Bicara Kemerdekaan dan Keterbatasan Pembuatan Film dengan Garin Nugroho
Diskusi mengenai peran film sebagai ruang belajar, tempat pembahasan LGBT di ranah kreatif Indonesia sampai minimnya sutradara perempuan.
Words by Emma Primastiwi
Film sebagai medium mempunyai kegunaan multidimensi. Tidak lagi dilihat sebagai hiburan, film pun telah lama dijadikan alat untuk belajar, berprotes, juga memicu perubahan. Hal tersebut telah lama dilakukan oleh para filmmaker lokal, salah satunya Garin Nugroho. Selama 27 tahun berkarir dalam dunia film Indonesia, ia tidak pernah takut untuk membuat film dengan isu-isu yang masih dipandang kontroversial. Mulai dari “Opera Jawa”, “Soegija” sampai “Kucumbu Tubuh Indahku”, ia terus menyediakan film yang dapat digunakan sebagai renungan. Di tengah kesibukan film tour-nya, kami menemui Garin Nugroho untuk bertukar pikiran – mulai dari pengaruh masa kecil dalam proses kreatifnya, minimnya sutradara perempuan sampai representasi kelompok LGBT di ranah kreatif Indonesia.
Anda sudah berkarir sebagai sutradara selama 27 tahun, tetapi baru-baru ini dianugerahkan penghargaan Best Director di ajang penghargaan lokal. Bagaimana perasaan Anda akhirnya mendapat pengakuan tersebut?
Senang ya, apalagi dari majalah yang bagus. Dewan juri nya lebih objektif. Kalau misalnya di Festival Film Papua (FFP) hampir tidak pernah. Orang-orang itu kan terkadang benci tapi rindu, senang tapi juga banyak yang tidak cukup dekat dengan karya-karya saya. Jadi selalu timbul kontroversi, jadi ya untuk saya tentu senang mendapat penghargaan ini. “Kucumbu Tubuh Indahku” juga meraih penghargaan di Brisbane Asia Pacific untuk Best Film, Diversity Awards dari Unesco dan sebagainya. Jadi untuk Best Film dan Best Director pasti senang, suatu penghargaan dari lokal, apapun itu selalu menyenangkan.
Dalam wawancara sebelumnya, Anda pernah menceritakan pengalaman masa kecil Anda di bawah teror era Orde Baru, melihat topik karya-karya awal Anda yang banyak membahas isu-isu politik, bagaimana pengalaman masa kecil Anda mempengaruhi proses kreatif film-film Anda?
Kalau masa kecil di tahun 1965 itu tidak langsung, masih bersifat bayangan karena saya juga masih berumur 5 tahun. Tapi impact itu sangat besar, bagaimana ayah saya pernah menjadi kepala kantor pos, lalu tidak dijadikan kepala kantor pos lagi, sebagian pegawai menghilang. Di Magelang dulu kan pusat militer dan bapak saya itu kepala di pos telekomunikasi Magelang, bapak saya tidak pernah ditahan, jadi impact-nya tidak langsung untuk masalah G30S tidak pernah. Dia dulu menulis surat dari berbagai orang yang dituduh PKI, itu harus melalui pengadilan kan, tidak bisa sewenang wenang ditangkap lalu dituduh mati. Kalau dari segi itu impact-nya sangat terasa. Bahwa negeri ini masih mempunyai trauma besar, sampai generasi sekarang.
Trauma harus ditransfer menjadi produktivitas agar tidak menjadi kekacauan.
Namun trauma harus bisa dijadikan produktivitas. Misalnya Jepang dengan trauma perangnya, Jerman dengan trauma perangnya, trauma itu selalu ada. Makanya, trauma harus ditransfer menjadi produktivitas agar tidak menjadi kekacauan. Menurut saya transformasi itu belum ada. Kalau kita lihat dari Pemilu sekarang, bahasan-bahasan tersebut muncul lagi. Jadi memang, pengalaman masa kecil akan selalu menjadi bagian besar bagi seorang pencipta sebetulnya.
Beberapa film terakhir Anda mengangkat isu-isu yang cukup sensitif, apa motivasi Anda dibalik pemilihan topik tersebut?
Masyarakat yang sehat itu harus selalu mempunyai pilihan. Kalau museum, andaikan museum sejarah, tapi ada juga museum-museum populer; museum kartun. Tapi ada juga museum atau kebudayaan yang alternatif. Orang-orang selalu diberi pilihan untuk menikmati sesuatu yang bersifat “sejarah” atau populer, tapi harus ada kesempatan juga untuk menikmati hal-hal yang alternatif yang tidak banyak dikelola atau dieksplor. Pada wilayah yang alternatif ini jumlahnya masih sedikit, dan masyarakat yang tidak mempunyai tiga kebudayaan itu (sejarah, populer, alternatif) pasti turun kualitasnya. Jika kita pergi ke luar negeri, ketiga kebudayaan itu pasti ada di mana mana. Mau populer tetap ada, tetapi yang alternatif juga tetap hidup. Jadi saya memilih untuk melakukan hal yang istilahnya jarang diangkat, karena ini dibutuhkan oleh masyarakat. Walaupun penontonnya kecil, tetap kita memberi tempat bagi mereka untuk belajar.
Menurut Anda, apakah film memainkan peran penting dalam mendidik atau membuka mata publik tentang isu-isu sensitif ini?
Tentunya. Apalagi sekarang dimana generasi muda adalah generasi visual. Seperti meme itu kan visual semua sebetulnya. Jadi lebih kepada generasi kinetik sekarang itu. Meskipun ia tidak mempunyai peran yang berbeda dari politik dan sebagainya, dia tetap mempunyai kekuatan yang besar karena dia hidup dan punya jejak yang bisa dibaca terus. Apalagi sekarang dengan jejak digital, film akan memungkinkan untuk menjadi semacam ruang untuk upacara kecil, untuk merenung.
Seberapa banyak kompromi yang bisa dibuat oleh seorang filmmaker karena pembatasan keuangan/komersial?
Pencipta itu selalu berada dalam tingkat pergulatan. Kompromi saya anggap sebagai pergulatan. Pergulatan antara kemerdekaan dengan keterbatasan. Itu tidak akan pernah selesai. Kita punya ide jelek, tapi uangnya banyak. Kita punya ide bagus tapi uangnya sedikit. Itu kan keterbatasan semua sebetulnya. Sehingga antara kemampuan management kreatif, ide dan manajemen uang harus seimbang. Ibaratnya kacang, bentuk dan isinya harus sama. Kalau tidak sama pasti akan berantakan. Oleh karena itu, ide yang baik tumbuh dari kebutuhan management yang baik. Management yang baik, tumbuh dari kebutuhan ide yang baik. Kalau itu bisa digabungkan tentunya sangat bagus. Makanya paradoks antara kemerdekaan dan keterbatasan dana, tekanan sosial, radikalisme – itu adalah bagian dari pergulatan seorang pencipta tiap hari.
Sekarang dengan jejak digital, film akan memungkinkan untuk menjadi semacam ruang untuk upacara kecil, untuk merenung.
Contohnya “Kucumbu Tubuh Indahku”, apakah akan kena censorship? itu pasti! Keterbatasan dana juga pasti karena kebanyakan film saya dananya kecil, dibanding anak muda lain dana saya selalu kecil. Saya lebih menyukai proses pembuatan film dengan dana yang lebih kecil tapi saya bebas daripada dana besar tetapi tidak ada gunanya, dan pesannya hilang begitu saja. Kalau masalah tekanan kan dari dulu, dari film saya di zaman pak Soeharto, diincar intel, diteror, saya sudah biasa. Di zaman pasca Reformasi, membuat “Soegija” diancam dibunuh – itu sudah biasa. Untuk menyikapi hal-hal seperti itu pun tidak mudah. Kalau di Indonesia kita harus mempunyai strategi, orang gampang mengatakan untuk lapor, masalahnya menjadi besar, produksi tertunda. Kita harus tahu kapan kita bisa menggunakan penegakan hukum langsung atau kita memecahkan masalah sendiri.
“Kucumbu Tubuh Indahku” menceritakan perjalanan Juno (Rianto) untuk mencari jati diri dalam aspek identitas diri juga seksual. Awalnya, apa yang menarik Anda untuk menghidupkan cerita ini?
Pertama, Rianto teman saya. Selain itu saya berperan sebagai dramaturgi untuk beberapa karya Rianto, keliling dunia bersama-sama. Saya juga menjadi dramaturgi untuk karya terbarunya sekarang. Lama-lama ide tersebut muncul. Mengapa saya tidak mencoba membahas isu maskulin-feminin dan LGBT? tentu dari sisi yang sederhana dan saya lihat sehari-hari yaitu dari tradisi tari, dari seni pertunjukan. Kebanyakan masalah itu dari budaya pop, kalau sekarang dari “Bohemian Rhapsody” dan sebagainya. Tapi masalah ini kan masalah kemanusiaan, angle-nya bisa bermacam-macam. Sehingga saya mengambil angle yang dekat dengan saya, dan saya mampu. Tentu angle diluar dari kelompok LGBT juga ada perspektif berbeda, seperti perspektif pribadi saya.
Sepertinya itu tidak masalah. Menerjemahkan suatu kelompok oleh orang lain menurut saya justru sesuatu yang sangat memperluas kekayaan. Kalau saya orang Jawa, shooting di Papua, masih ada Jawa-nya? Ya wajar-wajar saja. Itu sesuatu yang tidak bisa saya tinggalkan. Maka dari itu, hal ini malah membuat ruang yang lebih luas. Mengapa film ini dapat meraih “Diversity Award” dari UNESCO melalui sudut pandang ini. Memperluas dengan suatu diskusi kebudayaan tentang masalah LGBT dengan cara yang lebih sederhana. Sebetulnya di Indonesia dalam kebudayaan Sulawesi ada 5 bahasa untuk menyebut jenis seks. Ada laki-laki, ada perempuan, ada laki-laki bergaya perempuan dan perempuan bergaya laki-laki dan sebagainya. Itu sebenarnya sudah ada bahasanya. Lewat kebudayaan kita bisa juga melihat perspektif ini, dan lebih menjadi bagian dari kehidupan kita.
Film ini mengangkat isu LGBT yang masih bisa sangat tabu dalam budaya masyarakat Indonesia. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan melalui film ini?
Seluruh persoalan dalam kehidupan kita adalah persoalan manusia. Seluruh persoalan manusia adalah persoalan tubuh. Apapun juga. Mau siapapun manusianya. Seluruh tubuh punya trauma. Tidak ada manusia yang tidak mempunyai trauma dalam tubuhnya. Mau itu trauma sosial, ekonomi, politik, entah itu religi atau estetika. Tubuh adalah tubuh sosial, tubuh personal, tubuh estetika, budaya – semua itu beragam dalam tubuh kita. Sehingga pesan saya adalah, berbahagialah dengan tubuh kalian. Hidupilah tubuh kalian, berbasis dari sesuatu yang paling sesuai dengan diri kita masing-masing. Trauma adalah bagian dari sejarah kemanusiaan. Anda menangis pun saat lahir, Anda sudah mengenal trauma. Yang paling penting, berkahlah pada tubuh Anda.
Di Indonesia, masyarakat cenderung masih tertutup akan isu-isu seperti ini. Apakah Anda mengalami kesulitan untuk mencari orang yang ingin ikut serta dalam menceritakan kisah ini?
Di kalangan anak-anak muda sudah sangat terbuka. Dari dulu juga dalam sejarah kita di kampung-kampung sudah menjadi kehidupan sehari-hari. Tapi begitu di wilayah baru ada istilah-istilah baru yang lebih ke berbahasa Inggris, terjadi goncangan. Goncangan ini yang juga berhubungan dengan hukum lokal, hukum global yang tidak sesederhana itu untuk dipecahkan. Tapi yang saya alami, menyenangkannya adalah keterbukaan anak-anak sekarang. Itu memerlukan suatu ruang diskusi yang menyenangkan, ramah, human. Diskusi kemanusiaan itu akan memberi apresiasi yang lebih besar.
Bagaimana Anda melihat perbandingan industri film Indonesia saat Anda pertama mulai dengan sekarang?
Saya tumbuh pada era televisi RI, dan film nasional sekitar tahun 80, masih mahasiswa. Dulu film adalah anak emas karena tidak ada hiburan lain. Maka tahun-tahun 70, 80 sampai 85 itu menjadi anak emas. Segala-galanya film. Sekarang film menjadi bagian dari keberagaman dunia visual baru. Baik sebagai entertainment maupun komunikasi, dan juga ada tangan. Dulu semuanya serba upacara besar. Menggunakan 35mm saja sangat susah, mahasiswa baru menggunakan kamera di tahun berapa? Sekarang semuanya dipegang di tangan. Kalau dahulu semuanya serba upacara, sekarang tanpa upacara, cukup di tangan saja. Lalu film harus bersaing dan hidup di beragam cara distribusi, cara komunikasi, informasi. Cara menikmati penonton sudah berubah total. Oleh karena itu, perubahan tersebut menjadi peta baru. Tapi perubahan itu sebenarnya sudah biasa, yang harus disadari adalah ketakutan kita, dan kurangnya pengetahuan kita terhadap hal yang sudah berubah. Jadi memang ini adalah sebuah peta baru dimana segalanya harus visual dan siap di tangan. Mengubah cara distribusi, cara menikmati, cara mengkomunikasikan pesan yang sangat beragam.
Setiap manusia ditantang di setiap periode, dalam 5 tahun atau 10 tahun untuk mengikuti peta baru. Misalnya sekarang saya mempunyai Instagram, karena sekarang handphone tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai warung, pengganti warung ngobrol, marketing, tetapi juga sebagai laboratorium. Karyanya belum selesai pun kita sudah bisa pameran. Kesadaran akan peta atau teknologi baru harus menjadi bagian yang normal dalam diri kita.
Masih membicarakan perbandingan industri dulu dan sekarang, bagaimana Anda melihat minimnya sutradara perempuan di ranah film lokal?
Kerja film itu kerja lapangan, tradisi kita, walau kita mau mengatakan perempuan sudah sejajar, itu masih sedikit. Tidak hanya di film, di wilayah pengeboran minyak pun masih sedikit. Hal-hal yang menyangkut lapangan dan memakan waktu lama dan ada dunia fisiknya cenderung sedikit. Mengapa sekarang banyak timbul sutradara perempuan? Karena teknologinya sudah sangat berkembang, ruang menciptanya bisa di mana saja. Ruang untuk menghadirkannya, untuk memberi kesempatan, untuk mendistribusinya sudah lebih efisien dan efektif. Kalau dulu rumit sekali, sekarang untungnya sudah tidak. Maka dari itu, di dunia baru semacam ini akan memungkinkan perempuan untuk semakin bertumbuh. Teknologi telah membantu kita menciptakan ruang partisipasi yang memungkinkan semua orang.
Teknologi telah membantu kita menciptakan ruang partisipasi yang memungkinkan semua orang.
Dilemanya sebenarnya tidak adanya upacara. Kecepatan dan kemudahan membuat cara berpikir kita semakin dangkal, karena kita dapat merubah dunia dalam satu tekanan. Sehingga, semua orang berlomba antara kecepatan, konsep, keunikan diri dan strategi serta kedalaman bersama-sama. Kalau dulu pada zaman saya jalan tidak banyak, untuk memilih jalan yang paling bagus itu banyak, tapi jalannya jelas, hanya ada satu jalan. Kalau sekarang, jalannya banyak! Dan bahkan kita tidak tahu mana yang buntu atau tidak. Oleh karena itu, di tengah keberagaman, keramaian, kecepatan sebetulnya ini sebuah lalu lintas yang sangat rumit. Antara kecepatan teknologi dan manusia untuk mengelola dirinya terkadang tidak seimbang.
Bagaimana Anda melihat masa depan industri film Indonesia?
Dilema dalam industri kita itu selalu didorong oleh faktor-faktor di luar dirinya. Misalkan, tren, teknologi baru yang cenderung dimiliki anak muda. Tetapi misalkan peraturan lokal yang melindungi dirinya seperti di Tionghoa, disana ada kuota. Film Amerika tidak sewenang-wenang lalu masuk seenaknya di sana, di negara lain kuota dan sistem untuk melindungi industri film sehari-hari itu ada. Jadi di luar negeri globalisasi menjadi sesuatu yang biasa saja, tidak mengejutkan, globalisme dirayakan. Tetapi globalisasi yang baik apabila ikut mensejahterakan lokal, itu saja. Globalisme tidak usah lah terkejut-kejut, hal ini terjadi di setiap periode hidup. Namun harus tetap merayakan kebudayaan lokal. Kita boleh kagum, tetapi kalau kekaguman itu tidak mensejahterakan kita, untuk apa kita kagum? Negara Tionghoa dapat membangun itu melalui tirani, apakah kita mau membangun itu dengan tirani? Tentu tidak!
Kita patut kagum, tetapi kita harus ingat bahwa kita menerima globalisasi dengan syarat kita harus membangun produktivitas lokal. Perubahan itu hal yang biasa, tidak seakan-akan yang lama harus mati. Yang lama dan yang baru harus bisa coexist, seperti contohnya telephone booth di Inggris, memang dia sudah jarang digunakan, tapi tetap dilestarikan sebagai simbol turisme. Indonesia bangga sekali jika ada yang mati, kita berpikir bahwa hal tersebut membuat kita bangsa yang maju, namun itu malah mengatakan bahwa sejarah kita tidak linear. Banyak ketimpangan, kerapuhan, dan ketertinggalan. Akibatnya kita menjadi pasar, tidak hanya dalam segi ekonomi atau teknologi, tapi juga diterjemahkan ke industri kreatif. Itu pekerjaan rumah terbesar kita. Kita harus berlatih untuk menerima hal baru sekaligus merawat sejarah dan melestarikan pasar lokal. Mari kita di zaman ini, apalagi di film, memikirkan hal tersebut.
Setelah “Kucumbu Tubuh Indahku”, proyek apa yang sedang dikerjakan?
Beberapa puluh tahun ini saya banyak mengerjakan film namun expanded, seperti di Berlin, saya membuat film tapi juga ada kaitannya dengan seni-seni yang lain. Tahun ini saya membuat tiga hal yang berbeda, karena mau mengembangkan pasar. “Setan Jawa” dengan orkestra Melbourne sampai terakhir Berlin dengan mas Panggah Rahayu Supanggah ya, ini film bisu. Film bisu hitam putih dengan iringan mas Panggah, gambang orkestra, yang bekerja sama dengan orkestra-orkestra dunia. Film expanded ini tidak hanya menjadi film tapi juga dapat dikembangkan menjadi instalasi art, teater. Film “Nyai” yang digarap dengan satu shot akan keliling Indonesia untuk dijadikan masterclass. Selain itu, setelah touring festival, “Kucumbu Tubuh Indahku” akan tayang di bioskop di bulan Maret 2019 ini.