Eko Supriyanto Berbagi Opini Tentang Seni Tari Indonesia Hingga Koreografi Upacara Pembukaan Asian Games Ke-18
Kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Eko Supriyanto tentang gambaran kultur tari Indonesia hingga perannya sebagai koreografer untuk upacara pembukaan Asian Games ke-18.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Salsabila Ramadhani
Foto: Ghina Sabrina
Eko Supriyanto, atau yang kerap disapa Eko Pece merupakan seorang seniman tari asal Indonesia yang telah menorehkan sederet prestasi, baik skala nasional maupun internasional. Ia pun telah dipercaya untuk menjadi koreografer di berbagai perhelatan seni berskala besar, mulai dari ajang Miss World hingga upacara pembukaan Asian Games ke-18 yang mengundang perhatian, pujian, serta decak kagum dari seluruh masyarakat Indonesia. Ranah tari kontemporer yang ia geluti menjadi ajangnya untuk mengeksplor dan memperkenalkan kekayaan serta keunikan budaya Indonesia.
Lahir dari keluarga yang dekat dengan budaya pewayangan, bagaimana Anda mulai mengeksplorasi berbagai gaya tari?
Saya masuk ke ranah tari awalnya karena saya memutuskan untuk kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, yang sekarang jadi Institut Seni Indonesia di Solo. Masuknya saya ke ranah tersebut membuat saya merasa bahwa tari tidak hanya satu macam, karena saya mempelajari banyak macam. Saya juga menyadari bahwa terdapat banyak akses menuju pengetahuan, sejarah, teknik tari, dan berbagai macam sudut pandang dari berbagai macam kultur. Hal tersebut membuat saya memutuskan untuk tidak berhenti belajar. Belajar tari tidak hanya serta merta mempelajari bentuk dan teknik, tetapi juga aspek sejarah, kultur, sosial, serta masyarakat pendukung, yang pasti saling terkait, terutama di Indonesia.
Anda berguru tari ke Suprapto Suryodarmo dan Sardono W. Kusumo. Perihal mendetail apa tentang tari Jawa yang didapat dari para maestro tari ini?
Pak Suprapto Suryodarmo mengajarkan untuk memperhatikan ekspresi individu dalam berkarya. Hal tersebut berarti bahwa tari tidak hanya terpaku pada pola-pola yang baku serta pola-pola tradisi yang tidak boleh berubah, tetapi juga memperhatikan pemahaman tentang bagaimana ekspresi individu juga perlu sebagai satu wacana pengetahuan dan wacana teknik untuk dapat mengekspresikan tari itu sendiri.
Sementara itu, Mas Sardono mengajarkan saya tentang bagaimana tarian kontemporer Indonesia tidak terdiri hanya dari bentuk, melainkan juga gagasan serta sikap di dalamnya. Saya belajar untuk menyikapi tari dalam konteks yang tidak hanya terpaku pada satu perspektif, melainkan dari berbagai macam perspektif. Gagasan tersebut harusnya muncul lebih kepada pola-pola pikir yang lebih kritis, yang sifatnya tidak hanya melulu pada menirukan atau memperagakan.
Insight dari keduanya juga sangat berbeda dan sangat bermanfaat. Hal ini menjadi sangat penting ketika saya terjun ke dunia tari kontemporer, yang membuat saya tidak hanya terpaku pada bentuk karena tari kontemporer Indonesia tidak melulu terpaku pada bentuk, melainkan ekspresinya.
Anda menguasai dasar tari Jawa yang diemban selama bertahun-tahun, bagaimana Anda mengembangkan tarian yang didapat sehingga bisa memiliki karakter tersendiri?
Karena saya mempelajari tari, alhasil banyak tarian yang saya pelajari, dan tidak hanya terpaku pada tari Jawa semata. Saya juga harus mempelajari aspek pengetahuan, sejarah, kultur, sosial, dan masyarakat pendukung terkait dengan tarian tersebut. Hal ini yang membuat saya semakin yakin bahwa tari tidak hanya terpaku pada bentuk dan teknik, melainkan juga pengetahuan dan wawasan tentang aspek performatif, ketubuhan, dan ekspresinya. Performatif dalam arti dapat dihubungkan dengan ekspresi dari panggung atau sisi yang berbeda, dan hal ini sangatlah penting.
Tari tidak hanya belajar tentang pemahaman teknis yang melulu hanya hitungan atau menirukan, tetapi justru banyak mengadaptasi pemahaman filosofi dan pengetahuan yang saling terkait.
Ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk meramu semua ini, tentunya saya tidak hanya meramu bentuknya, melainkan juga meramu pemahaman yang membuatnya menjadi lebih luas dan kompleks. Selain itu, tari tidak hanya belajar tentang pemahaman teknis yang melulu hanya hitungan atau menirukan, tetapi justru banyak mengadaptasi pemahaman filosofi dan pengetahuan yang saling terkait. Sebagai penari kontemporer pula, saya harus memiliki keunikan tersendiri.
Ketika kemudian hari Anda mendapat kesempatan untuk belajar tari modern di UCLA, bagaimana Anda tetap menunjukkan identitas Indonesia lewat tari Jawa yang Anda kuasai?
Sebetulnya yang saya ketahui sehingga dapat saya resapi dan kemudian saya aplikasikan pada attitude berkesenian saya terletak pada spirit Jawa itu sendiri. Jadi, kembali lagi, hal ini tidak terpaku pada bentuknya saja. Apabila kita membicarakan tentang spirit Tari Jawa, otomatis kita juga membicarakan tentang hubungan filosofi, kedalaman, serta masyarakat agraris yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai. Hal ini yang akhirnya saya coba aplikasikan dan juga singgungkan dengan cara saya membaca modernisasi dan kontemporer.
Saat Anda diajak untuk menjadi penari padatur “Drown World Tour” dengan Madonna, bagaimana Anda mengimplementasikan tarian kontemporer yang Anda dapat? Apa yang dipelajari saat itu?
Terkait dengan cara mengaplikasikannya, dalam konteks ini, saya lebih menjadi penari. Saya banyak menjadi pemeran, yang akhirnya saya harus mengikuti arahan koreografi. Saya mendapat banyak pelajaran, salah satunya disiplin. Proses manajerial dalam world tour serta attitude dengan penari-penari lain beserta Madonna itu sendiri menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi saya.
Menjadi penari itu tidak hanya berdasarkan pada perlakuan penari yang harus mengikuti koreografi atau terciprat akan popularitas dari Madonna itu sendiri, tetapi lebih ke sikap dimana seorang penari harus cerdas, pandai, dan memiliki sikap yang profesional. Hal tersebut yang terbesit di otak saya ketika ketika Madonna menyatakan “I’m nothing without you guys” – membuat saya terapresiasi dan meyakini profesi ini sepenuhnya. Totalnya terdapat 187 pentas yang ditampilkan di Amerika dan Eropa. Penari-penarinya berasal dari Amerika kecuali saya.
Publik kebanyakan baru mengenali Anda setelah meraih pencapaian internasional, terutama setelah menjadi penari Madonna, padahal sebelumnya Anda telah aktif dalam melestarikan tarian. Bagaimana melihat persepsi publik yang demikian?
Tidak apa-apa, saya tidak dapat menyalahkan publik. Artinya bahwa, sebetulnya, di Indonesia, yang paling menjadi sangat naif dan cliche adalah kenyataan bahwa kalau sudah terkenal di luar negeri, baru terkenal di Indonesia. Padahal, menuju ke sana, kita butuh pengorbanan, perjuangan, dan itu tidak mudah. Saya mulai aktif di dunia tari, terutama tari kontemporer, sejak masuk ke Indonesian Dance Festival di Jakarta pada tahun 1992 – merupakan festival tari terpenting di Indonesia. Indonesia Dance Festival ini merupakan momentum besar, sebagai tonggak sejarah untuk merepresentasikan Indonesia dalam kancah tari kontemporer dunia, dikarenakan event ini banyak diikuti oleh berbagai negara.
Ketika saya sadar untuk terjun di dunia ini, yakni tari kontemporer Indonesia, saya juga harus sadar bahwa sebetulnya butuh banyak faktor atau aspek yang terkait, seperti pemahaman dan pengetahuan. Tidak hanya melulu masalah keringat dan teknik, tetapi otak juga harus pintar. Sebagai seorang seniman, sebaiknya tidak boleh hanya sebagai pelaku saja. Saya merasa dengan pilihan saya di dunia tari, saya harus betul-betul melebur di ranah ini, sejalan dengan Indonesian Dance Festival dan perkembangan tari kontemporer. Tidak hanya membaca dan melakukan, tetapi juga merawatnya sehingga menjadi satu tonggak penting bagi tari kontemporer Indonesia – tentang bagaimana kita bisa berdiskusi dengan tari kontemporer dari negara lain.
Estetika di dunia kontemporer ini semakin bias dan tidak memiliki pakem pasti. Dalam berkarya, koreografi yang Anda buat pun berdiri dengan tafsiran bebas. Bagaimana proses kreatif Anda dalam membuat tarian?
Saya butuh riset. Tari kontemporer bukan berarti tari yang aneh dan asal-asalan. Tari kontemporer itu sebetulnya adalah gagasan – sebuah ekspresi akan konsep, idealisme, pemahaman, yang tidak serta merta hanya melulu sebagai bentuk kisah protes. Bukan juga sebagai satu gagasan tentang menolak atau menyetujui sesuatu, melainkan bahwa gagasan ini penting menjadi sebuah tafsiran, ekspresi yang tidak terbatas, dan harus bebas. Kalau tidak ada kebebasan, kita tidak dapat berekspresi.
Tidak seharusnya kita berkeyakinan bahwa penonton tidak tahu apa-apa.
Kita tetap harus meyakini bahwa tari kontemporer Indonesia adalah tari kontemporer yang secara gagasan tetap mengacu kepada kemanusiaan – kepada sesuatu yang rohani dan penting, tidak hanya semacam protes ataupun menggubris sesuatu dengan vulgar. Vulgar pada konteks ini justru merupakan sesuatu yang sangat ditentang oleh kebebasan di tari kontemporer. Kita diharuskan untuk melihat dan menyikapi penonton kita yang berbeda-beda, dan kita juga harus meyakini bahwa kita tidak dapat memaksakan tafsir dan kehendak kita. Penonton sekarang lebih pintar dari kita, dan mereka punya pengetahuan dan wawasan yang pastinya mereka sudah pahami. Tidak seharusnya kita berkeyakinan bahwa penonton tidak tahu apa-apa.
Gerakan adalah bahasa yang universal, menurut Anda, bagaimana menciptakan identitas dalam bentuk tarian? Dan apakah ada identitas bangsa tersendiri dalam bentuk tarian?
Gerakan itu universal, tapi tidak dengan tari. Misalnya, sama-sama berasal dari ranah tari Jawa, yakni antara tari Jogja dengan Solo, pastinya berbeda. Tetapi, kedua tari tersebut memiliki pola-pola gerak dan nama yang hampir sama. Tarian-tarian India dengan Brazil, misalnya, mempunyai gerak yang masing-masing berbeda. Apalagi ketika gerak itu digabungkan dalam konteks tari, pastinya hasilnya akan sangat berbeda.
Menurut saya, mungkin musik dapat disebut universal, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk tari karena selalu bergantung pada konteks gagasannya. Misalnya, kita ingin menggarap karya tari dengan tema atau gagasan kesetiaan. Semua orang pasti paham akan konsep kesetiaan itu sendiri. Kesetiaan juga tidak melulu pada suami, istri, atau pacar, tetapi juga bisa pada konteks antara anjing dan majikannya, ataupun kucing pada majikannya. Hal ini merupakan sesuatu yang bisa menjadi universal. Tetapi kalau untuk konteks tari atau geraknya, saya pikir itu mengacu pada konteks masing-masing daerah atau masing-masing sumbernya.
Saya selalu meyakini bahwa membuat karya tidak boleh serta-merta hanya melulu pada aspek koreografinya, tetapi harus pula memperhatikan aspek risetnya. Setiap membuat karya, saya selalu riset, dan hal ini tidak dapat dibatasi dengan waktu. Minimal setahun atau dua tahun melakukan riset, baru saya akan mendapatkan sesuatu yang dapat dicerna dan menjadi suatu gagasan yang penting untuk diekspresikan dalam sebuah karya tari.
Contohnya, ketika saya diundang ke Halmahera Barat dan menekuni tari Jailolo, saya tidak familiar dengan kultur dan tari-tariannya, apalagi suku-sukunya yang sangat berbeda. Terlebih lagi, saya merupakan orang Jawa, dan saya butuh riset dan pemahaman akan kultur-kultur serta tari-tarian mereka, dan hal tersebut memakan waktu yang tidak pendek. Setelah melewati hal tersebut, barulah saya menemukan sesuatu yang menarik, cocok, dan memang penting untuk digarap. Membuat karya tari tidak bisa instan, kecuali memang konteksnya pesanan, improvisasi, atau sesuatu yang tidak membutuhkan riset. Karya tari yang baik adalah yang bersumber dari riset.
Kita tidak dapat berpihak ke satu kultur saja apabila membicarakan Indonesia.
Selain itu, Indonesia tidak bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah “A”, dan lain sebagainya. Misalnya, tari Yospan dari Papua, dengan tari Enggang dari Kalimantan, pastinya akan sangat berbeda. Kalau kita berbicara bahwa “Indonesia adalah tari Bali” – semua orang Jawa, Sumatera, dan lainnya pasti akan marah. Tari Pakarena dari Sulawesi Selatan, misalnya, memiliki banyak aspek modern. Tarian Tor Tor juga sangat berbeda dengan tari Soya Soya dari Maluku Utara. Pemahaman tentang ritual Rambu Tuka dan Rambu Solo dari Toraja akan sangat berbeda dengan pemahaman ritual yang ada di Jawa.
Hal ini membuat kita tidak dapat berpihak ke satu kultur saja apabila membicarakan Indonesia. Setiap pulau dan daerah memiliki tarian dan pemahaman kultur yang sangatlah berbeda. Mungkin contohnya Thailand, bisa langsung dikaitkan dengan Thai Dance-nya, Kamboja dapat langsung diasosiasikan dengan Apsara-nya, Filipina masih mengacu pada tarian-tarian “Spanish” – dan hal tersebut tidak berlaku di Indonesia, dan ini yang membuat kita berbeda. Perbedaan ini lah yang membuat Indonesia semakin kaya dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Kalau sebagai seniman kita dapat memahami hal ini, mengapa kita harus memahami balet dan hip hop? Toh sumber kita sendiri masih banyak sekali yang bisa kita olah.
Di mana posisi tari tradisional sekarang? Apakah menjadi bagian eksotisme semata dan dipertunjukkan/diapresiasi oleh wisatawan saja?
Tari tradisi Indonesia itu sebetulnya merupakan tari yang sangat-sangat fleksibel dan terbuka. Harusnya, hal ini diyakini sebagai salah satu contoh yang luar biasa karena tarian tradisi Indonesia masih hidup sampai sekarang. Kalau tidak ada seniman kontemporer seperti saya, misalnya, atau pemerhati seni yang concern terhadap tarian tradisi Indonesia, saya yakin tari tradisi Indonesia akan masuk ke museum saja.
Sebetulnya, kontemporer atau tarian tradisi selalu akan berubah karena attitude dan sistem pola hidup kita juga selalu berubah.
Sempat terbesit di otak saya apabila orang-orang konservatif tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa tradisi tidak dapat diubah, dan menurut saya hal tersebut sudah tidak berlaku, karena zaman selalu berubah. Tradisi Bedhaya, misalnya, yang mengharuskan penarinya untuk memakai kain setiap hari. Pada zaman sekarang, sudah tidak ada orang yang bersedia untuk setiap hari menggunakan kain, setiap 9 hari puasa, dan harus perawan. Ditambah lagi, semua penari sekarang sudah menaiki motor besar, mengenakan jeans, duduk sudah tidak bersila lagi melainkan di kursi, sudah makan hamburger, dan tidak hanya makan nasi liwet saja. Sebetulnya, kontemporer atau tarian tradisi selalu akan berubah karena attitude dan sistem pola hidup kita juga selalu berubah. Saya bersyukur bahwa tradisi Indonesia masih mau mengikuti perkembangan zaman. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa tradisi Indonesia tidak akan pernah punah.
Selain itu, saya juga sangat menolak istilah eksotisme, karena keindahan atau eksotisme pada tarian tradisi Indonesia pun masih perlu untuk dikritisi dan dipertanyakan. Banyak hal yang menurut saya masih menjadi tantangan. Ketika kita melihat eksotisme, berarti kita hanya melihat aspek performatif dan pertunjukannya saja, tidak melihat dari mana latar beserta sejarahnya, mengapa kostumnya seperti itu, dan lain sebagainya. Kalaupun sisi performance-nya saja yang dianggap eksotis, tarian ini nantinya akan menjadi objek semata.
Saya selalu menolak hal tersebut karena saya selalu beranggapan bahwa kita masih dapat membuka meja selebar-lebarnya untuk berdiskusi dengan para penonton. Ketika saya melihat ballet, saya tidak melihat mereka sebagai satu tari yang eksotis, melainkan saya selalu mempertanyakan tentang banyak hal seperti kenapa kaki para penarinya diharuskan untuk pointing, kenapa wanita selalu diangkat dalam tarian ballet, kenapa wanita selalu mengenakan tutu, dan lain sebagainya. Apakah hal ini juga tidak perlu dipertanyakan? Apakah kita hanya melihat ini sebagai sesuatu yang eksotis atau objeknya saja?
Apakah berkat kehadiran turisme, tari tradisional kini tidak bisa benar-benar ditelan apa adanya dan memerlukan modernisasi?
Kontroversi turisme ini memang sangat kompleks dan tidak dapat kita lihat hanya dari satu sudut pandang saja. Kalaupun Arief Yahya, Menteri Pariwisata Indonesia, beranggapan bahwa massive tourism lebih baik daripada yang kecil ataupun tidak sama sekali, hal tersebut berbeda dengan pandangan saya. Karya-karya saya justru banyak ditampilkan di luar negeri dengan penonton yang berjumlah 300 hingga 500 orang dalam satu pertunjukan. Apabila dikalikan dengan jumlah pentas yang saya lakukan, terdapat ribuan orang yang dapat melihat aspek turisme Indonesia dalam konteks karya saya. Hal ini dapat dipahami dari sudut pandang yang lain juga.
Topik ini menjadi kontroversial karena tiba-tiba banyak tarian-tarian tradisi kita yang dikemas sesuai dengan konteks turisme atau dengan pesanan mereka. Akhirnya, kembali pada pilihan senimannya, apakah si seniman tradisi ini mau seperti itu atau tidak. Kalaupun mau, silahkan, karena ini merupakan pilihan dan salah satu cara untuk mencari nafkah. Tetapi, bagi saya sebagai orang akademisi yang mempunyai concern terhadap seni budaya, kita harus tetap mengadakan diskusi dan berdialog dengan ini. Kita harus melihat dari berbagai sisi dan tidak serta merta melihat aspek tourism dan eksotisme nya saja.
Anda menjadi salah satu koreografer untuk upacara pembukaan Asian Games 2018. Dengan banyaknya jenis tarian tradisional di Indonesia, identitas Indonesia manakah yang diperlihatkan dalam tarian tersebut?
Saya memperlihatkan identitas daerah dari Sabang sampai Merauke.
Saya memperlihatkan identitas daerah dari Sabang sampai Merauke. Hal ini sangat challenging karena satu daerah hanya dapat direpresentasikan dalam 30 detik. Saya, sebagai seniman, terkadang harus berlaku adil. Misalnya, Sumatera tidak selamanya bisa kita tampilkan semua. Bagi saya yang paling penting adalah bagaimana mengangkat kultur yang belum terkenal, seperti dari Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi, dan Maluku Utara. Hal ini yang menjadi pilihan kami untuk menonjolkan hal yang sifatnya hidden paradise atau hidden diamond – sesuatu yang belum pernah terlihat oleh dunia luar.
Apakah proses persiapan untuk upacara pembukaan Asian Games berbeda dengan proses persiapan pertunjukan tari lainnya?
Karena ini massal, pastinya berbeda. Saya berurusan dengan 1600-an penari, dan prosesnya telah dimulai sejak bulan April. Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui, bahkan proses pemilihan penari-penarinya pun juga lumayan kompleks dan challenging. Harapannya adalah dengan waktu yang panjang ini kita dapat memaksimalkan apa yang kita mau dalam upacara pembukaan.
Apa proyek yang sedang Anda siapkan?
Saya masih melakukan tur dengan karya saya yang mengangkat tarian Jailolo dari Halmahera Barat. Terdapat 3 tarian yang akan ditampilkan, yakni “Cry Jailolo” dengan 7 penari pria, “Bala Bala” dengan 5 penari wanita, dan “Salt” dengan saya sendiri sebagai penarinya. Terdapat pula rencana untuk mengajar di Amerika bulan September ini, tepatnya di University of Minnesota.
Selain itu, ada pula proyek untuk membuat karya dengan sipir penjara anak di Sydney, Australia. Tahun ini sudah masuk tahun kedua, dan tahun depan akan premiere. Saya juga mengerjakan karya baru dengan 3 penari dari Belu, Nusa Tenggara Timur, serta 2 penari dari Timor Leste. Tari ini akan kami tampilkan mulai tahun 2020 di Melbourne.
Selain itu, saya sekarang sedang fokus dengan studio saya di Solo serta company dan yayasan saya, yaitu Eko’s Dance Company. Banyak program yang akan kami kerjakan, termasuk di dalamnya program residensi yang akan dimulai tahun depan. Residensi ini turut mengundang seniman dari luar untuk dapat membuat karya di tempat kami. Selain itu, mereka dapat bekerja sama dengan penari-penari kami, dan kami yang akan memfasilitasi semua.