi kan bebas, jadi tidak bisa dibandingkan. Orang yang mengatakan kita kembali ke Orde Baru itu memfitnah dan bodoh. Memfitnah dan pintar masih lebih baik, memfitnah dan bodoh itu memalukan.
Masalah Indonesia sekarang adalah bahwa kita mempunyai DPR yang paling buruk sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Memang Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu keterlaluan. Masalah Indonesia sekarang adalah bahwa kita mempunyai DPR yang paling buruk sepanjang sejarah Republik Indonesia. Kalau kalian baca perdebatan di Majelis Konstitusi dulu, pemilihan tahun 50, itu mutunya hebat. Kalau sekarang, tidak. Belum lagi korupsinya. Selain otaknya dengkul, korupsinya berlipat-lipat. Lalu sekarang minta supaya jangan dihina? Mereka menghina diri sendiri setiap hari. Itu yang salah, karena memang ketakutan pada kritik, dan kesalahan pemerintah, termasuk presiden, adalah membiarkan ini masuk ke dalam parlemen. Presiden tidak mau tanda tangan kan? Itu bagus. Tapi kembali lagi, parlemen bisa memberlakukan ini.
Sekarang ini parlemen lebih kuat dari apapun, bahkan lebih kuat dari presiden. Presiden bisa dimakzulkan, parlemen tidak bisa. Jadi kekuasaan terbesar berada di DPR, bisa membentuk undang-undang untuk menyelamatkan diri sendiri. Presiden tidak bisa. Jika presiden mau membentuk suatu badan, itu ada undang-undangnya. Kalau dilihat perbedannya, unsur-unsur untuk membekukan pemikiran dan kritik itu ada, besar, belum lagi unsur-unsur Orde Baru masih berkeliaran, di pemerintah maupun di luar pemerintah.
Belum lagi unsur-unsur intoleran, fanatik. Intoleransi dan fanatisme itu menindas kebebasan berpikir. Ini masih banyak sekali dan masih kuat. Jika membuat media, janganlah sekedar untuk iseng. Inilah bagian dari perjuangan. Tanpa ada kemerdekaan berpikir dan bersuara, kalian tidak ada. Don’t take it for granted. Itu ada karena rahmat Tuhan. Kemerdekaan itu ada karena kita berteladan, setiap hari.
Selain itu, kesenian juga bagian dari perjuangan kebebasan. Sering-seringlah datang ke Salihara. Kalau tidak mengerti kesenian, nanti bisa bodoh juga. Karena begini, di Salihara banyak unsur pendidikan, ada kelas filsafat, kelas akting, kelas menulis, banyak diskusi, juga pertunjukan. Pertunjukan kesenian yang baru itu memperbaharui orientasi orang, memperkenalkan pada yang tidak biasa, dan itu membuka pikiran.
Membuka pikiran itu penting zaman sekarang. Jadi, di sini pun, di kesenian, juga diperjuangkan kemerdekaan. Mungkin lebih dari di press. Kalau di press kan masih memperhitungkan uang, kesenian tidak. Di sini, yang menonton lima orang juga harus tetap jalan, asal bagus dan baru, ada standarnya. Orang sering tidak mengerti bahwa dalam kesenian yang baru itu ada unsur pergulatan untuk kemerdekaan.
Bagaimana Anda melihat perkembangan jurnalisme di era sosial media seperti sekarang ini yang cenderung mengabaikan kedalaman berita untuk mengejar aktualitas dan engagement semata?
Ya, kita tidak bisa harapkan banyak dan harus ada sarana alternatif yang membentuk media-media menjadi bahan yang lebih dalam dari sosial media. Mulai ada kan? Seperti blog, grup-grup sains, grup diskusi, yang memperdalam persoalan. Misalnya kita berbicara soal undang-undang, itu kan kalau di media lewat saja, itu harus didiskusikan secara mendalam. Seperti kasus Ahok juga, dia kan betul-betul dianiaya karena ia dianggap menghina agama. Siapa yang bilang menghina agama? Memang agama bisa dihina? Agama bisa bilang ‘saya dihina’? Mana ada. Yang datang kan Habieb Rizieq, dia bukan agama, dia orang ormas. Kemudian naik banding, Peninjauan Kembali (PK), ditolak. Kaum Ahokers menuduh Mahkamah Agung salah.
Jadi, jangan harap Twitter dan Facebook dapat memperdalaman masalah. Buatlah alternatif.
Ada pendapat lain, yang salah adalah yang mengajukan Peninjauan Kembali karena memakai dasar pengadilan Buni Yani yang belum final, jadi salahnya pengacara Ahok. Nah, yang seperti ini harus dibicarakan. Tetapi, orang cenderung langsung berbicara di sosial media. Ini harus dibuat diskusi. Bolehlah berbicara di sosial media, tapi kemudian harus dicari lagi. Itu juga menopang kita untuk menghadapi banyak persoalan hidup. Jadi, jangan harap Twitter dan Facebook dapat memperdalaman masalah. Buatlah alternatif.
Bagaimana pula Anda melihat fenomena citizen journalism yang kadang bisa jadi positif namun tak jarang jadi negatif, misalnya fenomena Lambe Turah.
Ya sama saja. Negatifnya terasa karena lebih cepat dan lebih sering, belum lagi yang diviralkan, sirkulasinya juga lebih dahsyat. Saya juga menulis di Twitter dengan followers satu juta tiga ratus, mungkin lama-lama sedikit karena saya membosankan. Saya tidak mau bertengkar di Twitter, saya bukan Rocky Gerung. Ia gemar bertengkar di Twitter, saya tidak mau. Twitwar menurut saya adalah kebodohan dan kemalasan. Lebih baik orang-orang pintar menulis buku, menulis artikel yang panjang, menulis di media yang lebih panjang. Twitter tempat orang malas dan berlagak. Di Twitter saya, saya tetap menjaga jangan sampai saya menjadi seperti mereka. Kalau saya diserang, saya diam saja. Banyak yang menyerang saya. Teman-teman mengatakan “Kok kamu tahan?” Ya, saya tidak baca. Waste of time, waste of energy.
Selain aktif menulis, Anda juga cukup banyak berkontribusi dalam membangun berbagai komunitas budaya, mulai dari Utan Kayu sampai Salihara. Apa sebenarnya yang coba dibuat dengan aktivitas ini?
Saya kan pada dasarnya penulis, sekarang menjadi pelukis. Itu habitat saya yang lama, saya kembali saja. Seperti yang saya katakan, kesenian dan pemikiran itu penting bagi kemerdekaan berpikir, dan kemerdekaan berpikir penting untuk memberikan arifnya kehidupan, membuat orang cerdas dalam menyelesaikan persoalan, dan berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda. Itu penting. Saya harus merawat ini meskipun tidak ada uangnya. Pun juga menjadi alternatif bahwa tidak semuanya harus mencari uang. Di sini, acara internasional, tiketnya 100 ribu. Coba di Sentul, jutaan. Di sini, kuliah filsafat, 4 bulan, 4 juta sudah mendapat macam-macam. Di tempat lain kan mahal. Di sini ada kursus desain grafis, 1 juta, dapat makanan. Kami tidak ingin menjadi komersil di dalam masyarakat yang komersil sekali, apapun dijual. Di sini kami tidak bisa begitu terus, harus ada pilihan lain kalau kita mau menjadi manusia. Kecuali kita tidak mau menjadi manusia, menjadi mall semuanya.
Apakah ada cerita menarik dari pengalaman mengelola komunitas budaya seperti Salihara selama bertahun-tahun?
Orang selalu salah paham. Pertama, menganggap ini sebagai kemewahan, sebagai hobi yang mahal. Seolah-olah ini lapangan golf atau kegiatan mengumpulkan mobil keren. Ada teman saya lulusan Amerika, dia kemari dan bertanya “Ini biayanya berapa?” Saya jawab, “Sekian,” dia bilang “Wah hobi yang mahal juga ya.” Dia lihat ini sebagai hobi. Ini perjuangan. Ini serius. Di sini kami serius, ini perjuangan. Kalau tidak kan tidak mau bekerja di sini, masa depan tidak ada. Jadi yang bekerja di sini ada yang sambilan atau yang memang beranggapan “we have to do it.” Nah, banyak salah paham juga bahwa kesenian itu hanya senang-senang – hobi, senang-senang, menari-nari, untuk turisme. Itu menyedihkan.
Umumnya tanggapan di Indonesia seperti itu, dari pejabat hingga orang awam. Padahal seperti yang saya katakan tadi, ada unsur pergulatan untuk kemerdekaan. Ajaklah teman-teman kalian kemari, kadang-kadang gratis, ceramah gratis. Karlina Supelli pernah membuat ceramah yang bagus sekali, gratis. Saya membuat ceramah, gratis. Itu kan ilmu yang tidak perlu bayar. Tetapi orang melihat ini sebagai apa? Hobi? Di sini adalah pengabdian katanya – buruknya bisa dibilang pengabdian. Melihat keadaan di Indonesia, semuanya adalah pembodohan, semuanya adalah pengerjaan palsu. Kalau itu semua menjalar ke mana-mana, tidak ada kelompok-kelompok yang mencoba merawat hal-hal yang baik, hancurlah sudah.
Bagaimana Anda melihat perkembangan budaya anak muda sekarang ini? Mungkin di bidang sastra, teater hingga musik.
Sebetulnya yang menarik adalah justru banyak yang bagus, ketika pendidikan negeri formal buruk. Saya lihat di bidang kesenian ya, sekolah-sekolah kesenian negeri itu tidak menghasilkan apa-apa. Tapi, tempat-tempat seperti ini menghasilkan banyak – berkreasi tanpa menjadi S3 terlebih dahulu. Sekarang kan seniman harus menjadi S3, untuk apa? Di Amerika, S3 itu hanya untuk para pengajar. Sekarang lebih banyak novel ditulis daripada di zaman saya. Film, bagus sekali.
Film Indonesia sekarang bagus sekali, tidak terbayangkan di awal 20 tahun yang lalu.
Film Indonesia sekarang bagus sekali, tidak terbayangkan di awal 20 tahun yang lalu. Yang seperti itu kan bagus, dan itu sekarang ada, dulu tidak ada. Itu mungkin juga berkat dari digital work dalam seni rupa. Nanti bulan Mei, kalau kalian ke Yogya, kalian akan melihat suatu festival seni rupa yang tiap tahunnya besar sekali, dan Yogya menjadi pusat kesenian seni rupa di Asia Tenggara. Orang datang dari luar negeri. Kita ulung sekali di situ, meskipun pendidikan buruk dan pemerintah tidak campur tangan dalam kesenian. Saya kira karena bangsa ini cukup besar jumlahnya, dari 100 juta pasti ada 5 jenius, masa tidak ada? Tidak perlu banyak. Maksud saya, interaksi sekarang sudah bagus, dan ada kebebasan.
Yang bahaya adalah, kebebasan itu makin diancam oleh kelompok-kelompok seperti FPI dan sebagainya. Kita nanti menjadi Arab Saudi yang tidak ada apa-apanya. Sekarang pun Arab Saudi mulai berubah bukan? Sekarang perempuan boleh menonton bola, bertahun-tahun tidak boleh menonton bola, kan keterlaluan. Sekarang boleh ada bioskop, dulu di sana tidak boleh ada bioskop. Kalau pakaian – hijab – oke lah, tapi menonton bola tidak boleh? Sejak berapa tahun itu, merdekanya kan hampir sama dengan kita, bahkan lebih dulu. Nah, kalau kita menjadi seperti itu, kan mati, dan itu yang harus kita lawan. Jadi kalau kita melawan FPI, itu bukan kita melawan Rizieq, melawan perilaku mereka yang kurang ajar, tetapi melawan pemikiran di belakangnya yang adalah intoleransi, ketakutan pada kemerdekaan, dan kebencian pada hal yang baru. Belum lagi melarang orang beragama lain untuk beribadah, itu suatu kejahatan tersendiri. Tapi yang lebih dasar, menindas kemerdekaan.
Apakah karya selanjutnya yang akan hadir dari Anda?
Tidak tahu. Bukan buku ya, menulis buku kan mahal dan tidak ada uangnya. Mungkin pertunjukan. Saya sekarang melukis. Nanti akan ada pameran besar bulan Juni di Galeri Nasional, pameran kolaborasi. Lihat saja di Facebook saya. Kalau di Twitter saya tidak banyak omong, karena terbatas, pun tidak tenang. Saya usahakan mengikuti yang; ya kalau ada berita buruk, kita sanjungkan berita baik, supaya orang jangan terlalu muram. Indonesia jangan-jangan runtuh pada tahun 2030, tapi paling tidak kita hidup asyik. Runtuh dari mana?