Babak Baru Film Kita Bersama Dian Sastrowardoyo
Berbincang bersama Dian Sastrowardoyo tentang tren streaming film, pengalamannya menjadi produser kreatif hingga posisi perempuan di masyarakat sosial kita.
Words by Muhammad Hilmi
Bagaimana keadaan ketika Dian masuk ke industri film dulu?
Saya kecemplung di sini sebenarnya kecelakaan sih. Karir saya diawali awal 2000-an. Itu nggak lama setelah film “Kuldesak” (1998) habis “Petualangan Sherina” (2000). Saya masuk dari “Bintang Jatuh” (2000) dan habis itu “Pasir Berbisik” (2001). Kayaknya waktu itu benar-benar ada di tempat yang benar in the right place in the right time, karena itu era di mana film Indonesia kembali seru dan kayaknya keterlibatan saya di situ ada di momen yang tepat banget.
Makanya kadang-kadang saya dapat label gede banget, seperti simbol kebangkitan film dan semacamnya. Sebenarnya itu kecelakaan saja, dan bisa terjadi sama siapa saja. I don’t think it should be me, film Indonesia akan bangkit juga saat itu. Kebetulan kemarin saya membahas ini, dan ternyata pelaku-pelaku film yang berada di tahun segituan masih menghidupi industri film sampai sekarang. Orang-orang seperti Mbak Mira Lesmana, sampai Mbak Shanty Harmayn masih menginspirasi kita sampai detik ini.
Di “Bintang Jatuh”, sebenarnya waktu itu film home industry. Shooting pakai handycam, crew-nya cuma 5 orang. Dan saat itu sebenarnya saya melamarnya untuk jadi astrada. Saat itu baru suka film, sedang pacaran sama seorang sutradara video klip terus terinspirasi sama film-film yang dia suka. Di situ saya menemukan kecintaan terhadap film. Yang membuat saya jatuh cinta adalah bagaimana film bisa menginspirasi kita sampai jauh di lapian emosional terdalam.
Saya waktu itu tertarik sekali ingin bisa membuat film-film yang somehow bisa membentuk karakter orang Indonesia.
Film-film seperti “Dead Poets Society”, “Good Will Hunting”, bahkan film-film niche seperti “Pulp Fiction” itu bisa berpengaruh seminggu-dua minggu kedepan. Mereka punya kemampuan untuk mengubah hidup kita, dari cara pandang, cara berpikir. Film mengajari, mendewasakan, membuka wawasan kita. Impact-nya ternyata sekali. Saya waktu itu tertarik sekali ingin bisa membuat film-film yang somehow bisa membentuk karakter orang Indonesia. Mulai dari situ saja.
Ini perubahan besar bagi saya yang tumbuh sebagai anak SD yang suka membaca dan merasakan bahwa buku berpengaruh bagi pola pikir kita, kemudian tahu bahwa film pun juga melakukan hal yang sama. Bahkan dalam proses yang lebih singkat, kita tak harus membaca lalu mencernanya dulu di kepala. Film bisa membawa kita tercebur dan menemukan diri kita sendiri di cerita film tersebut. Ini membuat saya sepakat dengan statement karakter Abimana Aryasatya di “Petualangan Menangkap Petir”, bahwa ruangan sinema adalah ruang yang sakral. Karena pada saat film sudah berlangsung, itu luapan emosi penonton, dan dari film tuh nyampur jadi satu. Ini sesuatu yang tidak boleh diganggu. Sebuah hal yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Dengan media secanggih ini, bayangkan apa saja pesan yang bisa kita sampaikan untuk membentuk pola pikir penontonnya. Apalagi bagi kita sebagai negara berkembang yang masih punya banyak pekerjaan rumah, maka kita harus menggunakan industri ini untuk mencari definisi diri kita sebagai bangsa. Makanya ketika itu inginnya belajar jadi astrada (asisten sutradara), sayangnya nggak diterima karena ketika itu Mas Rudi Soedjarwo sudah punya dua astrada, salah satunya adalah Rako Prijanto, “Kita udah ada astrada, Dian. Butuhnya pemain”. Ya sudah main, tapi saya pengen sambil belajar bikin film. Untungnya Mas Rudi bilang, “Boleh, nanti kamu magang-magang saja, lihat sistem editing“. Akhirnya saya menerima pekerjaan itu dengan bayaran 500 ribu rupiah, shooting-nya seminggu. Dan selama shooting saya nggak tahu apa kamera lagi on atau nggak karena memang dia candid banget, jadi lumayan eksperimental.
Dian berada di pusaran industri sudah cukup lama, menjadi bagian di reformasi industri film Indonesia di tahun 2000-an, mengalami ketika industri film lagi jenuh dengan film-film horror, terus sekarang dengan kebangkitan film Indonesia. Bagaimana melihat perkembangan ini dari dalam pusaran industri?
Sekarang menurut saya film Indonesia perkembangannya bagus banget. Walaupun tahun 2005, 2006, 2008 sampai 2010 itu sempat agak lesu. Saat itu saya sempat berhenti enam tahun, dan memang begitu keadaannya, Mbak Mira Lesmana kalau tidak salah sempat hampir mau berhenti di industri film. Itu era-eranya MFI (Masyarakat Film Indonesia) di mana kami memprotes rancangan UU film yang mengharuskan kita harus bikin proposal dulu ke pemerintah, ke kementerian baru film itu dapat lampu hijau izin untuk produksi. Padahal proses development film itu sendiri aja udah lumayan rumit kalo ditambah dengan beban itu kita khawatir policy itu malah tidak akan men-support perkembangan industri film tapi justru akan mengekang. Kita semua fight ke kejaksaan, ke mahkamah konstitusi, termasuk saya sebagai salah satu saksi ahli.
Pada saat kita kalah, banyak dari kita insan-insan perfilman itu kaya kehilangan energi.
Pada saat kita kalah, banyak dari kita insan-insan perfilman itu kaya kehilangan energi. Sudah capek fighting segala macam, mengadvokasi dan ternyata kalah. Pola pikirnya sempat jadi yang, “Untuk apa lagi kita berkarya?”. Tapi keadaan yang demikian membuat keadaan saat itu jadi guyub banget. Dulu film Indonesia banyak gengnya, seperti geng Miles, geng Kalyana, geng Shanty Harmayn. Pada saat ada MFI semua jadi satu. Ada Joko Anwar, segala macam nyampur. Giliran perjuangannya selesai ada pengubuan lagi.
Itu saat saya berhenti berapa tahun, bahkan sempat ngantor juga. Tahun 2013 Lukman Sardi datang dan mengajak saya untuk kembali lagi. Saat itu langsung bertanya, “Memang sudah bagus sekarang, Mas?”. Ia menjawab dengan statement bahwa sekarang sudah ada perusahaan-perusahaan seperti MNC, perusahaan TV, juga mulai ada platform-platform yang mungkin kita nggak cuman bergantung pada penjualan tiket di bioskop.
Akhirnya kembali membantu di film “7 Hari 24 Jam”, untuk seru-seruan saja. Bisa jadi saat itu ini adalah film terakhir saya. Saya sudah tidak melihat diri saya sebagai insan perfilman. Ketika main ternyata masih seru, walaupun shooting cuma 2 minggu. Tapi menarik sekali karena animo masyarakat juga tiba-tiba menyambut baik. Itu film komedi yang kecil, ternyata bisa meraup 400-500 ribuan penonton, jadi termasuk balik modal. Ini membuat saya sadar bahwa penonton film Indonesia sudah bisa ditawari suguhan seperti ini.
Nggak lama habis itu, ternyata “Ada Apa Dengan Cinta” kembali lagi dengan sekuelnya. Ternyata 15 tahun berselang, chemistry kita tetap ada di sana. Dengan Mbak Mira, sama Mas Riri, juga chemistry antara pemain, saya sama Nicholas Saputra – walau sudah bertahun-tahun nggak kerja bareng, ketika ketemu tinggal jalan saja. Kita jadi saling terinspirasi satu sama lain. Bertemu juga dengan Adinia Wirasti yang sudah jauh berkembang, bersama dia saya banyak belajar karena dia sudah sempat belajar script-writing udah pemahaman udah jauh dari pada dulu. Hal yang sama juga terjadi bersama Nico yang pengalamannya sudah banyak. Dia sudah jadi produser, sudah syuting sana-sini.
Menurut saya saat ini, perfilman Indonesia sedang di perkembangan yang sangat menarik-menariknya karena dicabutnya dari daftar negatif investasi, perkembangannya jadi banyak. Investasi jumlah screen diperbanyak, platform digital on demand-nya jadi banyak. Film-film yang tadinya nggak ada ruang untuk manifest menjadi sebuah film, sekarang diberikan jalan. Genre seperti bikinan Timo yang bunuh-bunuhan yang tadinya jadi musuhnya sensor, sudah punya ruang untuk menampilkan diri di Netflix. Festival film lagi seru-serunya. Mas Garin lagi jaya-jayanya dengan “Kucumbu Tubuh Indahmu”. Teman seperti Mouly keluar dengan “Marlina…”.
Genre dan jenis-jenis film yang 10 tahun lalu nggak ada sekarang dapat jalan, investor juga mau memberi dana. Akhirnya film-film ini punya kesempatan untuk hidup dan diapresiasi di beberapa festival. Ini yang kita rindukan 10 tahun lalu. Kalau dihitung dari awal berkarya tahun 98-99 berarti sudah hampir 20 tahun saya di sini. Kemarin di Piala Citra Ibu Widyawati dapat lifetime achievement award setelah 50 tahun berkarya, semoga saya nanti bisa terus semangat seperti beliau.
Tadi Dian menyebutkan tentang ruang sinema yang sakral, bagaimana prinsip ini kemudian hidup saat budaya nonton film sekarang bergeser ke Netflix dimana film “hanya” ditonton di laptop bahkan handphone?
Memang pada dasarnya pengalaman menonton film didesain untuk dilakukan di sinema. Cuma kadang-kadang itu nggak selalu ideal. Justru saya melihat platform flix-flix ini memberikan kita kesempatan untuk tetap mengakses film-film di antara aktivitas kita. Orang commuting berangkat ke kerja, mereka sekarang nggak cuma baca buku atau mendengarkan musik, tapi juga menonton film lewat gadget mereka.
Sekarang film saingannya bukan lagi cuma film lain, tapi juga saingan dengan aktivitas keseharian termasuk traffic jam dan lain-lain dalam hal meluangkan waktu untuk ke bioskop.
Ini mungkin bukan situasi menonton yang ideal, tapi ini jelas lebih baik daripada orang tidak menonton sama sekali. Sekarang film saingannya bukan lagi cuma film lain, tapi juga saingan dengan aktivitas keseharian termasuk traffic jam dan lain-lain dalam hal meluangkan waktu untuk ke bioskop. Dengan adanya platform-platform ini, kita memberi kesempatan bagi mereka yang cuma bisa nonton saat berangkat kerja saja misalnya. Jadi monggo, ini malah bagus. Ini adalah perkembangan yang sangat men-support industri dan ini sehat sekali.
Tentang selera dalam hal konsumsi karya. Meski sekarang sudah mulai terbuka, masih banyak juga yang melihat bahwa masyarakat kita sebenarnya belum siap kalau diajak nonton film yang cenderung eksperimental. Kalau Dian melihatnya seperti apa sih sekarang ini?
Misalnya memang masyarakat belum siap dengan karya yang lebih eksperimental, dengan adanya flix-flix ini, orang bisa memilih. Tidak ada lagi satu pintu yang mencekoki publik, mereka sendiri yang memilih. Saya melihat bahwa ada masyarakat yang sudah siap dan mencari tontonan yang lebih khusus, dan melalui platform ini kebiasaan tersebut dimungkinkan dan dimudahkan dalam hal cara menikmatinya. Ada yang bilang bahwa karena ini jadi tontonan gadget, kualitas jadi menurun. Ada juga kritik yang menyebutkan bahwa film sekarang jadi tontonan saat lagi beol – ibaratnya begitu. Makanya tontonan secara durasi berubah, beberapa juga bilang kalau kualitasnya juga jadi berbeda. Cuma, saya merasa perkembangan industri ini juga perlu.
Saya sempat baca tentang parameter bagaimana sebuah industri bisa dilihat sebagai benar-benar industri. Kalau mengacu dari situ, sebenarnya industri film Indonesia masih dalam fase infant, bayi banget, sampai masih dipertanyakan apakah ini sudah merupakan industri. Pada saat dia bisa dibilang industri, dia harus mampu memberikan penghidupan yang layak kepada berjuta dan beribu orang yang mencari nafkah di dalamnya. Saat ini, industri film di Indonesia belum bisa seperti itu dan memang masih membutuhkan rangkaian banyak sekali varian dari suguhan tontonan. Termasuk tontonan yang termasuk lebih ringan, yang mungkin kualitasnya memang lebih kecil tapi somehow bisa menghidupi orang-orang yang bekerja di baliknya. Jadi menurut saya ini tetap sehat kok. Dan kalau kita biarkan berkembang, nanti perkembangannya bisa menarik sekali seperti di Korea. Karena seberkembanganya industrinya kan berkembang juga penontonnya. Akhirnya penonton sendiri bisa semakin dewasa dan punya kebijakan untuk memilih apa sih yang dia bilang bagus dan akhirnya industri juga bisa begitu.
sosok seperti Mouly itu adalah figur yang saya lihat sebagai leader, mereka ibaratnya berani bokek demi memberikan asupan nutrisi tinggi buat penontonnya.
Sebenarnya industri punya kemampuan untuk memimpin dalam hal selera, tapi juga bisa mengikuti selera pasar. Meskipun untuk memimpin menuju kualitas yang lebih mendalam tentu tantangannya lebih besar. Film-film bagus seperti “Marlina…” mungkin penontonnya nggak banyak dan kita bersama-sama berjuang mati-matian mengkampanyekan harus nonton. Tapi tetap saja, akhirnya yang nonton adalah mereka yang siap saja. Meski kemudian di luar negeri acknowledgement juga membanggakan bangsa kita, meski belum banyak ditonton oleh penonton lokal, dan itu yang kita masih perlu ajak. Makanya sosok seperti Mouly itu adalah figur yang saya lihat sebagai leader, mereka ibaratnya berani bokek demi memberikan asupan nutrisi tinggi buat penontonnya.
Sekarang industri film Indonesia sudah banyak masuk radar film internasional, dan di saat seperti ini tantangannya adalah bagaimana film Indonesia punya identitas. Mungkin seperti yang dimiliki film-film Iran, supaya kita punya kekhasan diantara semesta film internasional. Kalau menurut Dian, seperti apa sebenarnya identitas film Indonesia?
Saya rasa film Indonesia masih mencari bentuk karakternya. Iran memiliki identitas yang sangat kuat karena mereka mengalami masa dimana mereka tidak punya akses kepada film luar, jadi dia harus mengkonsumsi film lokal gitu, dan nggak taunya malah berkembang banget. Mungkin seperti ekonomi China yang diberikan pagar bambu, justru jadi sangat menguat. Salah satunya karena tercipta demand yang kuat dari dalam domestik sendiri. Film Indonesia situasinya tidak begitu, kita justru saingan sama Hollywood, kita rebutan penonton, rebutan layar dengan mereka. Jadi mungkin sekarang keadaannya adalah karakter penonton film Indonesia taste-nya sedikit banyak didikte oleh Hollywood.
Kayaknya untuk kita bisa berkembang, kita harus agak mengikuti karakter itu dulu, baru kemudian mulai mengajak pelan-pelan untuk menuju karakter film yang memang sangat Indonesia. Di Korea, saya merasa ada arahan seperti itu. Mereka pemerintahannya memberikan proteksi terhadap produk lokal di mana produk lokal mau nggak mau akan tayang sekian hari, sekian lama, sehingga mau nggak mau orang akan nonton. Akhirnya kondisi yang demikian membuat demand dan trust terhadap lokal produk jadi tinggi. Sekarang secara trust, Indonesia sedang membangun untuk menuju ke sana.
Kalau kita bicara appetite penonton Indonesia terhadap film lokal, kita memang masih dalam tahap pelan-pelan mengajak, “Ayo dong nonton.”. Pendekatannya melalui film-film seperti bikinan Ernest yang “Cek Toko Sebelah”, kita bikin friendly family comedy yang mengajak publik ke bioskop untuk menikmati sesuatu yang menyenangkan, bukan pengalaman yang bikin kapok. Itu dulu deh. Dan ini sebenarnya hal yang menarik.
Apakah ini area yang ingin disentuh melalui film kolaborasi bersama BASE Entertainment yang Dian produseri, “Guru-Guru Gokil”?
Sebenarnya saya ada rencana untuk bikin sekitar tiga project. Saya nggak terlalu berani untuk cepat-cepat mendefinisikan sebenarnya project-project Dian itu seperti apa karena terus terang saya sedang mencari bentuk. Mungkin ada keinginan untuk menyentuh isu tadi, bagaimana kita mengajak penonton Indonesia untuk menikmati pengalaman ke bioskop dengan film-film yang lebih mudah dicerna sekeluarga, family comedy. “Guru-Guru Gokil” bermain di area film komedi yang bisa ditonton sama seluruh umur. Bahasannya tentang guru-guru, suatu bahasan yang semua orang pasti tahu. Semua orang sekolah, semua orang punya hubungan sama gurunya.
Saya juga punya hasrat untuk mungkin masuk ke ranah yang lebih idealis.
Cuma saya nggak terlalu mau sih membatasi diri untuk hanya berkutat di area itu saja. Saya juga punya hasrat untuk mungkin masuk ke ranah yang lebih idealis. Nggak tahu apakah penontonnya sudah siap atau belum. Cuma sebenarnya itu keinginan saya sebagai pembuat film, saya ingin bercerita dengan cara saya sendiri. Tapi ya, belum tahu juga, saya belum bisa cerita banyak mengenai hal itu.
Di film ini, Dian mengambil peran sebagai creative producer. Di sebuah kesempatan Dian pernah cerita kalau Dian banyak belajar, termasuk belajar nulis di situ. Bagaimana Dian menikmati proses belajar ini?
Saya masih dalam proses belajar, dan untuk berada satu ruangan bersama tim penulis itu saya belajar banyak sekali. Saya sekarang baru melihat proses-proses bikin art, bikin sequence berapa babak itu hal-hal yang saya pelajari dan benar-benar baru bagi saya. Saya tahu bahwa saya mungkin tidak akan pernah jadi penulis tapi untuk bisa paham tentang tulisan apa sih yang akan work sama nggak work itu butuh dipelajari dan itu ada ilmunya. Momen bekerja bersama BASE ini menjadi kerjasama yang memberikan saya akses terhadap proses pembelajaran ini.
Di BASE, saya bertemu dengan Tanya Yuson yang pengalamannya cukup banyak di Hollywood. Kita semua menimba ilmu dari dia, terutama dari pengalamannya yang mengawali di bisnis studio dan juga pada bagian story development yang kuat. Ini akses pengetahuan yang cukup langka bisa ditemukan. Kerja sama BASE ini jadi proses belajar buat saya. Semoga ini bisa membimbing supaya suatu saat nanti saya bisa berdiri sendiri dan menjadi filmmaker yang independen. Jadi bekerja bersama BASE ini seperti program apprentice yang sangat baik bagi saya.
Menjadi produser seperti tahapan bagi aktor/aktris untuk mendewasakan diri. Apakah ini yang coba Dian lakukan di sini?
Saya belajar banyak dan sekaligus terinspirasi dari teman dan kolega seperti Abimana yang sudah mulai memberanikan diri masuk ke produksi. Sekarang cukup banyak yang juga melangkah ke sana. Kalau tidak salah, Adipati Dolken pun sudah mulai menunjukkan skill di luar acting. Dan saya percaya sebenarnya semua orang bisa melakukan itu. Tinggal apakah kita mau memilih nyaman di akting saja atau mau ikut menulis, ikut mengkonsep, atau ikut make it happen cari investor.
Saya pribadi encourage banget untuk teman-teman mencoba cross profesi. Karena sebenarnya dengan belajar jadi produser, mungkin ini bisa membuat kita menjadi a better actor. Mungkin teman-teman yang biasa directing dengan belajar producing jadi lebih mengerti lagi. Atau teman-teman producing belajar writing jadi lebih mengerti secara kreatif. Sebagai pemain, saya percaya dengan masuk ke producing, pengalaman ini akan memperkaya saya sebagai pemain.
Kembali lagi ke yang industri yang lebih makro, tadi Dian sempat mention kalau pemerintah andilnya cukup besar. Sekarang, dengan semakin mudah orang bisa bikin film sendiri, dengan semakin banyak platform, apakah peran pemerintah masih sekuat itu?
Saya melihat campur tangan pemerintah itu cukup terasa. Terutama tiga tahun terakhir dengan diciptakannya BEKRAF, saya melihat mulai dari FFI dari penyelenggaraanya dan juga bagaimana beberapa film sudah bisa dibantu untuk hadir di festival-festival internasional. Mereka support, dan bentuknya real: duit. Untuk menerbangkan, mendaftarkan film kadang ada biaya-biaya yang mungkin kalau tidak ada support, mereka akan engap-ngapan cari sendiri. Saya lumayan bersyukur walaupun memang dukungan pemerintah bisa lebih baik lagi. Tapi terus terang, saya rasa kita perlu untuk mensyukuri adanya dukungan itu. Ini tidak ada 10 tahun lalu. Makanya dulu ketika kita bisa punya “Kuldesak”, itu agak ajaib karena mereka independen seada-adanya.
Kalau soal layar bioskop, masalah kita itu rebutan sama Marvel dan film Hollywood lain. Kita punya layar alternatif seperti Kinosaurus yang diinisiasi swasta. Padahal idealnya setiap kota punya lebih dari satu. Kalau bagaimana Dian melihat fenomena ini?
Terus terang, itu masih PR kita semua. Terutama PR para pelaku distribusi film. Sekarang nggak cuma satu, tadinya cuma XXI. Sekarang ada CGV, Cinemaxx dan itu sehat banget. Menurut saya, memang harusnya tanggung jawab sebesar itu jangan dipikul sendirian. Kita harus gotong royong. Rame-rame kita pikul, jadi di semua kota mudah-mudahan ada. Saat nantinya kita punya banyak layar, kita harus mendukungnya dengan banyaknya konten. Kalau kontennya juga nggak ada supply-nya, terus terang orang nggak akan datang ke bioskop. Jadi itu PR kita semua buat gotong royong, bersinergi.
Ngomong-ngomong soal konten, belakangan tren nostalgia banyak muncul. Termasuk salah satunya di Ada Apa Dengan Cinta 2, juga ada contoh lain seperti dihidupkannya kembali sosok dari masa lalu, ada “Benyamin”, “Ateng”, dan “Si Dul”. Apakah ini tren positif atau justru mungkin kita perlu untuk melihat ke sumber-sumber yang lebih segar?
Ini menarik, karena sebenarnya mungkin kamu orang yang menyadarkan saya kalau ada tren nostalgia. Berarti kita perlu sadar bahwa sepertinya ada kerinduan ke zaman-zaman keemasan film zaman dulu. Tahun 80-an kita punya film keren-keren, zaman Teguh Karya, Indonesia sempat keren banget industri musik juga filmnya. Jadi sebenarnya orang-orang Indonesia di milenium sekarang merindukan konten dengan bobot cerita dan musik yang ada di zaman itu. Zaman masih analog, zaman orang menggali kreatifitas.
Apakah dengan semakin dewasanya cara hidup kita sekarang, kita jadi kehilangan kedalaman?
Ternyata seperti ada kerinduan terhadap sesuatu yang nggak bisa di-deliver oleh kecanggihan teknologi. Ini menjadi sesuatu yang menarik sebenarnya untuk jadi bahasan bersama. Apakah dengan semakin dewasanya cara hidup kita sekarang, kita jadi kehilangan kedalaman? Ini sesuatu yang ingin kita hindari.
Salah satu contohnya yang sedang saya kerjakan bersama BASE, di “Guru-Guru Gokil” kita melihat tren family comedy. Tantangannya adalah bagaimana kita menghadirkan sesuatu yang bisa menyentuh hingga ke dalam. Itu yang mahal. Bagaimana sebuah film komedi ataupun film apapun itu, secara cerita kuat dan bisa meng-grab emosi penontonnya. Kadang-kadang di komedi kita bisa ketawa, terus habis itu lupa. Kita perlu menggali bagaimana sebuah karya bisa “megang” kaya kita kepegang pas nonton Teguh Karya.
Di sisi lain, tren nostalgia ada negatifnya karena seperti “main aman” karena kita tidak perlu memperkenalkan tokoh atau cerita baru…
Saya rasa tidak begitu. Karena walaupun remake, kita harus membangun ulang. Kita harus menginterpretasikan dengan cara kita. Ini tantangan sih. Tapi sesuatu hanya perlu di-remake kalau memang perlu di-remake. Misalkan kita akan membuat remake film “Arini”, kalau kita percaya bisa menghadirkan Arini dengan flavour yang berbeda, maka ini perlu karena akan ada value added di situ. Nggak yang plek-plekan cuma jiplak saja. Jadi benar-benar harus mendekonstruksi, menciptakan kembali. Tapi bahkan di Hollywood pun remake nggak selalu jadi bagus. Maksudnya, kalau film lama bagus pada zamannya, sekarang kalau bikin lagi mestinya bagus buat zaman sekarang dong.
Tentang hal baru, dari regenerasi aktor, terutama production house besar – mereka terlihat cenderung untuk main aman dengan aktor dengan nama besar. Seperti bagaimana beberapa di antara kita kurang sepakat dengan Vino memerankan Chrisye misalnya. Atau dulu ada isu Reza Rahadian terlalu overuse. Bagaimana Dian melihat regenerasi di film Indonesia?
Memang dua orang tadi punya gaya delivery yang berbeda dan sebenarnya itu sehat. Dan regenerasi ini ada kok, sekarang saya melihat banyak pemain-pemain baru. Pada saat kita bicara mengenai variasi dalam suguhan film, suguhan cerita, suguhan genre, saya rasa kita juga perlu diberikan variasi pemain dengan gayanya dan kelebihan yang berbeda-beda. Setiap pemain punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Kalau dulu ada kepercayaan yang sangat besar kepada Reza Rahadian, menurut saya memang Reza punya range yang lebar, sehingga dia bisa main di berbagai gaya. Kalau misalkan bosan dengan Reza, tidak usah nonton (tertawa). Perkara dia mau main terus atau tidak kan sebenarnya ada di tangan penontonnya atau produsernya. Kalau 8 film sudah pakai Reza, terus mau pakai Reza lagi, apakah yang akan membedakan film ini dengan film yang lain. Ini harus dipikirkan oleh produser. Vino, juga bagus kok. Vino punya caranya sendiri. Dan kepercayaan seorang sutradara dan produser memilih dia itu pasti ada alasannya. Kalau memang ada yang kurang setuju, mungkin selera kita kurang setuju sama seleranya si produser. Mungkin kalau kita mau menunggu film Chrisye yang pemainnya bukan Vino, bikin film Chrisye sendiri saja, monggo.
Belakangan banyak yang perbincangan tentang isu perempuan. Di luar negeri, ada #MeToo dan Time’s Up. Kalau Dian sendiri melihat isu perempuan di industri film Indonesia seperti apa? Apakah separah yang disana atau sebenarnya kita lebih aman?
Oke, mungkin pertama saya akan memberikan disclaimer dulu. Mungkin pengetahuan saya mengenai hal ini masih belum cukup untuk bisa memberikan opini. Cuma, berdasarkan pengetahuan saya yang sangat terbatas ini, ketimpangan honor pelaku perempuan dan pelaku laki-laki itu di sini tidak sejauh di sana. Jadi kalau kita melihat gimana mereka protes besar-besaran, mungkin karena di sana timpang banget. Memang ternyata dari teman-teman yang mempelajari, “Oh ternyata memang kasian juga ya”. Mereka sama capeknya, tapi somehow tidak dihargai.
Itu sebenarnya sesuatu yang sangat alarming, karena mereka hidup di negara dunia pertama yang harusnya sudah maju sekali. Di sana perjuangan feminisme sudah berjalan ratusan tahun, puluhan tahun. Mestinya problem itu di dunia film sudah tidak ada lagi. Tapi nyatanya bahkan Meryl Streep dan hampir semua aktris-aktris ikut menyuarakan, berarti di dalam industri mereka, di sistem mereka ada yang salah. Saya sebagai pelaku film di sini mempelajari saja tentang bagaimana mereka me-resolve isu ini.
Jadi pada saat perfilman Indonesia bisa menghadirkan sudut pandang yang unik jadi imbang, itu keadaan yang sehat.
Kalau di sini, sepertinya ketimpangan itu mungkin saja ada, bisa jadi juga nggak ada. Yang jelas setiap produksi itu beda. Rasanya agak susah untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang particular gitu. Jadi kita tidak bisa bikin kesimpulan tentang keadaan di Indonesia.
Yang pasti di Indonesia, yang timpang adalah jumlah director dan penulis perempuan. Kenapa ini menjadi penting? Karena pada saat sebuah cerita atau sebuah film diceritakan dengan sudut pandang perempuan, menggunakan bahasa perempuan, ini akan menarik. Karena perempuan itu punya cara yang unik dalam melihat cerita, cara unik dalam membahasakan ceritanya. Sekali-kali kita mengajak penonton yang populasi yang setengah perempuan setengah laki-laki, untuk bisa melihat cerita yang tidak bias. Biasanya kalau cerita hanya diceritakan lewat sudut pandang pencerita laki-laki saja, akan kehilangan sudut-sudut yang sebenarnya dirasakan oleh perempuan gitu. Kita memiliki kepekaan yang berbeda.
Jadi pada saat perfilman Indonesia bisa menghadirkan sudut pandang yang unik jadi imbang, itu keadaan yang sehat. Kita perlu lebih banyak penulis, juga sutradara perempuan. Yang sudah banyak itu adalah produser perempuan, karena memang emak-emak biasa mengatur ini-itu, ibaratnya jadi emak-emaknya semua orang gitu. Kemarin Mouly kemarin bilang bahwa Kamila Andini jadi harapan kita buat generasi ini. Kita berharap lebih banyak yang seperti itu. Makanya saya ada cita-cita kecil untuk jadi sutradara. Mungkin suatu saat akan saya coba, tapi sekarang saya sedang belajar producing dulu.
Tapi kalau secara sosial yang lebih luas lagi, bagaimana Dian melihat kondisi perempuan Indonesia, apalagi Dian sempat memerankan Kartini juga?
Wah ini menarik sekali. Hidup di negara berkembang, kita melihat bahwa di satu sisi perempuan-perempuan modern di Indonesia sudah punya akses terhadap karir, terhadap pendidikan tinggi. Tapi kalau kita mau melihat dari persentase itu dibandingkan di seluruh penduduk, kita tetap presentasi paling kecil, paling cuma 5 persen. Sementara, presentasi itu untuk dibandingkan kepada populasi kita yang besar ini tidak cukup untuk mewakili bahwa kita adalah negara yang berkembang.
Kalau kita mau jadi negara yang berkembang, persentase perempuan yang mendapat akses kepada penghidupan yang layak, kesehatan yang layak dan juga pendidikan itu perlu lebih besar. Karena logika dasarnya seperti ini, kita adalah sebuah negara yang besar, kita mungkin akan menjadi negara dengan populasi terbesar nomor 5 di dunia beberapa tahun ke depan. Tapi yang menarik adalah pada saat kita bicara soal kepemimpinan, decision making position hampir di semua perusahaan korporasi, pemerintahan, semua instansi yang ada di Indonesia itu biasanya rata-rata populasinya laki-laki semua.
Secara karir, perempuan rata-rata tidak melihat bahwa keberlangsungan karir itu berjalan sejajar dengan kelanggengan hubungan keluarga. Jadi pandangan umumnya adalah perempuan itu harus berkarir tapi ketika dia berkeluarga, karirnya akan berguguran. Akhirnya middle management up biasanya jarang dipegang oleh perempuan. Karena mereka punya analogi bahwa kalau berkarir sampai maju, sampai tinggi, sampai tua, kesannya keluarga nggak terurus. Kita tidak tahu paradigma itu berasal dari mana, tapi yang pasti paradigma ini kurang sehat untuk menciptakan ekosistem yang seimbang bagi manusia di Indonesia. Karena kan manusia di Indonesia laki-laki dan perempuan, jadi penting untuk punya ekosistem yang bisa memberdayai keduanya. Cuma, kebijakan-kebijakan itu yang bikin adalah decision maker, lembaga legislatif, lembaga parlemen, perwakilan. Dan pada saat ini perwakilan kita populasinya mayoritas laki-laki, bagaimana caranya mereka bisa membuat kebijakan yang tidak bias?
Dan pada saat ini perwakilan kita populasinya mayoritas laki-laki, bagaimana caranya mereka bisa membuat kebijakan yang tidak bias?
Yang unik adalah bahwa bukan cuma Indonesia yang menghadapi problem ini, Amerika pun juga masih menghadapi problem itu. Dan ini menunjukkan bahwa ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua. Ini pekerjaan rumah juga bagi human race. Sementara saya melihat bahwa sebenarnya human race itu masih banyak PR-nya, masalah kemiskinan masih ada, masalah terorisme masih ada, ekstrimisme, masalah peperangan, kelaparan masih ada. Dan ini semua kan masalah-masalah yang perlu dipecahkan dan ini masalah-masalah besar semua. Apakah iya, kita cuma bisa mengandalkan setengah dari populasi umat manusia yang laki-laki itu untuk menyelesaikan masalahnya umat manusia? Untuk PR sebesar itu kayaknya kita perlu gotong royong semua. Jangan cuma mengandalkan setengah dari kemampuan kita. Seperti kalau kita punya otak, kalau paradigma masih seperti itu, berarti manusia yang hanya menggunakan setengah kapasitas otak kita menyelesaikan problem kita yang banyak itu.
Apa harapan untuk tahun ini?
Akan lebih banyak sutradara perempuan, bahkan sutradara laki-laki juga akan lebih tertarik untuk bisa menceriakan sudut pandang cerita dari perempuan. Ini menarik sih, tapi terus terang saya bahagia melihat hal ini. Melihat bagaimana mereka mulai mau untuk melihat dari sudut pandang perempuan. Orang-orang seperti Timo, yang biasa bikin film yang macho, dia sudah mulai menunjukkan ketertarikan untuk menceritakan cerita seperti itu dari sudut pandang perempuan. Berarti dia percaya bahwa penonton perempuan pun bisa menikmati film seperti ini. Bahwa perempuan pun juga bisa menemukan dirinya di dalam film-film seperti ini.
Kalau harapan tentang naskah Indonesia yang menurut Dian yang kita seharusnya dibikin film?
Nah ini dia! Saya sering membayangkan ini. Naskah-naskah Indonesia dari zaman Balai Pustaka, sampai Angkatan ‘66, Angkatan ‘45, semua itu kan masih banyak sekali potensinya. Pram saja di tulisannya selalu filmis, kita baca buku rasanya seperti nonton film, sinematik. Sebenarnya akan menarik kalau kita bernostalgia ke situ, ke arah kesusastraan Indonesia yang zaman itu. Memang sekarang ada arahan ke sastra Indonesia juga, seperti film dari karya Dewi Lestari, Eka Kurniawan, dan lain-lain. Tapi akan lebih menarik untuk bagaimana kita mengajak generasi sekarang untuk melihat ke sastra kita yang lama-lama. Karena di era itu kaliber-kalibernya berbahaya, masih bisa kalau dihadapkan sama Pablo Neruda. Pujangga-pujangga Indonesia di tahun pergerakan, tahun ‘45 tahun ’66, entah bagaimana influence kesusastraan dunia terhadap penulisan mereka jauh lebih kuat. Kemampuan membaca mereka terhadap soneta-soneta luar itu lebih besar. Jadi kita seperti belajar mengenai kesusastraan dunia melalui interpretasi mereka. jadi kita kaya kaliber kesusastraan boleh dilawan lah. Ini tantangan juga sih bagi penulis masa kini untuk bisa mengejar kualitas penulis lama kita.
Kalau proyek-proyek mendatang?
Saya sedang belajar menulis yang baik. Konteksnya dalam menulis film. Saya masuk ke writers room dan belajar banget. Setiap kali ada proyek itukan rame-rame di ruangan meeting kita semua bener-bener putar otak. Ini seperti kita kaya masuk ke ruangan kuliah lagi.
Saya belajar banyak dari Adinia Wirasti, saya banyak diskusi sama pemain seperti Oka Antara. Mereka adalah pemain-pemain yang punya interest besar terhadap script. Bagaimana mereka melihat script itu membuat saya belajar mengenai bagaimana saya melihat script. Saya lagi ingin mengembangkan diri ke situ. Supaya nanti bisa membantu ketika suatu saat bikin film.