Eddie Hara Bercerita Tentang Persepsi Barat Pada Kesenian Indonesia dan Pentingnya Bagi Seniman untuk Bersikap
Kami berbincang dengan Eddie Hara tentang environmental issues, pop culture dan pengaruh subkultur pada karyanya.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Ardi Widja
Eddie Hara adalah salah satu seorang seniman kontemporer asal Indonesia merintis jalan untuk bisa di luar negeri. Kini menetap di Switzerland, karyanya dikenal dengan perpaduan jenis seni highbrow dan lowbrow yang memiliki pesan untuk menyuarakan kritik terhadap suasana politik maupun sosial.
Dalam pameran “Got Paper?” yang diselenggarakan oleh RUCI Art Space, Hara memamerkan beberapa karyanya yang mengeksplorasi kertas sebagai sebuah medium artistik. Kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Eddie Hara tentang pentingnya untuk menyebarkan pesan sosial dalam karya, skena seni rupa Indonesia di mata internasional dan generasi baru seniman lokal.
Sebelum masuk Institut Seni Indonesia (ISI), Anda sempat mengambil Sastra Inggris di IKIP. Apa yang membuat Anda lebih memilih untuk masuk ke dunia seni?
Sebetulnya dahulu setelah lulus SMA pada tahun 1976, saya berkeinginan masuk seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI di Yogyakarta. Akan tetapi, bapak saya melarang untuk menjadi seniman. Saya sangat kecewa karena pelarangan itu dan menyebabkan saya sempat enggan berkuliah. Akhirnya pada tahun 1978, saya mengalah karena bapak saya berkata ia akan membiayai apapun jurusan yang saya inginkan di kuliah kecuali seni rupa. Akhirnya saya berpikir apa yang kira-kira menarik, dan mengeluarkan 2 pilihan yaitu Sastra Inggris dan Psikologi. Pilihan saya jatuh pada Sastra Inggris dan mendaftarkan diri di 2 tempat, yaitu UNDIP (Universitas Diponegoro) dan IKIP.
Pada saat itu, saya diterima di IKIP terlebih dahulu dan harus segera membayar dan hal tersebut membuat saya bingung. Akhirnya saya membayar dan ternyata datang kabar bahwa saya diterima juga di UNDIP. Karena sudah terlanjur, saya tetap mengambil IKIP dan berkuliah di sana. Setelah 2 tahun kuliah, saya akhirnya keluar karena tidak betah karena memang dari awal bukan keinginan saya. Saat di IKIP pula, saya sering ke bagian seni rupa dan bergaul bersama orang-orang seni rupa. Saat itu saya masih membuat sketsa, masih membuat drawing, masih menggambar, melukis, sambil kuliah sastra. Tetapi akhirnya tidak bisa ditahan lagi, saya memutuskan untuk keluar dari sastra. Saya diam-diam mendaftar ke perguruan seni rupa, hanya diketahui oleh ibu dan tidak diketahui oleh bapak. Kami sempat bertengkar hebat, namun saya tetap memilih untuk melanjutkan kuliah saya di Seni Rupa.
Anda bersama rekan-rekan dari Institut Seni Indonesia (ISI) dianggap sebagai perintis pameran seni di luar negeri. Bagaimana kondisi seni rupa di waktu awal Anda mulai berkarya sebagai seniman?
Seni rupa Indonesia harus juga masuk ke penggalan internasional
Pada waktu saya masuk, suasana berkarya di ASRI saat itu sudah bagus. Bentuk karya saat itu juga tidak hanya modern, tetapi juga terdapat seni kontemporer yang dilakukan oleh beberapa kakak kelas, bahkan ada beberapa yang eksperimental. Hanya saja, saat itu publik mereka masih di Indonesia saja. Kemudian generasi saya yang masuk pada tahun 80, memiliki prinsip bahwa seni rupa Indonesia harus juga masuk ke penggalan internasional, tidak bisa hanya lokal atau regional saja. Generasi saya ini termasuk di dalamnya saya, Heri Dono, Gagan Krisnanto (yang sekarang di Australia), Nindityo Adipurnomo and Mella Jaarsma (pemilik Cemeti Art House). Kami merasa hal tersebut sangatlah penting, bagaimanapun caranya, walau tidak mudah, karena yang dikirim ke luar negeri itu selalu dosen, tidak pernah mahasiswa.
Pada saat itu karena kebetulan saya memiliki basic 2 tahun di Sastra Inggris, alhasil saya dapat dengan lancar berbahasa Inggris juga. Akhirnya saat itu setiap ada turis yang masuk ke kampus, sayalah yang berperan sebagai local guide-nya. Apabila ada mahasiswa atau dosen asing yang diundang, saya juga yang berperan sebagai penerjemah. Hal itu pelan-pelan saya gunakan untuk networking.
Ada beberapa tantangan dalam memperkenalkan seni Indonesia, karena pada dasarnya mereka tidak tahu-menahu gambaran dan keadaan seni rupa di Indonesia. Mereka juga masih menganggap seni rupa di Indonesia belum kontemporer dan bertanya-tanya apakah di Indonesia terdapat seni rupa modern. Saat itu saya menjawab bahwa hal tersebut sudah ada di Indonesia karena kita juga bagian dari dunia. Mereka sering terkejut saat saya bercerita tentang sistem akademis di Indonesia yang juga mengikuti sistem pendidikan ala barat.
Tantangannya adalah memperkenalkan seni Indonesia dengan anggapan kalau kesenian Indonesia tidak sejajar dan masih dianggap seni etnik atau tribal.
Selain itu, mereka juga terkejut setelah mengetahui kalau saya paham akan sejarah seni rupa Eropa, sementara mereka tidak mempelajari seni rupa dari timur. Tantangannya adalah memperkenalkan seni Indonesia dengan anggapan kalau kesenian Indonesia tidak sejajar dan masih dianggap seni etnik atau tribal. Mereka juga terkejut setelah melihat gaya melukis saya. Padahal inspirasi tersebut bisa datang dan dilihat di media, walaupun belum ada komputer.
Komik dan street art, dua jenis seni yang memadukan highbrow dan lowbrow, mempunyai pengaruh besar dalam karya-karya Anda yang terlihat dari ditemukannya karakter Mickey Mouse dan Batman. Apa yang memulai ketertarikan Anda pada jenis seni tersebut? Dan proses seperti apakah yang dilalui untuk mencapai keputusan untuk meletakan tokoh-tokoh pop culture pada karya Anda?
Berdasarkan penglihatan saya, komik merupakan bagian dari seni rupa kontemporer juga di ISI, ITB, dan IKJ. Salah satu inspirasi saya dalam berkarya datang dari seniman pop art Amerika, yakni Roy Lichtenstein yang mem-blow up sequence-sequence komik dengan teks dan percakapan. Komik juga selalu menjadi inspirasi bagi seniman-seniman kontemporer, baik di Barat maupun di Timur. Kemudian, komik juga dapat menjadi media yang berguna untuk menyuarakan protes – karena mengandung teks, baik pengutaraan suasana politik maupun sosial.
Anak-anak di Indonesia dan di Asia lebih mengenal Walt Disney ketimbang cerita-cerita dan tokoh-tokoh lokal.
Sebetulnya di karya saya, terdapat beberapa figur-figur komik seperti Mickey Mouse, Batman, Looney Tunes, Hello Kitty, yang digambarkan menjadi tengkorak. Maksud dari hal tersebut adalah karena saya yang ingin membunuh tokoh-tokoh tersebut dengan menjadikannya tengkorak. Saya melakukan hal tersebut karena saya merasa anak-anak di Indonesia dan di Asia lebih mengenal Walt Disney ketimbang cerita-cerita dan tokoh-tokoh lokal. Dengan menjadikan mereka dalam bentuk gambar tengkorak, saya “membunuh” tokoh-tokoh tersebut agar kultur komik yang ada di Indonesia dapat diperhatikan.
Sebagai seorang seniman Indonesia yang berbasis di luar negeri dan seringkali berpartisipasi di pameran seni rupa internasional. Bagaimana Anda melihat scene seni rupa Indonesia di mata internasional?
Menurut saya 10-15 tahun terakhir seni rupa Indonesia keadaannya baik. Awalnya, dunia seni rupa internasional mulai melirik Asia – terutama Jepang pada tahun 70-an. Perlahan-lahan mereka kemudian mulai melirik Taiwan dan Korea. Kemudian 15-20 tahun terakhir mulai melirik Cina. Hal tersebut terjadi karena ada seorang kurator Swiss, Uli Sigg, yang membawa karya-karya kontemporer seniman Cina pada tahun 90-an ke pameran-pameran seni besar di Eropa. Hal tersebut membuat banyak kurator Eropa kaget karena mereka tidak menyangka akan melihat karya-karya kontemporer hebat dari negara Timur. Mereka pada umumnya mengira bahwa negara-negara di Timur tertutup dan penuh akan tradisi. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menganggap diri mereka lebih dari yang lain, yang merupakan karakter mereka. Mereka terkejut, dan pada akhirnya mulai terbuka pelan-pelan. Mereka mulai menyadari ada negara lain di Asia selain Cina dan Jepang seperti Korea, India, Pakistan, Bangladesh, Mongolia, Nepal dan Tibet yang mulai mereka perhatikan.
Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menganggap diri mereka lebih dari yang lain
Isu ekonomi di Asia yang sedang bangkit pun membuat mata internasional tertuju pada Asia. Selain itu, banyak juga seniman-seniman yang mulai merambah dan ikut pameran seni internasional. Contohnya adalah karya dari Eko Nugroho dan Arin Sunaryo yang diambil oleh Galeri ARNDT menandakan sebuah kemajuan yang sangat signifikan. Dengan seniman-seniman Indonesia yang mulai memasuki seni internasional, menandakan kita juga mulai masuk pasar internasional. Sekarang telah ada banyak seniman-seniman kita yang diundang oleh biennale-biennale dan event-event besar juga.
Anda dikenal sebagai seorang seniman Indonesia yang tidak menunjukan unsur-unsur tradisional dalam karyanya sehingga aspek ruang tidak dominan di dalamnya, namun bagaimana perpindahan Anda dari Yogyakarta ke Swiss mempengaruhi karya Anda?
Sebetulnya sebelum pindah ke Basel pun saya sudah terpengaruh oleh subkultur. Subkultur merupakan sesuatu yang banyak tersebar di seluruh dunia terutama lewat fashion, musik, budaya komik, budaya melakukan konser, dan street art. Musik di dalamnya termasuk genre rock, heavy metal, punk yang tersebar dan mempengaruhi beberapa subkultur di Indonesia. Selain itu ada juga graffiti dan pelan-pelan mulai merambah ke stencil, stiker, dan teks. Unsur-unsur tersebut banyak mempengaruhi saya, selain karya seni lukis lainnya. Aspek lokasi tidak terlalu mempengaruhi.
Walaupun terkesan colourful, playful dan fun, ada unsur self-irony yang kental pada karya-karya Anda. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan melalui hal tersebut?
Banyak pesan yang ingin saya sampaikan. Memang kesan awalnya fun karena warnanya cerah dan eye catching. Tetapi sebetulnya kalau mau berpikir secara jauh dan mau melihat judul, karya saya tidak selalu fun. Misalnya karya saya yang bertuliskan “Seafood Is Not Cool, Save Our Empty Ocean” yang memiliki makna tragis. Sementara laut kita kosong, seafood restaurant semakin menyebar di mana-mana.
Saya mempunyai pengalaman aneh sewaktu mengikuti Art Basel di Hong Kong. Waktu itu, kami beramai-ramai mengunjungi Fisherman’s Village dan berniat untuk menyantap seafood yang terkenal di Hong Kong. Di sana, saya melihat ada beberapa baskom ada tulisan “fresh fishes from Indonesia” – dan itu yang membuat saya sedih. Ikan-ikan tersebut yang terkuras dari lautan kita. Oleh karena itu di karya saya banyak dead octopus yang menyimbolkan kondisi laut kita yang tercemar dan kosong. Banyak dari mereka yang hanya menangkap ikan tuna menggunakan jaring dan menjaring banyak hewan-hewan lain seperti green turtle, lumba-lumba, dan gurita yang pada akhirnya dibuang. Marak juga penangkapan ikan hiu yang bertujuan untuk mengambil siripnya saja lalu dilepas kembali. Sangat tidak manusiawi.
Beberapa karya Anda memiliki simbol-simbol dengan pesan yang terkait dengan environmental issues. Seberapa pentingnya menurut Anda sebagai seniman untuk menyebarkan pesan-pesan sosial dalam sebuah karya?
Bagi seniman kontemporer, saya rasa perlu untuk memberikan pesan karena kita hidup di dunia yang pelan-pelan berubah dan cenderung berubah ke arah yang tidak baik. Politik yang carut-marut, konflik agama yang semakin besar, ketimpangan ekonomi antara negara-negara G7 ataupun G20 dengan the rest of the world yang tidak seimbang, dan perang di mana-mana. Hal tersebut harus disuarakan oleh seniman-seniman yang sensitif terhadap isu-isu sosial agar khalayak tahu bahwa dunia ini tidak selamanya indah dan damai, tetapi juga memiliki bagian-bagian gelap. Semua tergantung dengan cara seniman masing-masing.
Anda merupakan salah satu seniman Indonesia pertama yang melanggar arus besar gaya lukis, kini banyak seniman lokal yang menganggap Anda sebagai point of reference. Bagaimana Anda melihat generasi baru seniman Indonesia?
Seniman muda sekarang lebih beruntung karena infrastruktur yang baik
Generasi muda cukup baik sekarang. Tidak hanya meniru, mereka juga berkreasi. Contohnya seperti Eko Nugroho, Wedhar Riyadi, dan beberapa nama yang berasal dari Bandung. Kebetulan style yang saya dapat dan temukan di tahun 1980-an sangat signifikan dengan kehidupan urban sekarang. Saya juga melihat seniman muda sekarang lebih beruntung karena infrastruktur yang baik. Saya juga banyak belajar dan berdialog dengan mereka sehingga saya tidak tertinggal.
Apa proyek Anda untuk ke depannya?
Kemungkinan saya akan mengikuti Art Jakarta dengan Ruci dan membawa beberapa karya kertas. Pada bulan Oktober kemungkinan ada yang membawa karya saya ke Art Expo di Malaysia. Selain itu, saya juga mendapat tawaran untuk ikut art fair di Taiwan. Namun, jadwal saya harus dirancang sedemikian rupa karena saya juga merupakan bapak rumah tangga yang memiliki anak untuk diurus. Kemungkinan, tahun depan saya akan mengikuti ke Art Basel di Hong Kong. Saya belum memiliki rencana untuk di Eropa karena saya baru menggelar pameran tunggal di Basel bulan Juni kemarin setelah sekian tahun. Saya juga baru saja mendapat tawaran dari ARTJOG untuk ikut tahun depan.
Ada rencana juga untuk mengikuti pameran karya-karya kertas yang diselenggarakan oleh Deutsche Bank, Jerman bersama Eko Nugroho dan Heri Dono. Mereka ingin membeli karya kami untuk dijadikan koleksi mereka yang akan disumbangkan ke Guggenheim, Berlin. Sementara ini karya saya disimpan di kantor pusat yang terletak di Frankfurt, dan akan dipindahkan ke bangunan khusus untuk menyimpan karya kertas dari seluruh dunia. Pembukaannya akan jatuh pada tanggal 27 September 2018 di Berlin. Terdapat 16 seri karya saya yang berbentuk amplop yang telah dibuat sejak tahun 2008.