Membedah Industri Film Bersama Meiske Taurisia
Mendiskusikan masalah, kebutuhan, serta potensi dari industri film lokal bersama produser film sekaligus inisiator Kinosaurus dan kolektif, Meiske Taurisia.
Words by Whiteboard Journal
Interviewer: Ivan Makhsara
Di suatu sore yang tenang di Singkawang, Ivan Makhsara berbicara kepada Meiske Taurisia, atau akrab disapa “Mbak Dede”. Keduanya duduk di sebuah warung kecil, tak jauh dari lokasi syuting film Aruna dan Lidahnya yang sedang diproduksi oleh Palari Films. Palari Films adalah rumah produksi film yang didirikan oleh Dede dan Muhammad Zaidy, produser lainnya. Tahun lalu mereka merilis Posesif yang mendapat sambutan bagus.
Mbak Dede bukanlah orang baru di industri film. Ia telah malang melintang sebagai orang di balik layar. Telah membuktikan dirinya di dalam dunia perfilman dan juga adalah seorang advokat untuk industri film independen, Mbak Dede mengawali langkahnya dari cintanya terhadap kostum, dari posisi costume designer di film “Garasi” karya Agung Sentausa dan Mira Lesmana, ia merasakan kenyamanan dalam kinerja dunia film yang tak diduga.
Setelah sebelumnya banyak membuat film berkolaborasi bersama Edwin di bawah nama Babibutafilm, kini ia mengambil jalan yang ‘radikal’ dengan memproduksi film yang cakupannya lebih dari komunitas. Ia punya alasannya sendiri.
Dalam wawancara dengan Ivan Makhsara kali ini, Meiske Taurisia menceritakan hasil pengamatannya sebagai salah satu penggerak film independen yang kini mulai mencoba masuk ke industri film bioskop. Ia menyatakan beberapa hal yang menurutnya perlu diperkaya dalam industri film Indonesia. Dari bicara tentang distributor film-film alternatif, ke masalah keuangan dalam produksi sebuah film indie, kepentingan adanya dua market film yang berbeda, sampai keterlibatan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan skena film komunitas, “Mbak Dede” kiranya bisa membuka mata publik dan mengundangnya untuk mencicip karya film indie.
Industri film sekarang makin maju. Angka penonton naik terus dalam 3 tahun terakhir. Ketertarikan dalam film Indonesia bertambah, dengan studio-studio besar menjadi rajanya. Di saat seperti ini, ada fenomena menarik yaitu banyak filmmaker independen mulai terjun mengisi layar lebar dengan film-film yang lebih populis. Apa yang sedang terjadi?
Di industri itu harus ada yang mainstream, harus ada juga yang independen, karena mainstream pun ada titik jenuhnya. Dan yang bisa membuat mainstream itu selalu bergerak dan menarik adalah independen. Karena film independen memberikan corak alternatif pada industri.
Apalagi kalau bicara pop culture, dari sejarahnya apapun yang ramai itu timbul dari bottom-up, bukan sebaliknya. Konsep ini menurut saya harus ada di industri. Karena zaman sekarang kita sudah tidak bisa lagi didikte oleh satu hal, dan itu termasuk dalam bidang kreatif, bidang kesenian, bidang kebudayaan.
Industri film independen membuat film tidak berbasis investasi. Artinya, prioritas dalam membuat karya itu bukan soal mengembalikan uang, tapi kontribusi terhadap ranah film itu sendiri. Akses penyalurannya adalah festival, karena festival itu seperti turnamen olahraga. Di turnamen olahraga, kita punya kejuaraan bulu tangkis tingkat RT, RW, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, SEA Games, ASIAN Games, hingga Olimpiade yang tingkat dunia. Festival film pun seperti itu, punya range-nya masing-masing dengan melayani kepentingan yang berbeda.
Oleh karena itu, kalau kita bicara kepentingannya tadi adalah bukan mengembalikan uang tapi kontribusinya terhadap skala-skala itu sendiri. Menurut saya salah satu yang juga jadi definisi film independen adalah perkembangan artistiknya. Artistik tidak lepas dari konten, misalnya keragaman isu, konsep, eksplorasinya, eksperimentasinya, dan experience apa yang dikasih saat kita menonton film. Menurut saya itu adalah formulasi dasar kalau kita menyebut film independen.
Kita sering sekali mendengar orang-orang bilang, “Ah bosen nonton film Indonesia gitu-gitu aja”. Pertanyaannya kalau anda merasa film Indonesia ‘gitu-gitu aja’, apakah anda nonton film independen? Film independen tidak ‘gitu-gitu aja’. Itu yang menurut saya akan selalu memberikan sense of newness kepada industri. Karena itu, penting sebenarnya untuk kita menjaga iklim produksi film independen di Indonesia.
Saat kita melihat anak-anak yang sering disebut “geng festival” tadi (meminjam kosakata Ivann, hahaha) dan sekarang pindah ke bioskop, menurut saya itu sebuah progress yang sangat bagus. Artinya anak-anak itu sudah punya cukup waktu untuk “bermain-main” dengan eksplorasi dan eksperimentasinya, sehingga mereka sempat menemukan signature mereka sebagai filmmaker. Saat para filmmaker ini signature-nya sudah cukup kuat, begitu dia terjun ke mainstream, saya yakin dia tidak bisa seratus persen melepas signature-nya. Itu justru bagus karena artinya dia akan memberi warna baru yang menghidupi mainstream. Karena itu kita akan melihat film-film di bioskop jadi lebih bervariasi. Jika jumlah penonton film mereka tidak sebanyak penonton film “Warkop”, ya tentu saja! Jangan harap film independen tembus 6 juta penonton. Seorang filmmaker independen tidak bisa berharap begitu, kalau iya, tandanya dia tidak sadar dengan apa yang dia buat. Kalau dia sadar, dia tidak akan mengejar angka 6 juta itu.
Untuk membiasakan publik pada umumnya dengan signature-style tertentu perlu waktu. Nah waktu itu lah yang sebenarnya kadang-kadang industri mainstream tidak sabar. Mereka hanya mau yang cepat. Harus bisa ini itu. Sementara pembuat film independen butuh waktu dari mulai eksperimen dengan style nya, gaya artistiknya, terutama gaya storytelling-nya. Itu perlu waktu.
Tapi menurut saya kenapa orang-orang dari festival mulai masuk mainstream karena mereka perlu eksperimen baru, sama seperti saya. Saya sudah lama di bagian itu, saya butuh challenge baru. Saya butuh challenge yang sama seperti saat berpartisipasi di berbagai festival. Saya tetap bilang festival itu susah karena kita tidak pernah tahu, namanya juga turnamen. Karya kita terseleksi atau tidak itu memang kompetisi.
Bersama Palari Films, anda memutuskan untuk membuat film dengan gaya bahasa yang berbeda dari biasanya. Apa yang mendasari keputusan ini? Apakah anda merasa tertantang?
Ada ranah film yang belum saya coba, ke bioskop tadi. Ke bioskop kan juga ga simple karena kalau di festival audience-nya sudah terbiasa melihat hal-hal atau film-film yang tujuannya memang untuk eksperimen. Mereka punya kesabaran untuk mengikuti apa yang disajikan. Mereka punya cukup waktu. Mungkin mereka punya cukup pengalaman sehingga mau untuk meluangkan waktu untuk mengalami hal yang berbeda.
Sementara kalau di bioskop, yang datang publik luas. Maksudnya kita ngomongin sebegitu beragamnya tontonan mereka, spektrumnya lebar sekali. Saat anda masuk dengan apa yang Anda buat, Anda akan bertanya, ‘posisi film kita di sebelah mana nih?’. Apakah anda bisa menyerap 6 juta kayak “WARKOP” ataukah kita baru bisa seperti “Posesif” yang melayani hampir 400 ribu penonton. Perbedaan itu harus kita pahami bahwa kita punya kompromi-kompromi. Menurut saya kompromi itu bagian dari konsekuensi tokonya atau ruang putarnya. Anda tidak bisa memaksa menjual lemper atau kroket di toko yang menjual rainbow cake. Memang yang datang ke rainbow cake itu ekspektasinya adalah untuk mendapatkan kue-kue yang semacam itu. Anda mau taruh risol di sana ya tidak akan laku. Jadi anda harus berpikir, either benar-benar membuat rainbow cake seperti yang orang-orang suka atau anda mau membuat kombinasi baru rainbow cake rasa lemper misalnya. Contoh sukses adalah martabak rasa red velvet, kan! Eksperimentasi-eksperimentasi seperti itu yang sebenarnya adalah asupan-asupan yang kreatif untuk yang baru-baru ini.
Dari pengalaman anda, bagaimana melihat penyebaran film independen? Apa bedanya dengan film yang ditayangkan di jejaring bioskop yang lebih menggurita?
Tahun 2008 itu, kita merilis “Babi Buta yang Ingin Terbang” di satu sinema yang didedikasikan untuk Kineforum di XXI. Seingat saya berbayar, namun selanjutnya kita distribusi sendiri pemutaran gratis di mana-mana. Setelah itu saya buat “Postcard from the Zoo, 2012” dengan jarak 4 tahun, saya merasa tidak bisa seperti gratis terus. Karena orang selalu berpikir kalau film independen berarti tidak usah bayar. Memangnya mereka memodali film saya? Kan tidak. Saya membuat film independen tetap harus mencari modal. Nah mulai “Postcard from the Zoo” saya yakin banget kalau nonton film independen itu harus bayar.
Saya ingat waktu kita merilis “Postcard from the Zoo” di Kineforum, kita menjual tiket 100 ribu + poster. Banyak banget yang komplain, “Gile, lo jual tiket lebih mahal dari XXI, 100 ribu”. Lalu saya bilang, kalau mau murah ke Kupang saja, di Kupang nontonnya bayar 5.000 Rupiah. Ini menunjukkan bahwa waktu itu persepsi orang masih seperti itu. Meski demikian, saya bersikeras sama siapapun kalau pemutaran harus berbayar. Mau itu harganya 5.000 Rupiah seperti di Kupang, tidak apa apa. Dari 5.000 yang di Kupang saja kita masih harus berbagi pendapatan kita, antara komunitas di Kupang dengan kita sebagai produser filmnya. Tapi yang mau saya bangun di sana adalah pemikiran bahwa kalau menonton film independen itu tidak selalu gratis. Seberapapun kontribusi penonton untuk membantu sebenarnya tidak terlalu signifikan. Bukan soal seberapa besarnya, tapi kebiasaan menghargai apa yang dibuat.
Kalau merasa film Indonesia ‘gini-gini aja’, harus tonton film-film yang saya buat.
Anak-anak musik enak banget menurut saya, jual CD bisa cepat, berbeda dengan industri film. Kalau mau putar film di komunitas itu harus ditanya bayar atau tidak. Saya ingat sekali waktu ada pemutaran, saya bilang sama mereka kalau merasa film Indonesia ‘gini-gini aja’, harus tonton film-film yang saya buat. Karena itu bukan film Indonesia yang biasa ditonton. Tapi itu juga tidak berarti harus gratis, harus bayar. Kalau tidak bayar, kita tidak bisa sustain dan itu menurut saya simply karena kebiasaan. Saya ingat waktu JAFF, “Rocket Rain”, saya minta pada Ifa Isfansyah, pokoknya mau eksperimen pemutaran “Rocket Rain” di JAFF harus berbayar. Tiketnya terserah berapa. Sekarang pemutaran film Indonesia di JAFF berbayar.
Pas “Postcard from the Zoo” itu awal mula saya set up kolektif, dan waktu itu saya ajak teman-teman saya, titip film saja, karena waktu itu saya mulai berjejaring, anak-anak mulai menitip, ya saya pikir sama saja saya menitip dengan menaruh harddisk, mengirim beberapa film, dan membuat event pemutaran beberapa hari dan bisa membuat paket tiket nonton ya sama aja effortnya. Dari situ saya mulai bikin kolektif.
Komunitas sekarang menghubungi saya di kolektif udah bisa ngomong: “Mbak saya dari komunitas ini, mau memutar film itu, dan kita udah siap berbayar.” Menurut saya ini sesuatu yang harus dibangun. Dan ini cuma tinggal bisa bertahan apa tidak. Banyak kok orang-orang yang melakukan pemutaran ini. Saya juga salah satu orang yang setuju dengan pemutaran berbayar. Anda bicara soal toko, sekarang tokonya sudah lebih banyak, ada Kineforum, Kinosaurus, Cinespace, Paviliun 28, komunitas semakin banyak, jadi menurut saya itu hal yang positif.
Salah satu yang missing di mainstream kalau kita bicara film itu distributor. Karena kita belum punya cukup banyak brand atau variasi toko. Sementara, distribusi alternatif banyak sekali. Ada Kolektif, ada Raketti Films, ada Buttonijo, semuanya baik-baik saja tuh. Karena semua punya kolamnya masing-masing. Tidak usah khawatir soal itu. Hal ini yang menimbulkan profesi-profesi programming. Akhirnya profesi programming exists now. Sekarang di Kinosaurus, Programmer nya adalah Mamat. Mamat dulunya programmer di Kineforum, akhirnya profesi seperti itu sustain. Ini karena ada distributor di ranah film independen.
Pergerakan film independen jelas jauh lebih muda daripada musik Indonesia. Alhasil banyak hal yang belum terlalu maksimal di dunia film. Apa sih yang membuat semua orang belum ‘click’ banget?
Menurut saya perbedaan musik dan film yang paling signifikan adalah durasinya. Musik itu 4 menit, film itu 90 menit. Dari segi sumber daya itu sudah beda sekali. Sumber daya musik dengan sumber daya film jumlah krunya berbeda sekali. Ketika membuat film panjang minimal 70 menit, kayak “Babi Buta…” krunya hanya 20 orang. Di musik bisa kurang dari itu. Bisa hanya dengan musisi dan sewa studio. Ini sudah beda. Artinya di film lebih banyak melibatkan orang lintas departemen. Di musik mungkin lebih kecil skalanya. Film melibatkan sumber daya, dalam arti secara dana uang, itu juga berbeda. Kemudian skala yang paling signifikan adalah distribusi dan eksibisinya. Di film, kita harus melalui komunitas atau bioskop. Di musik, seperti jaman kaset tahun 90an deh, orang menjual CD karena memang harganya affordable, masih bisa dijual ke teman-teman kampus, sementara di film susah sekali. Jadi artinya ada barrier di dalam produknya sendiri.
Namun, menurut saya film itu punya potensi komersialisasi yang luar biasa besar. Kalau bicara investasi, bicara “Postcard…” deh, saya dapat funding dari luar itu sekitar 3 milyar, bayangkan kalau saya harus bikin “Postcard from the Zoo” dengan uang investasi. Pertama, dana dari investor saya tidak akan balik dengan film seperti itu. Kemudian bagaimana saya mengumpulkan uang 3 milyar untuk film seperti “Postcard from the Zoo”? Biaya membuat musik mestinya bisa kurang dari 3 milyar. Sebaliknya, bila investasi ini punya potensi komersial yang besar, misalnya kalau tiba tiba “Postcard from the Zoo” meledak. Bisa-bisa return of investment-nya besar sekali.
Jadi intervensi kapital dan investor itu jadi signifikan di film mainstream. Sementara itu, yang independen tidak mungkin akses investasi, karena investor tidak akan investasi ke film indie. Hal itulah yang membuat film independen lambat sekali dalam penggarapannya. Belum lagi penonton Indonesia tidak punya kebiasaan menonton di bioskop alternatif. Jakarta saja cuma punya empat. Saya suka sirik sama distro, buat sendiri, riset sendiri, jual sendiri. Tetapi kalau distro kan kapitalnya bisa sendiri, kalau film kan tidak bisa. Nah menurut saya itu yang menjadi barrier, sehingga pertumbuhan dari independent filmmaker itu lambat.
Oleh karena itu, sekarang adalah masa yang tepat untuk investasi ke filmmakers independen.
Menurut saya iklim startup sekarang ini harusnya bisa menjadi momentum untuk investor. Saat ini, para investor berinvestasi di orang-orang yang 10 tahun lalu bermain di independen dan kini ke bioskop. Karena menurut saya ini proses pendewasaan anak-anak independen juga, jalan kesana dengan kesadaran negosiasi-negosiasi yang berbeda. Oleh karena itu, sekarang adalah masa yang tepat untuk investasi ke filmmakers independen. Sepuluh tahun ke depan mereka yang akan jadi suara utama di bioskop.
Menurut anda infrastruktur yang ideal seperti apa? Apa yang harus ‘klop’?
Menurut saya orang-orang yang ada di pemerintah itu harus sadar bahwa kalau bicara produk-produk kreatif ini, terbagi menjadi dua yaitu mainstream dan independen. Idealnya, ada mainstream bisa hidup dengan investasi, sedangkan independen disokong dana publik yang bersumber dari pajak. Dengan pemerintah menerima pajak dari masyarakat, sebenarnya kan bisa dijadikan buat sumber film funding.
Sekarang dibelah dua dulu, industri mainstream perlu injeksi pemerintah supaya industrinya lebih besar lagi. Kekurangannya apa? Bioskop. Pengusaha bioskop kalau dibantu oleh pemerintah dengan kebijakan semua kota tingkat I dan II bikin bioskop, saya berani jamin muncul pengusaha bioskop lokal. Adalah tidak tepat bila orang yang di mainstream minta bantuan dana untuk produksi. Lagian mereka sudah ada investasi dan kalau digabung dengan dana publik seperti pajak, justru tidak masuk akal.
Tapi kalau kita pindah ke industri independen yang mesti dibantu apanya? Paling penting dijaga adalah ketersediaan filmnya karena film-film ini susah dan tidak semua orang mau menonton. Sementara film-film ini yang melayani tujuan kebudayaan. Karena itu yang harus dibantu pemerintah adalah dana produksinya dan kalau ada waktu distribusinya karena kita tidak punya dana promosi untuk membuat film di skala independen. Nah kelihatan bedanya kan.
Menurut saya ini soal pemahaman pemerintah dan stakeholder-nya. Inilah kenapa pemetaan industri itu penting. Karena kalau kita paham industrinya seperti apa, kekurangannya dimana, strength-nya dimana, injeksi baik dari pemerintah atau swasta itu akan jelas alokasi dan fungsinya. Dua-duanya harus simultan. Jangan pernah berpikir dua ini saingan, mereka komplementer.
Pemetaan bukan mau mengkotak-kotakan. Saya juga setuju kalau film dilihat dari enak atau nggak ditontonnya. Tapi kita harus paham bahwa industri dan infrastrukturnya berbeda. Toko yang berbeda akan menghasilkan produk yang berbeda. Membuat pemetaan bukan berarti mendiskriminasikan tetapi melengkapi ekosistemnya.
Turunan soal pemetaan adalah kebijakan. Pemerintah kalau membuat kebijakan pasti merefleksikan kepentingannya juga. Kalau misalnya pemerintah injeksi untuk produksi film mainstream, saya pasti bakal jadi orang yang bertanya, “Kepentingannya apa? Pakai dana publik untuk bikin film yang sudah pasti ditonton orang banyak.” Kalau pakai dana publik ya harus untuk area kebudayaan yaitu film independen. Dan semua orang harus paham, filmmaker-nya, investornya, bioskopnya.
Sekarang sorotan ke film independen sudah lebih baik. Tahun 2012, “Postcard from the Zoo” berkompetisi di Berlin. Dulu media cetak meliput Berlinale tapi hanya memasukkan satu paragraf tentang filmnya berkompetisi disana. Kini sudah sebaliknya, film yang jadi sajian utama. Contohnya, liputan tentang film “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”. Jadi dalam waktu 6 tahun itu sudah terjadi perubahan dan menurut saya ini hal yang bagus untuk media dan penonton.
Bisa dibilang film punya banyak sekali asosiasi yang mendukung. Baik itu yang berhubungan dengan pemerintah atau pun masyarakat. Usahanya sudah sampai mana? Apakah kita sudah di jalan yang benar?
Sekarang ada beberapa asosiasi yang berhubungan dengan film. Dari sisi pemerintah, ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF). Sedangkan dari masyarakat yang ada asosiasi profesi dan komunitas. Lalu ada Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang merupakan jembatan antara pemerintah dan masyarakat.
Film itu di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) karena budaya. BEKRAF itu ekonomi kreatif, jadi kalau saya melihat seperti program-program financing itu datang dari mereka. Film yang terbagi dalam dua ‘payung’ dapat diperkirakan punya problem di hulu, yaitu persoalan birokrasi koordinasi; beda tingkat senioritas, beda hirarki vertikal, beda undang-undang, bisa mengakibatkan tidak terselenggaranya program.
BPI di mana? BPI dibentuk oleh pemerintah dan perwakilannya dipilih oleh asosiasi. BPI seyogyanya menjadi perwakilan masyarakat. Namun secara pendanaan kombinasi pemerintah dan swasta, ini yang ribet. Ribet karena siapa berkontribusi berapa, untuk program apa, dsbnya, yang menyebabkan fungsinya tidak lancar.
Ketidaksinkronan di hulu akan berdampak di hilir.
Kita perlu paham kalau di skala pemerintah banyak kerumitan birokrasi. Untuk koordinasi film dalam dua kementerian menurut saya adalah salah satu bentuk kegagalan pemerintah. Karena mereka paham kok, tidak mudah untuk koordinasi lintas kementerian. Ketidaksinkronan di hulu akan berdampak di hilir. Kalau saya berharap BPI bisa mengisi fungsi koordinasi ini. Kadang membantu BEKRAF, kadang membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) namun tetap melayani kebutuhan semua asosiasi dan komunitas film, . Sekarang pertanyaan terbesarnya, “Apakah role BPI cukup kuat untuk melakukan itu?”. Menurut saya secara praktis, jika BPI tidak memiliki budget, mereka akan sulit ngapa-ngapain, mungkin ini pragmatis sekali, tapi seperti itulah kenyataannya.
Kementerian itu seringkali order, itu artinya anda jadi vendor – bagus kalau bisa negosiasi. Tapi, seberapa jauh kita dapat bernegosiasi kalau tidak ada dana? Pemerintah niatnya membuat BPI yang mampu mencari dana sendiri, namun orang-orang yang mengisi jabatan di BPI juga profesional di bidang lain. Apakah mereka bisa mendedikasikan waktu untuk mencari dana buat BPI? Artinya BPI ini harus diisi orang-orang yang punya kesadaran penuh untuk bangun organisasi, bukan untuk kepentingan pribadi, dan harus kuat untuk bicara ke pemerintah bahwa kedua kementerian ini tidak sinkron hubungannya. Kalau ditanya BPI itu perlu atau tidak, kalau menurut saya perlu. Tapi sejauh ini menurut saya berat, karena ujung-ujungnya tidak ada dana.
Jadi memang harus ada keteraturan dulu di pemerintah sebenarnya. Karena di bawah, di masyarakat sebenarnya sudah mulai rapi arahnya.
Iya. Saat kita sudah memiliki asosiasi, dimana membuat asosiasi itu juga tidak mudah, maka pemerintah sudah gak bisa mengesampingkan persoalan kebijakan. Bayangkan, para produser harus memikirkan argo produksi, masih harus kontribusi untuk asosiasi. Hal seperti itu kan juga perlu waktu dan dedikasi. Padahal akhir tahun, saat pemerintah berhitung growth industri, pake angka produksi para produser ini juga. Kebayangkan saat mereka juga tidak produktif?
Rancangan BPI on paper mungkin ideal sekali, kombinasi government dan swasta. Tapi harus ada orang industri yang punya pemahaman yang holistik. Mereka juga bisa mendukung pemerintah untuk mengambil keputusan dalam hal melayani kedua industri, mainstream dan independen. BPI juga bisa mendekati private entity untuk program lainnya.
Sebenarnya makin kesini sudah semakin pesimis keadaan akan berubah. Tapi selama ada yang masih mau kerja buat BPI, saya rasa masih bisa. Tinggal pemerintah mau mendengarkan atau tidak, mau mengembangkan diri atau tidak. Kebijakan itu tidak selalu menyenangkan semua orang, pasti ada advantage dan disadvantage-nya. Yang perlu dipastikan adalah kebijakannya itu optimal tidak di titik-titik apa saja, dan apakah sesuai dengan yang ingin kita koreksi.
Kalau menurut anda bagaimana peran penonton selain menjadi komunitas? Karena pada akhirnya semua tentang bagaimana menggaet penonton.
Kita bisa melihat apa yang terjadi dengan kopi. Beberapa tahun lalu konsumsi kopi bagaimana dan sekarang bagaimana. Film menurut saya perlu momentum untuk loncatan seperti itu. Bagaimana roaster-roaster lokal mulai naik. Kemudian menjamurnya kafe-kafe yang menggunakan kopi lokal. Menurut saya dampaknya struktural, hanya dari secangkir kopi. Sama halnya dengan film. Kita tidak bisa menyalahkan penonton. Ujungnya ini soal familiarity. Kalau bicara soal familiarity kita bicara soal toko karena ujung tombak penonton adalah toko atau retail. Toko itu adalah tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Kalau tokonya hanya sedikit bagaimana? At the end of the day, ini bukan soal penontonnya tetapi tokonya yang sedikit.
Kalau bicara mengenai memperbanyak toko, pilihannya perbanyak bioskop dan perbanyak komunitas. Bioskop modalnya sangat besar, sementara komunitas jauh lebih kecil. Namun kalau membandingkan bioskop dan komunitas, maka pertanyaannya seberapa daya beli di komunitas., Kalau di komunitas satu kali nonton 10.000 rupiah dan yang datang hanya 15 orang bagaimana caranya untuk survive? Artinya komunitas memiliki potensi untuk memperbanyak toko, namun ada persoalan sustainability. Artinya komunitas belum bisa berbisnis dan itu masih perlu di-crack bagaimana model bisnis di komunitas, itu PR terbesar. Menurut saya contoh-contoh di Kinosaurus, Kineforum, Cinespace, Paviliun 28 seharusnya bisa menjadi model bisnis yang siap diaplikasikan.
Kalau kita bicara film muncul di bioskop tapi tetap tidak ditonton, apakah promosinya cukup, apakah konten film anda menghasilkan word of mouth yang setara dengan promosi.
Kalau kita bicara film muncul di bioskop tapi tetap tidak ditonton, apakah promosinya cukup, apakah konten film anda menghasilkan word of mouth yang setara dengan promosi. Anda tidak bisa memungkiri kalau harus promosi harus ada, bila film anda ke bioskop. Tentunya saya tidak setuju jika harus menyalahkan penonton. Kita harus membuat tokonya lebih banyak dan merakyat.