Menjadi Juri Piala Oscar dan Pentingnya Representasi dalam Sinema bersama Amelia Hapsari
Kami berbincang dengan Amelia Hapsari, Program Director In-Docs, soal terpilihnya ia sebagai anggota baru Academy, seluk-beluk industri film dokumenter dan pentingnya representasi dalam sinema.
Words by Ghina Sabrina
Dalam beberapa tahun terakhir, industri film dokumenter Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Selain dengan semakin banyak karya kita yang berhasil masuk ke festival film internasional, juga ekosistem dalam negeri yang semakin terbentuk berkat keberadaan sederet festival film lokal berskala internasional serta adanya program maupun forum yang memberi kesempatan film dokumenter lokal untuk mendapatkan spotlight di skala global. Amelia Hapsari adalah salah satu sosok di balik In-Docs, lembaga nirlaba yang memiliki andil besar dalam mengembangkan ekosistem film dokumenter lokal dan internasional. Kami pun berbincang dengan Program Director In-Docs tersebut untuk mengetahui lebih lanjut soal program-program yang didirikannya, seperti Docs by the Sea, pentingnya mentorship dalam industri film, serta sikapnya setelah terpilih sebagai orang Indonesia pertama dalam anggota Academy.
Bagaimana awal dari keinginan Anda untuk terjun ke dalam dunia film, khususnya film dokumenter?
Pertama kali saya terjun ke dunia film itu sudah lama sebetulnya. Pada tahun 2001 – saya masih kuliah tahun terakhir – saya membuat film saya yang pertama, film dokumenter. Sebetulnya sejak saya lulus kuliah, saya bertekad ingin menjadi pembuat film dokumenter, cuman memang perjalanan seorang pembuat film dokumenter itu kan tidak pernah pendek, tidak pernah juga langsung bisa sukses, jadi di dalam perjalanannya saya berusaha mencari pekerjaan yang membuat saya masih tetap bisa membuat film dokumenter.
Waktu S2, saya juga sedang membuat lagi film dokumenter yang merupakan bagian dari tugas kampus. Sesudah lulus S2, kan tidak mungkin saya sekolah terus dan bergantung dari orang tua, karena itu saya menerima pekerjaan menjadi semacam editor bahasa di China Radio International. Waktu itu jabatannya bernama Foreign Expert, tapi pekerjaannya sendiri kadang-kadang menulis serta membuat berita di departemen Bahasa Indonesia di radio milik pemerintah Cina. Di radio itu saya stay 3 tahun, kemudian 1 tahunnya saya lebih ke independen dan berusaha membuat film dokumenter lagi walaupun mengalami banyak kendala. Di satu sisi, pengalaman masih minim karena saya tidak pernah memiliki latar belakang pendidikan film dokumenter yang kuat. Karena dari studi-studi yang saya ambil itu saya tidak pernah betul-betul sekolah film, selalu sekolahnya itu jurusan Komunikasi sambil mengambil kelas yang ada filmnya.
Jadi sebetulnya perjalanan saya itulah yang ketika saya di In-Docs saya menyadari betapa beratnya tantangan menjadi seorang pembuat film dokumenter. Dari Cina, saya pulang dan kemudian membuat film dokumenter “Jadi Jagoan ala Ahok”. Film itu pun tertunda 4 tahun. Meskipun produksinya di tahun 2009, baru saya selesaikan di 2012 sesudah menjadi Program Director In-Docs. Karena saya dapat gaji bulanan, saya jadi bisa meluangkan waktu dan kebetulan dikasih izin untuk menyelesaikan film dokumenter itu.
Saya sangat mengenal betapa beratnya ketika seorang pembuat film dokumenter itu ingin berkarir di dokumenter dan ingin mendapatkan pendanaan yang layak untuk filmnya. Saya sangat memahami. Karena itu, saya di In-Docs berusaha untuk mendisrupsi keadaan ini. Kalau seperti gini terus, masyarakat Indonesia tidak akan pernah bisa melihat film-film dokumenter berkualitas. Kemudian, kita akan kehilangan cara-cara pandang yang kritis terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, yang dimiliki oleh para pembuat film dokumenter independen.
Kalau seperti gini terus, masyarakat Indonesia tidak akan pernah bisa melihat film-film dokumenter berkualitas.
Awalnya, saya juga tidak tahu bagaimana caranya mendisrupsi keadaan yang cukup parah ini. Tidak ada pendanaan dan distribusi formal. Kemudian seiring berjalannya waktu, saya berkenalan, dan banyak belajar dari program DocNet Southeast Asia yang diselenggarakan oleh Goethe. Program tersebut mengadakan banyak diskusi dan seminar dengan para pembuat film dokumenter di Asia Tenggara. Dari situ kami menyadari tidak adanya infrastruktur yaitu pendanaan dan distribusi. Karena itu, saya berpikir, kalau infrastruktur di Indonesia belum ada, kita harus terkoneksi dengan infrastruktur yang sudah ada, yaitu di dunia internasional.
Di dunia internasional itu memang ada buyer-nya, investasinya pun bisa berupa macam-macam seperti commission, co-production, acquisition, dan grant. Tapi, tentu saja pada akhirnya kita harus berkompetisi dengan seluruh dunia. It kan catch-nya. Dari situ, kami beruntung, melalui koneksi-koneksi DocNet Southeast Asia, bisa bertemu dengan mentor-mentor internasional yang kemudian bisa kita ajak kerja sama untuk menelurkan serial dokumenter. Kami ingin membuat serial dokumenter dengan bakat-bakat dokumenter Asia. Kemudian, produk atau filmnya harus bertaraf internasional sehingga bisa mendapatkan pendanaan dan distribusi luas dari dunia internasional. Itu lah program Dare to Dream Asia.
Kami bekerja sama dengan mentor-mentor internasional, kami call for projects sehingga siapa saja boleh mendaftar, dan pemilih juga para mentor-mentor internasional, bukan In-Docs. Jadi kami harus mendengarkan yang paling berpotensi secara internasional itu proyek-proyek yang mana. Walau memang pendanaannya masih cukup sulit, kami workshop berkali-kali, terus pitching ke forum internasional, mencari kolaborator dan memperkenalkan, “Ini ada film-film Asia Tenggara yang bisa didanai.”
Untungnya, di tahun 2017, sedikit demi sedikit usaha kami untuk berkoneksi dengan dunia internasional ini didukung BEKRAF. Kemudian, pada saat itu, saya masih ingat Pak Fadjar Hutomo, Deputi Akses Pendanaan, bilang, “Daripada pergi-pergi kayak gini, kenapa gak buat aja di Indonesia? Bisa gak Mbak?” Terus saya pikir, “Ya bisa lah Pak.” Lalu jadi kami bikin Docs by the Sea, yang didukung oleh BEKRAF.
Itu mulai turning point-nya. Sejak gelaran itu kemudian kami tidak pergi-pergi lagi ke mana-mana untuk semacam menawarkan film-film dari Asia Tenggara, tapi forumnya itu bertempat di Bali, Indonesia. Kami tidak hanya mempromosikan film yang besar saja, tapi kami buka call for projects. Gelaran yang pertama berlangsung 2 hari dan kami presentasikan 30 proyek dan kami buka undangan ke seluruh dunia. Waktu itu yang datang sekitar 30 pemangku kepentingan utama dari seluruh dunia, ada yang dari Sundance, Tribeca, juga ada televisi dari Finlandia, Swedia, NHK, mereka semua datang. Ternyata, mereka sangat surprised bahwa ada bakat-bakat seperti ini di Asia Tenggara. Mereka sangat antusias terhadap film-film yang dipresentasikan.
Lalu, tahun depannya, Docs by the Sea kemudian menjadi pembicaraan di internasional. Pokoknya semua orang jadi ingin diundang ke sana karena mencari film-film Asia Tenggara di dunia internasional itu sulit karena tidak ada pendaannya. Kalau tidak ada pendanaan, bagaimana kita bisa presentasi ke seluruh dunia? Kan tidak bisa juga. Jadi, kesempatan itu baik bagi pembuat film, tapi juga baik bagi para pencari film. Industri internasional juga merasa itu forum yang penting karena kemudian mereka bisa berkoneksi dengan talenta-talenta yang sebelumnya mereka tidak pernah tahu itu ada.
Itu berlangsung pelan-pelan. Kami sendiri pun sudah cukup deg-degan ya, karena saya selalu ditanyakan BEKRAF, “Apa hasil Docs by the Sea?” Padahal, kalau forum atau market seperti itu hasilnya tidak bisa satu hari langsung jadi. Pasti kan nunggu filmnya jadi. Terus, koneksi-koneksi itu tidak bisa satu hari langsung tanda tangan kontrak, itu pasti berbulan-bulan. Jadi meskipun sudah ada peminat, pasti nanti me-lock-nya berbulan-bulan karena mereka menganalisa proyeknya, minta kami kirim progress dan seterusnya sampai mereka percaya, itu baru tanda tangan dan baru dana datang.
Ternyata mulai dari tahun 2018, dan sepanjang tahun 2019, itu betul-betu bagi saya menjadi tahun dokumenter Asia Tenggara. Di akhir tahun 2019, dari 74 proyek yang kita dukung, 20 film sudah selesai. Sekarang lebih lagi, bertambah menjadi 23 film yang sudah selesai. Mereka dipilih dari 88 film festival di seluruh dunia, 9 di antaranya mendapatkan broadcast global dan kemudian proyek-proyek ini berhasil mendapatkan lebih dari 40 pendanaan dari seluruh dunia. Itu memang mungkin awalnya dari Docs by the Sea, tapi kemudian mereka dipilih ke forum lain yang lebih besar. Nanti di forum itu lah mereka mendapatkan koneksi lain. Tapi pada awalnya, mereka diperkenalkan kepada dunia lewat Docs by the Sea.
Jadi di satu sisi, kami memberi koneksi meskipun deal itu tidak terjadi di Docs by the Sea. Namun perjalanan film itu sesudah dari forum tersebut kemudian mendatangkan banyak sekali manfaat/hasil untuk film-film ini. Di samping dari itu, kami sebagai In-Docs – ataupun saya sendiri – itu tidak pernah berhenti bekerja hanya sebagai event organizer. Karena saya sering diundang ke berbagai event internasional, kesempatan itu seringkali saya gunakan untuk follow up. Jadi sebagai organizer, kita harus selalu mengetahui, “Jadi bagaimana minat-minat terhadap film yang ada di Docs by the Sea?” Kemudian kalau ketemu lagi, di follow up, “Katanya kemarin minat? Apa kendalanya? Prosesnya sedang di mana?” Sambil juga mencari kenalan baru yang kemudian kami bisa mempromosikan film-film yang sudah kami dukung. Misalnya ada film yang sudah jadi, lalu kami kirimkan film-filmnya ke para programmer festival yang sudah kami kenal sebelumnya. Cuma memang kami harus nonton dulu, baru kemudian mem-pitch lagi film itu dengan angle yang menurut kami akan masuk di mereka. Pengetahuan akan industri membuat kami semakin tahu mana celah yang bisa dimasukan, lalu kami pakai untuk terus mempromosikan film-film yang kami dukung.
Hasilnya pasti tidak sama antara satu film dengan film lainnya. Pasti ada film yang mendapat animo bagus di mana-mana, tapi juga ada film yang hanya masuk di satu atau dua festival. Ini sebetulnya jangan membuat para pembuat film kecil hati, karena yang penting kita tahu itu film yang bagus, kita percaya pada nilainya, dan kemudian tidak hanya berhenti pada festival atau sales, tapi juga mencari cara-cara lain supaya bisa sampai ke penonton. Bagi saya itu harus selalu begitu karena kita masih dalam fase memperkenalkan dan mempromosikan. Masih pada fase di mana pasar dari film-film ini sendiri belum terbentuk di negara kita masing-masing.
Selain daripada industri internasional, sasaran kami berikutnya adalah para penggerak perubahan karena film dokumenter itu pasti menyuarakan keinginan dari pembuat filmnya untuk mendukung sebuah perubahan. Dia tidak asal dibuat, tapi dibuat berdasarkan keinginan agar masyarakat kita itu berubah menjadi lebih baik. Karena tujuannya begitu, maka kemudian tugas In-Docs yang kedua adalah menghubungkan film-film ini dengan penggerak perubahan supaya kemudian digunakan untuk ikut mempromosikan perubahan yang ingin dicapai. Itu adalah platform kami yang satunya lagi yaitu Good Pitch.
Di sana, kami juga mempresentasikan film-film yang belum jadi, sudah hampir jadi, atau yang masih dalam tahap produksi. Audience-nya pun lain, bukan industri, tapi lebih ke penggerak perubahan, seperti: LSM, kalangan pendidikan, policy makers dari pemerintah, religious leaders, individu-individu, brand, hingga private sector yang kemudian mendukung isu-isu tertentu. Di situ kami mencari donasi untuk film-filmnya supaya kemudian bisa dibuat dengan anggaran yang lebih proper dan dapat dibuat dengan kualitas bagus. Selain itu, kami juga merancang impact campaign yaitu kampanye yang menggunakan film ini supaya dampak-dampak film ini tercapai. Sayangnya ini baru mulai juga. Saya selalu ditanya, “Pencapaian dan dampaknya apa?” Dalam tahun-tahun ini kami akan menunjukkan dan kami akan memperlihatkan bahwa film dokumenter itu punya potensi yang amat besar dan seharusnya mendapatkan pendanaan dan distribusi yang sesuai.
Ternyata mulai dari tahun 2018, dan sepanjang tahun 2019, itu betul-betu bagi saya menjadi tahun dokumenter Asia Tenggara.
Mentorship di industri film merupakan salah satu hal yang dibutuhkan para sineas baru untuk bisa masuk ke industri yang sudah established. Juga merupakan salah satu aspek dominan di In-Docs, bagaimana Anda melihat mentorship sebagai hal yang bisa mengembangkan industri film kita sendiri?
Saya melihat mentorship itu sesuatu yang amat penting. Ketika kita tidak menemukan akses pembelajaran yang tepat – meskipun kita ingin belajar – di mana cara berpikir sang mentor untuk menghasilkan film yang bagus itu tidak kita kenali, itu menurut saya amat sulit untuk seseorang benar-benar meningkatkan keterampilannya sebagai pembuat film. Karena di seluruh dunia pun demikian.
Memang mentorship itu bukan sesuatu yang mudah, apalagi ketika mentornya tidak tepat, tidak punya orientasi pembelajaran yang efektif – dan itu kan beda-beda ya setiap orang. Karena itu kami di In-Docs cukup hati-hati kalau memilih mentor karena film dokumenter yang masuk ke program-program kami sangat beragam dan tidak semuanya bisa menggunakan sebuah metode tertentu. Tergantung cara bertutur yang dipilih oleh sutradaranya. Karena itu kami memastikan bahwa mentor-mentor kami beragam, entah itu kalau dia produser, dia itu pernah memproduseri film-film dengan cara bercerita yang beragam, kalau dia editor, pernah mengedit film dengan berbagai macam cara bertutur. Itu kenapa pemilihan mentor di In-Docs dilakukan dengan sangat hati-hati. Terus antara mentor dan peserta itu kami mencari mentor yang benar-benar mendengarkan dan juga mencari visi sutradaranya instead of memaksakan cara berpikirnya kepada sutradara tertentu. Kami selalu meminta feedback, dan kami selalu menganalisa.
Kalau mentornya itu terbuka dari seluruh dunia, pada akhirnya ada banyak pilihan. Tapi kalau kami membatasi mentornya cuma dari tempat tertentu saja, itu memang susah. Karena itu, keterbukaan pada the world of knowledge, cara berpikir yang beragam, itu penting.
Lagu Ibu saya buat di penjara Bukit Duri. Karena pikiran saya, Ibu sudah tahu belum kalau saya ini dalam tahanan. – Ibu Utati, anggota koor Pemuda Rakyat yang 11 tahun dibui tanpa pengadilan
Film Bangkit dari Bisu karya Shalahuddin Siregar. Penuhnya: https://t.co/w6ZZERrQYX. pic.twitter.com/eHPc5lV9RM
— Potret Lawas (@potretlawas) September 30, 2018
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, perbedaan apa saja yang mempengaruhi adanya perbedaan perkembangan industri film Indonesia dan luar, khususnya untuk wadah film dokumenter?
Ada beberapa hal. Indonesia punya iklim demokrasi yang relatif cukup baik, meskipun demokrasi kita sedikit demi sedikit mulai tergerus. Kita menghadapi banyak tantangan, polarisasi, konservatisme, terjadi banyak kriminalisasi juga terhadap aktivis, terhadap jurnalis, tapi kemudian ada negara-negara yang jauh lebih represif. Itu membuat, paling tidak, kondisi itu cukup mendukung lah. Dan kemudian dukungan terhadap film dokumenter dan dokumenter independen kemudian ada. Tapi negara-negara yang kurang demokratis saja misalnya Singapura tetap punya kehidupan berdokumenter yang cukup vibrant. Tetap ada talenta-talenta meski bagaimanapun keadaan di negara tersebut. Saya melihat masih tetap ada bakat-bakat dokumenter yang menggunakan segala cara, belajar dari berbagai macam sumber untuk mengembangkan keterampilannya.
Keterbukaan pada the world of knowledge, cara berpikir yang beragam, itu penting.
Yang sama lagi mungkin masalah funding. Pendanaan dari pemerintah itu di negara-negara Asia Tenggara juga amat sulit, terutama untuk dokumenter independen. Kalau dokumenter TV, ada juga negara-negara yang punya sistem pertelevisian yang cukup makmur jadi mereka bisa berkolaborasi dengan para pelaku independen. Walaupun formatnya harus disesuaikan sehingga tidak bisa betul-betul independen. Kalau dari segi dukungan kepada sistem independennya itu hampir sama di Asia Tenggara.
Baru-baru ini Anda terpilih menjadi salah satu dari 819 anggota baru Academy of Motion Picture Arts and Sciences, bisa ceritakan bagaimana proses pemilihannya dan apa langkah selanjutnya bagi yang terpilih?
Jadi untuk bisa menjadi anggota Academy, selain karena telah masuk nominasi Oscars, juga bisa karena dinominasikan oleh anggota Academy yang lain. Saya termasuk yang kedua, yang dinominasikan. Sebetulnya saya sendiri tidak tahu bahwa saya dinominasikan karena saya tidak pernah menominasikan orang, saya tidak tahu kriterianya apa, bagaimana seleksinya, semuanya itu sebetulnya cukup gelap. Saya cuma pernah dimintai CV sama short bio oleh beberapa rekan di industri internasional. Kemudian tiba-tiba tanggal 1 Juli, teman-teman pada menyelamatkan bahwa saya sudah masuk menjadi anggota Academy. Saya sendiri kaget. Akhirnya ada satu orang mengaku bahwa ia menominasikan saya.
Saya tahu bahwa ada gerakan yang ingin membuat Oscars semakin beragam, dengan mengundang semakin banyak produser, sutradara dari kulit berwarna dari negara-negara berkembang supaya masuk ke Academy. Juga supaya ketika voting dan lain sebagainya itu dari hasil suara-suara yang dulunya jarang terepresentasikan. Beberapa tahun kebelakang memang ada beberapa orang yang bertanya kepada saya soal siapa yang bisa dinominasikan dari Asia Tenggara, siapa yang sudah memproduksi feature-length film. Jadi saya mengerti, cuma saya tidak tahu bahwa kemudian saya lah yang dipilih.
Awalnya saya juga tidak tahu sama sekali. Saya baru tahu ketika membuka email “Welcome to the Academy”. Jadi Academy itu ada dua, yang pertama, tugasnya itu voting untuk film-film yang diharapkan masuk nominasi Oscars, yang kedua adalah building next generation of filmmakers. Kan kalau yang dilihat masyarakat, mereka adalah pemberi penghargaan pada puncak sinema, tapi sebetulnya tidak, makanya dia disebut Academy. Di satu sisi mereka memberi penghargaan kepada puncak-puncaknya, di sisi lain dia juga melakukan outreach dengan mengadakan semacam fellowship kepada mereka yang belajar penulisan naskah, mengadakan seminar, serta meminta para anggota Academy untuk berbagi expertise mereka dengan berbicara dan menjangkau calon-calon pemenang Oscars di generasi berikutnya. Mereka juga memiliki program internasional outreach. Lalu mereka membuat museum Academy di Los Angeles supaya sejarah dan hal-hal yang berkaitan dengan Academy bisa diakses oleh publik.
Mereka pun punya program mentorship. Jadi ketika masuk itu ditanya, sebagai anggota Academy, program mana yang paling menarik untukmu? Karena semua ini kan volunteer, tidak ada yang dibayar, baik itu voting sampai semua keikutsertaan dalam kegiatan Academy itu semuanya voluntary-based. Jadi ditanya, “Apa yang bisa kamu sumbangkan? Apakah kamu mau mentoring satu orang selama satu tahun? Apakah kamu mau ikut program international outreach kami?” Seperti itu.
Sampai saat ini, kita dikasih tahu bahwa di dalam Academy ada banyak sekali program-program semacam itu yang tujuannya bagaimana supaya orang-orang yang sudah dianggap expert, atau orang-orang yang sudah masuk karena sebuah kelebihannya ini, bisa ikut serta berbagi dengan kaum muda yang akan bercita-cita juga untuk meraih piala Oscars. Secara sederhananya begitu.
Jadi sebenarnya mirip dengan apa yang sudah Anda lakukan di In-Docs?
Iya. In-Docs kan tidak punya festival ya, jadi kami tidak memberikan penghargaan. Tapi bagi saya itu juga menarik. Ternyata Academy itu seperti itu. Makanya dia itu disebut Academy of Motion Picture Arts and Sciences. Tapi mereka bukan betul-betul sebuah sekolah, mereka program.
Langkah tersebut juga merupakan upaya untuk menunjukkan inklusivitas dalam board members mereka yang sebelumnya dikritik oleh publik dengan tagar #OscarSoWhite. Menurut Anda, sejauh mana langkah ini dapat memperbaiki sistem serta industri perfilman secara global?
Pastinya akan ada pengaruhnya. Anggota Academy itu sangat banyak dan meskipun mereka bisa vote, mereka itu bekerja voluntarily. Jadi coba bayangkan anggota Academy yang let’s say sudah 15-20 tahun menjadi member, kadang-kadang kan dia akan males voting. Atau mungkin dia sudah tidak terlalu peduli lagi, bahkan sudah pindah profesi. Sedangkan kalau [anggota] yang lama-lama ini sudah terlalu old-school, sudah melihat film dari sudut pandang mereka, dan kalau tidak ada anggota baru yang dimasukkan, kan nanti penghargaan itu stagnan dan tidak merepresentasikan dunia. Basically, di video “Welcome to the Academy” itu dikasih tahu apa sih yang diinginkan oleh Academy? “We want the screen to reflect the world.” Jadi yang mereka inginkan itu adalah film-film yang kita tonton sebagai refleksi dari dunia kita sekarang. Oleh karena itu, kalau dunia sekarang beragam, mereka juga harus memasukkan terus orang-orang yang beragam sehingga kemudian mendorong malam penghargaan itu menghargai karya-karya dan talenta-talenta yang beragam. Mudah-mudahan ada dampaknya. Untuk seberapa besarnya, saya tidak bisa memprediksi. Tapi bagusnya, ketika semua usaha itu merupakan conscious effort, saya yakin bisa berbuah.
Sejak kemunculan streaming platform seperti Netflix, film/seri dokumenter yang seringkali hanya dapat ditonton di festival film/bioskop alternatif kini bisa diakses secara mudah oleh publik, bahkan beberapa telah menjadi bagian dari pop culture. Bagaimana Anda melihat dampak dari streaming platform terhadap industri film dokumenter saat ini?
Ada dua sisi sih. Di satu sisi, bagus, seperti yang kamu bilang. Orang-orang yang dulunya tidak menonton dokumenter, sekarang jadi bisa menikmatinya gara-gara dia buka Netflix, terus ada dokumenter yang dikemas dengan cara bercerita seperti thriller dan true crime yang lebih punya mass appeal. Sehingga film dokumenter yang – walau dirayakan di festival besar – dulunya tanpa Netflix itu ditayangkan di jam-jam yang kurang strategis, sekarang bisa ditonton kapan saja dan muncul di promo-promo, membuat lebih banyak penonton.
Di sisi lain, keberagaman yang ditampilkan Netflix itu juga masih belum ideal dan ada juga kemungkinan film-film yang tenggelam karena library-nya banyak. Cara kerja Netflix kan menggunakan algoritma, jadi dia akan mempromosikan film sesuai dari apa yang kita pilih sebelumnya, atau kebiasaan penonton. Kadang-kadang pun saya merasa bosan, ketika ingin mencari sesuatu yang baru itu susah. Kita harus terus membaca berita dan mencari hal-hal yang menarik bagi kita, kemudian bisa menemukan film baru. Tapi, Netflix sebetulnya tidak bisa menggantikan keberadaan festival di mana katalog yang disodorkan itu amat beragam, itu lagi-lagi merupakan conscious effort. Sebuah usaha berkesadaran untuk membawa keberagaman yang kemudian dilakukan oleh programmer atau organizer dari festival tersebut untuk memberi tayangan yang berbeda kepada warga kotanya atau orang-orang disekelilingnya.
Jadi, di satu sisi, streaming platform itu bagus untuk memperluas jangkauan penonton. Namun di sisi lain, tidak cukup hanya demikian saja. Kita tetap membutuhkan avenues atau platform-platform lain, kurator, festival, dan penggiat budaya lain untuk meningkatkan keberagaman tayangan kita.
Kemudian, bagaimana Anda melihat masa depan industri film Indonesia, khususnya peluang serta tantangan yang akan dihadapi terutama di masa pandemi ini?
Kita tetap membutuhkan avenues atau platform-platform lain, kurator, festival, dan penggiat budaya lain untuk meningkatkan keberagaman tayangan kita.
Ini pertanyaan yang sangat sulit karena pastinya industri film dokumenter itu terdampak hebat. Baru-baru ini, saya menganalisa lagi protokol yang diberikan pemerintah untuk mulai membuka kesempatan untuk berproduksi. Dari kalangan rekan-rekan organisasi dokumenter internasional juga mengeluarkan semacam assessment. Itu berat sih. Jadi salah satu assessment-nya itu, apakah filmnya betul-betul punya kepentingan publik yang sedemikian tinggi sehingga melampaui resiko yang dibawa dengan melakukan perjalanan, atau menularkan COVID-19 ke komunitas yang kita shoot dan kemudian membawa virusnya ke rumah kita.
Di satu sisi, kan kita harus menganalisis diri kita – apakah kita mau shooting apa tidak? Apakah ini sesuatu yang betul-betul harus diproduksi apa tidak? Di sisi lain, para funder dokumenter itu menganalisa kembali, apakah mereka harus spend atau tidak? Karena mereka takut kalau mereka sudah spend untuk film dokumenter dan sudah shooting semua, apakah akan menjadi resiko atau tidak? Baik untuk keluarga mereka sendiri maupun kepada komunitas yang kemudian mereka rekam. Sebetulnya pembuat film dokumenter dalam keadaan yang amat sulit.
Sementara itu, streaming platform mengalami kenaikan penonton yang gila-gilaan sehingga membutuhkan konten juga. Ada juga film-film yang memang pas diputar pada saat ini dan kemudian mendapatkan sales atau tempat di televisi dan platform-platform digital lainnya.
Jadi, masa depannya bagaimana? Semua orang sedang bertanya-tanya, sih. Saya yakin kita semakin lama akan semakin hybrid dalam cara bercerita. Di satu sisi, perspektif yang dibawa film dokumenter itu tidak bisa digantikan dengan fiksi atau animasi, karena yang direkam adalah realita. Di sisi lain, ini kemudian menjadi goal untuk demokratisasi pembuatan film dokumenter sehingga praktik seperti parashooting bisa dievaluasi kembali pelaksanaannya. Parashooting ini memang sedang dikritisi di tahun-tahun terakhir tanpa adanya pandemi karena bagaimana kita bisa menjamin bahwa hal itu tidak eksploitatif? Misalnya cerita filmnya tentang Lombok atau Toraja, tapi filmmaker-nya datang dari Eropa. Hal itu sudah mulai dibicarakan di festival-festival film di seluruh dunia.
Tujuan dari demokratisasi pembuatan film dokumenter ini adalah supaya cara-cara kita bercerita itu lebih merangkul, lebih melibatkan para pencerita dari komunitas itu sendiri. Sepertinya itu akan menjadi kewajiban bersama. Kita akan kemudian diwajibkan untuk terus mendemokratisasi cara bercerita dan cara pembuatan/produksi film dokumenter. Apalagi dengan pandemi seperti ini, di mana perjalanan dan lain sebagainya itu perlu dipertanyakan terus-menerus relevansi dan resikonya.
Semakin lama saya yakin kita akan dituntut untuk bercerita dengan cara lain. Bagus juga, dengan demikian, suara dari sebuah komunitas/daerah itu kemudian pada akhirnya diceritakan oleh orang-orang yang berasal dari komunitas/daerah itu sendiri. Ini pun menjadi kewajiban bagi organisasi-organisasi seperti In-Docs untuk membantu para talenta-talenta yang ada di daerah masing-masing ini untuk meningkatkan kualitasnya supaya bisa didengarkan dunia. Karena kita tidak bisa juga asal melakukan sesuatu lalu dunia harus mendengarkan. Kita juga harus somehow mempresentasikannya dengan cara-cara yang paling menarik, yang paling efektif. Pastinya juga menjadi kewajiban dari pemerintah setempat, sekolah dari orang-orang yang memang di sana untuk kemudian memberi kesempatan lebih kepada bakat-bakat di daerahnya masing-masing.
Apa rencana Anda ke depannya?
Di In-Docs sebetulnya kami sedang menggodok rencana untuk mulai mengkoneksikan film-film dokumenter yang layak didukung dan baik untuk penonton Indonesia untuk bisa dapat diakses. Cuman memang kami ingin skemanya itu menguntungkan juga bagi para pembuat film karena selama ini skema-skema yang ada di Indonesia itu masih, menurut saya, tidak berpihak kepada pembuat film. Misalnya bagi hasil, di mana kita memasang film di platform mereka, terus sementara itu platformnya tidak – mereka kan sebetulnya pemilik modal – melakukan promosi kepada film kita. Itu menjadi tantangan, bagaimana mengedukasi serta mengajak mereka untuk melihat skema tersebut dengan lebih kritis.