Dunia Film Kita Punya Banyak Berita Baik, Tapi Ini Momentum untuk Menjadikannya Lebih Baik Lagi
Di balik bising riuh rendah selebrasi penggemar film dan sineas Indonesia, masih banyak lubang pada dunia perfilman Tanah Air yang harus segera ditambal.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Titania Celestine & Nancy Rumagit
Dalam beberapa tahun terakhir, bisa dilihat bahwa industri perfilman Indonesia mengalami sebuah kemajuan dari segi aspek pencapaian serta kualitas film yang tayang diatas layar lebar penjuru Tanah Air.
Dimulai dari Yuni (2021) karya Kamila Andini yang berhasil memasuki daftar film terbaik karya sutradara wanita di Letterbox, Sekala Niskala (2017) yang menerima penghargaan Best Feature pada ajang Asia Pacific Screen Awards, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) karya Mouly Surya yang merebut segudang piala penghargaan internasional, Kucumbu Tubuh Indahku (2018) oleh Garin Nugroho yang diakui sebagai Film Terbaik Venice Independent Film Critic Festival, hingga Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) dari Edwin, yang memenangkan penghargaan Golden Leopard pada ajang Locarno Film Festival di Swiss.
Tampaknya menjadi tanda bahwa industri perfilman Indonesia akhirnya memperoleh momentum untuk bangkit, sineas Tanah Air demikian mendapatkan banyak pengakuan dari dunia internasional, bahkan proyek Hollywood produksi James Wan telah merekrut sutradara Indonesia Timo Tjahjanto untuk menciptakan sebuah adaptasi Train to Busan (2016) yang akan rilis pada 2023 yang akan datang, dan Mouly Surya yang akan menyutradarai film thriller dari Netflix yang nantinya dibintangi oleh Jessica Alba.
Namun dibalik bising riuh rendah selebrasi penggemar film dan sineas Indonesia, rupanya masih banyak lubang pada dunia perfilman Tanah Air yang harus kunjung ditambal.
Aral Melintang Berupa Seksisme yang Masih Menghalau Industri Perfilman
Beberapa pola rancangan pada karya film banyak ditemukan masih mengaplikasikan kepercayaan seksisme yang tradisional, tunduk pada peran gender dan stereotip yang ada.
Sebuah studi oleh Kagan, Chesney, dan Fire menyatakan bahwa pada output industri film secara global, peran wanita dalam film ditemukan kekurangan representasi realistis yang secara garis besar lebih sering menggunakan stereotip untuk menggambarkan tokoh perempuan di atas layar.
Dalam konteks Indonesia, ditemukan bahwa perempuan pada film lebih sering ditampilkan sebagai korban kekerasan seksual, dan laki-laki lebih sering dijadikan tokoh pemimpin pada karya film.
Dampak dari hal tersebut terlihat nyata pada masyarakat Indonesia, yakni beberapa pihak yang masih percaya bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual dan pemerkosaan. Penemuan ini menekankan pentingnya representasi media untuk pembangunan perspektif dan kepercayaan masyarakat melalui media exposure dan penggambaran yang lebih realistis.
Untuk menghapuskan depiksi perempuan dan laki-laki yang menganut pandangan gender tradisional, maka dibutuhkan representasi kedua gender yang realistis, baik di balik dan di atas layar untuk memerangi seksisme yang masih marak ditemukan pada industri film pada umumnya.
Selain itu, working environment yang didominasi laki-laki maupun yang diimbangi dengan kru perempuan tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dalam sebuah produksi film.
Pernyataan Sikap @rekatastudio & @kaningapictures pic.twitter.com/qheLZ576Ly
— Kaninga Pictures (@kaningapictures) January 10, 2022
Seperti contoh kasus yang ricuh dibahas saat ini, pada set film Penyalin Cahaya (2021). Sungguh ditemukan aspek ironi bahwa culturally-driven film yang bertujuan untuk memajukan awareness akan kekerasan seksual berujung dengan berita mengenai salah satu penulis naskah film itu sendiri yang merupakan pelaku kekerasan seksual.
Selebihnya, sebagai film yang dinobatkan sebuah Piala Citra untuk Film Cerita Panjang Terbaik, amat menyedihkan bagi panitia FFI yang tampaknya tidak menemukan kepentingan untuk pertimbangan ulang pemberian karangan bunga simbolik bagi tim produksi Penyalin Cahaya setelah mengetahui kisah miris yang terjadi dibalik layar.
Seperti layaknya berita-berita lain yang akhirnya akan hilang di balik huru-hara percakapan dan fast paced environment dunia saat ini, film Penyalin Cahaya akan dikenal sebagai Film Cerita Panjang Terbaik, dan bukan film yang kisahnya mencerminkan ironi berat yang masih terjadi di masyarakat umum Tanah Air.
Menjadi bahan bakar kemajuan untuk pergerakan ‘Sinematik Gak Harus Toxic’, kampanye tersebut kembali menjadi topik pembicaraan hangat, menekankan kembali kepentingan edukasi dan awareness pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan industri perfilman.
Mengimbangi gerakan ‘Me Too’ di dunia Hollywood, gerakan ‘Sinematik Gak Harus Toxic’ membuka sarana pengaduan bagi anggota kru atau komunitas industri perfilman Indonesia yang telah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual pada kegiatan produksi film.
Gila Hormat atau Jago Kandang? Sikap Sineas Indonesia Terhadap Kritik Film
Sebuah kritik akan karya film bukan hanya dibuat untuk membentuk pandangan penonton akan pesan moral dan interpretasi yang lebih mendalam, namun juga untuk membentuk industri film itu tersendiri.
Dalam artian, dengan memberikan sarana bagi kritikus film untuk menunjukkan baik dan buruknya sebuah film, keduanya pencipta dan pemeran dalam film tersebut dapat belajar dari kesalahan dan kesuksesan mereka untuk bertumbuh menjadi lebih baik di masa yang akan datang, menciptakan sebuah kesempatan bagi para sineas untuk go with the flow atau think outside the box.
Tidak asing ditemukan segenggam nama sineas yang masih belum bisa memposisikan diri dari sudut pandang produktif setelah menerima kritikan dari kalangan penonton, ketika nyatanya, melalui kritik itu sendiri lah terdapat potensi bagi industri perfilman Indonesia untuk mengalami kemajuan yang signifikan– tentunya hanya ketika sang pencipta film siap dan berani untuk mengambil langkah untuk menerima kritikan.
Bagi sutradara Riri Riza, berdasarkan kutipan artikel Eventori, kritik film sendiri memiliki peran penting dalam industri perfilman Indonesia, dikarenakan pandangan mereka yang dapat mewakili film tersebut di ruang publik.
Namun, Riri menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia, masih ditemukan jumlah kritik film resmi yang terlalu sedikit. Hal ini dapat dihubungkan kembali kepada fakta bahwa Indonesia belum memiliki media tersendiri untuk kritikan film.
Selayaknya di dunia internasional yang memiliki sistem tolak ukur seperti situs Rotten Tomatoes atau IMDb, industri perfilman Indonesia membutuhkan sebuah sarana bagi para kritikus untuk berkumpul, membentuk penilaian dan tolak ukur sendiri untuk kesuksesan dan kecocokan sebuah karya film dengan khalayak penonton.
Saat ini, bentuk kritik dan review yang dapat ditemukan penonton yakni hanya melalui laman seperti YouTube dan Cinemapoetica, yang tidak hanya menyediakan beberapa insight, namun juga membangkitkan harapan untuk komunitas kritikus yang lebih baik di masa depan.
Selain beberapa laman tersebut, banyak kritik film juga dapat ditemukan pada akun media sosial seperti Watchmen, Cinecrib, dan Mofeastival. Namun outlet media serupa masih jarang ditemukan, dengan jumlah pengikut yang relatif kecil. Hal itu sendiri mencerminkan kurangnya ketertarikan kalangan penonton Indonesia pada kritikan film.
Namun, yang dibutuhkan bagi industri perfilman saat ini yakni sebuah sarana dimana para kritikus film dengan kredibilitas dapat berkumpul sebagai sebuah komunitas untuk dapat menganalisa iklim media hiburan Tanah Air, yang dapat memandang setiap hasil karya film melalui sudut pandang yang lebih kritis dan mendalam sebatas “kelayakan” film tersebut untuk ditonton.
Memang betul, ditemukannya sejumlah kritikus film yang diakui oleh Piala Citra Indonesia, namun hal tersebut pada akhirnya terasa bagai sampingan saja ketimbang hasil karya film itu sendiri, yang kemudian kembali ikut mengecilkan aspek kritik dan kepentingan dampaknya pada industri secara menyeluruh.
Tantangan Memasuki Industri Perfilman Indonesia yang “Terlalu Eksklusif”
Kini sedang banyak dengungan bahwa inilah waktunya untuk menjadi bagian dari industri perfilman Indonesia. Dengan banyaknya karya yang sedang dibuat sekarang, tentu saja dibutuhkan pula figur-figur dan talenta-talenta baru dalam industri ini untuk membantu menghidupkan karya tersebut di layar kaca.
Namun, apakah kita telah memastikan bahwa industri perfilman Indonesia adalah industri dan karir yang dapat diakses oleh semua orang?
Memasuki industri kerja apapun pasti memiliki rintangannya sendiri. Dan memasuki industri film, tentu saja, memiliki berbagai tantangan-tantangan yang harus dilewati. Industri film Indonesia pun tidak dikecualikan dalam pernyataan ini.
Dalam wawancaranya dengan Tatler pada tahun 2016, Joe Taslim menekankan bahwa minimnya jumlah sekolah film di Indonesia merupakan salah satu penghalang para generasi muda untuk mengeksplorasi minat mereka di industri ini.
Tentu saja wawancara ini hampir berumur enam tahun, namun nyatanya Joko Anwar pun mengatakan hal yang sama dalam wawancaranya dengan Liputan6 pada tahun 2020 mengenai permasalahan ini. “Yang terjadi kemudian, banyak SDM yang hadir di industri tanpa dibekali pengetahuan yang cukup,” jelasnya.
Memang dibilang bahwa di industri film — atau industri entertainment secara umumnya — hal yang paling penting adalah networking, untuk membangun relasi dalam industri tersebut. Bahkan banyak pula opini bahwa networking dianggap lebih penting daripada belajar di sekolah film. Banyak figur-figur industri film, baik di Indonesia maupun di luar negeri, yang lebih memilih untuk mempelajari craft mereka melalui pengalaman-pengalaman langsung bekerja di dalam industri.
Bagi orang-orang yang besar di lingkungan industri film, atau kebetulan memiliki koneksi terhadap dunia tersebut lewat rekan lain, networking mungkin sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan dicapai. Tetapi jika seseorang betul-betul memulai karir mereka dari 0, bisa diargumenkan bahwa belajar di sekolah film adalah cara paling baik untuk membangun relasi dalam industri film, dan juga tentunya untuk membangun craft dalam bidang seni ini.
Namun, dengan jumlah sekolah film yang ada di Indonesia sekarang, keterbatasan aksesibilitas untuk menuntut pendidikan seni, dan juga sistem pembelajaran dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang tidak mendukung pertumbuhan minat dalam industri film, dan juga industri seni lainnya, mungkinkah generasi-generasi muda masih memiliki ketertarikan untuk memasuki industri film?
Minat Terhadap Film yang Terhalang Akibat Minimnya Kesempatan untuk Mengonsumsi
Minat terhadap film, sudah jelas, pasti diawali dengan mengonsumsi film. Entah itu dengan pergi ke bioskop bersama teman-teman, dengan streaming film di berbagai platform yang tersedia, bahkan mungkin saja dengan menonton video-video short clips di TikTok atau Instagram.
Indonesia adalah negara dengan estimasi jumlah 270 juta penduduk, namun menurut data yang dikumpulkan dari UNESCO, hanya tersedia 0.4 layar per 100,000 orang di Indonesia. Dibandingkan dengan sejumlah negara lain, angka ini bisa dibilang cukup rendah. Jepang memiliki 2.8 layar per 100,000 orang, dan Thailand memiliki 1.4.
“Di Indonesia, siapa saja istilahnya dapat akses menayangkan film di bioskop. Bioskop menampung karena tak mau dibilang tak mendukung film dalam negeri. Akibatnya, banyak film yang kualitas dan estetikanya kurang namun bisa tayang. Padahal untuk ke bioskop, orang kan punya effort untuk keluar rumah hingga keluar uang untuk beli tiket. Ini patut kita pikirkan untuk perkembangan industri film Indonesia ke depan,” ujar Joko Anwar kepada Liputan6.
Pernyataan ini merupakan rangkuman yang cukup tepat untuk menjelaskan alasan mengapa sejumlah besar orang Indonesia lebih memilih untuk menonton film luar negeri dibandingkan film lokal. Walaupun kini industri perfilman Indonesia tengah melalui peningkatan kualitas yang amat pesat, masih ada rasa “terbiasa lebih percaya” kepada film luar negeri untuk memberikan kualitas yang baik.
Salah satu solusi terbaik untuk permasalahan ini adalah untuk menghadirkan distributor di industri perfilman Indonesia, untuk menyaring film-film yang akan ditampilkan di bioskop.
Apakah Streaming Sebuah Solusi untuk Minimnya Jumlah Layar Bioskop Indonesia?
Berdasarkan laporan LIPI Press, kenaikan penggunaan jaringan internet di Indonesia telah menjadikan video daring sebuah sarana hiburan yang mendominasi statistika penggunaan data.
Servis Video on Demand (VoD) telah mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia, data menunjukkan bahwa jumlah pengguna VoD diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar 13%, dengan annual growth mencapai 15.7% setiap tahunnya dalam aspek modal bagi platform streaming.
Dengan berlangsungnya pandemi COVID-19, variasi konten dan ketersediaan platform VoD di Indonesia bisa dilihat sebagai salah satu dampak positif yang memberikan penonton akses pada konten berkualitas dalam kenyamanan rumah masing-masing. Ini pun merupakan bukti bahwa streaming merupakan solusi terbaik untuk mengatasi ketimpangan jumlah layar bioskop dengan jumlah penduduk Indonesia.
Namun, hal tersebut sepertinya kurang memadai untuk menutup dampak negatif yang menyertai kebangkitan platform streaming, yakni maraknya pembajakan konten digital melalui situs ilegal yang juga mengancam keberlangsungan industri perfilman Indonesia.
Dikutip dari unggahan media sosial Joko Anwar, ia menjelaskan bahwa bagi produser film, proses distribusi karya, baik ke layar lebar maupun platform VoD merupakan cara mendapatkan balik modal bagi kru produksi dibalik film tersebut.
Tetapi, dengan adanya situs bajakan yang mengurangi minat penonton untuk berbayar subscription platform VoD, maka modal hasil penjualan akan tersalurkan pada pembajak film melalui traffic situs ilegal.
Dampak pembajakan film:
Secara ekonomi, ketersediaan film di situs bajakan atau toko bajakan mengurangi penonton yg membayar. Keuntungan yg dihasilkan pembajak baik uang langsung atau krn traffic byk orang yg kunjungi situsnya, itu larinya bukan ke pembuat film. Tapi ke pembajak.— Joko Anwar (@jokoanwar) May 24, 2020
Selebihnya, ketertarikan penonton Indonesia pada international streaming platforms (seperti Netflix dan Disney+ Hotstar) ketimbang platform lokal (seperti iFlix dan GoPlay) juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat menggagalkan industri perfilman Indonesia.
Di lain sisi, kolaborasi seperti layaknya Disney+ Hotstar Originals yang diproduksi secara lokal oleh produser Indonesia juga menguntungkan bagi industri perfilman Indonesia, melalui international media exposure.
Dengan adanya konten film Indonesia yang tayang pada Disney+ Hotstar (tersedia di berbagai negara Asia seperti Thailand, India, dan Malaysia), maka hasil karya produser film Indonesia dapat mendapatkan rekognisi inter-Asia yang menguntungkan bagi industri perfilman.
Perkembangan dalam bidang apapun dimulai dengan hal-hal kecil. Mungkin saja jika jumlah layar bioskop di Indonesia makin bertumbuh, minat dan apresiasi terhadap industri perfilman Indonesia pun akan tumbuh bersama angka tersebut.
Dengan memberikan akses yang lebih mudah terhadap karya-karya seni hebat yang tengah dibuat di Indonesia, apresiasi terhadap bentuk seni ini pun akan berkembang dan akan membuka pintu-pintu untuk talenta-talenta muda yang kelak ingin mengasah craft mereka dalam bidang ini.
Menanam Harapan untuk Bibit-bibit Sineas di Indonesia
Dengan karya-karya yang telah dibuat akhir-akhir ini, semoga ini adalah tanda bahwa industri perfilman Indonesia akan terus bertumbuh dan berkembang, dan ini pun tentu saja hanya dapat dicapai bersama dengan kontribusi dari masyarakat Indonesia.
Rasa kepercayaan masyarakat terhadap film-film Indonesia dan rasa kepercayaan rumah produksi terhadap resepsi dari masyarakat pun harus selaras. Bisa diargumenkan bahwa kekhawatiran para sineas bahwa karya mereka “nggak akan nyampe” kepada masyarakat sudah tidak relevan lagi, karena kehausan akan karya dengan karakter-karakter dan cerita yang three-dimensional terlihat sangat ketara di antara para audiens.
Mengesampingkan aspek politik dan nasionalisme, industri perfilman Indonesia adalah industri yang layak untuk diperjuangkan dan diberikan kesempatan untuk berkembang lebih lanjut. Dunia sedang melalui perubahan besar-besaran yang sangat drastis dan seni adalah salah satu medium yang dapat memberikan makna terhadap perubahan tersebut. Suara-suara yang dulunya dibungkam kini diberikan kesempatan untuk berbicara, dan Indonesia merupakan salah satu suara yang mencoba untuk bergaung di dunia baru ini. Sudah selayaknya kita besarkan suara tersebut, dan selayaknya pula kita dengarkan apa yang mereka katakan.