Kemenangan Kisah-kisah Personal di Film Musik Makan 2019
Rangkuman gelaran tahun ini, dan bagaimana kita bisa belajar tentang penulisan cerita darinya.
Words by Muhammad Hilmi
Ada gejala menarik di sinema kita. Belakangan, banyak kisah diangkat dari naskah lama, mulai dari biografi hingga remake, beberapa yang lain menilik ke berbagai sumber baru untuk bahan cerita. Mulai dari buku fiksi populer, hingga komik strip online. Ini sedikit banyak berakar pada pola konsumsi video yang semakin kencang di era Netflix, YouTube dan kebangkitan sinema dunia. Kini semua berburu konten, berburu cerita. Dan kita sebagai penonton dibawa melanglang buana. Lalu, saat semua mengajak kita berjalan-jalan, petualangan seperti apa yang patut untuk kita ikuti?
Untuk melihat perkembangan terkini, kami menghadiri salah satu perhelatan yang telah menempatkan diri sebagai benchmark kualitas sinema lokal kita, Festival Musik Makan. Digelar secara reguler sejak tahun 2014, Film Musik Makan menjadi tempat terbaik untuk melihat beberapa karya terbaik sineas kita. Pada setiap tahunnya, Film Musik Makan menjadi tempat dimana kita bisa melihat film kita yang nantinya mendapat penghargaan diputar. Dan, gelaran tahun ini melanjutkan sejarah baik tersebut.
Ada dua film panjang dan enam film pendek diputar. Beberapa adalah film yang telah rilis beberapa waktu sebelumnya, beberapa yang lain diputar pertama kali di sini. Dihidangkan berbagai sajian karya para sineas, mulai dari menu olahan karya Lola Amaria hingga Kopi Kata yang merupakan karya dari tim Studio Antelope.
Dari berbagai sajian cerita yang ditampilkan di gelaran Film Musik Makan tahun ini, kita bisa melihat bahwa kisah-kisah personal menjadi kuncinya. Beberapa film yang dibangun oleh cerita atau pengamatan personal terasa relatable – sebuah indikator penting di era konten sekarang ini. Beberapa di antaranya yang meninggalkan bekas mendalam adalah film “Kado” karya Aditya Ahmad, “Woo-Woo” karya Ismael Basbeth, “Kembalilah Dengan Tenang” karya Reza Fahriyansyah dan “Rising From Silence” karya Salahudin Siregar.
Film-film tersebut di atas terasa menonjol karena dibangun dari kisah-kisah yang dekat dengan pribadi masing-masing pembuatnya. Di “Kembalilah dengan Tenang” misalnya, film ini dibangun dari kisah Reza Fahriansyah saat mengurus lokasi pemakaman ayahnya. Dari situ, lahir sebuah karya yang mempertanyakan soal urusan tanah juga soal hidup-mati yang disampaikan dengan haru, namun juga menggelitik di saat yang sama. “Kado” dari Aditya Ahmad pun setali tiga uang, karya ini lahir dari pengalaman personal teman dekat Aditya yang juga menjadi tokoh utama di film ini. Tentang seksualitas dan jati diri seorang remaja yang sedang berada di persimpangan. Kisah-kisah yang terdengar sepele, sehari-hari, namun justru berhasil membangun hubungan dengan penontonnya. Taji keduanya pun telah terbukti, “Kembalilah dengan Tenang” terpilih untuk diputar di Clermont-Ferrand Film Festival, Perancis, “Kado” terpilih menjadi “Best Short Film” di ajang Venice International Film Festival. Membutktikan bahwa karya-karya yang dibuat dengan kedekatan yang mendalam dengan pembuatnya justru mendapat apresiasi lebih di luar sana.
Pendekatan yang sama dengan metode berbeda juga muncul di “Woo Woo”. Di karya terbarunya ini, Ismael Basbeth menginterpretasi lagu karya band Sore dengan judul yang sama. Naskah ditulis bersama Daffa Andika dan Ade Paloh, “Woo Woo” memberikan warna yang cukup berbeda di antara filmografi Ismail Basbeth. Di sini, Basbeth bercerita dengan cukup gamblang – meski disampaikan dengan gaya khasnya yang eksperimental. Di film ini, kita diajak untuk melihat sisi lain dari tren fundamentalis yang belakangan mengganggu kehidupan berbangsa kita. Jika Basbeth menjadikan masalah di era sekarang sebagai punggung cerita, Salahudin Siregar melalui “Rising From Silence” mengangkat masalah masa dari masa lalu (yang sayangnya masih belum terselesaikan hingga kini) menjadi akar dari filmnya. Di sini, kita diajak untuk mengenali kisah dan cerita dari Dialita – grup vokal penyintas tragedi 1965. Dibangun dari kisah-kisah personal, dua film ini juga menunjukkan fakta bahwa cerita pribadi pun bisa menjadi senjata untuk membicarakan hal-hal besar.
Melalui deretan filmnya tahun ini, Film Musik Makan menunjukkan bahwa di antara perburuan cerita, kita sebenarnya tak perlu jauh-jauh untuk melangkah. Lihat saja apa yang ada di sekitar kita, perdalam, lalu jahit dengan sepenuh hati, maka kita akan mendapatkan petualangan yang menarik untuk diikuti.
Ada sebuah celoteh menarik dari salah satu personil Dialita di tengah diskusi yang merangkum kualitas kisah personal, “Saya menonton dengan tegang Piala Citra kemarin, saat akhirnya film kita diumumkan jadi pemenang, saya sangat bersyukur. Artinya kerja keras Mas Salahudin dihargai oleh bangsa kita. Ini membuat saya sangat terharu”. Bukankah hal-hal seperti ini yang kita semua cari?